Share

Bab 7

last update Last Updated: 2024-02-06 08:51:41

Berjalan tergopoh, kuhampiri Ibuku yang terlihat kelelahan. Rasanya dada ini begitu sesak melihat Ibuku diperlakukan tak pantas oleh menantunya sendiri.

Brak ...!

"Aaa ... Dina apa yang kamu lakukan? lancang sekali kamu membuang barang-barangku seperti itu, awas saja jika barang-barang yang baru saja ku beli ini rusak!" Teriak kak Inggit melengking, begitu ku rebut paperbag-paperbag yang Ibu bawa dan melemparnya ke sembarang arah.

Aku sudah tak bisa lagi menahan kesabaranku yang setipis kulit ari ini, rasanya makin hari perlakuan Kak Inggit makin menjadi. Memperlakukan Ibu tak ubahnya babu yang tak patut dihargai, dan buatku perlakuannya ini tak bisa di maafkan lagi.

"Masa bodoh dengan barang-barang itu, kenapa Kakak meminta Ibu membawakan barang-barang belanjaan mu, Kak? apa Kakak tidak lihat Ibu sedang tidak baik-baik saja!" Balasku tak mau kalah.

"Sudah Din, jangan ribut-ribut malu di dengar tetangga!"

"Biarkan saja, Bu. Kak Inggit sudah keterlaluan saat ini, kenapa dia harus memperlakukan Ibu seperti pembantunya saja, apa dia tidak berpikir kalau dia dan orang tuanya di rumah kita ini menumpang! Kita bahkan harus pindah ke kamar belakang yang sempit hanya untuk mengikuti kemauan Kak Inggit, apa yang kita lakukan selama ini masih belum cukup dimatanya?!"

Geram ku tak bisa lagi menahan emosi jiwa, "kenapa Ibu selalu mengalah, lihatlah mereka semakin semena-mena terhadap kita, Bu."

"Jangan kurang ajar kamu, Din! Akan ku adukan nanti sama mas Gagas!"

"Adukan saja, Kak! Aku tak perduli."

Ibu pergi ke belakang, tanpa menghiraukan aku yang masih bergeming menatap tajam kepada Kak Inggit yang saat ini tengah mengambil paperbag-paperbag yang tadi ku lempar, dibantu orang tuanya yang tak berkata sepatah kata pun menyela perkataanku. Mungkin mereka takut atau malah sudah merasa tidak enak karena kata-kataku tadi, yang mengatakan jika mereka hanyalah menumpang di rumah kami.

"Aku tak ingin lagi melihat atau mendengar Kakak memperlakukan ibuku dengan buruk, jika itu masih Kakak lakukan maka jangan salahkan aku jika aku berbuat nekat lebih dari ini!" Ancam ku. Kutinggalkan mereka yang menatapku tajam، terlihat ada pendar amarah dimata Kak Inggit yang mungkin siap untuk dimuntahkannya kapan saja.

Ah aku tak menghiraukan kemarahan mereka, yang ku khawatirkan adalah Ibu akan mendiamkan ku karena ulah yang tadi kubuat.

Bergegas aku menyusul Ibu ke kamar belakang. Ibu pasti marah padaku karena aku sudah dinilainya tidak bersikap sopan terhadap orang tua kak Inggit, yang menurut ibuku adalah tamu yang harus kami hormati setidaknya seperti itulah pikiran ibu.

Pintu kamar sedikit terbuka, dengan sedikit ragu aku melangkah masuk dan kini mendapati Ibu tengah melipat baju yang teronggok di pojokan kasur. Sepertinya setelah diangkat tadi Ibuku langsung menaruhnya begitu saja tanpa sempat membereskannya terlebih dahulu.

"Bu ... Ibu marah sama, Dina?" tanyaku pelan, sambil duduk di sebelahnya untuk membantu melipat baju-baju itu.

Tak ada jawaban keluar dari mulut Ibuku sedikit pun, beliau tetap bergeming dengan tangan yang masih cekatan melipat baju-baju dihadapannya.

"Bu, maafkan kesalahan Dina tadi ya, Bu. Dina hanya tak tega melihat mereka memperlakukan Ibu dengan semena-mena."

Ibu masih bergeming, diam seribu bahasa tetap mendiamkan aku yang saat ini semakin gelisah karena baru kali ini Ibu semarah ini padaku.

"Bu, bicaralah jangan diamkan aku seperti ini, Bu. Dina mengaku kalau sikap Dina salah tadi, Dina minta maaf, Bu." Mohonku sendu.

