Kira-kira Wati sudah tahu atau belum ya soal video itu?
Meski cuaca pagi ini begitu sendu, rasanga lebih nikmat menyelimuti tubuh dengan selimut tebal atau menyeruput teh hangat. Jangan seperti yang terjadi dengan Bram dan Laura. Berbeda tiga ratus enam puluh derajat dengan hawa di kediaman Bram. Pasangan suami-istri yang menikah secara siri ini masih belum berdamai perkara kemarin. Hawa panasnya masih terasa.Bram yang baru saja keluar dari kamar mandi langsung dicerca pertanyaan oleh Laura. Memang, sejak datang setengah jam yang lalu, Laura sudah menyuguhkan ragam pertanyaan, tapi Bram sepertinya membela tak ingin menjawab. Diacuhkan seperti itu membuat Laura semakin membenci Ratna. Pernikahan seumur jagung yang harusnya terbingkai indah. Namun, sebaliknya, senyum di bibir tipis yang selalu dipoles dengan lipstik nude itu tak bertahan lama.Bram memilih bungkam karena dia merasa sangat tersinggung dengan rentetan pesan yang dikirim Laura semalam. Ada yang ngilu di ulu hati saat dia baca pesan menohok soal Ratna. Apakah dia menyesal berce
"Kan kemarin kamu ikut ngatain Ratna simpanan om-om juga 'kan? Nggak mungkin nenek-nenek yang bikin itu toktok." Bram menaruh curiga pada Laura, apalagi kemarin Laura begitu semangat menyudutkan Ratna."Iya, aku emang ngatain, Mas. Tapi, juga itu masuk di logika 'kan. Aku juga nggak sembarangan nuduh, lho. Kamu lihat video itu kan dari kirimannya teman mama. Aku nggak kenal sama dia. Harusnya, kamu mikir, Mas!""Mati aku, kalau begini urusannya, bisa panjang. Aku harus melakukan sesuatu!" batin Laura.Tanpa mengulur waktu, Laura malah menarik tangan Bram masuk ke dalam kamar dan menghempaskan tubuh suaminya itu ke ranjang. Entah kekuatan dari mana yang datang."Apa-apaan kamu!" sentak Bram yang berusaha bangkit dari ranjang.Namun Bram kalah telat dari kesigapan Laura dan terpaksa pasrah karena Laura sudah duduk di atas dadanya."Sepertinya kamu butuh asupan gizi dari ku, Mas!" Laura membelai pipi Bram dengan lembut. "Masalah Mbak Ratna begitu menguras emosimu dua hari ini. Mari kita b
Bram semakin heran dengan ucapan Pak Sobri. Wajah Pak Sobri pun tampak agak tegang. Tak biasanya dia bersikap demikian. Malahan, Pak Sobri ini salah satu satpam paling ramah dan sudah bernaung di perusahaan itu kurang lebih selama dua puluh tahun.Bram sadar, dia sering memperlakukan Pak Sobri tidak sopan, tapi kali ini …"Pesan apa? Kenapa dia tidak langsung meneleponku? Kenapa harus nitip pesan begini? Sama satpam si pikun ini lagi. Apa dia sengaja mau bikin saya malu? Atau … karena dia …." Bram mencoba menerka-nerka sendiri dalam batinnya."Kurang tahu saya, Pak. Tadi cuma titip pesan, kalau bapak sampai disuruh ke ruangan."Melihat Bram masih bergeming, Pak Sobri memilih pamit, daripada ketiban masalah.Pak Sobri sedikit membungkukkan tubuhnya saat pamit, "Saya permisi dulu, Pak." Jempolnya turut mengarah ke arah luar."Hmm …," sahut Bram terkesiap seraya mengangguk, yang jelas tanpa ucapan terima kasih.Selepas Pak Sobri pergi, Bram merogoh ponsel keluaran terbaru dari saku celana
Bram tersentak melihat potongan rekaman CCTV yang diunggah ke aplikasi toktok. Sekilas dia menatap Arjuna lalu kembali menatap layar tablet canggih itu."Anda jelas tahu video ini. Dan … coba Anda simak bagaimana captionnya? Apa Anda masih ingin menyangkal?" cerca Arjuna dengan sorot mata tajam."A-anu … kenapa bisa rekaman CCTV di rumah saya sampai ter-upload ke aplikasi ini, Pak?" sentak Bram penuh kebingungan.Dia menyadari rekaman yang diunggah itu benar miliknya. Ingat betul bagaimana dia memperlakukan Ratna kala itu hingga menyuruh perempuan yang menerima dia apa adanya itu bersujud."Anda tidak perlu banyak ritme sandiwara. Saya paling tidak suka. Dan, terlepas dari isi rekaman yang juga bukan urusan saya. Yang ingin saya pertanyakan, kenapa ada caption bertuliskan seperti itu?" Suara Arjuna semakin lantang dari sebelumnya. Dia pun menyentak tablet yang sempat dipegang Bram, lelaki memakai baju outfit abu-abu pekat ini terkesiap dibuatnya."Kenapa Anda diam?""Anda sengaja mere
