Share

Terasa Berbeda

Penulis: Nadaaulia
last update Terakhir Diperbarui: 2022-02-03 22:49:40

BAB 2

Tak perlu menunggu lama, pak Parman pun sampai. Herman segera menaiki mobilnya dan langsung melaju cepat. Dalam hatinya, pak Parman merasa bingung sendiri dengan sikap Herman yang tega menduakan Amira yang lugu dan baik.

"Bukankah tadi dia bilang mau menginap? kenapa sekarang minta dijemput? sangat membingungkan!" gerutunya dalam hati. Tak selang lama, mobilnya sampai didepan rumah Herman. Herman segera mencari keberadaan istrinya. Terlihat Amira sudah tertidur dengan tubuh ditutupi selimut. Terbersit perasaan bersalah dalam hatinya, saat menyaksikan pemandangan didepannya. Amira terlihat sembab dan wajahnya pucat pasi. Matanya terlihat seperti orang yang sudah menangis.

Herman tidur disebelah Amira dan memeluk dari belakang tubuh istrinya itu. Sebenarnya, Amira mengetahui kedatangan Herman. Ia sengaja berpura-pura tidur, untuk menghindari pertanyaan yang akan ia dapatkan, kalau Herman melihatnya sudah menangis.

   "Selamat pagi sayang!!" Herman memberikan kecupan hangat dipucuk kepala Amira. Dia bangun terlebih dahulu sebelum Amira. Ia sengaja memasak nasu goreng kesukaan Amira. Herman masih merasa bersalah atas kejadian semalam.

"Kau bangun lebih dulu mas? Kenapa tidak membangunkanku?" tanya Amira sambil mengedipkan matanya yang baru terbangun.

Seketika, matanya terbelalak melihat sepring nasi goreng yang masih mengeluarkan asap. Aromanya sangat menggugah selera makannya. Amira langsung terbangun dan meraih sendok yang ada di piring.

   "Ini enak sekali," Amira berdecak sambil terus melahap nasi goreng buatan Herman. Pujian yang keluar dari mulutnya, benar-benar membuat Herman malu.

"Apa kau tahu siapa yang memasak ini?" tanya Herman sambil tersenyum tipis, menahan malu. Amira sedikit berpikir dengan mengerutkan keningnya.

 "Bik Inah?!" jawabnya asal. 

"Hmmmm...itu buatanku sayang, spesial untuk istriku tercinta!" balas Herman sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Amira. 

"Waah sejak kapan suamiku pintar memasak?" ejek Amira sambil menatap lekat mata suaminya.

"Sejak semalam, saat aku pulang, kulihat kau sudah tertidur. Darisana lah aku berpikir bagaimana caranya agar kau tak marah lagi padaku," ucap Herman lembut.

Seketika Amira terdiam. Ada sedikit rasa bersalah dihatinya, karena semalam dia tidak menyambut kepulangan suaminya itu. 

"Bergegaslah mandi! Bersiaplah! bukankah pagi ini jadwalmu memeriksakan kandungan?" tanya Herman.

"Oh ya, hampir lupa," jawab Amira sambil berusaha berdiri. 

"Jangan terburu-buru sayang, santai saja. Hari ini aku tidak akan ke kantor. Aku akan menemanimu!" sergah Herman memegang lembut tangan Amira. Senyum hangat terpancar dari wajah Amira, dan seketika memeluk tubuh suaminya.

"Iya sayang, aku tak terburu-buru kok, aku hanya ingin bersiap segera. Lagipula, aku kan sudah menikmati masakanmu yang enak ini, jadi...tenagaku sudah pulih kembali!" Puji Amira kembali, sambil mencolek sedikit hidung mancung Herman.

Sungguh sikap lembut seperti inilah yang membuat Herman betah bersama Amira, walaupun ada kekurangan Amira yang membuatnya tak nyaman.

    

    Amira langsung pergi kekamar mandi. Sedangkan Herman pergi keluar kamar. Ia akan menunggu Amira dibawah. Selang berapa menit, Amira turun dari tangga dengan pakaiannya yang rapi. Seperti biasa, make up natural yang menjadi ciri khasnya menghiasi wajah cantiknya.

Herman seketika merasa tersihir dengan kecantikan istrinya. Dia baru sadar, kalau istrinya memang sudah cantik walau tanpa make up tebal diwajahnya.

