Share

bab 6

Author: Senja
last update Last Updated: 2025-07-30 14:48:00

Liora menatap langit-langit kamar dalam gelap. Sudah pukul dua dini hari, dan suara hujan semalam masih tertinggal di kepalanya, bergema seperti kenangan yang tak tahu arah pulang. Ia memeluk dirinya sendiri, bukan karena dingin, tapi karena ada ruang kosong di dadanya yang masih belum tahu harus diisi dengan apa.

Malam-malam seperti ini adalah yang paling berat. Saat tidak ada suara, tidak ada gangguan, tidak ada percakapan untuk menenangkan, dan satu-satunya yang tersisa hanya dirinya sendiri dengan semua ingatan yang belum selesai. Ia meraih buku jurnal yang sudah mulai lusuh di samping bantal. Halaman-halaman berisi tulisan tangannya sendiri, kadang rapi, kadang penuh coretan, kadang robek. Tapi semuanya jujur.

Ia membuka halaman baru dan mulai menulis:

“Jika hari ini terasa berat, mungkin bukan karena dunia sedang kejam. Mungkin karena kita terlalu lama memaksa diri jadi kuat. Aku ingin menjadi seseorang yang tidak apa-apa jika hancur, asal bukan pura-pura utuh.”

Di kantor keesokan harinya, suasana terasa aneh. Ada kekosongan di meja Rayden, dan entah kenapa, orang-orang lebih banyak berbisik daripada bekerja. Tapi yang membuat Liora terhenti sejenak bukanlah itu. Melainkan keberadaan seseorang asing yang duduk di ruang meeting lantai dua.

Seorang perempuan. Wajahnya tajam, rambutnya dikuncir rapi, dan sikapnya... terlalu tenang untuk dianggap sekadar klien. Beberapa orang menyebut namanya dalam bisikan: Amara. Direktur baru dari divisi klien luar negeri yang akan mengambil alih beberapa proyek penting.

Dan saat mata mereka bertemu, ada sesuatu dalam tatapan Amara yang membuat Liora merasa dilucuti tanpa disentuh.

Di kantin, Mikael duduk di seberang Liora sambil memainkan sumpitnya.

"Kamu pernah ketemu Amara sebelumnya?" tanyanya pelan.

Liora menggeleng. "Baru hari ini. Kenapa?"

Mikael menunduk sebentar, lalu menatap mata Liora serius. "Dia... pernah dekat sama Rayden. Nggak tahu persis gimana ceritanya, tapi kabarnya mereka putus karena sesuatu yang nggak pernah diselesaikan. Dan sekarang dia datang sebagai atasan baru di proyek kamu."

Liora menghela napas pelan. "Jadi... masa lalu Rayden sekarang jadi masa depanku juga?"

"Nggak harus gitu, Lior. Tapi kamu harus siap. Kadang kita nggak bisa pilih siapa yang datang dalam hidup kita. Tapi kita bisa pilih apa yang kita biarkan mereka bawa."

Kalimat itu mengendap di kepala Liora sepanjang sore. Bukan karena ia takut, tapi karena ia tahu: ada pertemuan yang bukan tentang suka atau tidak suka. Tapi tentang bagaimana kita berdiri ketika masa lalu orang lain bersinggungan dengan proses penyembuhan kita sendiri.

Malam itu, Liora kembali menulis:

"Mungkin tidak semua luka butuh saksi. Tidak semua luka perlu dipamerkan agar dianggap nyata. Beberapa luka hanya perlu kita genggam sendiri, erat-erat, sampai kita siap melepaskannya. Dan jika ada yang datang, aku ingin mereka datang bukan untuk menyelamatkanku, tapi untuk duduk diam menemaniku sampai aku sembuh."

Di luar jendela, lampu kota berkelap-kelip seperti bintang yang terlalu dekat. Dan di kamar kecilnya yang tenang, Liora memejamkan mata. Tidak semua hari harus berakhir dengan bahagia. Tapi malam ini, ia tahu satu hal: ia tidak lagi sendirian dalam perjalanannya.

Dan itu sudah cukup untuk membuat esok terasa mungkin dijalani.

