Pernikahan berjalan secara sederhana dan hanya dihadiri oleh orang terdekat saja. Ibuku sangat terkejut dengan keputusanku yang mendadak ini. Beliau sempat menolak karena tak percaya aku mau jadi istri kedua laki-laki yang usianya lebih pantas jadi ayahku saja.
Akan tetapi semua penjelasanku tentang sakit kanker yang diderita ibu Sanjaya dan kuliah lanjutan yang ku cita-citakan itu mampu meluluhkan hati ibuku. Hanya Kartika saja dan pak Andy yang menghadiri pernikahanku itu pun aku meminta mereka untuk merahasiakannya sementara waktu paling tidak sampai aku kembali dari luar negeri kelak.
Aku dan ibu diboyong keluarga Sanjaya ke rumahnya yang besar. Semua asisten rumah tangga menaruh hormat yang sama seperti mereka menghormati ibu Sanjaya. Di malam pertama itu aku melihat kasih sayang antara suami istri yang baru saja mengambilku sebagai madunya.
Ibu Sanjaya kelelahan karena ikut mengurus proses pernikahan kami sehingga kesehatannya menurun. Dengan telaten pak Sanjaya mengurus istrinya dengan penuh kasih sayang. Aku membantu membersihkan tubuhnya dan menggantikan bajunya.
“Istirahatlah Mas, aku sudah mendingan. Malam ini kamu tidur dengan Airin yaa.” Ibu Sanjaya tersenyum manis kepada suaminya seakan tak ada beban baginya di poligami ini. Aku terharu dan seketika berlutut di depan ibu Sanjaya, menopang kepalaku di lututnya dan menangis tersedu.
“Eeeh… kamu kenapa Airin? Kenapa jadi nangis begini?” ibu Sanjaya terlihat sedikit cemas, tanpa riasan wajah ibu Sanjaya terlihat lebih tua dan lelah.
“Terima kasih atas kebaikan Ibu kepada saya, jika tidak terjadi pernikahan ini mungkin saya sudah mati.”
Aku kembali tergugu di atas pakaian tidur halus berwarna putih tulang yang dikenakan ibu Sanjaya.
“Lupakanlah perlahan kejadian buruk di masa lalumu Airin. Sekarang kamu adalah nonya muda tuan Sanjaya. Percayalah, bapak itu laki-laki yang baik, lembut, tak pernah dia menyakiti hatiku dan aku yakin bapak juga akan berlaku hal yang sama untukmu. Jadilah istri yang baik untuk bapak yaa Airin.”
Aku mengangguk, tangannya yang lemah memegang kedua bahuku dan memintaku berdiri.
“Bersikaplah lemah lembut kepada bapak, dengarkan keluh kesahnya jadilah sandaran bapak jika nanti aku sudah pergi lebih dahulu. Tetapi di luar sana jadilah wanita yang tangguh, perkasa dan disegani. Lakukan itu untukku yaa Airin?” masih dengan senyumnya yang teduh ibu Sanjaya menatapku dengan penuh harap. Air mataku sekali lagi jatuh, aku melihat nyata sosok malaikat dalam diri ibu Sanjaya.
Tatapanku berkeliling dalam kamar yang dipersiapkan untukku. Benar-benar kamar pengantin dengan dekorasi bunga yang cantik. Aku terduduk di lantai kamar menyaksikan ini semua, kembali merasakan sakit di balik dadaku. Walaupun kamar ini indah seperti dalam dongeng, bukan tapi ini bukan malam pertama yang kudambakan.
“Tenangkan dirimu Airin, Bapak paham dengan situasimu. Ayo, berdirilah.” Pak Sanjaya membimbingku untuk duduk di tempat tidur yang bertabur kelopak bunga.
