Masuk"Assalamualaikum, Abah, Umi," sapa Kasih dengan suara bergetar begitu mendapati kedua mertuanya berdiri di teras.
"Waalaikum salam," balas Afiah sementara Aziz hanya menggumam. "Mari masuk, saya baru dari tempat Mbah Mi untuk memijatkan Umar." Kasih memutar kunci, membuka pintu, mempersilakan kedua mertuanya masuk. "Biar umi yang gendong Umar, Sih." "Nggih Mi, agak demam Umar dari kemarin," ujar Kasih seraya melepaskan simpul selendang di punggungnya. Sedangkan Afiah memegang tubuh cucunya. "Innalillahi... Sudah ke dokter, Sih?" Afiah meräba kening Umar. "Belum sempat Mi, semalam saya kompres." "Sudah tahu, demam malah dipijet! Mau bilang pendidikan tinggi itu, enggak penting. Nyatanya hal sepele seperti ini saja, kamu enggak tahu," sengah Aziz dengan suara datar namun begitu menusuk Kasih. "Sebentar nggih, Mi. Saya ke belakang dulu ... oh, iya Abah dan Umi mau minum teh atau kopi?" "Enggak usah repot, kita hanya mampir sebentar! Urus dirimu itu, mandi-mandi sana! Baru ditinggal Faiq sebentar, sudah kayak tahunan enggak pernah diurusin!" "Bah ...." tegur Afiah seraya menggelengkan kepala. Aziz mendengkus, lantas dia jatuhkan bobotnya di sofa. Sedang Afiah menimang Umar yang nampak menggeliat. "Kamu mandilah, mumpung Umar masih tidur. Nanti kita ngobrol sebentar." Afiah memandang mantunya dengan iba. Sebagai istrinya, ia hafal perangai Abah Faiq, yang senang rapi, rijik. Dan saat ini, mereka melihat penampilan Kasih tidaklah pas dipandang suaminya. Gamis dipakai Kasih kusut, wajahnya kuyu, terlihat lelah. Kasih mengangguk lantas berbalik menuju ruang tengah meletakkan buah yang dibelinya tadi di meja. Ia pun bergegas mengambil handuk yang dijemur di belakang untuk mandi di kamarnya. "Mi ... lihat ini, foto Faiq dan Zahra sedang bersenang-senang di Bali." Aziz mengeraskan suaranya, begitu dilirik Kasih berjalan menuju kamarnya di ruang tengah. Sesaat Kasih terlongo, kemudian melanjutkan langkah kekamar. "Oh, jadi Mas Faiq dan Zahra di Bali sekarang," tangis Kasih dengan hati tak terbentuk lagi begitu pintu kamar ditutup, dan tubuhnya luruh ke lantai. ***Rcr___ "Oalah, mereka berdua lagi jalan-jalan di pantai, Mi." Tawa renyah Aziz di ruang tamu. "Abah kok, tahu? Tanya sama Zahra?" tanya Afiah heran. "Mana berani Abah ganggu mereka, Mi ... ini, Abah lihat di story w******p Zahra. Lihatlah mereka nampak bahagia sekali." "Abah jangan bahas itu, disini." Tegur Afiah berbisik, namun masih bisa terdengar oleh Kasih di kamarnya. "Kita pikirkan perasaan Kasih, sedikit saja Bah, tolong ...." Hati Kasih menghangat ia dibela oleh ibu mertuanya. "Setidaknya umi perduli padaku," batin Kasih menghibur diri. "Iya-iya." Rumah kontrakan mereka tidak terlalu besar, jadi pembicaraan kedua orang tua Faiq sudah pasti bisa didengar Kasih. Atau memang sengaja bapak mertua Kasih, bicara demikian untuk membuat menantunya itu sakit hati. Setelah berganti baju, Kasih kembali ke ruang tamu membawa kedua piring berisi buah yang dibelinya tadi. Tak lupa ia taruh pisau buah di antara dua piring ceper berisi apel dan pear itu. "Maaf, Abah ... Umi ... hanya ada ini," tawarnya. Mengingat tadi dilarang membuat minum oleh Abah Faiq, Kasih pun tidak membuatkan mereka minuman. Kasih ingat, waktu kedua mertuanya datang memintanya tanda tangani surat izin poligami. Apa yang dihidangkan tidak disentuh, bahkan sekedar minum pun tidak. Istri pertama Faiq itu, memilih duduk diam di sofa yang berseberangan dengan kedua mertuanya. Sekalipun dengan jelas ia mendengar yang dibicarakan oleh Aziz. Wanita itu, memilih bersikap biasa saja, menunjukkan sisi ketenangan dirinya. "Kasih," panggil Afiah mendekat, lantas duduk di samping menantunya. "Iya, Mi." "Kita tiduran Umar di kamar dulu, ya ... umi ingin ngobrol sebentar denganmu." ***Rcr___ Di kamar, Kasih berhadapan dengan Umi Faiq. Sedangkan Abah suaminya memilih duduk di teras setelah perdebatan kecil dan ia diajak ke kamar oleh ibu mertuanya. "Kamu sehat, Sih?" "Sehat Mi, Alhamdulillah." "Faiq yang meminta umi melihat keadaan kalian berdua. Pagi Subuh, setelah dia menikah ia telepon Umi untuk kemari. Tapi, maaf ... Abah baru ada waktu sore ini, Sih." Kasih mengangguk, Faiq mengkhawatirkan ia dan Umar rupanya. "Sih ... Umi memberi restu, Faiq menikahimu dulu, karena Faiq menyakinkan Umi, ia pasti bahagia hidup berumah tangga denganmu. "Umi bisa