Sudah dua minggu sejak Liora berbicara empat mata dengan Rayden. Sejak itu, mereka tak banyak bertukar kata. Dan itu, untuk pertama kalinya dalam hidup Liora, terasa seperti kemenangan kecil. Tidak ada lagi dorongan untuk mengecek notifikasi. Tidak ada lagi perasaan menunggu yang menggantung di sela-sela pekerjaan.
Namun, bukan berarti semuanya menjadi mudah. Luka tidak selalu berdarah, tapi tetap terasa nyeri. Ada saat-saat ketika Liora masih terdiam lama di depan cermin, bertanya-tanya bagaimana ia bisa percaya begitu dalam pada seseorang yang melihatnya hanya sebagai pelarian. Suatu malam, ia duduk bersama Mikael di taman kota. Tidak banyak orang. Hanya angin, lampu temaram, dan percakapan mereka yang pelan. “Kamu tahu,” Liora membuka suara sambil menatap pohon besar di depannya, “aku dulu suka banget sama bayangan hubungan sempurna. Tapi makin ke sini, aku sadar... aku cuma pengen dimengerti tanpa harus menjelaskan diriku ribuan kali.” Mikael menoleh pelan. “Dan kamu pernah merasa begitu?” Liora mengangguk. “Sama kamu. Lucunya, bukan karena kita sering ngobrol. Tapi karena kamu nggak maksa aku buat jadi versi yang lebih mudah dimengerti.” Mikael tak menjawab. Ia hanya menghembuskan napas panjang, lalu bersandar di bangku taman. “Kamu nggak perlu buru-buru suka aku,” katanya pelan, “Aku bahkan nggak minta itu. Aku cuma ingin ada di dekatmu, sampai kamu sadar bahwa kamu pantas dicintai tanpa harus kehilangan dirimu sendiri.” Kata-kata itu menampar lembut bagian terdalam dari hati Liora. Bukan karena romantis, tapi karena jujur. Ia tidak tahu apakah ia sudah mulai membuka hatinya untuk Mikael, tapi satu hal pasti ia tak lagi merasa sendirian dalam sunyi. Malam itu, saat pulang ke apartemen, Liora membuka dokumen kosong di laptopnya dan mulai menulis. Bukan cerita cinta, bukan catatan kemarahan. Tapi sesuatu yang sederhana: “Luka tidak selalu berdarah. Kadang, ia hanya muncul dalam bentuk diam. Tapi dalam diam itu, aku mulai belajar menerima diriku kembali.” Dan dengan itu, bab baru dalam hidupnya pelan-pelan mulai terbuka tanpa tergesa, tanpa harus menghapus semua luka. Hanya dengan keberanian untuk tetap berjalan meski sesekali masih menoleh ke belakang Hujan turun sejak pagi, membasahi jendela kantor dengan gemericik yang terus menerus. Liora duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop tanpa benar-benar melihat. Ada presentasi yang harus diselesaikan, deadline menumpuk, dan rekan kerja yang lalu lalang. Tapi otaknya seperti kosong. Matanya tak bisa lepas dari jendela yang berkabut. Mikael datang lebih awal pagi itu. Ia membawa dua kopi hangat dan sebuah muffin kecil. Ia meletakkannya di samping meja Liora tanpa berkata-kata. Hanya senyum kecil, seperti biasa. Dan entah kenapa, hari Liora terasa sedikit lebih bisa dijalani. "Mikael," katanya lirih sambil menyentuh cangkir kopi, "kamu pernah ngerasa... kayak udah berusaha kuat, tapi capeknya nggak ilang juga?" Mikael menoleh, lalu duduk di kursi seberang meja. "Capek itu nggak harus dihilangin, Lo. Kadang cuma perlu diakui. Kadang kita terlalu keras sama diri sendiri karena ngerasa nggak boleh lemah. Padahal, nggak ada yang salah dari ngerasa lelah." Liora menatap kopi itu lama. Uapnya menari di udara, seolah ingin menghangatkan sisa dingin dalam dadanya. Lalu ia berkata pelan, hampir tak terdengar, "Aku takut. Takut kalau ternyata semua ini cuma perasaan sesaat. Takut kalau aku hanya numpang sembuh di kamu." Mikael tidak menjawab cepat. Ia menatap wajah Liora dalam-dalam, seperti membaca halaman buku yang rapuh dan kusut. "Kalau kamu cuma numpang sembuh, aku rela jadi tempatnya," katanya akhirnya. "Selama kamu nggak pura-pura bahagia. Selama kamu jujur sama diri sendiri. Aku lebih pilih disakitin karena kenyataan, daripada disayang karena kepura-puraan." Kalimat itu menampar sesuatu dalam diri Liora. Ia terbiasa disayang dengan syarat. Terbiasa dianggap cukup hanya ketika ia bisa memberi. Terbiasa diminta mengerti, tapi