Kantor terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena AC, tapi karena tatapan-tatapan yang saling menakar, membatasi, dan menjaga jarak. Sejak Amara hadir sebagai kepala divisi asing, suasana menjadi lebih kaku. Banyak yang mulai berhati-hati saat berbicara, memilih kata, menimbang setiap tindakan.

Liora mencoba tetap fokus. Ia tahu bahwa pekerjaan adalah ruang paling aman untuk melupakan keributan hati, tapi hari ini, pikiran dan perasaannya menolak bekerja sama. Terutama setelah pagi tadi, saat dia dipanggil untuk satu pertemuan kecil bersama Amara dan dua orang asing dari Jepang.

"Liora, kami sedang mengkaji ulang strategi presentasi untuk klien utama bulan depan. Saya dengar kamu yang menangani materi narasi. Bisa kamu jelaskan pendekatannya?" suara Amara terdengar halus, tapi ada tekanan dalam intonasinya.

Liora menjelaskan dengan tenang, menunjukkan skema, menunjukkan korelasi antara data dan pendekatan humanis. Tapi bukan itu yang membuatnya kehilangan fokus, melainkan tatapan Amara yang terlalu dalam, seolah bukan mendengar tapi menilai.

Seusai meeting, Liora melangkah cepat ke pantry, butuh jeda, dan mungkin segelas air dingin. Ia mencondongkan tubuh di depan wastafel, menatap pantulan dirinya di cermin kecil.

"Kamu tadi bagus, Lior," suara Mikael terdengar dari belakang.

"Tapi rasanya kayak bukan lagi soal presentasi, Mik," Liora berkata pelan. "Kayak aku sedang diuji... sebagai seseorang. Bukan sebagai profesional."

Mikael tidak langsung menjawab. Ia mendekat, berdiri di sebelahnya. "Mungkin memang begitu. Tapi kamu lupa satu hal penting. Kamu bukan cuma profesional yang kompeten, kamu juga perempuan yang pernah terluka dan tetap berdiri. Amara mungkin datang dengan masa lalu Rayden. Tapi kamu berdiri di masa depan kamu sendiri."

Liora menoleh perlahan. "Kadang aku ingin semuanya berhenti sebentar. Biar aku bisa bernapas, tanpa harus kuat, tanpa harus menjelaskan siapa aku."

"Kalau kamu butuh tempat untuk bernapas... aku ada. Tanpa tanya, tanpa tuntutan," ujar Mikael, pelan.

Sore itu, saat hujan kembali turun seperti kebiasaan langit di pertengahan bulan, Liora membuka kembali laptopnya. Ada email masuk. Dari Amara.

Subject: Penyesuaian Konsep.

Isi:

Liora,

Setelah mempertimbangkan presentasi tadi pagi, saya ingin kita bertemu lagi besok pagi. Saya ingin melihat pendekatan kamu terhadap konsep narasi dari sisi pengalaman pribadi. Saya percaya kamu punya sesuatu yang tidak dimiliki oleh kebanyakan orang.

Amara

Liora mengerutkan dahi. "Pengalaman pribadi?" Apakah Amara mencoba masuk ke sisi lain yang lebih personal? Atau hanya strategi untuk membuatnya terbuka? Ia tidak yakin. Tapi satu hal yang ia tahu, permintaan itu bukan permintaan biasa.

Malam itu, di kamarnya, Liora membuka folder lama di komputernya. Berkas-berkas tulisan, puisi, dan jurnal yang dulu ia simpan jauh karena terlalu jujur untuk dibaca ulang. Ia membuka satu file berjudul: Bersamaku atau Tidak dengan yang Lain.

Ia membaca ulang kalimat demi kalimat yang dulu ia tulis di malam-malam penuh tangis:

“Aku mencintaimu bukan karena kamu sempurna, tapi karena kamu membuat aku ingin percaya pada cinta, bahkan ketika aku sendiri tidak yakin cinta itu masih ada.”

Air mata tak turun, tapi dadanya terasa berat. Luka-luka itu belum hilang, hanya berubah bentuk. Menjadi ruang-ruang kosong yang kini harus ia isi sendiri.

Keesokan paginya, Liora masuk ke ruang meeting lebih awal. Amara sudah di sana, duduk tenang sambil menatap layar laptop.

