LOGINDari hari ke hari Aini merasakan ketulusan dari Kasih merawatnya. Suster pun sering memuji bagaimana cara istri Faiq itu merawat ibu tirinya.
"Perkembangan Bu Aini semakin baik setiap harinya, semoga segera pulih seperti sediakala ya, Bu." Ucapan tulus penuh pengharapan dari Suster Indah sembari menyisir rambut Aini dengan telaten.Aini tersenyum menatap pantulan dirinya dari kaca meja riasnya. Walaupun masih belum simestris nampak di sana. Tak disangkal ia juga merasakan kesehatannya mulai membaik semakin harinya."Mbak Kasih sangat telaten merawat Ibu, benar-benar merawat Ibu dengan sepenuh hati. Umar juga sangat pintar dan pengertian tidak rewel kalau dilihatnya ibunya sedang sibuk di dapur membuat masakan atau menyuapi Bu Aini. Selain tampan, bocah itu sudah kelihatan berbudi." Berulang kali pujian untuk anak tirinya itu, Aini dengar membuatnya makin merasakan ketulusan Kasih padanya."Mas Faiq kalau ketemu dengan Mbak Kasih pasti kayak penganSiang harinya, suasana di rumah Bulik Aini terasa hangat, namun sarat dengan ketegangan yang tidak terucapkan. Seperti biasa, Faiq berkunjung ke rumah Buliknya untuk menemani Kasih dan Umar. Tadi malam, Ilyas mengirim pesan bahwa mereka diminta datang ke rumah mertua, sementara ia ada keperluan di Depok terkait bisnisnya. "Faiq, seperti yang pernah Bulik angankan dahulu, kalau bisa kalian menetap di sini ke depannya mengurus pesantren ini." Seperti yang sudah-sudah setiap Faiq mengunjungi Kasih dan Umar di Lampung, Aini selalu menyinggung mengenai kepengurusan pesantren tahfizd yang didirikan oleh mereka.Faiq hanya tersenyum, tak bermaksud memupuskan harapan Buliknya, dia hanya mengatakan belum bisa meninggalkan amanah di Asmania. "Di sini sudah ada Ustad Wahyu bersama istrinya, Bulik. Mereka sudah mumpuni mengelola pesantren ini.""Jawabanmu selalu begitu, Faiq. Setidaknya kalau kamu sendiri yang mengelola, kan lebih bagus lagi. Kamu ponakan Bulik, ke d
Dari hari ke hari Aini merasakan ketulusan dari Kasih merawatnya. Suster pun sering memuji bagaimana cara istri Faiq itu merawat ibu tirinya."Perkembangan Bu Aini semakin baik setiap harinya, semoga segera pulih seperti sediakala ya, Bu." Ucapan tulus penuh pengharapan dari Suster Indah sembari menyisir rambut Aini dengan telaten.Aini tersenyum menatap pantulan dirinya dari kaca meja riasnya. Walaupun masih belum simestris nampak di sana. Tak disangkal ia juga merasakan kesehatannya mulai membaik semakin harinya."Mbak Kasih sangat telaten merawat Ibu, benar-benar merawat Ibu dengan sepenuh hati. Umar juga sangat pintar dan pengertian tidak rewel kalau dilihatnya ibunya sedang sibuk di dapur membuat masakan atau menyuapi Bu Aini. Selain tampan, bocah itu sudah kelihatan berbudi." Berulang kali pujian untuk anak tirinya itu, Aini dengar membuatnya makin merasakan ketulusan Kasih padanya."Mas Faiq kalau ketemu dengan Mbak Kasih pasti kayak pengan
