Lidya tersentak kaget ketika melihat sosok yang sempat dia cari sebelumnya tiba-tiba datang tanpa kode."Ngapain kamu kesini? Nggak ada sopan santunnya sama sekali!" serang Arjuna yang terlihat begitu marah pada adik bungsunya itu.Mendengar suara Arjuna berada di luar rumah, Ratna pun bergegas ke sumber suara."Mas, kamu kok bisa tahu Lidya disini?" tanya Ratna penasaran."Nggak usah sok nanya, dasar perempuan bermuka dua," geram Lidya melihat Ratna tiba-tiba nimbrung. Dipikiran Lidya, Ratna lah yang menghubungi Arjuna. Dan, sekarang malah seorang bertanya."Jaga mulut kamu, Lid. Sembarangan aja kalau bicara!" sergah Arjuna. "Aku minta maaf atas sikap Lidya sama kamu, Rat. Nanti malam aku ke sini lagi.""Kamu ikut aku sekarang!" Arjuna menarik kasar tangan Lidya untuk masuk ke dalam mobil.Selama ini Arjuna tidak pernah berkata kasar ataupun bersikap kasar pada saudara perempuannya itu. Namun, tingkah Lidya yang kelewatan batas, tak ada toleransi lagi.Ratna melepas kepergian Arjuna
"Mami dan Mas Arjuna pasti nggak tahu 'kan kalau papi sakit parah.""Jantung 'kan?""Bukan," bantah Lidya."Lalu apa, Lid. Kamu daritadi setengah-setengah aja ngomongnya. Bikin makin panik," sungut Shanti yang sudah mulai kesal."Papi, sakit kanker paru-paru kata dokter, Mi."Shanti dan Arjuna saling menoleh heran."Kamu jangan asal ngomong ya? Mana mungkin papi kena kanker," protes Shanti. Menurut Shanti, suaminya itu tampak seperti biasanya. Tak ada tanda jika suaminya memginap penyakit yang berbahaya itu."Sudah, sekarang kamu balik ke Jogja, biar aku temui papi besok. Dan, cukup bersikap lancang sama Ratna. Dia itu hanya korban dan kamu tidak punya hak mencampuri semua ini."Lidya bangkit dari duduknya, lalu berdiri berhadapan dengan Arjuna."Tanpa Mas suruh pun aku akan pulang. Tak sudi tinggal disini dengan orang seperti mas dan mami. Egois!"Lidya menyentak dengan kasar saat membuka pintu dan menghempaskannya dengan keras saat menutupnya kembali."Biarkan saja, Ar. Lidya meman
Santoso mengalihkan pandangannya ke arah Lidya yang tertunduk takut."Benar apa yang dikatakan mami kamu, Lidya?" tanya Santoso dengan lantang.Hening tanpa jawaban. Tak dijawab langsung membuat emosi Santoso membuncah."Lidya, jawab papi!" teriak Santoso. Emosi yang tak terkontrol membuat Santoso drop seketika. Tangan kanannya memegang dada."Aaauuu …," pekiknya bersamaan dengan jatuhnya tubuh berbobot cukup besar itu ke lantai. Arjuna yang tidak begitu memperhatikan Santoso kalah cepat menyambut tubuh papinya itu."Mas!" pekik Shanti."Papi …," teriak Lidya histeris.Arjuna memapah tubuh Santoso dan merebahkannya di sofa.Napas Santoso tersengal-sengal menahan sesak."Ngapain kamu bengong, Lidya. Cepat telepon dokter!" desak Shanti yang panik."Sini aku telpon, mana nomor hape dokternya," ucap Arjuna."Aku nggak hapal, Mas." Lidya berlari menuju lantai dua untuk mengambil ponselnya yang ada di kamar.Namun, saat dirinya berhasil mengambil ponsel dan menuruni anak tangga kurang hati-
Rumah kediaman Santoso yang biasanya lengang, kini ramai didatangi oleh para pelayat. Pagi hari, jenazah Santoso dibawa pulang, karena atas keinginan Shanti otopsi diberhentikan, mengingat Shanti tak ingin jenazah suaminya itu melewati lima waktu sholat. Shanti tak ingin jenazah suaminya itu masih merasakan siksa dunia.Sanak saudara, klien, dan rekan kerja Santoso dulu turut hadir memberi doa sebelum Santoso dikebumikan. Dalam keramaian para pelayat yang datang, belum tampak batang hidung Ratna dan Devina. Mereka baru pagi ini terbang ke Jogja setelah semalam diberitahu oleh Arjuna.Pukul sebelas siang, Ratna dan Devina sampai juga di rumah duka. Shanti memeluk tubuh Ratna dengan erat."Maaf jika aku membawa sial, Mi. Kalau aku tidak ada mungkin papi masih ada," sesal Ratna seraya berbisik pada Shanti."Ini takdir Yang Maha Kuasa. Kamu bukan pembawa sial. Melalui kamu, Allah menyadarkan mami dari maruknya harta dan tahta."Tapi, Mi ….""Sudah, Ratna. Kamu tidak perlu terus-terusan me
