Santoso mengalihkan pandangannya ke arah Lidya yang tertunduk takut."Benar apa yang dikatakan mami kamu, Lidya?" tanya Santoso dengan lantang.Hening tanpa jawaban. Tak dijawab langsung membuat emosi Santoso membuncah."Lidya, jawab papi!" teriak Santoso. Emosi yang tak terkontrol membuat Santoso drop seketika. Tangan kanannya memegang dada."Aaauuu …," pekiknya bersamaan dengan jatuhnya tubuh berbobot cukup besar itu ke lantai. Arjuna yang tidak begitu memperhatikan Santoso kalah cepat menyambut tubuh papinya itu."Mas!" pekik Shanti."Papi …," teriak Lidya histeris.Arjuna memapah tubuh Santoso dan merebahkannya di sofa.Napas Santoso tersengal-sengal menahan sesak."Ngapain kamu bengong, Lidya. Cepat telepon dokter!" desak Shanti yang panik."Sini aku telpon, mana nomor hape dokternya," ucap Arjuna."Aku nggak hapal, Mas." Lidya berlari menuju lantai dua untuk mengambil ponselnya yang ada di kamar.Namun, saat dirinya berhasil mengambil ponsel dan menuruni anak tangga kurang hati-
Rumah kediaman Santoso yang biasanya lengang, kini ramai didatangi oleh para pelayat. Pagi hari, jenazah Santoso dibawa pulang, karena atas keinginan Shanti otopsi diberhentikan, mengingat Shanti tak ingin jenazah suaminya itu melewati lima waktu sholat. Shanti tak ingin jenazah suaminya itu masih merasakan siksa dunia.Sanak saudara, klien, dan rekan kerja Santoso dulu turut hadir memberi doa sebelum Santoso dikebumikan. Dalam keramaian para pelayat yang datang, belum tampak batang hidung Ratna dan Devina. Mereka baru pagi ini terbang ke Jogja setelah semalam diberitahu oleh Arjuna.Pukul sebelas siang, Ratna dan Devina sampai juga di rumah duka. Shanti memeluk tubuh Ratna dengan erat."Maaf jika aku membawa sial, Mi. Kalau aku tidak ada mungkin papi masih ada," sesal Ratna seraya berbisik pada Shanti."Ini takdir Yang Maha Kuasa. Kamu bukan pembawa sial. Melalui kamu, Allah menyadarkan mami dari maruknya harta dan tahta."Tapi, Mi ….""Sudah, Ratna. Kamu tidak perlu terus-terusan me
Di pusara yang berhiaskan rumput jepang Lidya menangis sejadi-jadinya. Hari ini tepat satu bukan kepergian Santoso dan hari pertama Lidya diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Kondisi yang sangat parah membuat dirinya sering drop."Pi, aku menyesal. Sangat menyesal. Andai waktu itu aku mendengar kata Kak Sonia, pasti semua ini nggak akan kayak gini.""Pi, kenapa harus pergi dengan cara gini? Kenapa papi perginya nggak bawa aku sekalian aja?"Air mata Lidya mengalir deras tanpa jeda. Mata dan hidungnya merah. Suaranya pun terdengar parau. Dari jarak satu meter Sonia hanya diam membisu seraya menatap sendu adik bungsunya yang meratapi kepergian lelaki tercintanya."Sudah, Lid. Papi sudah tenang di sana. Nggak sakit lagi." Sonia akhirnya menghampiri tubuh ringkih adiknya yang memeluk pusara Santoso.Lidya yang tak sesehat dulu jelas membuat Sonia khawatir. Apalagi bagian kepalanya yang bocor akibat jatuh dari tangga sebulan yang lalu itu."Lepasin aku, Kak. Aku mau disini nemenin papi."
