Share

Nyawa dalam rahimku

Aroma Rumah Sakit samar tercium, mataku membuka perlahan dan mencoba menyadari di mana aku sekarang. Sesosok laki-laki sedang berdiri di sampingku menatapku cemas.

“Bapak?” Aku meyakinkan pengelihatanku jika laki-laki yang sedang berada di dekatku adalah pak Sanjaya.

“Kata dokter kamu kelelahan dan asam lambung kamu meningkat.” Pak Sanjaya mengambil tanganku dan mengelusnya dengan lembut.

“Kamu sudah bekerja dengan sangat keras Airin. Jadi biar kamu istirahat dulu yaa.”

Aku menghela napas, dalam minggu ini akan ada beberapa event penting yang akan digelar di hotel dan aku terkapar di sini. Kepalaku masih pusing dan rasanya isi perutku ingin keluar.

“Kamu masih pusing Airin?” pak Sanjaya menantapku dengan cemas. Aku hanya mengangguk karena merasa lemas sekujur tubuh.

“Bapak juga tadi minta agar kamu dites darah, Bapak khawatir jangan sampai ada gejala penyakit. Lebih cepat kita tahu kan lebih baik. Hasilnya sebentar lagi akan keluar.”

Aku memejamkan mata dan berharap jika aku baik-baik saja, aku mungkin memang sangat kelelahan hingga tubuhku menyerah mengikuti ritme kerjaku.

“Yang bawa saya ke sini siapa Pak?”

“Andy, dia menemukan kamu pingsan di lantai dekat dapur.”

Seorang suster masuk dan memberitahukan jika dokter ingin bertemu dengan pak Sanjaya tentang hasil tes darah yang mereka lakukan. Ingin rasanya bangun dan ikut bertemu dengan dokter tapi kepala masih berat dan ulu hati yang rasanya terbakar.

Tak lama pak Sanjaya masuk kembali ke ruanganku dengan selembar kertas yang terlipat di tangannya. Hanya ada kami berdua di ruang perawatan ini dan ekpresi wajah pak Sanjaya terlihat serius. Aku tidak berani menduga apa yang terjadi.

“Airin, menurut hasil test ini kamu dinyatakan positif hamil.” Dengan pelan dan hati-hati pak Sanjaya menyampaikan berita yang seakan membuat langitku runtuh. Aku tersentak tidak percaya, spontan aku terduduk tanpa menghiraukan pusing yang kualami. Ku raih kertas di tangan pak Sanjaya dan mencari kata di mana aku dinyatakan sedang hamil.

“Bapak sedang becanda kan?” tanganku gemetar, tanpa dikomando air mataku tumpah.

“Tidak Airin, hal ini bukan bahan candaan. Kamu sedang mengandung, kita akan ke bagian spesalis kandungan untuk memastikannya. Kamu mau Airin?”

“Tidak … Pak … tiiidaak, ini tidak mungkin.” Tangisku meledak dan pak Sanjaya meraihku, memeluk dan mengusap punggungku.

“Semua akan baik-baik saja, kamu sudah resmi menjadi istri Bapak, tidak akan ada yang tahu jika janin yang kamu kandung adalah anak orang lain. Kita akan secepatnya memberikan pernyataan resmi jika kau adalah istri sah dari Bapak.” Pak Sanjaya berkata dengan lembut dan berwibawa.

Aku menggeleng dengan keras menolak kenyataan jika di dalam rahimku tumbuh benih dari pemerkosaku, Ariel Rivaldo.

“Saya tidak menginginkan anak ini Pak, saya tidak mau … saya ingin menggugurkannya sajaaa…!” aku masih menangis dengan histeris, anak ini akan menjadi penghalang cita-citaku jika dia tetap tumbuh dalam tubuhku.

