Pengkhianatan yang tertoreh, terlalu mudah jika berakhir dengan perpisahan. Wanita sepertiku tidak pantas untuk tersakiti, berbahagialah dengan jalang barumu. Setelah ini akan kupastikan kau berlutut bersimbah darah di kakiku.
***ofdMataku mengerjap saat tangan dingin mengusap lembut pipi, lalu satu kecupan mendarat hangat di keningku.
"Morning, sayang." sapa suara seseorang yang selalu kurindukan.
Membuka mata perlahan, mendapati wajah tampan memenuhi penglihatan.
"Maaf mengganggu tidurmu," ucapnya sambil mengelus kepalaku.
Aku tersenyum manja menanggapi ucapannya.
"Semalam aku pulang larut, tak tega membangunkanmu."
Dengan gemas dia menciumi wajah ini, menggelitik perut hingga aku meronta dan memeluknya.
"Aku tunggu di meja makan," ucapnya sambil bangkit dari peraduan.
"Oke ..." dengan mata setengah terbuka aku mengacungkan jempol.
Memaut diri di depan cermin, memoles tipis lipstik. Setelah memastikan penampilan sempurna aku berjalan menuruni tangga, menuju suamiku di meja makan.
"Hai sayang ... kenapa belum makan," mengecup pipinya sekilas lalu duduk di sampingnya.
Senyum manis tercipta di bibirnya. Dengan gerakan cepat dia memasukan gawai ke dalam saku kemeja.
"Yah ... aku menunggumu," ucapnya seraya menyodorkan piring berisi sandwich telur di hadapanku.
"Makanlah, kamu terlihat sedikit kurus." protesnya. Tangan kekar itu memotong sedikit sandwict lalu mendekatinya kemulutku.
"Aaaa ..." mulut Mas Daniel ikut terbuka.
Aku tertawa kecil melihat tingkahnya, lalu membuka mulut menyambut makanannya.
Begitulah keseharianku, Mas Daniel selalu memanjakanku. Dia tau apa yang aku mau dan selalu menuruti apapun keinginanku. Membuat aku merasa di cintai setiap saat.
"Say ... bisa, aku minta tolong?" ucapnya sambil mengelap bibir dengan tisu.
"Ya, apa?" sahut ku tanpa menatapnya. Tanganku mengambil segela susu lalu meminumnya.
"Aku ... pinjam modal lagi, boleh?" tanyanya ragu-ragu.
Aku menghentikan activitas, menatap matanya yang penuh harap. Dia tersenyum kecil, balas menatapku.
"Modal apa lagi?" tanyaku dengan alis yang mengkerut. Pasalnya sudah dua kali Mas Daniel meminjam uang, yang dia bilang untuk modal.
Aku memiliki tiga dealer mobil di kota ini. Sementara, Mas Daniel meneruskan usaha keluarganya mengelola kafe dan rumah makan.
"Bulan ini uang habis untuk bayar karyawan saja, aku tidak tau harus pinjam kemana lagi." suara Mas Daniel terdengar lesu. Aku tidak tega mendengarnya.
"Berapa, say?" tanyaku antusias.
"Setengahnya saja dari yang kemarin," ucapnya penuh semangat.
"Kalau usahaku sudah normal, pasti aku ganti." sambungnya lagi sambil memegang tanganku, senyum manis tidak pernah hilang menghiasi bibirnya.
Aku mengangguk kecil lalu mengeluarkan gawai, membuka aplikasi M-banking meneransfer dua digit angka kerekening suamiku.
"Makasih sayang. Love you," bisiknya ditelinga, lalu mencium keningku sebelum pamit berangkat kerja.
Uang bukan masalah bagiku, yang terpenting hubungan kami baik-baik saja dan bahagia. Mas Daniel sudah membuat hidupku sempurna, tidak ada salahnya jika aku membantunya di masa sulit.
Matahari sudah menjulang tinggi. Aku masih diam di rumah memasuki ruangan khusus kerja, meneliti pembukuan. Sejak karyawan kepercayaan membawa kabur semua uangku, aku langsung menjebloskannya kepenjara. Kini aku harus turun tangan sendiri mengecek pemasukan dan pengeluaran keuangan.
Tring ... tring!
Pesan beruntun memasuki gawai. Kuacuhkan semua itu masih fokus dengan deretan angka di dalam buku.