“Bapak tidak akan melakukan hal itu meski Bapak sudah resmi jadi suami kamu. Bapak tidak akan menambah beban kamu, jadi lupakan hal itu. Bapak melakukan ini demi memenuhi permintaan ibu juga. Bapak ingin melihat ibu tenang menghadapi penyakitnya.” Pak Sanjaya mengelus kepalaku dengan penuh kasih. Sifat pengayomnya begitu terasa dan seketika membuat hatiku tenang.
“Maafkan sikap saya Pak, saya akan berusaha untuk mengendalikan diri saya.” Dengan sekuat tenaga aku menahan perasaan dan traumaku.
“Kau tahu Airin, baru kali ini Bapak tidur terpisah dengan ibu, meski kami bertengkar hebat kami tetap tidur seranjang tapi saling memunggungi he he he …,” pak Sanjaya tertawa kecil. Lalu beliau mengambil satu bantal.
“Kau tidurlah yang nyenyak, biar Bapak tidur di sofa saja.” Pak Sanjaya kemudian berbaring dan menutup matanya. Perlahan aku merebahkan tubuhku dan berharap esok adalah permulaan yang baik untuk hidup baruku.
Kami berkumpul di meja makan untuk sarapan bersama, bahkan mba Tias asisten pribadi ibu Sanjaya juga turut hadir. Tampaknya ada hal yang penting sehingga pagi-pagi mba Tias datang ke rumah ini.
“Tias, tolong bantu Airin berpakaian yaa, pilihkan dia pakaian yang sesuai, aku ingin mengumumkannya menjadi Assistant General Manager siang ini.”
Aku nyaris tersedak makananku, itu adalah posisi yang jauh di atas sana dibanding posisiku sekarang sebagai bawahan Food And Beverage Manager.
“Maaf Bu, apa ini tidak terlalu cepat?” tanyaku hati-hati.
“Tidak Airin, kamu harus mulai belajar dari sekarang karena jika aku sudah tidak ada nanti maka kamu yang akan menjadi General Manager Sanjaya Hotel.”
“Tapi bukankah Bapak…,” aku menjeda kalimatku, aku melirik ke arah pak Sanjaya yang tengah santai membaca Koran.
“Bapak tetap akan membantumu Airin, tapi bisnis kontruksi Bapak sedang menyedot perhatian Bapak ke sana . kamu gak bakal sendiri, ada mba Tias dan Andy yang akan mendampingi kamu.”
Akhirnya aku menurut saja, perkuliahan pun masih ada beberapa bulan lagi untuk menunggu terbuka.
Aku mendorong kursi roda ibu Sanjaya menuju ruang rapat diikuti mba Tias dan pak Andy. Semua mata tertuju padaku yang menghilang selama dua pekan lalu muncul bersama ibu Sanjaya. Aku memilih blazer dan celana panjang berwarna hitam, entah mengapa sejak kejadian itu aku enggan menggunakan rok lagi. Aku lebih percaya diri dengan celana panjang pipa ini. Mba Tias bahkan memanggil juru rias ibu Sanjaya juga untuk merias diriku dan hasilnya banyak yang tidak percaya kalau yang sedang bersama ibu Sanjaya itu aku.
Dadaku bergemuruh melihat sosok laki-laki itu tengah duduk santai menunggu rapat internal dimulai, Ariel … Ariel Rivaldo. Hanya butuh waktu sebentar saja semua Manager mulai dari controller, Plant, executive house keeper, HRD, Recreation Director, Food and Beverage, Front Office hingga Security Director berkumpul. Ariel sebenarnya tidak punya jabatan di sini namun awal dari usaha perhotelan milik ibu Sanjaya melibatkan adik dari pak Sanjaya dan adik pak Sanjaya menyerahkan saham 25% kepada putra tunggal mereka Ariel. Konon kabarnya Ariel sendiri memiliki bisnis yang lain sejumlah restoran, casino dan tempat hiburan malam.
“Saya ingin mengumumkan kepada kalian, jika saya dalam waktu dekat saya akan mengundurkan diri sebagai General Manager. Sebagai gantinya saya akan menunjuk seseorang yang belum saya umumkan sekarang. Jika sebelumnya di hotel kita ini belum ada Assistant General Manager maka mulai hari ini posisi itu ada dan dipegang oleh Airin Zafira.”