"Aku baca puisi kamu semalam," ujar Amara tiba-tiba. "Rayden pernah menunjukkannya padaku. Dulu. Sebelum semuanya berakhir di antara kami."

Liora terdiam. Perasaannya tak tentu arah. "Kenapa kamu bilang begitu sekarang?"

"Karena aku ingin tahu, apakah kamu masih menulis puisi yang sama... atau kamu sudah menulis puisi untuk orang lain."

Pertanyaan itu bukan sekadar pertanyaan. Tapi tantangan. Dan mungkin juga pengakuan bahwa masa lalu memang tidak akan pernah bisa dibuang, hanya bisa dihadapi.

Liora menatapnya lurus. "Aku tidak menulis puisi untuk siapa-siapa lagi. Tapi aku sedang menulis ulang diriku sendiri. Itu lebih penting daripada sekadar menulis untuk seseorang."

Amara mengangguk perlahan. Dan untuk pertama kalinya, ada senyum tipis di wajahnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 69

    Sudah lewat tengah malam ketika Liora baru sadar dia belum makan apa pun sejak pagi. Lampu ruangannya masih nyala, meski listrik sempat beberapa kali turun karena hujan yang terus mengguyur sejak sore. Mikael masih di ruang server, sementara Clara duduk di pojok ruangan, menatap layar yang kosong. Matanya sayu, tapi tangannya masih memegang ponsel, seolah takut melewatkan sesuatu. Liora menatapnya. “Lo belum tidur lagi?” Clara menggeleng. “Nggak bisa. Setiap kali gue merem, yang kebayang cuma muka Rayden waktu terakhir kali kita kerja bareng. Tatapan dia waktu itu... beda, Li. Gue masih inget banget.” Liora menarik napas pelan. “Gue tahu. Tapi sekarang bukan waktunya mikirin masa lalu. Dia udah mulai nyerang. Kita harus siap.” “Gue capek, Li,” kata Clara lirih. “Lo tahu nggak, setiap hari gue bangun dengan perasaan kayak... semua ini nggak akan selesai.” Liora menatapnya lama, lalu mendekat. “Denger, Clara. Gue nggak janji semuanya bakal baik-baik aja. Tapi gue janji sat

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 68

    Malam itu udara Cisarua dingin menusuk.Lampu di dalam rumah Rayden redup, hanya satu bohlam di ruang tamu yang masih menyala.Di meja, tumpukan dokumen berantakan, berserakan dengan botol minuman yang sudah hampir kosong.Rayden duduk diam.Matanya sembab, tapi pikirannya masih penuh perhitungan.Setiap detik, dia menatap layar laptopnya, menunggu sesuatu yang bahkan dia sendiri nggak yakin masih ada.Tiba-tiba, suara ketukan di pintu terdengar pelan.Satu kali. Dua kali. Lalu berhenti.Rayden berdiri dengan langkah berat. “Siapa?”Suara dari luar jawab singkat, “Orang lama, Den.”Rayden buka pintu perlahan. Di luar berdiri seseorang yang dulu pernah kerja untuknya, Rafi anak muda yang pernah dia tolong, tapi kemudian memilih keluar karena muak dengan cara Rayden bekerja.“Lo ngapain ke sini?” tanya Rayden datar.Rafi menatap dia lama. “Lo masih punya waktu buat nyelamatin diri, Den. Jangan terusin ini.”Rayden ketawa kecil, pahit. “Nyelamatin diri? Dari siapa? Dari mereka? Dari ora

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 67

    Sudah seminggu sejak malam itu di gudang.Rayden menghilang, tapi kabarnya masih ada di mana-mana. Nama yang dulunya ditakuti sekarang cuma disebut dengan nada waspada bukan hormat, tapi takut karena nggak tahu dia bakal ngelakuin apa selanjutnya.Liora jarang bicara. Dia datang ke kantor tiap pagi, buka komputer, kerja, tapi matanya nggak pernah benar-benar fokus.Di meja seberang, Mikael sering nyoba mulai percakapan, tapi selalu berhenti di tengah.Hari itu, Clara datang lebih pagi dari biasanya.Rambutnya diikat, matanya masih bengkak. Dia nggak nyapa siapa pun, cuma langsung buka map besar di tangannya.“Lo harus liat ini,” katanya pelan ke Liora.Liora nyari posisi duduk, lalu buka map itu.Di dalamnya ada laporan bank, tanda tangan palsu, dan data transfer yang aneh.“Dari mana lo dapet ini?” tanya Liora.“Dari orang gue di bagian audit internal,” jawab Clara. “Rayden mindahin dana proyek ke rekening atas nama perusahaan kosong. Jumlahnya gede banget.”Mikael nyengir miris. “Di