    "Hai sayang..,ayolah..mengapa malah bengong?" pertanyaan Amira membuyarkan lamunan Herman.

 "Oh maaf sayang, pagi ini kau sudah membuatku tersihir dengan kecantikanmu!" gombal Herman yang langsung mendapat cubitan manja dipipinya.

Mereka pun segera menaiki mobil Herman yang langsung melesat.

      Selang satu jam, mereka sampai di Klinik Dr wisma. Dr kandungan langganan Amira. Saat memasuki ruangan, nampak sudah ada beberapa orang yang mengantri di kursi antrian.

"Tunggulah disini, aku akan registrasi dulu," perintah Herman, sembari memberikan sebuah kursi untuk istrinya. 

Amira duduk dikursi tunggu berdampingan dengan beberapa ibu-ibu hamil lainnya. Sambil menunggu Herman, Amira mengajak ibu hamil disampingnya berbincang. Membicarakan perihal kehamilan mereka.

*********

   Terlihat pagi ini Adinda sangat pucat. Dia merasa tubuhnya sangat lemas. Pagi ini, dia sudah bolak - balik kamar mandi lebih dari 4x.

"Ya Tuhan...ada apa denganku? Kenapa aku merasa sangat lemas sekali," gumam Adinda dalam hatinya sambil memeluk guling yang sedikit ditekankan ke bagian dadanya. Setidaknya itu bisa mengurangi rasa mualnya.

Tiba-tiba dia teringat sesuatu.

"Sebentar!"

dia mencoba mengingat kalau saat ini sudah tepat satu bulan dia tidak dapat tamu bulanan.

"Oh sial!! jangan-jangan.....," dia mulai menebak sesuatu yang membuat hati dan pikirannya kacau.

   Segera ia bangkit dari tidurnya dan menghampiri laci dimeja riasnya. Dilihatnya kalender kecil yang berdiri tegak didepannya. Seketika tangannya bergetar melihat deretan angka didalam kalender. Perlahan ia mulai menghitung, dan matanya seketika melebar, saat ia mulai mengingat dengan jelas. 

Benar saja,  terakhir kali dia haid adalah satu bulan yang lalu, Dimana Herman akan berangkat keluar kota. Sebelum Herman berangkat, dia tak lupa meminta jatah tubuh Adinda karena mereka tidak akan bertemu dalam waktu yang lama.

"Ooh tidak! Jangan sampai apa yang aku takutkan ini terjadi! Aku harus segera mencari tahu kebenaran ini!" tegas Adinda pada dirinya sendiri. 

Adinda segera berganti pakaian, dia bahkan tidak menyempatkan diri untuk mandi. Hanya mencuci muka dan menggosok gigi sudah cukup baginya. Ada hal yang sangat penting yang harus segera dia ketahui.

   Diraihnya kunci mobil diatas nakasnya, dan dengan kecepatan tinggi ia menjalankan mobilnya. Beruntung lagi ini tidak macet, sehingga ia bisa sampai dengan cepat disebuah Klinik kandungan.

 Adinda berjalan tergesa-gesa menuju ruang registrasi. Saat memasuki ruang itu, matanya seakan dibuat tak percaya dengan apa yang barusaja ia lihat. Seketika ia menghentikan langkahnya yang semula tergesa. Dia melihat sosok Herman juga sedang berada disana. Perlahan, ia kembali berjalan dengan pelan. Didalam hatinya berkecamuk. Timbul keraguan yang membuatnya berhenti kembali.

"Astaga!! sialnya aku hari ini, bagaimana bisa mas Herman ada disini?!" pikirnya dalam hati.

   

   Adinda berhenti sejenak untuk menenangkan dirinya. Dia tak ingin Herman melihatnya. Dia takut Herman pasti akan bertanya banyak hal jika melihatnya berada ditempat ini. Namun nasib tak berpihak baik padanya, justru Herman melihat keberadaannya. Tanpa disangka, Herman langsung menghampirinya dan menarik tangannya mengajaknya pada lorong sepi.

"Sedang apa kau disini?" Tanya Herman dengan rasa penasaran. 

Adinda hanya terdiam tak mampu menjawab.

"Jawablah, kenapa malah diam? ada apa?" tanya Herman lagi.

Kali ini Herman bertanya dengan tegas. Rasa penasaran dihatinya mulai membuatnya tak lagi bisa berdamai.