Seketika ruangan terdengar bisik-bisik yang riuh. Segala macam keterkejutan dan dugaan merebak dalam ruangan yang dihadiri para Manager dan Director. Aku bergeming dan memasang wajah datar terlebih saat mata Ariel terbelalak melihat ke arahku tak percaya.
“Posisi Ibu Airin sudah disahkan dalam berkas hukum mengenai jabatan di hotel kita. Jadi mulai hari ini dia akan bertanggung jawab menggantikan saya sementara. Kalian bisa bekerja sama dengan Airin dalam segala keputusan hotel dan Airin yang akan bertanggung jawab langsung kepada saya.”
Ibu Sanjaya terbatuk kecil, aku ingin membantunya namun beliau menolak dan memberi kode pada mba Tias untuk memberinya segelas air. Ibu sanjaya mempersilahkan aku berdiri untuk menyampaikan sesuatu. Aku mengepalkan tangan meredam gugup yang membuatku sedikit gemetar.
“Selamat Siang semuanya, perkenalkan saya Airin Zafira. Mohon bantuan dan kerjasamanya untuk hotel kita ini. Terima kasih,” aku kembali duduk dengan tenang. Ibu Sanjaya memberiku senyumannya.
Para Manager dan Director mulai meninggalkkan ruang rapat dan hanya menyisakan aku, ibu Sanjaya, mba Tias dan … Ariel.
“Bibi Andriana, apa gak salah Bibi mengangkat perempuan ini menjadi asisten general menejer?” Ariel mendekat dan duduk tak jauh dari kursi roda bu Sanjaya. Ibu Sanjaya memberi kode agar mba Tias meninggalkan kami.
“Tidak, keputusanku tidak salah. Toh kamu juga tidak terlibat langsung dalam operasional hotel.”
“Tapi aku pemegang saham juga di hotel ini Bi, andai posisi itu tadinya ada maka aku yang berhak bukan perempuan yang tidak jelas latar belakangnya.” Ariel menatapku sinis. Wajahku memanas, dia mulai menghinaku lagi.
“Ariel, kamu tidak berkompeten sama sekali dalam bisnis hotel ini, kembali saja kamu ke Macau untuk rumah judimu itu! Itu lebih cocok untukmu.”
“Bi, casino dan hiburan malam jauh menguntungkan dibanding hotel Bibi saat ini.”
“Ariel, Bibi masih menyimpan bukti atas kejahatanmu kepada Airin,pergilah sejauh mungkin dari tempat ini. Jika kau masih mencoba mengganggu Airin atau salah seorang pegawai hotelku maka aku tidak akan segan-segan memenjarakanmu! Ibu Sanjaya mulai tersulut emosi.
Ariel tertawa seakan baru saja mendengar hal yang lucu.
“Kejahatan apa Bi jika kami melakukannya dengan suka sama suka, iya kan Sayang?” Ariel ingin menyentuh pipiku tapi aku menepisnya dengan kasar. Rasanya aku ingin menusuknya tepat di jantung sekarang ini.
“Jangan memaksaku untuk menyeretmu ke penjara Ariel, mulai dari sekarang jaga sikap dan perbuatanmu, kau tahu jika aku bisa berbuat apa saja.” Ancam ibu Sanjaya dengan geram.
Wajah Ariel memerah dan berbalik mendekatiku,
“Ooh… apa kau sedang merencanakan sesuatu perempuan jala*g? kau sanggup mempengaruhi Bibi Andriana untuk posisimu ini hah?!”
“Jaga sikapmu Ariel, kau sudah sangat kurang ajar!” hardik seorang pria. Kami spontan melihat ke arah pintu. Pria yang biasa kusebut pak Andy terlihat marah dan siap bertarung dengan Ariel
Ariel tidak melanjutkan lagi intimidasinya dia pun meninggalkan kami namun sebelum berlalu dia mengatakan sesuatu kepada pak Andy.
