Dara Viora adalah seorang ahli waris tunggal dari keluarga yang cukup terpandang. Ayahnya adalah seorang Direktur utama diperusahaan Jaksara Company. Ibunya adalah seorang Desainer interior terkenal.
Didalam satu keluarga itu tidak ada sedikitpun yang menganggur, buktinya Dara diberikan pekerjaan baru setelah satu hari dia lulus kuliah. Ya, bisa dibilang keluarga itu adalah keluarga yang gila uang. Sebenarnya Dara ingin sekali menolak itu semua, tapi apalah daya Ayahnya memberikan jabatan untuk anaknya tidak main-main. Dara diberikan tugas sebagai CFO (Chief Finansial Officer) dan suatu saat nanti ayahnya akan memberikan seluruh wewenangnya untuk Dara menjadi seorang Direktur utama. Sepertinya bukan suatu saat nanti, melainkan hari ini... Buktinya saat Dara baru saja menginjakkan kakinya dirumah. Ia disambut banyak orang yang mungkin menunggunya sedaritadi. Pak Jaksara hanya mengulaskan senyumnya tanpa langsung menjelaskan kepada putrinya maksud dari keramaian orang-orang didalam rumah. "Ada apa ini?" Tanya Dara sudah sangat penasaran. "Duduk dulu sayang, kita bicarakan baik-baik ya," tutur Bu Jessy seraya menuntun anaknya untuk duduk di sofa. Tidak ada yang dilakukan Dara selain menurut. Dia duduk dihadapan orang-orang yang memandangnya. Ada dua orang paruh baya dan satu pria tinggi dengan wajah yang lumayan tampan, tapi cara berpakaiannya terlihat kuno dan culun. "Seperti yang pernah Ayah katakan, Ayah akan mengangkat jabatan kamu menjadi seorang Direktur asalkan kinerja kamu baik. Dan ya, Ayah mengakui jika kamu sudah cocok merebut itu semua dari ayah." Dara mengernyit. "Terus, apa hubungannya dengan semua ini?" Mata Dara melihat kearah sekitarnya dengan bingung. Pak Jaksara mengulaskan senyumnya. "Kamu akan kuasai semuanya milik ayah, asalkan kamu mau menikah dan memberikan cucu untuk ayah." Dara seketika tercengang dengan perkataan sang ayah. "Jadi kalian mencoba menjodohkan Dara?" "Bukan seperti itu, tenang dulu," tutur Pak Jaksara karena ia melihat putrinya yang sudah emosi. "Kenalin, Dia Yugo, dia adalah anak dari seorang CEO perusahaan batu bara. Yugo sama seperti kamu, dia hanya seorang CFO pendamping ayahnya. Kenapa ayah ingin kamu dekat sama dia? Karena ayah tahu jika Yugo adalah laki-laki yang cocok untuk kamu. Kalian berdua sama-sama penerus kita, mungkin suatu saat nanti keturunan kalian juga bisa melanjutkan kehidupan yang lebih baik." Dara memutarkan bola matanya malas, ia beranjak bangkit begitu saja. "Ayah seperti ini karena ingin kaya tujuh turunan kan? Maaf, Dara gak bisa menikah secepatnya. Dara masih harus bersenang-senang dengan dunia Dara." "Dara–" "Dara pasti akan menikah, tapi bukan sekarang. Dan Dara juga akan menikahi laki-laki pilihan Dara bukan pilihan Ayah!" Tekan Dara langsung bergegas pergi. "Dara!" Seru Pak Jaksara memanggil anaknya. Dara malah masuk kedalam kamarnya dengan menutup kasar pintu yang menjulang tinggi itu. Dirinya merasa letih sehabis pulang bekerja, tapi entah kenapa ayahnya membuatnya merasa sangat kesal. Satu kata yang berputar diotak Dara saat ini....Menikah? Sungguh, itu adalah tindakan yang menyulitkan hidup semua orang. Mereka harus merelakan masa depannya untuk mengurus suami dan juga anaknya. Dara sama sekali belum memikirkan itu semua. "Arghhh! Kenapa hidup kaya menyulitkan! Bukankah semua orang berkata jika banyak uang hidup akan sejahtera? Kenapa aku tidak!" Dara melempar bantal gulingnya kesembarang tempat untuk meluapkan emosinya saat ini. Dia menghela nafasnya kasar begitu sangat frustasi. Hingga