"Hana berangkat dulu, Bu. Assalamu'alaikum," ujar Hana, mencium tangan ibunya sebelum pergi.
Sebenarnya, ia masih lelah setelah perjalanan kemarin, ditambah lagi tidurnya larut malam. Tapi pekerjaan menunggunya, jadi ia tetap berangkat. Perjalanan ke studio memakan waktu sekitar dua puluh menit. Begitu sampai, ia baru saja mematikan motor ketika melihat Yudha keluar. "Mau ke mana, Yud?" tanyanya sambil melepas helm. "Ada urusan sebentar, aku keluar dulu, ya," jawab Yudha singkat sebelum melangkah pergi. Hana hanya mengangguk, lalu masuk ke dalam studio. Di meja kerja, Anisa sudah duduk sambil memainkan ponselnya. "Assalamu'alaikum," sapa Hana. "Wa’alaikumsalam. Kurang tidur, ya?" Anisa menatapnya dengan pandangan menilai. "Kelihatan banget?" Hana merogoh tasnya, mengambil cermin kecil. Ia mendesah pelan saat melihat bayangannya—matanya masih sedikit bengkak akibat kurang tidur. "Kamu nggak capek?" "Udah biasa, Han," jawab Anisa santai, menaik-turunkan alisnya. Wajar, Anisa sudah sering bepergian untuk pekerjaan seperti ini, sementara Hana baru pertama kali. "Risa belum datang?" Hana melirik meja kosong di seberang. "Belum. Tumben, ya..." ✨✨✨ Hari ini, studio lumayan ramai. Hana dan Anisa ikut membantu di bagian customer service. Ting! Pintu terbuka. Risa masuk dengan Yudha di belakangnya. Hana dan Anisa saling pandang—tak biasanya mereka datang bersamaan. Risa berlalu begitu saja tanpa menyapa, langsung menuju ruangannya. "Ketemu Risa di jalan tadi," jelas Yudha saat melihat tatapan penuh tanda tanya dari Hana dan Anisa. Seakan tahu apa yang mereka pikirkan, ia kemudian menyodorkan sebuah plastik ke arah Hana. "Nih, buat kamu. Suka batagor, kan?" Hana tertegun sejenak, lalu menerima bungkusan itu. Yudha pun melangkah menuju ruang kerjanya di lantai dua. "Hana doang, nih?" goda Anisa, menahan tawa. "Berdua," sahut Yudha sebelum menghilang ke atas. Hana tersenyum kecil, senang karena dibelikan makanan kesukaannya. Tapi satu pertanyaan muncul dalam benaknya—darimana Yudha tahu kalau ia suka batagor? Apa karena sering melihatnya membeli? Perhatian kecil itu menyalakan kembali perasaan hangat di dadanya. Padahal tadi pagi ia sempat kecewa karena pesannya tak dibalas oleh Yudha. Tanpa disadarinya, ada sepasang mata yang menatapnya dengan tidak suka. ✨✨✨ "Aku duluan, nanti kalian nyusul aja langsung," ujar Marco dari balik pintu ruang tim administrasi dan kreatif. Hari ini, Marco mengajak mereka makan malam bersama setelah kerja. Ia pergi lebih dulu untuk reservasi tempat. Katanya, sudah lama mereka tidak makan bersama. Jam menunjukkan pukul lima. Setelah semua pekerjaan beres, mereka bersiap pulang. Marco memilih restoran BBQ. Saat mereka tiba, makanan sudah mulai disiapkan pelayan. Meja panjang telah dipenuhi hidangan seperti daging premium low-fat, belly mix, dan lainnya. Hana duduk di samping Anisa. Sementara Yudha memilih tempat tepat di depannya. Risa tampak ragu mencari tempat duduk, sebelum akhirnya memilih duduk di sebelah Yudha. Beberapa menit kemudian, seluruh tim sudah lengkap. Suasana restoran yang ramai dipenuhi suara obrolan orang-orang yang makan bersama rekan kerja maupun keluarga. "Nanti Risa sama Hana ke MyHijab buat bawa berkas tanda tangan kontrak," kata Marco di tengah makan. "Kamu bisa sambil belajar dari Risa, Han. Kalau Risa lolos