“Kau hanya anak har*m papa jangan sok dan belagu jadi pahlawan di sini! Tapi terima kasih yaa sudah mengirimkan Airin ke kamarku malam itu rupanya dia masih perawan.” Ariel melemparkan seringainya kepadaku dan pak Andy.
Aku tersentak kaget mengetahui jika Ariel dan pak Andy bersaudara dan kalimat Ariel tentang aku. Akan tetapi yang membuatku lebih terkejut lagi tiba-tiba ibu Sanjaya terkulai lemas tak sadarkan diri.
Aku berjalan beriringan bersama Sandrina, jemari kami saling tertaut dengan erat dan sesekali saling melemparkan tawa kecil ketika Sandrina berceletuk lelucon yang lucu. Jemariku semakin erat bertaut ketika kami sudah ada di ambang pintu kamar perawatan mas Andy. Sejenak kami saling memandang, aku tersenyum padanya dan mengelus kepalanya penuh kasih sayang.“Ayo kita jenguk ayahmu, semoga setelah ada dirimu di sini, Ayah akan sadar dan terbangun untuk kita.”Sandrina mengangguk mendengar ucapanku, lalu aku mendorong pintunya.Di sisi tempat tidur tampak ibuku yang tengah membaca buku, wajahnya mendongak dan berubah menjadi semringah setelah melihat kedatangan kami.“San Sayang …!” serunya dengan suara tertahan, ditutupnya segera buku itu dan bergegas menghampiri cucunya.“Kalian tidak mengabari ibu jika kalian akan datang, kalian tahu jika dokter tidak membolehkan ibu menggunakan ponsel pintar, mereka hanya membolehkan ibu memakai ponsel biasa yang katanya radiasinya lebih aman. Ibu s
Darwis melirikku sesaat dari kaca spion depan, tersirat kecemasan dalam tatapannya kepadaku dan Budi. Lalu aku menoleh pada Budi yang sedang memejamkan matanya, aku merasakan jika anak muda ini tengah meredam semua gejolak dalam hatinya. Perlahan aku meraih tangannya dan melihat buku-buku jemarinya yang memerah dan masih terdapat bercak darah.“Budi, Ariel … dia melompat dari atas balkon, dia mengakhiri nyawanya.” Aku menunggu respon Budi sesaat.“Dia sudah membayar nyawa mamaku dengan lunas ….” gumam Budi yang terdengar pelan di telingaku. Terlihat duka di wajahnya meskipun dari awal berkali-kali dia mengharapkan bisa melenyapkan Ariel dengan tangannya sendiri.“Apa kau baik-baik saja?” tanyaku lagi untuk memastikan, aku tak pernah melihat ekspresi Budi yang sekacau itu.“Aku baik-baik saja, Nyonya. Kurasa kita harus mengkhawatirkan Nona Sandrina.”Aku menghela napas, masih terngiang di telingaku saat Ariel meneriakkan ibu macam apa aku ini, yaah aku mungkin ibu terburuk di dunia. Ak
“Dari awal aku memang telah meragukanmu! Dan memang kau ingin mengacaukan semuanya di saat seperti ini, begitu besarnya dendammu padaku, Airin, hingga kau menghalangiku bersama gadis yang aku cintai!” Cengkraman tangan Ariel semakin kuat dan membuatku semakin tidak bisa bernapas. Dengan sisa-sisa kekuatan yang aku punya, jemariku berusaha menjangkau vas bunga di dekatku dan…Praaak…!Bunyi hantaman vas bunga di kepala Ariel terdengar seiring dengan erangan rasa sakit di kepalanya.“Hanya binatang yang sanggup mengawini keturunannya sendiri dan aku tidak akan membiarkan dirimu menikahi putri kandungmu, Ariel!” bentakku yang hampir menjerit. Aku bergegas mengambil berkas hasil tes DNA Sandrina dan Budi dan melemparkan ke arah wajahnya.“Vasektomi yang kau lakukan itu gagal, kau bukan hanya telah menghamili aku tapi juga seorang perempuan bernama Marcella!”Ariel memegangi kepalanya yang mengucurkan darah, wajah Ariel semakin pucat ketika aku menyebut nama Marcella. Jemarinya gemetar me