dimana tatapannya tertuju kearah bingkai foto yang terpajang diatas nakasnya, Dara meraihnya. "Andai aku gak mengambil jalan seperti ini, mungkin aku bisa berbahagia seperti kalian. Pasti kalian bisa berkeliling dunia, pasti kalian bisa menemukan makanan enak di penjuru dunia, dan pasti pengalaman kalian lebih luas." Dara menitikkan air matanya setelah melihat bingkai foto yang terdapat foto teman-temannya saat kuliah. Mereka berempat tertawa bahagia seraya berangkulan tanpa beban. Mungkin hanya Dara saja yang sibuk dengan pekerjaannya, tidak tahu teman-temannya. Brakk! Suara pintu kamar Dara terbuka begitu saja menampilkan Pak Jaksara dan Bu Jessy masuk kedalam kamarnya. Dara reflek meletakkan bingkai foto itu diatas kasurnya. "Kenapa kamu menolak itu semua? Kenapa kamu buat ayah malu dengan keluarga Yugo!" Tegas Pak Jaksara. "Dara gak mau! Dara gak suka dijodohin!" Tegas Dara berani membalas bentakan ayahnya. "Kalo kamu gak suka, kamu gak usah mendapatkan apapun dari ayah!" Dara beranjak bangkit, ia berdiri dihadapan ayahnya dengan tatapan tajam. "Emang ayah pikir Dara mau seperti ini? Dari kecil hidup Dara dituntun untuk menjadi sempurna." Bu Jessy merasa khawatir atas perkataan anaknya, ia takut jika suaminya akan marah besar jika Dara berani melawannya. "Dara, udah ya," Bu Jessy meraih tangan anaknya tapi dengan kasar Dara menghempaskannya. "Dara gak pernah mendapatkan space untuk kebahagiaan Dara sendiri. Hidup Dara selalu ayah yang ngatur. Oke, jika ayah ingin Dara menjadi orang yang sukses dengan cara ayah. Tapi tolong jangan atur kebahagiaan Dara dimasa depan!" Pak Jaksara mengepalkan tangannya kuat melihat anaknya yang berkata sangat membantah. "Menikah itu satu kali seumur hidup. Dara ingin mendapatkan pendamping yang menyayangi Dara setiap detik, setiap menit, tanpa paksaan apapun." "Mungkin Yugo bisa melakukan itu semua untuk Dara. Tapi Dara gak bisa yah, Dara sama sekali tidak mencintai Yugo, bahkan untuk mengenalnya saja Dara tidak berniat. Ayah lihat sendiri kan, bagaimana penampilan Yugo? Dia kaya, tapi dia kampungan dan culun!" Plakk! Dengan kasar Pak Jaksara menampar pipi Dara hingga meninggalkan bekas kemerahan. Bu Jessy tentu saja terkejut dengan perlakuan suaminya, tidak ada yang bisa ia lakukan lagi selain menarik tangan Dara agar menjauh dari sang ayah. "Yang ayah lihat cuma harta, ayah ingin kita semua terlihat sempurna tapi Ayah gak pernah ngertiin Dara. Dara cukup tersiksa dengan semua ini! DARA BENCI MENJADI ORANG KAYA!" Pak Jaksara menatap tajam anaknya yang sedang dipegangi istrinya untuk tidak melawan tapi tetap saja Dara melawan ayahnya. "Oke, jika itu kemauan kamu, Dara. Kalo kamu tidak mau hidup seperti ini, angkat kaki dari rumah ayah dan hidup bebas diluaran sana tanpa membawa nama Jaksara sedikitpun. Rasakan hidup yang sulit disana! Ayah dan Bunda tidak akan sudi membantu kamu!" Bu Jessy menggelengkan kepalanya langsung memegangi tangan suaminya. "Gak yah, jangan usir Dara. Dia anak kita satu-satunya, Bunda gak mau kehilangan Dara." "Dia yang menginginkan sendiri untuk hidup miskin, bun. Ayah tidak perduli." Bu Jessy menghampiri Dara. "Sayang? Jangan begini ya nak, Bunda gak mau kehilangan Dara. Turutin mau ayah, ini demi masa depan kamu juga, nak." "Dara gak mau menikah sama Yugo, Bunda." "Ayah? Tolong kasih Dara kesempatan untuk menemukan calon pendampingnya. Tolong jangan memaksa Dara dengan harta lain, hidup kita sudah cukup. Hargai mental anak kita yah?" Mohon Bu Jessy kepada suaminya itu. Pak Jaksara