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 66

    Udara malam itu berat, seperti mengandung sesuatu yang mau pecah tapi nahan diri.Kota masih hidup, tapi Liora ngerasa semuanya bergerak lebih cepat dari yang seharusnya.Telepon berdering tanpa henti, pesan datang bertubi-tubi laporan, kabar, potongan berita yang semua punya satu nama di dalamnya: Rayden.Mikael nyampe ke apartemennya jam sebelas lewat.Mukanya kusut, kemejanya lecek, napasnya berat. Dia nggak langsung duduk, cuma berdiri di depan meja makan yang penuh map dan laptop.“Dia mulai gila, Li,” katanya akhirnya. “Dia ngejar semua orang, bahkan anak buahnya sendiri.”Liora masih menatap layar di depannya, jari-jarinya berhenti di atas keyboard.“Apa maksud lo?”“Dia datengin orang-orang kepercayaannya satu-satu. Nanya siapa yang ngasih bocoran data. Nggak ada yang jawab. Sekarang dua orang hilang. Nggak tahu ke mana.”Liora nunduk pelan, napasnya pelan tapi dalam. “Dia udah kehabisan cara.”Mikael jalan ke jendela, buka tirai sedikit. Di luar, hujan turun halus, tapi kons

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 65

    Udara Jakarta pagi itu berat. Langit mendung, tapi nggak hujan. Suasana di kantor terasa aneh kayak semua orang tahu ada sesuatu yang lagi berubah, tapi nggak ada yang mau ngomong.Liora datang tanpa suara. Rambutnya diikat seadanya, wajahnya datar, tapi matanya capek banget.Mikael udah di ruangannya, lagi buka laporan keuangan proyek. Begitu Liora masuk, dia langsung nutup layar.“Dia mulai main kasar,” kata Mikael tanpa basa-basi.Liora duduk, naruh tas di lantai. “Kali ini apa?”“Semua supplier yang kerja sama sama kita dapet surat dari Rayden. Dia ancam mereka buat cabut.”Liora ngangguk pelan, tanpa ekspresi.“Berapa yang udah mundur?”“Tiga. Mungkin lima lagi nyusul kalau kita nggak gerak cepat.”Liora diam sebentar. “Dia udah nyiapin ini lama.”“Gue tahu,” sahut Mikael. “Tapi yang aneh, dia terlalu cepat. Biasanya dia lebih sabar dari ini.”Liora ngelirik. “Mungkin karena dia tahu waktunya nggak banyak.”Mikael nggak jawab, tapi wajahnya berubah.Beberapa hari kemudian, Rayde

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 64

    Hujan tetap turun, seperti rutinitas yang tak mau dilanggar. Jalanan lengang, lampu-lampu neon di kejauhan berkedip samar, dan angin membawa bau tanah basah masuk ke sela-sela pintu kaca kantor. Di dalam, hanya satu lampu meja yang menyala, melemparkan lingkaran hangat ke meja kerja penuh kertas.Liora duduk tegak, pandangannya tetap pada layar laptop yang menampilkan daftar nama dan nomor akun. Jarum jam di dinding menunjuk larut, tapi waktu rasanya melambat. Dia menutup sebuah file, membukanya lagi, mengecek ulang satu per satu dokumen legal yang baru saja dikirimkan ulang ke sistem. Semua berlabel atas nama Rayden.Tiga hari lalu mereka menemukan folder itu — bukti bahwa seseorang mengakses server mereka tepat saat rapat kedap-kedip terakhir. Tiga hari lalu, mereka tahu ada yang mengintip. Hari ini, fakta yang lebih pahit hadir: orang yang pernah mereka kenal, yang pernah mereka bantu dan juga caci, kembali dengan otoritas yang membuat mereka kehilangan pijakan.Kopinya dingin. Lio

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status