tak pernah benar-benar dimengerti. Tapi di depan Mikael, semuanya terasa berbeda. Seolah ia boleh rusak, dan tetap diterima. Sore itu, setelah hujan reda, Liora berjalan pulang tanpa payung. Jaketnya basah, sepatunya becek, tapi hatinya ringan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa tidak perlu menjadi kuat setiap saat. Malamnya, ia menelepon ibunya. Sesuatu yang sudah lama tidak ia lakukan sejak konflik lama tak pernah benar-benar selesai. "Ma?" Suara di ujung sana diam sesaat. Lalu, "Liora? Ada apa?" Liora menggigit bibir bawahnya. "Nggak ada. Cuma pengen denger suara Mama aja." "Kamu kenapa? Butuh uang? Atau kamu sakit?" Pertanyaan itu menusuk. Bahkan untuk sekadar mendengar rindu, Liora harus punya alasan. Tapi ia menelan kecewa itu, dan menjawab pelan, "Nggak, Ma. Aku cuma pengen bilang... aku baik-baik aja sekarang. Dan aku harap Mama juga." Sambungan itu berakhir dengan hening. Tapi Liora tahu, ia tidak menelepon untuk mendapat pelukan lewat kata. Ia menelepon untuk melepaskan beban. Untuk menandai bahwa ia telah berjalan cukup jauh dari luka lama meski belum sepenuhnya sembuh. Esok harinya, sesuatu terjadi. Rayden tidak masuk kantor. Gosip beredar cepat. Katanya ia diminta cuti oleh atasan karena performa kerja menurun drastis. Ada yang bilang ia terlibat masalah dengan salah satu klien. Liora tidak peduli. Atau, setidaknya berusaha untuk tidak peduli. Namun, saat malam tiba, sebuah pesan muncul di layar ponselnya: Aku nggak tahu kenapa kamu bisa sebahagia itu setelah semuanya. Tapi aku harap kamu sadar, nggak semua luka bisa kamu tutupi dengan senyum. Liora menatap layar itu lama. Lama sekali. Lalu, tanpa ragu, ia menghapus pesan itu. Karena untuk pertama kalinya, ia sadar, tidak semua luka harus dijelaskan. Tidak semua masa lalu layak diberi penjelasan. Ia menulis lagi malam itu. Bukan untuk siapa-siapa. Hanya untuk dirinya sendiri: “Ada yang retak tapi tidak pecah. Itu aku. Dan aku baik-baik saja.”Pagi itu, sinar matahari masuk lewat kaca jendela kantor dengan terang yang tidak biasanya. Hujan beberapa hari terakhir seolah mengalah, memberi ruang pada langit cerah. Tapi hati Liora masih penuh awan. Meski rapat investigasi kemarin menyatakan ia tidak bersalah, ia tahu gosip tidak bisa mati secepat itu. Beberapa rekan menyapanya dengan senyum canggung. Ada yang pura-pura ramah, ada juga yang menunduk menghindar. Liora belajar untuk tidak terlalu peduli. Yang penting, ia masih berdiri. Di meja kerjanya, ada pesan dari sekretaris direktur. “Diminta hadir ke ruang direksi jam 11. Agenda: diskusi khusus.” Pesan singkat, tapi cukup membuat detak jantungnya kacau. Diskusi khusus? Apalagi sekarang? Jam 11 tepat, Liora naik ke lantai direksi. Lorongnya berbeda, lebih sepi, lebih mewah, dindingnya penuh lukisan modern dan aroma kopi mahal. Ia merasa canggung, tapi berusaha tegar. Begitu masuk, ia mendapati tiga orang sudah menunggu: Direktur Kreatif Global, seorang wanita elegan ber
Hari berikutnya, suasana kantor terasa lain. Bukan hiruk-pikuk kerja yang biasanya mengisi udara, melainkan bisik-bisik samar yang berputar di setiap sudut.Liora baru saja masuk ke ruangannya ketika dua rekan kerja buru-buru menutup percakapan mereka. Tatapan mereka berpindah sekilas ke arah Liora, lalu berpura-pura sibuk dengan laptop.Ia mencoba menepis rasa tidak nyaman. Tapi semakin ia berjalan menyusuri lorong, semakin terasa jelas: ada sesuatu yang sedang diperbincangkan. Dan itu tentang dirinya.Di meja kerjanya, Liora menyalakan komputer. Tapi pikirannya tidak bisa fokus. Ia ingat tatapan-tatapan tadi, juga nada bisik yang tak sempat ia tangkap.Beberapa menit kemudian, Mikael datang. Seperti biasa, membawa secangkir kopi hangat untuknya. Namun kali ini ia tidak langsung tersenyum lebar seperti biasanya.“Ada apa?” tanya Liora, menangkap perubahan ekspresinya.Mikael menaruh kopi di mejanya, lalu mencondongkan badan. Suaranya diturunkan. “Lo, kamu tahu nggak? Ada gosip bereda