menghela nafas panjang, ia terlihat bingung untuk mengatur seperti apalagi agar anaknya hidup dengan baik. "Oke, satu minggu. Cari laki-laki sesuai kriteria kamu, ajak dia menikah dan berikan cucu untuk ayah!" Tekan Pak Jaksara menunjuk kearah Dara. "Satu minggu?" Dara begitu terkejut dengan perkataan. Pak Jaksara tidak menggubris perkataan Dara, dia bergegas pergi seakan-akan itu kesepakatan yang disetujui oleh Dara. "Ayah!" Teriak Dara merasa tidak terima. Bu Jessy mengusap lengan anaknya berniat membuatnya tenang. "Udah, turutin aja apa yang ayah perintahkan. Dia sudah membebaskan kamu untuk mencari laki-laki sesuai kriteria kamu, Dara. Ayah sudah tidak memaksa kamu untuk menikah dengan Yugo." "Tapi satu minggu bunda.... Mencari laki-laki bukan seperti mencari makanan, ini sangat sulit!" Dara begitu frustasi dengan menjatuhkan tubuhnya diatas kasur. "Tidak usah pusing, sayang. Kamu ini kan cantik, bunda yakin kamu akan mudah mendapatkan laki-laki tampan sesuai kriteria kamu," tutur Bu Jessy setidaknya mampu membuat Dara tenang. "Arghhhh! Apa asiknya menikah sih!"Dara berjalan tertatih menuju ruang ICU, ia berharap Artha berada disana. Saat dirinya hendak masuk kedalam, tiba-tiba seorang dokter keluar bersama beberapa perawat mendorong brankar sorong yang terdapat seseorang tertutupi kain putih."Stop!" Teriak Dara memberhentikan perawat itu yang membawa seorang tertutup kain putih tersebut.Dara melangkah mendekat meskipun rasanya terasa berat. Nafasnya memburu cepat, air matanya sudah berdesakan keluar, serta perasaan berkecamuk terus ia rasakan.Saat Dara berdiri tepat disamping pasien yang tertutup kain putih itu, ia terdiam cukup lama sebelum akhirnya perlahan membuka kain tersebut. Tak ada larangan dari dokter, mungkin Dara juga ingin melihatnya."Artha–" Mata Dara melotot saat orang yang ia lihat ternyata bukan Artha melainkan pasien lain dengan wajah penuh luka."Maaf Bu, apakah pasien ini keluarga ibu? Dia mengalami kecelakaan tunggal dan tidak ada pihak keluarga yang bisa kami hubungi," Tanya Dokter tersebut kepada Dara.Dara kembal
Dara saat ini mencoba bersabar dan memperluas dirinya untuk berdoa kepada sang kuasa. Cuma itu yang bisa Dara lakukan untuk menolong Artha karena dia sudah tidak tahu harus berbuat apalagi.Setiap kali Dara bersujud pasti wajah Artha yang selalu terbayang dipikirkannya, ia cuma ingin laki-laki itu sembuh dan menjadi imam yang sesungguhnya untuk Dara.Setelah melakukan kegiatan rutinnya sholat lima waktu dan berdoa untuk kesembuhan Artha. Sore ini Dara turun dari kamarnya dengan hati-hati karena ia merasa lapar. Lagi pula tak mungkin Dara merepotkan ibunya terus menerus untuk mengantarkan makanan ke kamar Dara."Bunda?" Panggil Dara."Ayah?" Panggilnya gantian karena Dara merasa rumahnya sangat sepi padahal mereka berjanji untuk menemani Dara dirumah sampai Dara melahirkan.Drrtt...drttt...Suara ponsel rumah Dara berdering, Dara yang ingin melangkahkan kakinya ke dapur menjadi mengurungkan niatnya dan memilih mengangkat telfon tersebut."Halo?""Dara ini ibu."Tubuh Dara seketika mene