Kali ini Ibu menghentikan gerakan tangannya yang dari tadi asik melipat pakaian, Ia balikkan badannya lalu menatap ke arahku dengan tatapan lembut seperti biasa. "Ibu tidak marah padamu, Nduk. Ibu hanya tidak ingin mereka menilai sikapmu urakan seperti orang yang tak punya adab, terhadap orang yang lebih tua."

"Tapi sikap mereka yang membuat Din—"

Aku tak berani meneruskan sanggahan ku, ketika sadar akan tatapan Ibu yang kali ini terlihat mengintimidasi, aku hanya bisa menunduk dan berkata maaf padanya.

"Ibu tidak ingin kamu dipandang rendah orang lain hanya karena sikap tidak sabaranmu, Nduk. Biarlah mereka memperlakukan kita dengan buruk tapi jangan sampai kita membalas dengan keburukan juga. Jika seperti itu apa bedanya kita dengan mereka."

"Iya, Bu, Dina minta maaf." Jawabku singkat. "Oh iya, setelah melipat baju-baju ini kita berangkat ke dokter ya, Bu, seperti yang Dina katakan tadi pagi."

"Baiklah ibu akan ikut denganmu ke dokter, tapi sebelum berangkat minta maaflah kepada kakak ipar mu dan orang tuanya ya, Nduk!"

Tenggorokanku tercekat mendengar permintaan Ibu, rasanya saliva ku mendadak seperti biji kedondong yang susah untuk ku telan. "Ke-kenapa Dina harus meminta maaf kepada mereka, Bu?"

"Turuti saja apa yang ibu perintahkan, Din! Atau ibu tidak akan ikut ke dokter bersamamu."

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
heni mintakul
ceritanya bagus.....tapi aq aliran rasional, selama mengijak injak harga diri. kita harus membela diri. mental healt ya Din
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 103

    "Dek ijinkan aku menjadi lelaki yang akan menggantikan Zaidan di hatimu, ijinkan aku menjadi ayah dari anakmu. Aku berjanji akan selalu membahagiakan kalian selama hidupku." Ucap lelaki itu sambil menatap padaku lekat.Lain sekali dengan Mas Zaidan, jangankan menatapku seperti itu hanya sekadar melirik pun ia begitu takut sepertinya. Ah memang keduanya begitu berbeda, laki-laki itu begitu soleh juga taat pada perintah agamanya, namun kini beliau telah tiada hanya menyisakan sesak di dada karena aku ditinggalkan pas lagi sayang-sayangnya.Lain lagi dengan laki-laki petakilan yang kini berada didepanku, walaupun di mataku dia seolah begitu slebor dan tak bisa menjaga pandangannya dari lawan jenis, namun aku tak tahu kedalaman hatinya seperti apa. Aku tak bisa menilai orang hanya dari covernya saja, asal kulihat jelek, berarti dia jelek. Tidak seperti itu juga, setiap manusia itu punya kekurangan dan kelebihannya tersendiri termasuk juga Mas Yaseer, namun entah kenapa hati ini tak bisa

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 102

    "Sudah ya, biarkan Zaidan istirahat dengan tenang di sana, agar langkahnya tidak berat untuk pulang menuju dunia keabadian."Aku akhirnya mengangguk mengiyakan kata-kata Bang Gagas, memang benar yang ia katakan, walau bagaimanapun aku harus mengikhlaskan kepergiannya suka ataupun tidak, semua kenyataan itu tak bisa lagi dipungkiri kebenarannya."Lalu bagaimana keadaan Uti saat ini, Bang?""Keadaan adiknya masih kritis saat ini, Dek. Kecelakaan itu begitu parah, bersyukurlah Allah masih menjaga dan melindungi mu. Entah amalan apa yng telah kamu lakukan sampai Allah begitu menyayangimu, Dek."Aku hanya terdiam mendengar penuturan Bang Gagas, dalam pikiranku hanya ada mereka berdua saat ini laki-laki yang telah pergi meninggalkanku untuk selamanya dan juga sahabatku Uti yang kini tengah kritis. Bagaimana aku akan mengatakan padanya nanti jika Mas Zaidan telah pergi lebih dulu meninggalkan kami saat ini."Bang, antar aku melihat Uti sekarang!" Pintaku pada Bang Gagas.Tanpa membantah Bang