Suara panggilan terdengar, dengan gerakan lambat aku mengambil gawai dan menerima panggilan.
"Ya." ucapku saat gawai menempel di telinga.
"Lagi ngapain, nyonya?" suara cempreng, Nadia teman dan juga sahabat konyolku memenuhi gendang telinga.
"Lagi sibuk, ngurus pembukuan."
"Pantes ... lo terlalu sibuk, sampe suami lo mencari kesenangan sama perempuan lain." kelakarnya di ujung telepon.
"Tidak lucu!" tukasku kesal, sambil membanting pulpen diatas meja.
Aku paling tidak suka bercanda seperti ini.
"Haha ... gitu saja sewot, liat W* gue sekarang."
Nadia memutuskan panggilan, dengan cepat aku membuka pesan darinya. Mengetuk gambar yang masih buram. Aku memejamkan mata saat gambar sudah terlihat jelas.
{Dateng buruan, sebelum ketinggalan.}
Nadia mengirim sebuah alamat dalam aplikasi, tanpa pikir panjang aku langsung menyambar tas dan kunci mobil.
"Paman ..." panggilku pada sosok yang tengah berdiri di pos keamanan.
Dengan sekali teriakan, lelaki bertubuh tinggi besar dengan kulit hitam itu langsung menghampiriku.
"Ikut denganku!" perintahku sambil berjalan menuju garasi. Dengan patuh laki-laki itu mengikuti langkahku.
Mengendarai mobil dengan kecepatan rata-rata. Dalam waktu lima belas menit mobil telah menepi di tempat, Nadia mengirim lokasi.
Dengan langkah lebar aku memasuki hotel, menemui resepsionis.
"Selamat siang ... ada yang bisa kami bantu," ucap laki-laki berseragam dengan senyum ramah kearahku.
"Ya ... saya ingin tau, apa ada orang yang bernama Daniel membooking kamar disini?"
"Sebentar ..." laki-laki itu terlihat menunduk sibuk membulak-balik buku.
"Ada Buk, dengan Bapak Daniel Prasetianto?" ucapnya kemudian.
"Bisa saya meminta kunci serepnya? Saya istri dari, Bapak Daniel. Dia di dalam bersama selingkuhannya," cecarku dengan penuh penekanan.
"Maaf, Buk."
Sebelum dia kembali berucap dengan cepat aku memotong kalimatnya.
"Jangan sampai saya berbuat anarkis. Dan memviralkan hotel ini karna menampung perbuatan asusila," ancamku dengan tatapan mengintimidasi.
Kulihat pegawai itu menimbang ucapanku, matanya melirik Paman, yang sedang mengepalkan tangan sambil meregangkan otot kekarnya.
Aku membuka dompet dan mengeluarkan sebuah kartu nama, lalu menaruhnya di meja resepsionis. Demi menghindari kerusuhan.
"Bukankah itu meneger hotel ini?" tanyaku dengan bibir tersungging senyum.
Laki-laki yang bernama ishak ditanda pengenalnya itu mengambil kartu yang tergeletak. Lalu menatapku.
"Tidak sembarang orang bisa memiliki kartu itu, bukan?" ucapku seolah tau isi hatinya.
"Baik, Buk." dengan cepat dia mencari kunci serep. Lalu menyerahkan kartu padaku.
Sepanjang jalan menuju kamar aku mengatur nafas, karna detak jantung yang mulai tidak beraturan. Menggenggam erat kartu pengganti kunci, untuk menetralkan gundah di hati. Setelah sampai di tempat sesuai nomer pada kartu, aku menarik nafas dalam-dalam.
Menempelkan kartu di bawah gagang pintu. Dengan mudah pintu itu terbuka dengan sendirinya.
Ceklek ...
Aku berjalan penuh hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Paman mengikuti langkahku.
Suara desahan bersaut-sautan memenuhi ruangan, pemandangan menjijikan seketika menyambut mata ini. Melihat dengan mata kepala sendiri, laki-laki yang begitu aku cinta telah bergerumul dengan wanita lain.
Duniaku runtuh tak tersisa. Musnah sudah semua harapan yang aku impikan selama ini. Hatiku hancur berkeping-keping. Tubuhku bergetar hebat, hampir limbung. Dengan sigap, Paman Jefry menopang tubuh ini.
Saking asyiknya, mereka bahkan tidak sadar dengan kehadiranku di dalam kamar ini. Sangat menjijikan!
