Share

Bab 7

Berjalan tergopoh, kuhampiri Ibuku yang terlihat kelelahan. Rasanya dada ini begitu sesak melihat Ibuku diperlakukan tak pantas oleh menantunya sendiri.

Brak ...!

"Aaa ... Dina apa yang kamu lakukan? lancang sekali kamu membuang barang-barangku seperti itu, awas saja jika barang-barang yang baru saja ku beli ini rusak!" Teriak kak Inggit melengking, begitu ku rebut paperbag-paperbag yang Ibu bawa dan melemparnya ke sembarang arah.

Aku sudah tak bisa lagi menahan kesabaranku yang setipis kulit ari ini, rasanya makin hari perlakuan Kak Inggit makin menjadi. Memperlakukan Ibu tak ubahnya babu yang tak patut dihargai, dan buatku perlakuannya ini tak bisa di maafkan lagi.

"Masa bodoh dengan barang-barang itu, kenapa Kakak meminta Ibu membawakan barang-barang belanjaan mu, Kak? apa Kakak tidak lihat Ibu sedang tidak baik-baik saja!" Balasku tak mau kalah.

"Sudah Din, jangan ribut-ribut malu di dengar tetangga!"

"Biarkan saja, Bu. Kak Inggit sudah keterlaluan saat ini, kenapa dia harus memperlakukan Ibu seperti pembantunya saja, apa dia tidak berpikir kalau dia dan orang tuanya di rumah kita ini menumpang! Kita bahkan harus pindah ke kamar belakang yang sempit hanya untuk mengikuti kemauan Kak Inggit, apa yang kita lakukan selama ini masih belum cukup dimatanya?!"

Geram ku tak bisa lagi menahan emosi jiwa, "kenapa Ibu selalu mengalah, lihatlah mereka semakin semena-mena terhadap kita, Bu."

"Jangan kurang ajar kamu, Din! Akan ku adukan nanti sama mas Gagas!"

"Adukan saja, Kak! Aku tak perduli."

Ibu pergi ke belakang, tanpa menghiraukan aku yang masih bergeming menatap tajam kepada Kak Inggit yang saat ini tengah mengambil paperbag-paperbag yang tadi ku lempar, dibantu orang tuanya yang tak berkata sepatah kata pun menyela perkataanku. Mungkin mereka takut atau malah sudah merasa tidak enak karena kata-kataku tadi, yang mengatakan jika mereka hanyalah menumpang di rumah kami.

"Aku tak ingin lagi melihat atau mendengar Kakak memperlakukan ibuku dengan buruk, jika itu masih Kakak lakukan maka jangan salahkan aku jika aku berbuat nekat lebih dari ini!" Ancam ku. Kutinggalkan mereka yang menatapku tajam، terlihat ada pendar amarah dimata Kak Inggit yang mungkin siap untuk dimuntahkannya kapan saja.

Ah aku tak menghiraukan kemarahan mereka, yang ku khawatirkan adalah Ibu akan mendiamkan ku karena ulah yang tadi kubuat.

Bergegas aku menyusul Ibu ke kamar belakang. Ibu pasti marah padaku karena aku sudah dinilainya tidak bersikap sopan terhadap orang tua kak Inggit, yang menurut ibuku adalah tamu yang harus kami hormati setidaknya seperti itulah pikiran ibu.

Pintu kamar sedikit terbuka, dengan sedikit ragu aku melangkah masuk dan kini mendapati Ibu tengah melipat baju yang teronggok di pojokan kasur. Sepertinya setelah diangkat tadi Ibuku langsung menaruhnya begitu saja tanpa sempat membereskannya terlebih dahulu.

"Bu ... Ibu marah sama, Dina?" tanyaku pelan, sambil duduk di sebelahnya untuk membantu melipat baju-baju itu.

Tak ada jawaban keluar dari mulut Ibuku sedikit pun, beliau tetap bergeming dengan tangan yang masih cekatan melipat baju-baju dihadapannya.

"Bu, maafkan kesalahan Dina tadi ya, Bu. Dina hanya tak tega melihat mereka memperlakukan Ibu dengan semena-mena."

Ibu masih bergeming, diam seribu bahasa tetap mendiamkan aku yang saat ini semakin gelisah karena baru kali ini Ibu semarah ini padaku.

"Bu, bicaralah jangan diamkan aku seperti ini, Bu. Dina mengaku kalau sikap Dina salah tadi, Dina minta maaf, Bu." Mohonku sendu.

Kali ini Ibu menghentikan gerakan tangannya yang dari tadi asik melipat pakaian, Ia balikkan badannya lalu menatap ke arahku dengan tatapan lembut seperti biasa. "Ibu tidak marah padamu, Nduk. Ibu hanya tidak ingin mereka menilai sikapmu urakan seperti orang yang tak punya adab, terhadap orang yang lebih tua."

"Tapi sikap mereka yang membuat Din—"

Aku tak berani meneruskan sanggahan ku, ketika sadar akan tatapan Ibu yang kali ini terlihat mengintimidasi, aku hanya bisa menunduk dan berkata maaf padanya.

"Ibu tidak ingin kamu dipandang rendah orang lain hanya karena sikap tidak sabaranmu, Nduk. Biarlah mereka memperlakukan kita dengan buruk tapi jangan sampai kita membalas dengan keburukan juga. Jika seperti itu apa bedanya kita dengan mereka."

"Iya, Bu, Dina minta maaf." Jawabku singkat. "Oh iya, setelah melipat baju-baju ini kita berangkat ke dokter ya, Bu, seperti yang Dina katakan tadi pagi."

"Baiklah ibu akan ikut denganmu ke dokter, tapi sebelum berangkat minta maaflah kepada kakak ipar mu dan orang tuanya ya, Nduk!"

Tenggorokanku tercekat mendengar permintaan Ibu, rasanya saliva ku mendadak seperti biji kedondong yang susah untuk ku telan. "Ke-kenapa Dina harus meminta maaf kepada mereka, Bu?"

"Turuti saja apa yang ibu perintahkan, Din! Atau ibu tidak akan ikut ke dokter bersamamu."

Comments (1)
goodnovel comment avatar
heni mintakul
ceritanya bagus.....tapi aq aliran rasional, selama mengijak injak harga diri. kita harus membela diri. mental healt ya Din
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status