seleksi, setidaknya udah ada yang handle pekerjaannya selain Anisa." “Siap, Bos,” sahut Anisa dengan santai. Sementara Hana hanya mengangguk, sibuk mengunyah makanannya. "Tesnya kapan, Ris?" tanya Yudha. "Jumat ini. Anterin aku, ya, sebelum berangkat kerja?" pinta Risa. Sekejap, suasana berubah. Beberapa rekan kerja mereka saling berpandangan, menyembunyikan senyum penuh arti. "Wah, ada apa nih?" goda Zaki dengan nada menggoda. "Jawab, dong. Bisa nggak?" "Insyaallah," jawab Yudha singkat. Namun, matanya sekilas melirik ke arah Hana. Hana yang menyaksikan itu merasa dadanya mencelos. Anisa diam-diam menyenggol lengannya, memberi kode. Hana hanya mengangkat alis, seolah bertanya apa maksudnya? Anisa lalu melirik ke arah Risa dan Yudha, tapi Hana pura-pura tidak mengerti. Ia mengangkat bahu, memilih tak menanggapi. Di depannya, Risa dan Yudha tampak santai, melanjutkan makan seolah tak terjadi apa-apa. Namun, bagi Hana, perasaan tak nyaman itu tetap mengganjal. "Beb, ambilin kecap," ujar Risa tiba-tiba, tangannya menyentuh lengan Yudha dengan natural. Anisa kembali menyenggol lengan Hana, kali ini lebih keras. Hana menegang. Sekilas, ia melihat Yudha menatapnya—ada sesuatu di ekspresinya. Canggung? Serba salah? Hana menunduk, mencoba fokus pada makanannya. Tapi hatinya tetap terasa aneh. Perasaan tak nyaman itu kini semakin jelas.Hana mengernyit saat mendapati Yudha berdiri di depan pintu kamarnya."Ada apa?"Yudha merogoh saku, mengeluarkan beberapa lembar uang, lalu meraih tangan Hana dan meletakkannya di sana."Ini uang yang ibu pinjam dulu. Aku baru tahu soal ini, dan aku ingin segera mengembalikannya."Hana menatap uang itu. Sempat ragu untuk menerima, tapi menolak pun terasa seperti menghina keluarga Yudha."Oh, oke." Ia hendak menarik tangannya, tapi Yudha menggenggamnya lebih erat.Tatapan mereka bertemu."Maaf...." suara Yudha terdengar lirih, penuh penyesalan.Hana hanya diam."Beri aku satu kesempatan lagi...."Hana tercekat. Entah kenapa, mendengar kata-kata itu, dadanya terasa sesak.Ia mengerjap, mencoba memahami apa yang baru saja dikatakan Yudha. "Apa maksudmu?"Yudha menatapnya dalam-dalam. "Aku menyesal, Han ... Aku menyesal memilih Risa. Seharusnya aku tidak pernah meninggalkanmu. Tidak harus mendengarkan Ibu. Aku bodoh."Jantung Hana berdegup kencang. Kata-kata itu, andai saja ia dengar dul
Ponsel Hana berdering saat ia tiba di hotel. Nomor asing, tapi foto profilnya jelas memperlihatkan wajah Risa. Hana menghela napas berat. Rasanya sudah cukup lelah berurusan dengan wanita itu, tapi ia tetap menjawab dengan enggan. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam. Han, aku gak jadi nitip. Aku ambil aja langsung. Kamu di mana?" Suara Risa terdengar tanpa basa-basi. Yudha, yang berdiri di samping istrinya, mengernyit heran. Ia mendengar Risa menyebut nama "Han". Apakah itu Hana? "Baru sampai hotel. Ini mau masuk." "Aku tunggu di lobi." Telepon terputus begitu saja. Tanpa sopan santun. Hana kembali menarik napas, berusaha menahan kekesalan. "Kenapa?" tanya Ali. "Risa mau ambil titipannya sendiri. Dia nunggu di lobi." Tak lama, mereka tiba di lobi hotel. Hana berjalan menuju meja resepsionis, sementara Ifa memilih langsung ke kamar. "Han!" Suara Risa terdengar lantang. Hana menoleh, dan betapa terkejutnya ia melihat siapa yang berdiri di sebelah Risa. Yudha.