Aku meminta Darwis untuk menjemputku di salon, penampilanku hari ini tampil dengan sempurna untuk menghadiri pesta paling kunantikan selama ini. Kejatuhan Ariel! Betapa aku menunggu wajah pucat laki-laki itu ketika dia mengetahui jika bukan hanya Sandrina yang diingkarinya tetapi juga ada seorang anak laki-laki yang sedang menabur dendam padanya.“Anda sudah siap, Nyonya?” tanya Darwis memastikan kondisiku. Jemariku gemetar dan jelas terlihat oleh Darwis. Sesaat dia meraih jemariku dan menggenggamnya erat, mata elangnya menatap ke arahku. Baru kali ini Darwis melakukan kontak fisik denganku yang membuatku sedikit terkejut.“Tarik napas Anda dan bersikaplah lebih rileks, Anda akan baik-baik saja dan aman bersama kami, Nyonya.” Laki-laki itu berusaha menenangkanku dan seakan sedang mentransfer tenaganya aku merasakan kecemasanku berkurang. Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Kemudian Darwis mempersilakan aku untuk naik dengan mobil mempelai perempuan menuju hotel di mana Arie
Aku kembali memastikan jika semua sudah siap, bukan… bukan pesta pernikahan ini, tetapi sesuatu yang lebih “meriah” dari pesta yang luar biasa ini. Malam kemarin aku sudah bertemu dengan Budi dan menanyakan kebenarannya secara langsung. Pemuda yang terlihat kuat, garang dan dingin itu menangis bersimpuh mengingat penderitaan ibunya yang diusir dari rumah orang tuanya karena hamil di luar nikah. Masih sedikit beruntung karena ibunya ditampung oleh pemilik panti sehingga perempuan itu bisa melahirkan dan sempat merawat Budi kecil hingga beberapa tahun.“Waktu itu umurku tujuh tahun, penyakit mama semakin parah, sehingga mama memutuskan untuk membawaku kepada laki-laki itu, menerimaku sebagai putranya. Tapi dia menyangkalnya dan mengatakan jika ibuku adalah seorang jal*ng.” Budi menghela napas, matanya mulai basah, kenangan itu begitu buruk dalam hatinya.“Setelah dia menghina mamaku habis-habisan dengan pongahnya dia mendorong kami ke tepi jalan. Ketika itu malam hujan deras dan mama se
Persiapan pernikahan Sandrina sudah nyaris rampung, aku datang untuk melihatnya meski hanya dari atas balkon hotel ini. Para kru WO hotel bekerja dengan keras dan penuh semangat untuk mewujudkan pernikahan “impian” ini. Walaupun, aku tahu akan berakhir seperti apa nanti pesta yang disebut-sebut sebagai wedding of the year. Aku juga tahu saat ini Rico dan pak Rudy sedang berusaha keras meredam para wartawan yang sudah mencium berita besar ini.Aku sendiri pun merinding jika membayangkan rencana yang akan kulakukan nanti. Semua perhatian sedang tertuju pada pernikahan akbar ini dan aku ibu dari calon mempelai wanita yang akan merusaknya.“Maaf, Bu, ada telepon dari pak Rico, Ibu diminta ke kantor pusat sekarang karena ada meeting penting.” Suara dari Vera sekretaris Sandrina memecah lamunanku.“Ouh … baiklah, tolong siapkan mobilnya,” pintaku pada gadis muda itu. Aku kembali menyapu seluruh ruangan melihat dekorasi yang indah dengan dominasi warna putih dan putih tulang. Indah … indah