"Dasar binatang!!" suaraku penuh penekanan. Kutahan isakan sekuat tenaga. Jangan sampai air mataku jebol di hadapan manusia laknat ini.
Dua manusia itu kompak menoleh kesumber suara. Mereka tampak bergeming di tempat dengan pandangan tidak percaya.
Aku menyunggingkan senyum mengerikan. Dengan gigi bergeletuk keras.
Setelah sadar apa yang sedang terjadi. Laki-laki yang masih sah menyandang status sebagai suamiku, langsung mengambil potongan baju lalu menutupi barang pusakanya.
"Say ... sayang," ucapannya seakan tertahan di tenggorokan.
Dengan langkah tertatih dia berjalan mendekatiku.
Plakk!!
Panas dan perih seketika menjalar di tanganku, begitu pun yang kulihat dengan Mas Daniel. Dia memegangi pipinya menatapku dengan sorot mata ketakutan.
"Maafin aku ... aku khilaf," ucapnya seraya bersimpuh di kakiku.
Luruh sudah air mata mendengar ucapannya. Badanku terguncang hebat, isakan menyayat hati keluar begitu saja.
Pandanganku beralih pada perempuan di atas ranjang, senyum tipis tercipta di bibirnya. Dia terlihat puas menikmati kehancuranku.
Bugh ....
Tiba-tiba Paman Jefry menendang muka, Mas Daniel. Membuat dia terjelembab kebelakang.
Darah segar mengalir dari hidung dan sudut bibirnya, dengan kepayahan dia beusaha bangkit sambil meringis kesakitan.
"Aaa jangan!" teriak perempuan yang masih mematung diatas ranjang.
Kedua tangannya terikat di kiri kanan ranjang, dia meronta, seakan ingin melindungi suamiku.
Aku membungkuk membantu Mas Daniel berdiri, kuusap darah di sudut bibirnya. Kupaksa diri ini tersenyum menatapnya.
"Bangunlah."
"Ampuni aku ... aku khilaf, aku khilaf," ucapnya sambil memeluk kakiku.
"Bangun!" suaraku naik satu oktaf.
Perlahan Mas Daniel bangun, kini posisi kami berhadapan.
"Aku memaafkanmu."
Tanganku membelai lembut rambutnya. Disini bukan tempat yang tepat untuk melampiaskan amarahku.
"Sayang ..." mata Mas Daniel memerah.
"Aku tau kamu sedang khilaf. Sedang tidak sadarkan diri," ucapku penuh penekanan.
"Kamu tidak mungkin dalam keadaan sadar, bermain dengan jalang itu." aku melirik tajam perempuan itu.
"Dia selalu menggodaku, aku hanya iseng tidak lebih." Mas Daniel mencoba merayu. Membuatku ingin meludahi mukanya.
"Dasar pecundang!" teriak perempuan itu.
Aku mendecih, memandang remeh sosok di hadapanku. "Anitta ... aku kira kita berteman," sahutku. Berjalan kearahnya.
Dengan senyum mengejek, dia membusungkan dada seoleh ingin memamerkan banyak tanda merah, yang tertinggal disitu.
"Akui saja kalau suamimu sudah berpaling kepelukanku." ucapnya penuh percaya diri.
"Oh ya?" balasku sengit.
"Ayo sayang kita pulang," suara Mas Daniel bergetar.
Aku berbalik badan kearahnya. Menatap tubuhnya tanpa sehelai benang. Membuat jantungku terampas dari tempatnya.
"Jangan jadi pengecut kamu, Mas! Kau bilang akan menikahiku sebelum bayi ini lahir." sembur Anitta.
"Bayi?" mataku mengarah pada Mas Daniel menuntut penjelasan. Dia menunduk membeku di tempat, tidak mampu menatapku.
"Iya aku sedang mengandung anak suamimu, sesuatu yang tidak bisa kamu berikan." ucapan, Anitta seakan menusuk jantung. Nafasku memburu menahan gejolak.
"Tutup mulutmu!" Mas Daniel teriak tangannya menunjuk kearah, Anitta.
"Ya ... memang ini kenyataannya, aku hanya mengingatkan janjimu!" balas Anitta sengit.
Mas Daniel terlihat pucat, mencoba meraih tanganku.
"Dasar mandul!" teriakannya membuatku menghentikan langkah.