melihat sebesar apa Faiq mencintaimu. Dia berani menentang Abahnya, yang dari dulu tidak pernah ditentang oleh kami, kalau Abah ada kemauan. "Sejatinya rumah tangga ini, kalian yang akan menjalani, karena itulah Umi sangat berharap kamu selalu bersama Faiq. Sudah ada Umar, putra kalian, cucu kami. Setidaknya hadirnya, bisa menjadi penguat kalian menerus pernikahan ini. Menikah adalah ibadah terlama seumur hidup. Sekali lagi, Umi minta ... jangan pernah ada keinginan meninggalkan Faiq. Umi akan berusaha menjadi penengah. Antara kamu, Faiq dan Zahra." "Nggih, Mi ...." Air mata Kasih menetes tanpa ia sadari. Kesedihan itu, nyatanya tidak mampu disembunyikan lagi. "Maaf, Mi," ucap Kasih segera menghapus bulir air matanya. Selama beberapa hari ini, sakit Kasih tahan sendiri di dalam dada, sedikit saja simpati yang datang, pasti langsung mengundang air mata. Berbagi suami bukanlah hal mudah, kendati Faiq tetap bersikap baik, cemburu dan terluka selalu berpadu menjadi kesedihan teramat dalam untuknya saat ini. "Kasih .... Sabar ya, Nduk." Afiah meraih tangan menantunya. Wajah Umi Faiq menyiratkan iba sekaligus haru, membuat Kasih semakin tergugu. Afiah memeluk Kasih dengan penuh kasih sayang. Dan untuk pertama kalinya, Kasih merasa mendapatkan sedikit simpati di tengah luka yang ia tanggung. Di tengah pelukan itu, Umar terbangun dan mulai menangis lagi. Kasih segera beranjak, menggenggam tangan kecil anaknya yang masih hangat, berharap semua ini akan segera berlalu. Putranya bisa ceria seperti hari-hari sebelumnya. . . NextTak pernah ada dalam benaknya Kasih jika hidupnya akan sempurna. Kebahagiaan terus beruntun ia terima sejak terkuak jatidirinya sebagai putri dari Ilyas Nurrohman. Dan, lewat selembar kertas persetujuan poligami yang dibawa mertuanya kala itu, yang membuka tabir siapa bapak kandungnya.Awal terasa pahit, sakit yang dirasanya saat itu. Yah, walaupun ada kelegaan di hatinya ketika suaminya berkata tidak ada keinginan menyentuh Zahra, karena cinta Faiq hanya untuk Kasih seorang.Terdengar dzolim untuk Zahra. Namun, namanya keinginan berdasarkan pada hati nurani, yang memang tidak bisa dipaksakan. Hikmahnya, saat fakta itu terungkap, pernikahan Faiq dan Zahra bisa dibatalkan.Kini, Kasih hidup berbahagia dengan Faiq demikian juga Zahra juga sudah berbahagia dengan Syauqi sebagai pasangannya.Kebahagiaan Kasih makin lengkap dengan hadirnya dua bocah yang dilahirkan tiga tahun lalu. Bahkan sekarang, ia tengah mengandung lagi, nampak perutnya sudah besar
Fauzan mendorong motornya yang kehabisan bahan bakar, di sampingnya ikut berjalan Mufidah sambil bersenandung. "Yang, harus digenapi sampai seratus kali, gitu ... dirimu manggil aku gegara kehabisan minyak, gini.""Gosah, lebay deh, suami orang! Salah sendiri, naruh motor di rumah enggak diisi full. Dah, tahu kita tipe gadis yang enggak mau ribet.""Sabaaaarrr, kalau gini terus mending kita tinggal serumah saja, Yang.""Enggak mau ... entar nyetrum. Perjanjian kita nganu, kan kalau aku selesai sidang skripsi.""Perasaan enggak kelar-kelar itu, skripsimu, Yang."Mufidah mengedikkan bahunya, jangankan Fauzan suaminya, dirinya sendiri juga heran. Kenapa, ada saja yang diminta revisi sama dosen pembimbingnya. "Semoga yang kemarin itu, revisi terakhir, Mas."Akhirnya bertemu penjual BBM setelah menuntun motor sepanjang tiga kilometer. Fauzan segera melajukan motor menuju rumah Mufidah."Kehabisan minyak lagi, Zan?" tanya Seka
Dua bulan kemudian...Selepas keluar dari bangunan bertingkat rumah sakit Muslimat Kasih terdiam. Wajahnya tanpa ekspresi dan terus membisu meski sudah di dalam mobil. Faiq menghentikan gerakannya saat akan melajukan kendaraan ketika mendapati telaga bening jatuh di kedua pipi istrinya."Kenapa?" tanya Faiq seraya melepas seatbelt yang mengikat tubuhnya. Merangkum pipi Kasih yang mulai terasa lebih berisi pengaruh dari usia kehamilan yang memasuki bulan keempat."Aku masih nggak nyangka," ucap Kasih sesenggukan."Bayi kita?""Iya, Mas. Ada dua di sini." Kasih menunjuk perutnya lantas membelainya."Alhamdulillah, kerja kerasku nggak sia-sia," sahut Faiq mengerling.Kasih mencebik memukul pelan bahu Faiq yang pura-pura mengaduh."Loh, kenapa masih nangis aja?""Ini tangis bahagia, Mas. Aku enggak pernah nyangka Allah memberikan adik Umar dua sekaligus," isak Kasih mengusap perutnya yang mulai menonjol.