Selepas kepergian Arjuna, wajah memelas Bram berubah menjadi sorot kebencian. Ia kembali membatin. "Jangan harap Kau merasa menang karena telah mengancamku, Arjuna." "Selagi saya masih hidup, jangan harap kemenangan bisa Kau genggam," gumamnya lagi. Kedua tangan Bram tampak mengepal kuat, hingga uratnya tampak mencolok.Bram menatap ke sekeliling. Beberapa karyawan yang satu lantai dengannya berusaha bersikap biasa-biasa saja, meski mereka tahu apa yang terjadi.Ketika ingin membuka pintu ruangan dia menatap Shintia dengan tajam, ada luapan emosi dari sorot matanya. Shintia mau tidak mau harus menyapa atasannya ini dikarenakan meja kerjanya persis dekat pintu masuk ruang kerja Bram. "Siang, Pak.""Temui saya di dalam!" titah Bram.Tak lama Bram masuk ruangan, Shintia pun menyusul kemudian, tak lupa juga dia membawa beberapa berkas yang harus ditandatangani oleh atasannya itu."Kamu bisa nggak becus sedikit kerjanya, kenapa nggak kasih tahu saya? Apa kamu sengaja bikin malu saya depan
Setelah melepas Bapak Santoso di pelataran lobby, Bram langsung merogoh ponselnya di dalam saku celana, hendak menelpon seseorang. Mood dia yang membaik karena deal-nya kontrak kerjasama, membuat otak Bram yang tadinya panas, mereda beberapa saat. Hingga dia kepikiran untuk menghubungi salah satu teman sekolahnya dulu."Jadi bagaimana, Bro? Bisa diselidiki?" tanya Bram ke inti pembicaraan setelah berbasa-basi awalnya."Bisa lah, Bro. Aman lah soal itu.""Siap, aku terima beres ya, Bro. Masalah uang jangan diragukan, nanti setelah beres uangnya ditransfer langsung. Untuk DP aku kirim 30% dulu ya."Sip … sip …."Pesan berisikan rincian nomor rekening pun dikirim Bobi tak lama sambungan telepon berakhir. Tanpa menunda, Bram langsung mengirim uang sebanyak tiga ratus ribu rupiah pada Bobi."Bram, kok cuma segini? Dikit amat DP-nya," protes Bobi tak terima. Bobi langsung menelepon Bram tak lama mendapat transferan uang. Dia sangat kecewa, karena nominal yang dikirim Bram terbilang kecil."
"Mas … nggak, Mas. Aku nggak mau kita pisah, Mas." Laura bangkit dari sofa lalu langsung memeluk kaki Bram dengan erat.Bram berusaha menyentak kakinya, tapi …, "Lepasin, Laura. Cukup kamu buat aku malu. Caramu murahan, nggak mikir ke depannya gimana. Jadi … lebih baik kita berpisah!" tegas Bram sekali lagi.Tampaknya dia tak bisa memberi toleransi pada Laura yang hampir saja menghancurkan karir yang susah payah diraih Bram selama ini."Mas … aku tahu, aku salah. Maaf, Mas. Maaf …."Laura melepaskan kedua tangannya, kemudian bersimpuh di hadapan Bram. Ada bulir bening menyertai. Luruh tanpa jeda di pipinya yang mulus itu. Wati hanya terperangah sembari melirik pada anak semata wayangnya itu."Aku ngelakuin itu karena aku cemburu, Mas. Aku cemburu kamu berubah sejak resmi bercerai dari Mbak Ratna."Tangis Laura semakin menjadi-jadi."Kenapa kamu diam? Benar 'kan dugaanku.""Coba kamu jadi aku, Mas! Coba kamu merasakan apa yang aku rasakan! Pasti kamu tahu sakitnya seperti apa!""Kamu it
"Bapak Arjuna," sentak Ratna. Ada sekejap getaran yang terasa di dadanya."Ada apa dia nelpon pagi begini?" gumam Ratna disertai tatapan kosong.Tak ingin membiarkan terlalu lama, Ratna pun segera mengangkatnya. "Halo, Pak," sapa Ratna setelah telepon tersambung.Seberang sana, Arjuna tampak salah tingkah, ada juga perasaan tak enak ikut campur terlalu jauh. Namun, satu hari dia mencoba mendiamkan kegalauan sanubari, tak bisa dia tahan. Dan, pagi ini dia putuskan untuk menghubungi Ratna."Hai, Bu Ratna. Gimana keadaannya? Baik-baik saja 'kan?" tanya Arjuna basa-basi. Berusaha menciptakan suasana hangat biar kekakuan melebur perlahan.Ratna diam sesaat, sedikit mengerutkan keningnya, merasa heran dengan apa yang ditanyakan Arjuna. "Saya baik, Pak. Lebih baik malah. Kenapa, ya?" Ratna bertanya balik, ada rasa penasaran juga dengan sikap Arjuna padanya.Apalagi, kedatangan Arjuna sebagai saksi dalam persidangan. Selain itu, ada beberapa kali Ratna menangkap pernyataan yang keluar dari mul