Ingin sekali aku melompat kearahnya dan merobek perut serta mengeluarkan isi di dalamnya. Memakan hidup-hidup janin yang bersarang diperutnya.
Tapi ... sudahlah aku tak ingin mengotori tangan ini.
"Paman?" pandanganku beralih pada sosok di belakangku. Paman menegapkan badan, siap menerima perintah.
"Paman ingin mencicipi daging mentah ini?" tanyaku dengan senyuman mengerikan menatap, Anitta.
Senyum mengejek dari perempuan itu berubah datar. Gurat kecemasan terlihat jelas di wajahnya.
"Sayang sekali jika harus dibuang begitu saja, bukan begitu suamiku?" kali ini aku menatap, Mas Daniel.
Pecundang itu hanya menunduk, tidak berani menunjukan wajahnya.
"Lakukan sesuka hatimu Paman, kamu punya waktu sepuluh menit." suaraku menggantung diudara.
Senyum mengerikan tersungging di bibirnya. Tanpa membuang waktu, laki-laki yang mempunyai codet diwajahnya itu membuka tali gesper dan mendekati gundik suamiku yang terikat diatas ranjang.
Anitta meronta dan menjerit histeris, sumpah serapah serta cacian keluar dari mulut kotornya. Sementara aku, berjalan dengan anggun menuju balkon tanpa mengindahkan ocehannya.Senyum manis tak lepas dari bibir ini, menatap Mas Daniel yang terduduk lesu di hadapanku. Matanya mengisyaratkan kekhawatiran yang mendalam, mendengar jeritan di dalam ruangan.Keringat sebiji jagung nampak jelas di keningnya. Sebesar itukah rasa pedulinya terhadap Anitta? Gundik suamiku.Entah apa yang Paman perbuat. Aku tidak peduli. Jeritan serta teriakan si gundik begitu merdu di pendengaran, membuat bibir ini melengkung dengan sempurna."Kamu lelah sayang?" suaraku yang lembut mampu membuatnya terkejut.Mas Daniel tersenyum kecil kearahku, mencoba menutupi raut gelisah diwajahnya."Bukankah dia cantik?" tanyaku dengan senyum yang m
Tiga kali tongkat ini mendarat kuat di punggung suamiku. Membuat tubuh, Mas Daniel ambruk mencium aspal.Aku mendecih melihat kondisi tongkat baseball. Kurasa pukulan ini terlalu keras, hingga tongkat kesayanganku sedikit retak.Lihatlah Mas, bahkan aku lebih khawatir dengan tongkat ini dibanding dirimu."Apa dia masih bernafas?"Paman berjongkok membalik badan Mas Daniel, mendekatkan ujung jari di hidungnya."Masih, Non." ucapnya sambil mengangguk."Huh ... sayang sekali." aku mendecih kecewa."Urus dia Paman, aku masih ada pekerjaan lain."Paman menggangguk tegas, sambil membangunkan tubuh Mas Daniel.Aku berjalan menuju mobil, kulihat diujung gerbang security memandang tajam kearahku. Kubalas dengan anggukan serta senyum
Mas Daniel masih bersimpuh, di sertai isak tangis. Tangisnya pecah dengan badan yang bergetar hebat.Rusak sudah semua cintaku, Mas."Tolong jangan siksa perasaanku, ampuni aku. Kumohon ..." ucapnya terbata-bata.Siapa disini yang lebih tersiksa?Bukankah aku? Mengapa dia seperti orang yang paling tersakiti."Aku akan melakukan apa pun. Kumohon ..." sambungnya lagi."Sudah kah?" tanyaku dengan suara datar.Mas Daniel mendongkkan kepala, dengan mata penuh penyesalan."Sekalipun kau menangis darah, itu tidak akan mengubah apapun." ucapku sambil menatap dalam matanya.Mas Daniel terperangah mendengar ucapanku, bibirnya bergetar dengan mata yang kembali berembun.Lihatlah Mas, kau bahkan sangat menye