Di taman rumah sakit"Dek, ketiga putri Bulik Aini sudah berkumpul. Besok juga Bulik Aini juga sudah diperbolehkan untuk pulang. Beneran kamu masih mau tetap di sini?" tanya Faiq memastikan keinginan istrinya. Dirinya juga sudah habis jatah cutinya hari ini. Kalau bisa sore ini, dia harus kembali ke Pare karena besok Ahad Paing, seperti biasa ada kajian akbar di Azmania."Iya, Mas. Kita sudah sepakat, kan ... aku akan pulang kalau Umi yang menyuruh pulang. Fida besok sudah harus kembali ke pondok. Mbak Zahra bilangnya juga tidak bisa lama nemani Umi. Mbak Zahira, aku belum ada waktu ngobrol dengannya. Tapi, sepertinya juga belum bisa tinggal di sini untuk merawat Umi.""Abi Ilyas pasti meminta jasa suster untuk merawat Bulik Aini di rumah nanti. Kamu ikutlah pulang dengan Mas dan Ibu, sore ini," bujuk Faiq belum menyerah. Faiq agak was-was meninggalkan Kasih di sini, ada kedua orangtuanya dan Zahira yang belum ditahu responnya terhadap istrinya, sebagai pu
Siang itu, Sekar menemani Aini di rumah sakit. Sudah empat hari dirinya menemani Kasih menjaga mantan kakak madunya itu.Sekar memijat ringan tangan Aini yang mulai bisa digerakkan. Seperti biasanya Sekar akan bertanya bagaimana kabar dari Aini, apa yang dirasakan dan ia menginginkan apa.“Mbak Aini,” ujarnya pelan, mencoba menarik perhatian. “Enggak terasa sudah empat hari aku di sini. Besok, aku dan Faiq akan pulang. Aku titip Kasih dan cucuku, ya, Mbak. Kasih tetap mau di sini, merawat Mbak sampai sembuh, katanya."Aini mencoba menggenggam tangan Sekar. Wanita itu, bisa merasakan bagaimana ketulusan Kasih dan Sekar selama menjaga dan menemaninya di rumah sakit. Hingga tumbuh rasa sayang pada Kasih, sebagaimana ia menyayangi ketiga putrinya. Apalagi Mufidah juga sangat sayang pada kakaknya itu."Terima kasih, Mbak. Sekali lagi, aku meminta maaf atas kesalahan yang pernah kulakukan dulu. Kalau Mbak tidak keberatan kita bisa menjadi teman, saudara
Mufidah menatap empang yang ditumbuhi bunga teratai di pinggirannya. Sore itu, ia diajak ibu pembimbing untuk menemani mancing ikan."Bilangnya mau di rumah seminggu, Da?" tanya Hanifah, ibu pembimbing asrama putri yang dipasrahi perizinan dan pengelolaan bagian dalam asrama putri."Umi enggak betah lihat Fida, Ibuk," ungkap Mufidah kesal."Kamu masih suka marah-marah dengan umimu? Ya, jelas Umi Aini enggak betah kamu di rumah, Da.""Entahlah, mau baik sama umi itu, rasanya malah aneh. Dianya juga kalau ngomong sinis banget nadanya," lanjut Mufidah."Umi sinis karena kamunya ngomong juga enggak pelan penuh kelembutan, Mufidah Azmi Nurrohman.""Entahlah, Ibuk ... pusing aku. Mungkin begini, dilemanya jadi anak yang enggak diharapkan.""Hust! Enggak diharapkan. Kok, kamu bisa tumbuh sehat dan berkecukupan seperti ini.""Aku bertahan hidup, karena abi yang menginginkannya," ungkap Mufidah menerawang melihat langit
Aini menggeser tubuhnya perlahan di ranjang, mencoba menegakkan diri meski setengah sisi tubuhnya masih terasa kaku. Matanya tak lepas dari Sekar yang menghampirinya, diiringi Ilyas di belakang mantan madunya itu.“Ke- ke- napa kau da-tang, Se-kal?" tanya Aini dengan terbata dan napas tersengal. Nampak rasa tak nyaman juga ketakutan di sorot matanya. Prasangka buruk seketika hadir di pikirannya. "Apa kamu mau balas dendam? Setelah semua yang aku lakukan pada Kasih...”Sekar terhenti di tepi ranjang. Tatapannya melembut, meski dadanya bergemuruh oleh banyak kenangan pahit yang tiba-tiba menyeruak. Ia menoleh sejenak ke arah Ilyas, seakan meminta izin untuk berbicara.“Aku ingin melihat keadaan Mbak Aini.” suara Sekar terdengar pelan tapi tegas. Ia melangkah lebih dekat. “Aku datang untuk meminta maaf.”Aini terpaku. Tangannya yang lemah mencoba meremas selimut. “Me-me-min-ta ma-af?""Setelah apa yang kau lakukan dulu? Baru sekarang kau dat