Seharian ini Yudha bekerja dengan gelisah. Pikirannya terus melayang ke kota tempat Risa, Hana, dan Ali berada. Ia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa mereka bertiga ada di satu tempat yang sama. Keinginan untuk menyusul semakin kuat, tetapi keuangan sedang tidak stabil. Lagi pula, mereka akan kembali bekerja pada hari Senin. Namun, semakin ia mencoba menahan diri, semakin tidak tenang rasanya. Akhirnya, muncul ide untuk meminjam uang kepada Zaki, rekan kerjanya yang sedang sibuk di depan laptop. "Zak, lo ada uang nggak? Gue mau pinjam," tanya Yudha langsung. Zaki menoleh dengan dahi berkerut. "Tumbenan lo pinjam uang. Berapa?" Yudha cepat menghitung perkiraan biaya tiket pesawat pulang-pergi, transportasi, makan, serta penginapan karena tidak mungkin tidur sekamar dengan Risa yang berbagi kamar dengan rekan kerjanya. Setelah semuanya ia perhitungkan, ia menunjukkan angka di layar ponselnya. Zaki membulatkan mata. "Segini?" "Ya. Gue transfer sekarang ya?" "Transfer aja, br
"Mbak, kenal sama cowok tadi?" suara seseorang tiba-tiba menyapa Sasa, yang masih termenung setelah kejadian tadi. Sasa menoleh. Seorang perempuan berdiri di dekatnya, wajahnya tampak penasaran. Sasa mengerutkan kening. "Maaf, kita kenal?" Perempuan itu tersenyum tipis, seolah memahami kebingungan Sasa. "Oh, saya Risa. Dulu satu tempat kerja sama cewek yang dihampiri cowok sama Mbak tadi." Mendengar itu, Sasa langsung tertarik. "Oh ya? Terus?" Risa mendekat sedikit, menurunkan suaranya. "Dia itu centil, Mbak. Suka goda laki orang. Suami saya yang udah nikah aja masih dideketin." Sasa tertegun. "Maksudnya... dia deket sama cowok tadi?" "Sepertinya, sih. Suami saya pernah lihat foto mereka bareng," ujar Risa, nada suaranya terdengar sedikit puas setelah menyampaikan informasi itu. Sasa menghela napas. Tanpa ia sadari, ia bertemu dengan seseorang yang mungkin sudah menggantikan posisinya di hati Ali—lelaki yang masih sangat ia rindukan. Penyesalan menyelip di hatinya. Dulu
"Han, sudah siap?" tanya Ifa. Mereka berencana kulineran di luar. Cuaca yang tadi mendung kini berubah lebih cerah, meskipun tidak sepenuhnya. Setidaknya cukup nyaman untuk berjalan-jalan. Tujuan mereka kali ini adalah sebuah depot legendaris yang sudah berdiri sejak puluhan tahun lalu, bahkan sebelum mereka lahir. Konon, makanan di sana sangat enak, mulai dari mie hingga lumpia yang banyak digemari orang. Mereka memilih berjalan kaki. Sekitar lima belas menit kemudian, mereka tiba di lokasi. Suasana depot ramai, hampir tidak ada kursi kosong. Aroma khas makanan menyeruak, menggoda selera. Perut mereka yang sudah lapar sejak tadi pun semakin tidak sabar untuk diisi. "Mau pesan apa? Makan di sini atau dibungkus?" tanya seorang pegawai, kira-kira berusia awal dua puluhan, kepada mereka yang berdiri di dekat etalase menu. "Makan di sini. Ada tempat kosong, nggak, Mbak?" Ifa bertanya sambil celingukan mencari meja kosong. "Berapa orang? Saya cek dulu, ya." "Dua orang," sahut Ifa. Si
"Ngapain kamu di sini? Ada kerjaan sama yang lain? Sama Yudha juga? Dia nggak bilang apa-apa?" Risa membombardir Hana dengan banyak pertanyaan. Sementara itu, ia membiarkan rekannya melakukan check-in. Dengan angkuh, ia melipat kedua tangannya di dada, wajahnya penuh kesombongan. Sebelum jadi pegawai saja sudah sombong, sekarang malah makin menjadi, batinnya. "Liburan, berdua sama sepupu," jawab Hana singkat, padat, dan jelas. Baginya, tidak ada alasan untuk memberikan penjelasan lebih lanjut, apalagi bertanya kabar. Lagipula, orang di depannya ini sepertinya sudah membencinya sampai ke ubun-ubun. "Enak banget, ya? Yang lain kerja, kamu malah liburan. Kamu apain Mas Marco sampai dia mau kasih izin?" sindir Risa. "Sa, kamu tahu namanya cuti tahunan, kan? Bukannya dulu kamu juga kerja di sana? Bahkan lebih lama. Harusnya kamu paham," sahut Hana. Kali ini, ia tidak mau repot-repot bersikap lembut. Sebelum Hana sempat menanggapi lebih lanjut, suara panggilan seseorang terdengar. "Sa,