Ibu Anitta terpaku di tempatnya, air mata yang tadinya bercucuran. Kini terhenti seolah tersumbat oleh krikil."Kanapa diam?"Kupamerkan senyum semanis madu, Ibu Anitta nampak gelagapan saat wajahku sedikit maju."Buktikan pengorbananmu ..." suaraku berbisik."Kurang ajar! Berani sekali kau menghina Ibuku!" sembur Anitta dengan wajah garang. Tangannya mengepal kuat hingga urat-uratnya keluar."Keterlaluan kamu, Fiona!" suara Mamih menggelegar. Mata Mamih hampir keluar seakan ingin menerkamku."Aku tidak menghina Ibumu, aku hanya mengabulkan ucapannya." pandanganku beralih pada wanita setengah baya, yang masih berlutut di kakiku.Wajah Ibu Anitta nampak pias, keringat mulai membasahi keningnya. Pandangannya beralih pada Mamih, meminta pembelaan.Ay
Apa dia sedang bercanda?Aku disuruh mengurus gundik suamiku? Yang benar saja."Kalau, Mamih yakin dia sedang mengandung cucumu. Kenapa tidak, Mamih sendiri saja yang pelihara. Bukankah rumah ini cukup luas?" balasku dengan senyum sinis."Berani kamu membantah, Mamih!!" sengit Mamih. Netranyamembesar seakan mau keluar dari tempatnya.Aku balas dengan tatapan dingin, sedingin hatiku. Kini."Sekali lagi berani menyahut, kau tidak aku anggap menantu lagi!" sambungnya tidak main-main.Aku mendecih dengan senyum hambar, lalu berjalan mendekatinya. Kutatap Mamih dan Anitta bergantian."Dengar baik-baik ..." ucapku sambil mengusap pundak mertuaku, seakan membersihkan sesuatu."Saat kau bilang akan menikahi anakmu dengan gundik ini. Aku sudah tidak mengan
Meneguk kembali minuman kaleng yang tersisa sedikit. Dengan langkah gontai, aku menaiki tangga menuju kamarku. Meninggalkan Mas Daniel, yang tergolek lemah dimeja makan.Biarlah ... semoga ini yang terbaik. Semoga tidak ada yang mengganggu, jalan kema--tianmu, Mas!Menutup pintu dengan rapat lalu menguncinya. Berjalan menuju toilet, mengisi air dalam bathtub bersiap menenggelamkan tubuh lelahku didalamnya. Biasanya perasaanku menjadi lebih baik setelahnya.Membuka jendela kamar lebar-lebar. Seketika udara segar menyerang wajah dan indra penciuman. Melihat langit, banyak bintang yang berkelip indah dengan sang bulan disisinya.Lihatlah ... bahkan bulan selalu setia menemani bintang. Hah, hatiku kembali perih. Mengingat suamiku yang tidak setia.Pandanganku beralih pada pagar rumah yang terbuka setengah, tidak biasanya seperti itu. Apa Pama
"Mas, aku boleh minta tolong?" tanya Fiona saat aku keluar dari toilet. "Kenapa sayang?" jawabku sambil mengambil kemeja di dalam lemari, lalu memakainya. "Tolong setor uang ini ke bank yah .. hari ini aku sibuk banget," ucapnya sambil menunjuk amplop coklat besar. Semenjak pegawai terpercayanya, membawa lari uang penjualan mobil. Kini Fiona sendiri yang turun tangan mengurus semuanya. Dia bahkan lebih sibuk di banding aku. "Boleh ... apa sih yang enggak buat istri tercinta," sahutku sambil menerkam manja tubuhnya. Fiona tergelak melihat tingkahku, dengan gemas aku menciumi setiap inci wajahnya. Manatap dalam mata indah milik Fiona perlahan bibir kami berpagut dalam buaian syahdu. Walau pernikahan kami sudah memasuki usia lima tahun, rasa cinta tidak pernah ber
Terbangun dengan kepala yang berdenyut hebat. Aku tersentak saat mendapati Anitta melingkari tangannya ditubuhku. "Apa yang terjadi!" teriakku panik, membuat Anitta menggeliat dari tidurnya. Anitta tersenyum dengan mata yang setengah terbuka. "Kau menjebakku!" seruku murka saat mendapati badanku hanya terlilit selimut yang sama dengannya. "Aku tidak menjebakmu, kau sendiri yang memohon untuk ini." ucapnya santai. "Arghh ... dasar brengsek!" Dengan sekali hentak, aku langsung bangkit mengambil kemeja dan celanaku yang tercecer di lantai. Dengan cepat ku pakai semua pakaianku lalu berjalan keluar kamar membanting pintu dengan keras. Memasuki mobil, tangan memukuli stir membabi buta. Merutuki