Share

bab 5

Penulis: Senja
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-30 14:44:40

Sudah dua minggu sejak Liora berbicara empat mata dengan Rayden. Sejak itu, mereka tak banyak bertukar kata. Dan itu, untuk pertama kalinya dalam hidup Liora, terasa seperti kemenangan kecil. Tidak ada lagi dorongan untuk mengecek notifikasi. Tidak ada lagi perasaan menunggu yang menggantung di sela-sela pekerjaan.

Namun, bukan berarti semuanya menjadi mudah. Luka tidak selalu berdarah, tapi tetap terasa nyeri. Ada saat-saat ketika Liora masih terdiam lama di depan cermin, bertanya-tanya bagaimana ia bisa percaya begitu dalam pada seseorang yang melihatnya hanya sebagai pelarian.

Suatu malam, ia duduk bersama Mikael di taman kota. Tidak banyak orang. Hanya angin, lampu temaram, dan percakapan mereka yang pelan.

“Kamu tahu,” Liora membuka suara sambil menatap pohon besar di depannya, “aku dulu suka banget sama bayangan hubungan sempurna. Tapi makin ke sini, aku sadar... aku cuma pengen dimengerti tanpa harus menjelaskan diriku ribuan kali.”

Mikael menoleh pelan. “Dan kamu pernah merasa begitu?”

Liora mengangguk. “Sama kamu. Lucunya, bukan karena kita sering ngobrol. Tapi karena kamu nggak maksa aku buat jadi versi yang lebih mudah dimengerti.”

Mikael tak menjawab. Ia hanya menghembuskan napas panjang, lalu bersandar di bangku taman.

“Kamu nggak perlu buru-buru suka aku,” katanya pelan, “Aku bahkan nggak minta itu. Aku cuma ingin ada di dekatmu, sampai kamu sadar bahwa kamu pantas dicintai tanpa harus kehilangan dirimu sendiri.”

Kata-kata itu menampar lembut bagian terdalam dari hati Liora. Bukan karena romantis, tapi karena jujur. Ia tidak tahu apakah ia sudah mulai membuka hatinya untuk Mikael, tapi satu hal pasti ia tak lagi merasa sendirian dalam sunyi.

Malam itu, saat pulang ke apartemen, Liora membuka dokumen kosong di laptopnya dan mulai menulis. Bukan cerita cinta, bukan catatan kemarahan. Tapi sesuatu yang sederhana:

“Luka tidak selalu berdarah. Kadang, ia hanya muncul dalam bentuk diam. Tapi dalam diam itu, aku mulai belajar menerima diriku kembali.”

Dan dengan itu, bab baru dalam hidupnya pelan-pelan mulai terbuka tanpa tergesa, tanpa harus menghapus semua luka. Hanya dengan keberanian untuk tetap berjalan meski sesekali masih menoleh ke belakang

Hujan turun sejak pagi, membasahi jendela kantor dengan gemericik yang terus menerus. Liora duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop tanpa benar-benar melihat. Ada presentasi yang harus diselesaikan, deadline menumpuk, dan rekan kerja yang lalu lalang. Tapi otaknya seperti kosong. Matanya tak bisa lepas dari jendela yang berkabut.

Mikael datang lebih awal pagi itu. Ia membawa dua kopi hangat dan sebuah muffin kecil. Ia meletakkannya di samping meja Liora tanpa berkata-kata. Hanya senyum kecil, seperti biasa. Dan entah kenapa, hari Liora terasa sedikit lebih bisa dijalani.

"Mikael," katanya lirih sambil menyentuh cangkir kopi, "kamu pernah ngerasa... kayak udah berusaha kuat, tapi capeknya nggak ilang juga?"

Mikael menoleh, lalu duduk di kursi seberang meja.

"Capek itu nggak harus dihilangin, Lo. Kadang cuma perlu diakui. Kadang kita terlalu keras sama diri sendiri karena ngerasa nggak boleh lemah. Padahal, nggak ada yang salah dari ngerasa lelah."

Liora menatap kopi itu lama. Uapnya menari di udara, seolah ingin menghangatkan sisa dingin dalam dadanya. Lalu ia berkata pelan, hampir tak terdengar, "Aku takut. Takut kalau ternyata semua ini cuma perasaan sesaat. Takut kalau aku hanya numpang sembuh di kamu."

Mikael tidak menjawab cepat. Ia menatap wajah Liora dalam-dalam, seperti membaca halaman buku yang rapuh dan kusut.

"Kalau kamu cuma numpang sembuh, aku rela jadi tempatnya," katanya akhirnya. "Selama kamu nggak pura-pura bahagia. Selama kamu jujur sama diri sendiri. Aku lebih pilih disakitin karena kenyataan, daripada disayang karena kepura-puraan."

Kalimat itu menampar sesuatu dalam diri Liora. Ia terbiasa disayang dengan syarat. Terbiasa dianggap cukup hanya ketika ia bisa memberi. Terbiasa diminta mengerti, tapi tak pernah benar-benar dimengerti. Tapi di depan Mikael, semuanya terasa berbeda. Seolah ia boleh rusak, dan tetap diterima.