Adinda yang merasa terpojokkan, langsung menjawab dengan gemetar.

"Entahlah, aku juga tidak tahu kenapa aku ada disini. Yang jelas, sekarang ini aku sudah telat satu bulan dan aku akan memeriksakannya," Jawab Adinda dengan terbata. 

Jederrrr.....

Jantung Herman serasa disambar petir. Mendengar jawaban yang keluar dari mulut Adinda, sungguh membuatnya tak karuan.

"Apa maksudmu Adinda?" tatapan Herman langsung berubah tajam.

Adinda yang semula menundukkan pandangannya, seketika terpancing emosi dengan sikap Herman. Dia kembali menatap Herman 

"Kenapa?Apa kau takut? Bersikaplah menjadi seorang laki-laki sejati, Tuan Herman yang terhormat!" jawaban Adinda yang singkat, namun memberikan kesan menyindir pada Herman.

Adinda pergi begitu saja meninggalkan Herman yang berdiri mematung.

   "Bagaimana bisa dia teledor seperti itu?"Seribu oertanyaan bersemayam didalam otaknya kali ini. Ketakutan yang luar biasa, kini mulai memenuhi pikirannya.

"Bisa kacau kalau sampai dia memang hamil!"  gerutunya dalam hati, sambil pergi melangkahkan kakinya menuju Amira diruang tunggu.

Sepanjang ia berjalan, hatinya terasa terbakar. Panas sehingga membuat otaknya mendidih dan tak bisa berpikir jernih.

"Aku harus tahu apa hasil pemeriksaan Adinda," gumamnya dalam hati.

Tapi terlebih dulu dia akan menemui Amira untuk memberikan nomor antrian.

 "Sayang... kenapa lama sekali?Apa di ruang registrasi antri juga?" tanya Amira heran, saat Herman datang. Herman hanya mengangguk tanpa menjawab. Pikirannya benar-benar kacau.

 "Sayang,.. maafkan aku. Aku tak bisa menemanimu sampai selesai. Ada urusan mendadak yang harus segera aku selesaikan. Tak apa jika aku tinggal kau sendiri? Dan ini, nomor antrianmu!" tanya Herman dengan berat hati, sambil memegang lembut tangan Amira yang tersimpan dilututnya.

    Wajah Amira yang semula terlihat bahagia, kini berubah 180°. Wajahnya merah padam, memendam rasa kecewa, marah yang tak bisa dibendung lagi.

"Alasan apalagi yang kau buat mas? Kau barusaja menemaniku beberapa menit, dsn sekarang mau meninggalkanku begitu saja disini?!' Tanya Amira pelan.

"Please sayang mengertilah! Ini soal penting sayang, aku harus segera pergi!"

Jawab Herman dengan berat hati. Ia melepaskan genggaman tangan Amira. Kakinya kini mulai melanglah membawanya.

Tak terasa, airmatanya mengalir diujung matanya. Herman tak menghiraukan pertanyaan Amira. Yang ada dipikirannya saat ini adalahh, dia harus tahu apa hasil pemeriksaan Adinda.

"Bersikaplah dewasa seperti Amira yang ku kenal! Jangan bersikap. Ini nomor antrianmu dan aku akan segera pergi. Panggil saja pak Parman jika kau sudah selesai, nanti  dia yang akan menjemputmu!"" Jawab Herman sambil pergi meninggalkan Amira yang menahan tangisnya.

    "Ada apa denganmu mas, barusaja tadi pagi kau berbuat manis padaku, tetapi sekarang kau membuatku hancur!!" .batin Amira sambil mengusap airmatanya. Hatinya terasa seperti dijatuhkan dari langit ketujuh,.hancur tak bersisa.

"Tenang sayang,mama akan selalu ada untukmu. Mama yang akan selalu menjagamu," ucap Amira lirih sambil mengusap-usap perutnya yang masih rata.

Tak terasa airmatanya menetes membasahi tangannya. 

"Kau kenapa?" tiba-tiba seorang wanita hamil disampingnya bertanya dengan khawatir.

 "Ibu hamil tidak boleh stress, ceritalah padaku kalau ada masalah, siapa tahu kita bisa menjadi teman akrab," imbuhnya lagi sambil mengusap pundak Amira.