Pagi itu kantor terasa lebih riuh dari biasanya. Semua orang sibuk, beberapa tim bahkan lembur semalaman demi revisi terakhir. Suasana penuh tekanan, tapi juga penuh energi.Liora duduk di mejanya, menatap layar yang penuh dengan slide presentasi yang sudah ia revisi sampai dini hari. Mata lelah, tapi ada kepuasan tersendiri melihat hasil kerja kerasnya.Tak lama, Amara muncul. Seperti biasa, penampilannya rapi dan berwibawa, tapi pagi itu ada sesuatu yang berbeda di wajahnya. Sorot matanya tajam, seolah sedang menyembunyikan sesuatu.“Liora,” katanya pelan, tapi jelas. “Aku sudah lihat revisi kamu.”Liora mengangguk, menunggu komentar.Amara menarik kursi, duduk di sampingnya. “Jujur saja, konsep kamu kuat. Terlalu kuat. Bahkan… bisa jadi lebih menonjol daripada rencana presentasi tim inti.”Liora terdiam. Ia tahu ini bukan sekadar pujian. Ada nada peringatan terselubung.“Apakah itu masalah?” tanya Liora akhirnya.Amara menatapnya lekat. “Masalah kalau kamu tidak tahu cara mengelola
Pagi itu, Liora bangun dengan rasa campur aduk. Kemenangan besok-presentasi sudah di tangannya, tapi ada sesuatu yang mengganjal perasaan yang belum sepenuhnya tenang. Seperti bayangan masa lalu yang menempel di setiap langkahnya. Ia membuka laptop, mengecek email masuk. Ada satu pesan dari Rayden, singkat tapi cukup untuk membuat dadanya berdebar. “Aku ingin bicara. Hari ini, setelah jam kerja.” Liora menatap layar sejenak. Rasanya ingin menutup email itu dan melupakan saja. Tapi ada sesuatu di nada tulisannya yang sulit diabaikan. Ia menarik napas panjang, menulis balasan singkat: “Baik. Kita bicara di kafe dekat kantor jam 6.” Di Kantor Seharian di kantor terasa berbeda. Liora mencoba fokus, tapi pikirannya sering melayang ke jam enam sore. Amara terlihat sibuk dengan dokumen dan rapat kecil bersama tim, tapi matanya beberapa kali menyapu arah Liora. Ada rasa penasaran, tapi juga sedikit was-was. Mikael datang seperti biasa, membawa kopi untuk Liora. Ia tersenyum hangat. “P
Ruang konferensi akhirnya kosong. Kursi-kursi yang tadi dipenuhi investor kini tertinggal sendirian, seperti saksi bisu pertunjukan Liora. Ia duduk di meja panjang, menarik napas panjang. Tubuhnya lelah, tapi hatinya terasa ringan campuran lega dan sedikit bangga yang tak biasa ia rasakan.Mikael masih duduk di kursi paling depan, menatapnya dengan senyum yang sama dari tadi. Tanpa berkata apa-apa, ia hanya mengangguk. Itu saja sudah cukup untuk membuat Liora merasa seperti pulang.Namun, udara lega itu segera tersayat oleh kehadiran dua orang yang tidak ia sangka masih ada di ruangan: Rayden dan Amara.Rayden berdiri di samping pintu, tangannya terkepal perlahan. Matanya tidak lagi menilai. Ia tampak... bingung. Seolah ada sesuatu yang ia lihat sekarang, tapi tidak bisa dijelaskan.Amara menatap Liora dengan tatapan yang sulit dibaca. Tidak dingin, tapi juga tidak sepenuhnya hangat. Ada campuran rasa penasaran, kekaguman, dan mungkin sedikit iri.Liora menarik napas. “Apa kalian masi
Pagi itu udara masih dingin. Hujan tipis turun, membasahi kaca jendela kantor yang berlantai dua puluh. Liora berdiri di depan cermin kamar mandi lantai bawah, menggenggam kedua tangannya erat-erat. Nafasnya pendek, seakan dadanya dikunci dari dalam. Ia mengenakan kemeja putih sederhana, blazer abu-abu muda, dan celana panjang hitam. Rambutnya diikat rapi, wajahnya diberi sedikit polesan make-up natural yang dipaksakan oleh tim Amara. Ia terlihat tenang dari luar, tapi tangannya bergetar halus saat menyentuh keran air. “Liora?” suara pelan terdengar dari pintu. Itu Mikael. Ia menoleh cepat, sedikit terkejut. “Kamu udah di sini?” Mikael melongok, tersenyum kecil. “Janji gue, kan? Kursi paling depan.” Liora berusaha tersenyum. “Aku... masih nggak yakin bisa.” Mikael masuk, menepuk pelan bahunya. “Kalau kamu jatuh, jatuh aja. Tapi jatuh di depan orang-orang itu lebih baik daripada nggak pernah berdiri sama sekali.” Ada keheningan sejenak. Hanya suara hujan yang terdengar di balik