Sore itu, setelah hujan reda, Liora berjalan pulang tanpa payung. Jaketnya basah, sepatunya becek, tapi hatinya ringan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa tidak perlu menjadi kuat setiap saat.

Malamnya, ia menelepon ibunya. Sesuatu yang sudah lama tidak ia lakukan sejak konflik lama tak pernah benar-benar selesai.

"Ma?"

Suara di ujung sana diam sesaat. Lalu, "Liora? Ada apa?"

Liora menggigit bibir bawahnya. "Nggak ada. Cuma pengen denger suara Mama aja."

"Kamu kenapa? Butuh uang? Atau kamu sakit?"

Pertanyaan itu menusuk. Bahkan untuk sekadar mendengar rindu, Liora harus punya alasan. Tapi ia menelan kecewa itu, dan menjawab pelan, "Nggak, Ma. Aku cuma pengen bilang... aku baik-baik aja sekarang. Dan aku harap Mama juga."

Sambungan itu berakhir dengan hening. Tapi Liora tahu, ia tidak menelepon untuk mendapat pelukan lewat kata. Ia menelepon untuk melepaskan beban. Untuk menandai bahwa ia telah berjalan cukup jauh dari luka lama meski belum sepenuhnya sembuh.

Esok harinya, sesuatu terjadi. Rayden tidak masuk kantor. Gosip beredar cepat. Katanya ia diminta cuti oleh atasan karena performa kerja menurun drastis. Ada yang bilang ia terlibat masalah dengan salah satu klien. Liora tidak peduli. Atau, setidaknya berusaha untuk tidak peduli.

Namun, saat malam tiba, sebuah pesan muncul di layar ponselnya:

Aku nggak tahu kenapa kamu bisa sebahagia itu setelah semuanya. Tapi aku harap kamu sadar, nggak semua luka bisa kamu tutupi dengan senyum.

Liora menatap layar itu lama. Lama sekali. Lalu, tanpa ragu, ia menghapus pesan itu. Karena untuk pertama kalinya, ia sadar, tidak semua luka harus dijelaskan. Tidak semua masa lalu layak diberi penjelasan.

Ia menulis lagi malam itu. Bukan untuk siapa-siapa. Hanya untuk dirinya sendiri:

“Ada yang retak tapi tidak pecah. Itu aku. Dan aku baik-baik saja.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 56

    Malam itu, di kantor kecil mereka, lampu-lampu hangat menyinari meja panjang penuh dokumen, laptop, dan catatan-catatan. Hujan deras di luar seakan menambah ketegangan, tapi di dalam ruangan, suasana lebih panas: ini adalah malam perencanaan terakhir sebelum aksi dimulai. Liora duduk di tengah, membuka dokumen yang dikirim Clara. Mikael menatap layar laptop, jari-jari siap mengetik setiap instruksi. Clara, meski lelah, duduk di samping dengan mata tajam dan penuh konsentrasi. “Baik,” Liora membuka pembicaraan, “dokumen ini memberi kita titik masuk yang jelas. Kita tahu aliran uang, siapa yang terlibat, dan lokasi perusahaan cangkang. Sekarang, kita harus menentukan siapa melakukan apa.” Mikael menatap mereka berdua. “Clara akan tetap masuk sebagai mata-mata di Eterna. Semua bukti akan terus dia kirim ke kita secara terenkripsi. Dia juga harus memperhatikan siapa pun yang mencurigakan tidak hanya Rayden, tapi juga staf yang mungkin bagian dari jaringan.” Clara mengangguk, meski

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 55

    Pagi itu, udara Jakarta terasa lembap. Clara berdiri di depan gedung Eterna Global Trading, detak jantungnya berpacu kencang. Gedung kaca tinggi itu memantulkan sinar matahari pagi, seolah menantang keberaniannya. Ia mengenakan blazer hitam sederhana, rambut diikat rapi, dan tas kerja tipis yang menyembunyikan alat-alat pengawasan dari Mikael. Di tangannya, resume lamanya yang sudah dimodifikasi. Ia menelan ludah. “Ini dia, titik awalnya,” bisiknya pelan. Clara memasuki lobi gedung dengan langkah mantap, meskipun seluruh tubuhnya bergetar. Petugas keamanan menatapnya sebentar, lalu mengangguk ketika melihat ID palsu yang sudah disiapkan Mikael. “Selamat pagi, Bu Clara,” sapa petugas, seolah tak menaruh curiga. Clara menahan napas, tersenyum tipis. “Selamat pagi.” Setiap langkah di lantai marmer itu terasa seperti berjalan di atas kaca tipis. Ia tahu, satu kesalahan kecil bisa membuatnya terdeteksi Rayden atau orang-orang yang bekerja untuknya. Pertemuan dengan Tim HR Cla