“Airin dengar, anak ini tidak bersalah, Bapak mohon sama kamu Airin tolong pertahankan janin ini. Bisa jadi hanya anak ini yang akan jadi penerus nama Bapak meski dia bukan darah daging Bapak. Bertahanlah Airin, ada kami yang akan selalu mendukung kamu.”

Pak Sanjaya mengelus kepalaku berusaha menenangkanku, aku masih tidak bisa menerima kenyataan ini. Aku merasa keluar dari mimpi buruk dan masuk ke mimpi buruk lainnya.

Ibu Sanjaya tengah duduk di kursi roda sambil membolak-balik halaman majalah yang beliau baca. Setelah melakukan pemeriksaan di spesialis kandungan dan melakukan USG aku dan pak Sanjaya memutuskan menemui Ibu Sanjaya di kamar VIP tempatnya dirawat.

“Airin… masuklah ayo sini, lihat ada artikel tentang hotel kita di majalah bisnis ini. Siapa yang melakukan wawancara ini Airin?” wajah sumringah dan senang ibu Sanjaya membuatku sedikit tenang.

Pak Sanjay mendekati istrinya dan memberikan kecupan kecil di kepala istrinya. Rambut ibu Sanjaya terlihat jarang-jarang dan kulitnya kering dan agak menghitam karena efek kemoterapi.

“Ibuuu …!” tak tahan lagi dengan perasaan sesak ini aku menghambur dan duduk bersimpuh di kaki ibu Sanjaya. Pastinya beliau sangat terkejut dengan apa yang kulakukan.

“Airin ? ada apa ini ?” Ibu Sanjaya menggapai bahuku yang mulai berguncang karena tangis.

“Saya … saya hamil Bu dan saya tidak menginginkan janin ini. Janin ini anak Ariel Bu karena Bapak tidak pernah menyentuh saya. Saya tidak mau ada anak ini Bu … saya harus bagaimana?” aku terisak perasaan bingung bercampur sedih dan benci berbaur menjadi satu.

“Airin, tenanglah … tenang Airin. Kamu adalah perempuan menikah sekarang, sah secara agama dan hukum. Jangan benci anak itu Airin, anak itu tidak bersalah. Biarkan anak itu tumbuh dan tercatat sebagai keturunan bapak, hal yang tidak bisa aku beri untuk suamiku Airin.”

Mata ibu Sanjaya basah sorot prihatin terpancar dari wajah yang lelah akibat beban penyakit yang beliau tanggung. Pak Sanjaya mendekat lalu mengusap bahu ibu Sanjaya seakan memberi kekuatan. Kemudian laki-laki yang selalu tampak berwibawa itu merangkulku dan membantuku berdiri lalu menuruhku duduk di kursi yang ditariknya dekat dengan kursi roda Ibu Sanjaya.

“Bapak sudah memutuskan akan segera mengumumkan statusmu sebenarnya pada karyawan hotel agar tidak terjadi fitnah yang menimpamu Airin. Posisi General Manager akan diserahkan kepadamu secara resmi dan mengangkat Andy sebagai Assistan General Manager, agar dia bisa menggantikanmu sementara. Kau butuh istirahat yang cukup.” Pernyataan pak Sanjaya terdengar seperti perintah di telingaku dan disetujui oleh ibu Sanjaya.

“Kau akan baik-baik saja Airin, kau perempuan yang tangguh aku yakin itu. Semua akan baik-baik saja, Andy akan mengurus hotel untuk sementara waktu. Kau beristirahat saja yaa? Ingat Airin, anak yang kamu kandung itu kini anak kita, anakmu, anak aku dan bapak. Jangan ingat lagi masa lalunya karena yang sekarang kau adalah Airin Zafira istri dari bapak Sanjaya Hariguna. Kau mengerti Airin?”

Aku mengangguk perlahan, dengan samar aku mengelus perutku yang masih rata, aku tak percaya jika di dalam sini ada nyawa yang sedang tumbuh tapi aku belum bisa menyambutnya dengan rasa suka cita.