"Ratna!" Kamu bisa nyapu nggak, sih? Gitu aja nggak becus!" Suara cempreng yang kuyakin berasal dari mertuaku menggema di seluruh penjuru rumah.Kuhentikan aktivitas tersebut dan menoleh padanya. Perempuan yang sudah berumur 55 tahun itu berjalan mendekat ke arahku yang berdiri dekat sofa single di ruang tamu."Maaf, Ma." Ada rasa ngilu di sanubari ini saat mama mertua tak pernah berujar dengan lembut padaku."Nyapu itu jangan lembek, gemulai-gemulai nggak jelas, tuh lihat nggak bersih jadinya!" protesnya diiringi dengan nada bicara yang meninggi. Bukan mulutnya saja yang berbicara, telunjuknya pun ikut bermain sembari berkacak pinggang."Iya, Ma. Aku akan terus belajar biar menyapunya semakin bersih," jawabku pasrah."Jangan iya-iya aja. Masa pekerjaan gampang begini masih juga diajarkan!" umpatnya sembari menyentak kasar tangkai sapu dalam genggamanku."Tuh. Begitu! Ngerti nggak? Kalau diajarin itu nyimpen dikit kek ke otak, jangan asal angguk-angguk aja!" bentaknya lagi. Perempuan b
“Apa?” Aku terperangah, membeku di tempat dengan wajah yang mungkin terlihat sangat konyol. “Apa maksud kamu, Mas?!” tanyaku sambil menahan air mata agar tak jatuh."Kamu budek, Rat? Aku bilang dia calon madumu. Artinya, Laura akan jadi istriku selanjutnya!" ucapnya angkuh sambil meraih bahu j*lang di sampingnya agar semakin menempel ke pelukannya.Bagai tersambar petir, aku tak bisa lagi membendung sesak di dada saat mendengar jawaban sekaligus menyaksikan tindakan Mas Bram yang tanpa malu itu."Aku udah berusaha jadi istri yang baik selama ini. Aku urus rumah, aku rawat anak kita, siapin semua keperluan kamu, bahkan mama juga. Kenapa, Mas?" Aku tak bisa lagi membendung sesak di dada."Itu aja nggak cukup, Rat! Suami juga perlu dimanja istri. Coba lihat penampilan kamu sekarang!” Mata Mas Bram kini bak menelanjangiku dari ujung kaki hingga ke ujung kepala.“Ck, kamu bahkan lebih mirip tukang sayur daripada istri seorang manager!” ejeknya seraya tertawa sinis. Sementara aku yang menjad
Seluruh tubuh ini terasa bergetar dengan hebat. Dadaku naik-turun dengan cepat setelah mendesak Mas Bram untuk mengucapkan talak. “Yakin?” tantangnya, lengkap dengan senyum mengejek. “Sekali aku mengabulkan, tidak akan aku ubah lagi sekalipun kau sujud di kakiku!” “Seumur-umur menjadi istrimu, baru kali ini aku meminta sesuatu padamu dan tidak pernah aku seyakin ini, Mas.” Mataku nyalang menatap Mas Bram. Lalu kulangkahkan kaki menuju kamar, muak melihat wajahnya yang tanpa rasa bersalah itu. "Baiklah jika itu maumu," teriaknya tak mau kalah saat aku berlari masuk ke kamar. Brak! Tubuh ini terasa tak bertulang saat aku baru saja menutup dan mengunci pintu. Terduduk. Air mata yang sejak tadi aku tahan, kini tak terbendung lagi, tumpah ruah bagai air terjun. Bayangan saat ijab kabul delapan tahun lalu kembali terbesit di kepalaku. Sungguh tak kusangka, Mas Bram akan menyuguhkan sakit luar biasa dalam pernikahan ini. Aku malah sangat percaya diri kala itu, dicintai dengan lebih, dir
"Jangan sampai ada yang salah." Mataku terlihat dingin seiring kukatakan kalimat berikutnya, "Pastikan semua berjalan lancar atau kalian akan tahu akibatnya!" Kuanggukkan kepala, refleks menjawab ucapan dari sisi seberang. "Terima kasih."Klik. Kuputuskan sambungan telepon dengan cepat.Helaan napas berat kuembuskan, merasa sangat lelah. Kuangkat pandangan ke atas, menatap langit yang sudah berganti warna. Aku tidak bisa berdiam lebih lama lagi di sini."Aku ... harus cari tempat tinggal," gumamku seraya bangkit dari duduk saat melihat sebuah angkot menepi ke halte, telah kutentukan daerah tujuanku berikutnya.Setelah menempuh perjalanan kurang lebih setengah jam menggunakan angkot, aku pun turun di sebuah gang komplek perumahan. Meski asing dan jarang lewat tempat ini, tapi sering kudengar daerah tersebut merupakan tempat nyaman yang menyediakan banyak rumah kost atau kontrakan dengan harga murah.Berjalan sekitar 100 meter dari gang, mataku tertuju pada tulisan di sebuah pagar, 'Teri
‘Lumayan juga,’ batinku kala memandang ruangan yang berukuran tak seberapa itu.Setelah mendapatkan kunci dan diberikan rentetan wejangan dari Bu Soimah, istri Pak Juki, terkait jam kunci gerbang dan sebagainya, aku telah tiba di kamarku yang berada di lantai dua. Ruangan kecil dengan satu tempat tidur dan lemari itu memang sederhana, tapi paling tidak cukup untuk diriku seorang.Baru saja kurebahkan tubuh setelah berbenah dan membersihkan diri, aku pun langsung terlelap tanpa sadar. Detik berikutnya kubuka mata, cahaya terang telah menembus jendela. Saking lelahnya kemarin, aku pun tak sadar hari baru sudah menyapa. Ternyata seperti ini rasanya tertidur pulas bahkan tak kenal waktu saat terjaga.‘Kalau di rumah dulu, mana bisa?’ ujarku dalam hati sembari tertawa pahit.Aku melihat jam di layar ponsel menunjukkan waktu pukul delapan pagi. Namun, pandanganku malah terpaku pada foto Devina yang kujadikan wallpaper di layar ponsel."Devina, Ibu rindu," gumamku seraya menyusuri foto putri