"Seafood pedas manis favorit Dara sudah siap."Dara melihat makanan itu terjejer rapih diatas meja makan. Sungguh, saat ia tau makanan itu menyakiti Artha, Dara menjadi sangat membencinya. Buktinya, saat ini Dara lebih memilih mengambil tempe goreng dan sayur soup saja.Pak Jaksara dan Bu Jessy saling lirik merasa heran dengan anaknya itu."Dara gak suka masakan Bunda ya?" Tegur Bu Jessy.Dara menoleh kearah Bu Jessy. "Mulai sekarang bunda gak usah mengingat makanan favorit Dara ya. Seafood bukan makanan favorit Dara lagi. Dara membencinya karena makanan itu sudah menyakiti Artha."Bu Jessy mengangguk pasrah, sepertinya ia sangat mengerti dengan perasaan Dara sekarang. "Yaudah, makanan ini bunda berikan ke bibi aja ya.""Bibi?" Panggil Bu Jessy dan seorang Art datang menghampirinya."Ada seafood untuk bibi, nanti dibawa pulang aja ya Bi," ujar Bu Jessy dianggukan oleh Art itu dengan senang."Terimakasih ya Bu, pak, non," ucap Art itu kepada mereka.Setelah itu, Bu Jessy duduk disana i
Tiga bulan kemudian...Kini kandungan Dara sudah memasuki bulan kelahiran. Tapi dia sama sekali tidak ada semangat sedikitpun untuk menyambut kehadiran sang bayi.Hari-hari Dara rasanya telah berubah setelah Artha dinyatakan kritis pada tiga bulan lalu. Laki-laki itu meskipun masih bisa tertolong, tapi tidak kunjung sadar dari komanya. Dan Dokter malah menambah pengawasan di ruang ICU karena Artha bisa sewaktu-waktu kritis kembali, bahkan dokter berkata jika tidak ada penanganan lagi yang bisa dilakukan jika Artha tidak kunjung sadar.Dara tidak bisa menjaga Artha seperti biasanya pasalnya dokter hanya mengizinkan untuk menjenguknya untuk beberapa menit saja dan itu hanya dilakukan satu orang bergantian.Seperti saat ini, Dara hanya terduduk didepan ruang ICU menunggu gilirannya dengan Bu Hanna seraya memegangi sebuah sarung tangan bayi yang dibelikan Bu Hanna untuk cucunya itu. Dara hanya terdiam, bahkan untuk bersedih saja dia sudah merasa begitu lelah.Tak lama pintu ruangan itu te
Hari berganti hari, Dara masih setia menjaga suaminya yang sudah dua minggu ini tidak sadar dari koma. Meskipun sedang hamil, Dara ingin dirinya selalu ada didekat Artha. Hidupnya terasa sepi saat wajah Artha tidak lagi ia lihat dirumahnya.Soal pekerjaan? Dara menghandle semua pekerjaan Artha. Meskipun pak Jaksara telah melarangnya dan dia sendiri yang akan mengerjakannya. Tapi bukan Dara namanya jika tidak keras kepala. Dara juga tidak ingin menyusahkan Pak Jaksara yang sedang sakit. Alhasil dia yang bekerja dalam kondisi hamil.Pagi sampai sore dia berada di kantor. Dan malamnya, Dara pasti akan menghampiri Artha dirumah sakit dan terkadang ia menginap disana."Permisi, mau minta tanda tangan."Dara yang tidak sengaja tertidur dengan tangan sebagai bantalan diatas mejanya seketika terbangun saat mendengar seseorang memasuki ruangannya."Kalo kecapekan lebih baik istirahat dirumah, Dara," ucap Karla karena seseorang itu adalah dirinya.Dara menandatangani dokumen milik Karla seraya
Dara membuka matanya perlahan-lahan, ia sudah tersadar di ruang rawat dengan selang infus yang menancap di tangannya. Erick duduk setia menunggu Dara."Dara?" Erick sedikit panik lalu berlari memanggil seorang perawat.Seorang perawat datang untuk segera memeriksa kondisi Dara. Erick sedikit panik karena Dara hendak bergegas bangkit tapi untung saja ia langsung melarangnya."Ra, kamu mau kemana?" Tegur Erick."Aku harus menemani Artha. Dia kasihan sendirian," ucap Dara dengan tubuh yang masih terlihat lemas dan wajah yang pucat."Artha baik-baik aja, dia sudah dipindah keruang perawatan vvip oleh ayah kamu. Gak usah khawatir ya," tutur Erick.Dara menghela nafas lega memandang Erick dengan mata berkaca-kaca masih merasakan sedih. "Aku gak tau kalo dia sakit. Selama ini dia menyembunyikan itu semuanya dari aku."Erick mengangguk pelan merasa kasihan dengan Dara yang sangat mengkhawatirkan Artha. Mungkin perempuan itu sudah nyaman kepada Artha atau bahkan sudah memiliki perasaan kepadan