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 54

    Malam itu kantor Liora tidak seperti biasanya. Lampu-lampu masih menyala, layar komputer berderet penuh angka, dan tumpukan dokumen berserakan. Mikael duduk di depan monitor dengan kemeja yang sudah kusut. Jemarinya menari cepat di atas keyboard, wajahnya serius penuh konsentrasi. Clara duduk di kursi sebelah, masih menggenggam secangkir kopi yang sudah dingin. Sementara Liora berdiri di dekat jendela, menatap keluar seolah mencari jawaban dari kegelapan kota. “Jejak uang ini tidak mudah diikuti,” gumam Mikael, matanya tak lepas dari layar. “Rayden menggunakan beberapa rekening bayangan, semuanya lewat perusahaan cangkang.” “Bisakah kau tembus?” tanya Liora, nadanya tegas namun ada sedikit getaran. Mikael mengangguk kecil. “Aku sudah melewati dua lapis. Tapi ada sesuatu yang aneh. Rekening ini terhubung bukan hanya ke Rayden, tapi ke sebuah nama besar yang… jujur saja, tidak kusangka.” Clara mendekat, penasaran. “Siapa, Pak Mikael?” Mikael menekan enter, lalu sebuah nama m

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 53

    Malam itu, ruang rapat kantor Liora terasa lebih tegang daripada biasanya. Hanya ada tiga orang di sana: Liora, Mikael, dan Clara. Di luar, hujan deras mengguyur kota, seakan menyembunyikan segala percakapan yang terjadi di dalam. Clara duduk dengan wajah pucat, kedua tangannya menggenggam erat secangkir kopi yang sudah dingin. Ia tahu, sekali salah langkah, hidupnya bisa hancur. Tapi ia juga tahu, ini adalah kesempatan terakhir untuk menebus kesalahannya. “Clara,” suara Liora tenang tapi tegas, “kalau kau benar-benar ingin menebus semuanya, maka kau harus siap mengambil risiko yang sama besar dengan yang aku ambil.” Clara mengangguk cepat. “Aku siap, Bu. Aku tidak mau terus hidup di bawah ancaman Rayden.” Mikael menggeser laptopnya ke arah Clara. Di layar, muncul catatan komunikasi digital. “Kau bilang Rayden menghubungimu lewat pesan terenkripsi. Apakah kau masih menyimpannya?” Clara menarik napas panjang, lalu mengeluarkan ponselnya. “Aku simpan semuanya. Aku tidak berani

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 52

    Malam masih panjang ketika Rayden duduk di ruang kantornya yang hanya diterangi lampu meja. Asap rokok tipis mengepul di udara. Di depannya terbentang laporan keuangan dan sejumlah dokumen yang ia peroleh dengan cara yang tidak bersih. Matanya menyipit, penuh amarah bercampur obsesi. “Kalau kata-katamu bisa membuat orang mencintaimu, Liora, maka aku akan tunjukkan betapa rapuhnya dunia yang kau bangun.” Rayden mengetik pesan di ponselnya kepada seorang pengusaha yang dikenal licik, bernama Adrian Halberd. “Aku punya tawaran. Kita buat Liora terlihat terlibat dalam penggelapan dana proyek. Aku siapkan dokumennya, kau mainkan kontakmu di media. Kau dapat bagian, aku dapat kehancurannya.” Balasan datang singkat, penuh persetujuan: “Kau selalu tahu cara membuat orang jatuh, Rayden. Anggap selesai.” Rayden tersenyum tipis, dingin. “Kali ini, Liora tidak akan bisa lari.” Sementara itu, Liora dan Mikael duduk di sebuah kafe kecil yang jarang diketahui orang. Hujan turun lembu

  • Ketika Luka Lama Kembali Menyapa   Bab 51

    Pagi itu, notifikasi ponsel Liora tak berhenti berbunyi. Pesan, mention, dan email masuk seperti badai. Ia baru saja menyalakan televisi ketika berita pagi menayangkan headline yang membuat jantungnya berhenti sejenak: “Masa Lalu Kelam Liora Terungkap: Keluarga Sendiri Menyalahkannya atas Kejadian Tragis.” Gambar wajahnya terpampang besar di layar. Narasi berita itu seakan-akan menguliti dirinya hidup-hidup: kisah masa kecil, bagaimana ia pernah dituduh sebagai penyebab penderitaan ayahnya, dan bagaimana keluarganya lebih sering menyalahkan daripada merangkul. Semua itu rahasia yang ia simpan begitu dalam, yang hanya sedikit orang tahu kini diumbar ke dunia. Tangannya gemetar memegang remote. Pandangannya kabur, udara seakan hilang dari paru-parunya. “Tidak…” suaranya nyaris tak terdengar. Mikael yang baru masuk ke ruang tamu langsung menatap layar, lalu berbalik ke arahnya. “Lior—” Air mata jatuh, bukan karena malu, tapi karena luka lama yang dipaksa terbuka kembali.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status