Keesokan harinya, suasana di rumah kontrakan yang biasa ditempati Faiq dan Kasih saat suaminya itu berkunjung, nampak Faiq sedang membaca buku tebal, bersandar di kepala sofa, sementara Kasih berbaring di atas pahanya, menikmati momen tenang berdua. Tangan Faiq memainkan rambut istrinya sesekali, membelai lembut kepala wanita terkasihnya itu."Mas boleh aku tanya sesuatu?""Memang selama ini, Mas pernah melarangmu bertanya, Sayang." Semenjak LDR, Faiq jarang memanggil Kasih dengan 'Dek' mungkin sebagai wujud rindu karena pertemuan yang dibatasi oleh keadaan hingga panggilan 'Sayang' dirasakan lebih pass di hati Ayah Umar itu."Bagaimana perasaan Mas melihat Mbak Zahra menikah kemarin?” tanya Kasih. Nadanya terdengar polos, namun terselip sedikit rasa penasaran yang terbesit dalam hatinya.Faiq meletakkan buku yang dibacanya ke meja, lalu menegakkan bahu istrinya yang berbaring di pahanya agar duduk berhadapan dengannya. Ia menatap mata Kasih, menc
Jam sembilan malam, setelah acara makan malam keluarga besar Shauqy dan Zahra selesai. Shauqy meminta izin untuk membawa istrinya undur diri terlebih dahulu. Zahra menautkan alis saat Shauqy menggandeng tangannya menuju halaman dimana mobil suaminya terparkir."Kita mau kemana, Mas? Bukannya tadi pamit mau istirahat. Kok, malah keluar?" Tanya Zahra dengan mimik heran, karena kamarnya pun sudah didekorasi sedemikian indah untuk malam pertama mereka malam ini."Kita nginep di hotel saja ya, Dik ...""Lha, ngapain ke hotel? Kalau hanya sekedar istirahat di sini, saja, Mas. Sudah disiapkan kamarku untuk istirahat kita selama tinggal di sini.""Mas ingin kita berdua saja, tanpa ada rasa segan dan sungkan dengan keluarga di sini." Shauqy mengedipkan sebelah mata saat menoleh pada Zahra. Lelaki itu tertawa melihat istrinya membelalakkan mata lebar-lebar."Tapi, masak aku tanpa persiapan seperti ini?" "Sudah disiapkan sama Zahira dan Mu
Jam sepuluh pagi penghulu datang di tempat resepsi acara di gelar. Resepsi akan langsung dilaksanakan usai ijab qabul. Suasana mendadak hening saat penghulu memberi aba-aba untuk Shauqy dan Ilyas berjabat tangan. Zahra, calon mempelai wanitanya duduk tenang didampingi Zahira dan Mufidah. Aini, uminya Zahra duduk berjejer bersama keluarga besar Shauqy dan Faiq."Allah sungguh indah sekali skenario-Mu hingga Engkau kirimkan jodoh sebaik Mas Shauqy untukku." Zahra mengucap syukur berkali-kali dengan mata yang berkaca.Shauqy menarik napas panjang, mengucap bismillah berkali-kali, menatap ayah-ibunya yang duduk di belakang kursi calon mertuanya.Setelah ia mengangguk tanda siap pada penghulu, suasana di ruangan menjadi hening. Semua mata langsung tertuju pada dua laki-laki yang kini tengah kecepatan tangan."Aku nikahkan dan kawinkan engkau ... Shauqy Ardiansyah. Dengan putri kandungku, yang bernama Zahratun Nahdah binti Ilyas Nurrohman den