    "Terimakasih karena sudah baik padaku,walaupun kita baru kenal disini,"  Amira menjawab dengan lesu. Walaupun sebenarnya dia kecewa, tapi setidaknya dia sekarang merasa sedikit terobati karena wanita baik disampingnya. 

" Ini kartu namaku, ambillah!" wanita hamil itu menyodorkan kartu nama yang bertuliskan Marta.

"Namaku Marta,simpanlah nomor handphone ku. Kita bisa saling bercerita saat kau membutuhkan teman," imbuhnya lagi. 

    Amira mengambil kartu nama itu dan memasukkannya ke tas nya.

"Aku akan menghubungimu saat nanti aku sampai," jawab Amira. 

"Nyonya Amira silahkan masuk!!" panggil seorang petugas klinik.

"Aku Amira,,," jawab Amira yang bergegas menemui panggilan perawat.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
jadi istri jgn lah tolol2 banget. percuma cantik jelita dan baik hati klu feeling sebagai istri tumpul. si hernan binatang itu apa g bisa menunggu istri tololnya selesai diperiksa. penting betul si pelacur itu baginya
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Yee maunya ngegoyang ce lain klo ndak pake kontrasepsi yah wajar lha hamil makanya jgn maruk jd co
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Karma(penyesalan)   Akhir Kisah Amira dan Herman

    Kau sudah siap sayang?" Herman bertanya pada Amira yang masih sibuk menyiapkan segalanya."Sebentar lagi mas, memang mas sudah siap?" "Sudah sayang, tinggal menunggu kamu selesai, baru kita berangkat," "Baiklah, tunggu lah sebentar," jawab Amira sambil mdmbereskan barang miliknya. Herman melihat jam di tangannya. Susah hampir setengah jam Amira belum juga selesai. Ia mulai gusar, dan kembali melihat Amira. "Sayang, ayolah! jangan lama-lama, masih banyak hal yang harus kita kerjakan disana!" ajaknya dengan nada sedikit kesal. Amira yang faham dengan keadaan Herman yang mulai tak sabar, akhirnya mengakhiri kegiatannya. Dengan segera, ia menyimpan pekerjannya itu. "Aku sudah siap mas, ayo kita berangkat!" ajak Amira, sambil berdiri, dan mendekati Herman. Kemudian mereka melenggangkan kaki, melangkah keluar kamar. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah itu, Amira mengitari seluruh ruangan dirumah itu. Rumah yang penuh dengan kenangan, pahit manis, semua sudah ia alami disini.

  • Karma(penyesalan)   Nyatakah Ini?

    Herman masih terpaku didepan makam istrinya. Ia tak sedikitpun ingin pergi meninggalkannya. Tangannya yang masih memeluk nisan bertuliskan Adinda, masih setia berada disana. Sesekali, ia mengusap airnatanya dibalik kacamata hitamnya. Andai ia tak malu, mungkin saat ini ia sudah menangis sambil berguling guling ditanah. Berteriak kalau dirinya tak ingin ditinggalkan. Semua bayangan tentang Adinda semasa hidupnya, terekam jelas dalam pikiran Herman. Ia belum mampu mengusir Adinda dari bayangannya. Kuburannya saja masih basah, maka wajar jika semua kenangan yang ada, masih belum bisa ia lupakan. "Mas, ayolah... kita tak boleh terlalu lama bersedih. Ini sudah hampir sore, kita sebaiknya pulang terlebih dulu. Kalau kau masih ingin menemaninya, besok kau bisa kembali lagi kemari!" ajak Amira, yang mulai pegal karena menunggu Herman yang masih saja diam disamping makam Adinda. Ia menatap ke arah Amira. Dilengkungkannya bibirnya itu. Ia pun bangkit dari jongkoknya, dan kini berdiri

  • Karma(penyesalan)   Berkabung

    "Mas, ayolah angkat mas... ini penting mas!!" Amira terus menggerutu kesal. Herman yang tak mengangkat teleponnya, membuat Amira merasa geram. Setelah beberapa kali ia mencoba menghubungi Herman, akhirnya ia berinisiatif untuk menghubungi Andi. Ia yang tak sabar menunggu Herman, akhirnya berhasil menelepon Andi. "Dimana mas Herman? apa dia tak memegang ponsel?" tanya Amira kasar. Pasalnya, ia sudah kehabisan stok sabarnya. Sudah berkali kali ia menghubunginya, namun Herman tak kunjung mengangkatnya. "Dia masih meeting nyonya. Kami kedatangan klien penting. Jadi maaf, sepertinya dia belum bisa menjawab telepon anda,""Katakan padanya, kalau ada hal penting yang tak bisa ditinggalkan!!dia harus segera pulang!!""Masalah apa?"Amira sedikit ragu memberitahukannya. "Aah emm.. Adinda, Adinda meninggal barusan!!" ucap Amira dengan terbata. Andi sunyi tak menjawab. Mungkin disana, dia pun merasa tak percaya dengan kabar ini."Baiklah, nanti aku sampaikan pada tuan," ucapnya santai. Ya