Ballroom hotel tampak meriah sebuah perjamuan makan malam besar digelar untuk semua karyawan hotel bahkan general manager dari beberapa cabang hotel di kota lainnya turut hadir di acara ini. ibu Sanjaya pun memaksa hadir dengan kursi rodanya didampingi dua orang suster yang siap siaga berjaga untuk beliau. Kartika pun tak jauh-jauh dariku karena diminta langsung oleh pak Sanjaya untuk selalu berada di dekatku berhubung sikonku yang masih lemah karena pengaruh ngidam.

Ibu Sanjaya memberi sedikit sambutan dan pak Sanjaya berikutnya. Semua mata tertuju padaku saat pak Sanjaya mengumumkan pernikahan kami sebulan lebih yang lalu, gumam terdengar hampir di seluruh sudut ruangan. Puncak acaranya adalah penyerahan posisi General Manager dari Ibu Sanjaya kepadaku dan sekaligus pengangkatan pak Andy sebagai Assistant General Manager.

“Selamat yaa Bu, selamat juga atas pernikahannya.” Kalimat yang sama dan menyerupainya berkali-kali diucapka oleh tamu jamuan makan malam. Rata-rata staff hotel yang kukenali dan general manager cabang yang baru kali ini kutemui. Rupa-rupa tatapan mengarah kepada diriku, sorot mata yang sinis, senyum yang pura-pura dan ada yang terang-terangan membuang muka.

Di mata mereka mungkin aku terlihat sebagai pelakor, gold digger yang berusaha pansos dengan mendekati seorang Sanjaya Hariguna dengan memanfaatkan kelemahan istrinya yang sedang sakit.

“Hebat … hebat … ternyata sepak terjangmu terhadap pria sangat hebat, alih-alih jual mahal kepadaku kau malah berhasil menggaet laki-laki tua seumuran bapakmu.” Desis tajam dari arah belakang telingaku membuatku tersentak kaget. Aku berbalik pada pemilik suara yang sudah ku hapal sifat bajin*annya.

“Jaga mulutmu Tuan Ariel, kurasa kau tak akan mampu berhadapan dengan suamiku jika kau membuat masalah denganku. Ooh … meski tanpa kekuasaan suamiku aku pun sanggup melawanmu.” Jawabku tajam tanpa rasa takut.

“Singa betina … kau memang berani melawanku, aku suka sikap perlawananmu yang menjelaskan motifmu mendekati paman dan bibiku. General Manager … he he he … pelayan rendahan berhasil menjadi gund*k peliharaan Sanjaya Hariguna.” Kalimat Ariel rasanya mengiris jantungku.

“Jaga ucapanmu pada istriku Ariel ! dia istriku yang sah dan bukan perempuan peliharaan. Airin adalah perempuan baik-baik. “ pak Sanjaya mendekat Ariel dan mendorong pelan bahu keponakannya itu.

“Andy, tolong antar Ariel keluar dari hotel ini, dia sudah selesai mengikuti jamuan makan malam.”

Beberapa orang sedang memperhatikan kami, Andy bergegas menggiring Ariel keluar dari ruangan namun dia menyentak lengannya tak suka digiring oleh Andy.

“Papa mengirimmu berangkat ke Los Angeles besok, kau harus berangkat kalau tidak semua fasilitas dan sahammu akan diambil alih. Tapi tenang saja aku tidak tertarik dengan segala fasilitas yang papa tawarkan kepadaku. Aku hanya tertarik untuk memastikanmu pergi dari negara ini untuk waktu yang lama.” Andy menunjuk dada Ariel dengan wajah dingin. Ariel hanya tersenyum sinis sambil menantang kakaknya.

“Kelak aku akan kembali lagi dan buat perhitungan dengan kalian terutama kau gold digger!” Ariel menunjuk lurus ke arahku kemudian berbalik dan melangkah dengan kesal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status