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 101

    Ketika baru saja hendak terlelap kulirik Ibu terburu-buru keluar dari kamar, tapi kulihat Jingga masih di kereta bayinya terlelap tak merasa terganggu, sekali pun berada di rumah sakit dengan keadaan yang kurang nyaman. Mau kemana Ibu, kenapa beliau begitu terburu-buru? kulihat juga wajahnya begitu sendu seolah menyimpan sesuatu dariku saat ini.Ah ingin rasanya aku mengejarnya keluar, tapi bagaimana caranya kakiku saat ini sulit untuk sekedar ku geser saja. Lalu jika pun aku bisa keluar memakai kursi roda, bagaimana dengan Jingga siapa yang akan menjaganya di sini, sementara aku pergi mengejar Ibuku keluar."Suster bisa bantu saya keluar, saya ingin melihat keadaan calon suami saya suster. Saya mohon bantu saya kali ini saja." Mohon Ku, ketika ada suster datang hendak memeriksa keadaanku saat ini."Tapi, saya harus iz—""Jangan meminta izin pada siapapun, Sus! Saya yang akan bertanggung jawab jika ada apa-apa nanti, saya mohon bantu saya sus."Akhirnya dengan sedikit terpaksa suster

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 100

    "Dek, kamu sudah sadar? bagaimana keadaanmu sekarang?""Bagaimana keadaan Uti juga Mas Zaidan, Bang?" tanpa menjawab pertanyaan kakak ku, aku malah lebih ingin tahu bagaimana keadaan calon suami juga sahabatku Uti.Apakah mereka baik-baik saja sama sepertiku saat ini, atau malah sebaliknya?Bang Zaidan malah diam saja tanpa menjawab pertanyaanku, dia malah saling bertatapan dengan Ibu, seolah mengisyaratkan sesuatu."Bang ...! Kenapa tidak menjawab pertanyaanku, bagaimana keadaan Mas Zaidan juga Uti sekarang, apakah mereka baik-baik saja? jawablah jangan membuatku penasaran, Bang!" Bentakku kesal. "Bu ...! Apakah Ibu tahu bagaimana keadaan mereka sekarang?"Kembali kutanyakan pada Ibu, karena Abangku malah terus saja diam tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya, untuk menjawab pertanyaanku.Karena mereka tetap saja diam membisu tak juga menjawab pertanyaanku, kupaksakan bangun walaupun kepala terasa berdenyut nyeri, namun saat hendak mengangkat kedua kakiku aku merasakan hal yan

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 99

    Kubuka mata perlahan, mengerjap-ngerjapkan kelopaknya karena silau oleh cahaya yang masuk kedalam iris mataku.Terbangun di hamparan padang rumput berwarna hijau, terasa teduh walaupun sinar mentari menyinari bumi.Kumpulan bunga liar kulihat begitu indah dengan warna-warni yang rupawan, membuat siapa pun betah berlama-lama menatapnya.Kutolehkan kepala kekiri dan kanan mencari siapa saja yang berada didekat sana, namun nihil tak kutemukan seorang pun dipadang rumput itu selain diriku sendiri.Beranjak bangun lalu melangkah pergi mencari, barang kali ada satu manusia yang bisa kutemui. Setelah berjalan beberapa waktu, akhirnya kulihat siluet orang yang tidak begitu asing dipenglihatanku, ya itu Mas zaidan calon suamiku. Namun mau kemana dia? berjalan maju tanpa menoleh sedikit pun padaku."Mas ... Mas Zaidan ...! Tunggu Dina, Mas!" Teriakku penuh harap.Akhirnya Mas Zaidan menoleh juga, wajahnya terlihat teduh seulas senyum hangat ia berikan padaku. Namun tak sepatah kata pun keluar d

  • Kasur Lapuk Untuk Ibu   Bab 98

    Tiga Hari Jingga di rawat di rumah sakit, setelah memastikan tubuhnya benar-benar sehat akhirnya kami bisa membawanya pulang, Alhamdulillah dibalik ujian itu ada hikmah yang terselip begitu indah. Perlakuan Bang Gagas pada anakku itu kembali hangat. Terlihat sekali rasa sayangnya bertambah berkali-kali lipat, tak terpikir lagi dikepalanya untuk menyerahkan Jingga kepanti asuhan, atau pikiran buruk lainnya apapun itu dan itu teramat sangat ku syukuri.Segala doa dan harapanku telah Allah kabulkan, betapa besar kasih sayang-Mu pada umat mu ini ya Rabb. Karena Allah yang maha membolak-balikkan hati manusia, maka mudah baginya untuk melakukan hal itu jika memang Allah berkehendak.Kini setiap pagi sebelum ke kantor Bang Gagas selalu menyempatkan diri bermain dulu dengan Jingga walau sebentar saja. Pulang dari kantor pun tak pernah telat, katanya dia selalu rindu dengan anak gadisnya ini, MasyaAllah sungguh kuasa Allah begitu besar.Tok ...Tok ...Tok ..."Assalamualaikum."Hari minggu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status