  • Karma(penyesalan)   Selamat Jalan Adinda

    "Mas, aku melihat jari Adinda bergerak, ayolah ikut denganku!!" seru Amira yang hampir tak percaya dengan apa yang ia lihat. Adinda menggerakkan jarinya, sebagai bentuk respon jika ada yang mengajaknya berbicara. "Mungkin matamu sudah lelah sayang, Adinda itu koma, ia tak bisa menggerakkan anggota tubuhnya," jawab Herman yang tak menghiraukan perkataan Amira. "Tidak mas, aku melihatnya, ayolah sebentar, aku takut kalau dia ingin berbicara sesuatu," Amira yang ngeyel ingin agar Herman ikut dengannya, dan melihat kalau Adinda benar benar bisa bergerak. Herman pun sejenak meninggalkan makannya. Ia bergegas menuju kamar Adinda. Ia ingin tahu, apakah benar Adinda bisa menggerkaan jarinya, seperti yang dikatakan Amira. Namun, tak ada pergerakan sama sekali. Ia masih sama seperti tadi, seperti patung yang diam tak berkutik. "Lihatlah! mana? kau lihat sendiri kan sayang, dia diam saja?" Herman memegang wajah Amira. Ia meyakinkan pada Amira, kalau apa yang Amira lihat adalah sebuah khay

  • Karma(penyesalan)   Menyesal

    Setelah berpesan pada Amira dan Herman, Dokter itupun berlalu. Amira memasuki ruangan dimana Adinda terbujur kaku. Ia menatap setiap jengkal wajah Adinda. Sungguh tak disangkanya, nasib Adinda bisa se tragis ini. Dulu, dia adalah wanita yang sangat cantik. Tubuhnya bisa dibilang sangat proporsional. Maka pantas saja, dengan mudah laki laki bisa tertarik hanya dengan melihat fisiknya saja. Seperti yang Herman alami, ia tertipu dengan tampilan Adinda yang menawan. Namin siapa sangka, ternyata ia tertipu oleh penampilan menawan Adinda. Seperti pepatah, segala yang kita punya didunia ini hanyalah titipan. Sewaktu waktu, akan diambil oleh sang pemilik. Seperti yang terlihat didepannya. Amira menoleh ke arah Herman. Suaminya terlihat wajahnya menggambarkan betapa suasana hatinya sedang buruk. "Mas, kau sudah makan siang?" "Belum, aku belum ingin makan sayang," Herman nampak lesu. Tak biasanya ia seperti itu. Mungkin karena melihat kondisi Adinda, setidaknya Herman merasa sedih. Ka

  • Karma(penyesalan)   Adinda Koma

    Pagi ini terasa sangat damai bagi Adinda. Amira yang dengan senang hati mengantarkannya berkeliling taman, menghirup udara segar, dan melihat indahnya pemandangan, yang menampakkan bermacam macam bunga. Membuat ia menjadi sedikit membaik. Memang suasana hati sangatlah berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Seperti yang Adinda alami saat ini, ia kembali bersemngat menjalani kehidupannya, dan semua itu berkat Herman dan Amira. Ia bersyukur bisa hadir ditengah tengah keluarga mereka. Mereka yang masih memperlakukannya dengan baik, walaupun Adinda sudah melakukan kejahatan terhadap Amira. Namun Amira, yang mempunyai hati seperti malaikat, ia selalu memaafkannya. Tak masalah baginya masa lalu Adinda. Yang terpenting baginya, Adinda saat ini bisa sehat kembali. "Amira, kenapa kau masih begitu baik padaku? sedangkan aku sudah sangat jahat padamu?" Adinda menuliskan pertanyaan itu di selembar kertas yang ia bawa. Karena dengan menulis lah, ia bisa berkomunikasi dengan orang lain.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status