Di pusara yang berhiaskan rumput jepang Lidya menangis sejadi-jadinya. Hari ini tepat satu bukan kepergian Santoso dan hari pertama Lidya diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Kondisi yang sangat parah membuat dirinya sering drop."Pi, aku menyesal. Sangat menyesal. Andai waktu itu aku mendengar kata Kak Sonia, pasti semua ini nggak akan kayak gini.""Pi, kenapa harus pergi dengan cara gini? Kenapa papi perginya nggak bawa aku sekalian aja?"Air mata Lidya mengalir deras tanpa jeda. Mata dan hidungnya merah. Suaranya pun terdengar parau. Dari jarak satu meter Sonia hanya diam membisu seraya menatap sendu adik bungsunya yang meratapi kepergian lelaki tercintanya."Sudah, Lid. Papi sudah tenang di sana. Nggak sakit lagi." Sonia akhirnya menghampiri tubuh ringkih adiknya yang memeluk pusara Santoso.Lidya yang tak sesehat dulu jelas membuat Sonia khawatir. Apalagi bagian kepalanya yang bocor akibat jatuh dari tangga sebulan yang lalu itu."Lepasin aku, Kak. Aku mau disini nemenin papi."
"Ratna!" Kamu bisa nyapu nggak, sih? Gitu aja nggak becus!" Suara cempreng yang kuyakin berasal dari mertuaku menggema di seluruh penjuru rumah.Kuhentikan aktivitas tersebut dan menoleh padanya. Perempuan yang sudah berumur 55 tahun itu berjalan mendekat ke arahku yang berdiri dekat sofa single di ruang tamu."Maaf, Ma." Ada rasa ngilu di sanubari ini saat mama mertua tak pernah berujar dengan lembut padaku."Nyapu itu jangan lembek, gemulai-gemulai nggak jelas, tuh lihat nggak bersih jadinya!" protesnya diiringi dengan nada bicara yang meninggi. Bukan mulutnya saja yang berbicara, telunjuknya pun ikut bermain sembari berkacak pinggang."Iya, Ma. Aku akan terus belajar biar menyapunya semakin bersih," jawabku pasrah."Jangan iya-iya aja. Masa pekerjaan gampang begini masih juga diajarkan!" umpatnya sembari menyentak kasar tangkai sapu dalam genggamanku."Tuh. Begitu! Ngerti nggak? Kalau diajarin itu nyimpen dikit kek ke otak, jangan asal angguk-angguk aja!" bentaknya lagi. Perempuan b
“Apa?” Aku terperangah, membeku di tempat dengan wajah yang mungkin terlihat sangat konyol. “Apa maksud kamu, Mas?!” tanyaku sambil menahan air mata agar tak jatuh."Kamu budek, Rat? Aku bilang dia calon madumu. Artinya, Laura akan jadi istriku selanjutnya!" ucapnya angkuh sambil meraih bahu j*lang di sampingnya agar semakin menempel ke pelukannya.Bagai tersambar petir, aku tak bisa lagi membendung sesak di dada saat mendengar jawaban sekaligus menyaksikan tindakan Mas Bram yang tanpa malu itu."Aku udah berusaha jadi istri yang baik selama ini. Aku urus rumah, aku rawat anak kita, siapin semua keperluan kamu, bahkan mama juga. Kenapa, Mas?" Aku tak bisa lagi membendung sesak di dada."Itu aja nggak cukup, Rat! Suami juga perlu dimanja istri. Coba lihat penampilan kamu sekarang!” Mata Mas Bram kini bak menelanjangiku dari ujung kaki hingga ke ujung kepala.“Ck, kamu bahkan lebih mirip tukang sayur daripada istri seorang manager!” ejeknya seraya tertawa sinis. Sementara aku yang menjad
Seluruh tubuh ini terasa bergetar dengan hebat. Dadaku naik-turun dengan cepat setelah mendesak Mas Bram untuk mengucapkan talak. “Yakin?” tantangnya, lengkap dengan senyum mengejek. “Sekali aku mengabulkan, tidak akan aku ubah lagi sekalipun kau sujud di kakiku!” “Seumur-umur menjadi istrimu, baru kali ini aku meminta sesuatu padamu dan tidak pernah aku seyakin ini, Mas.” Mataku nyalang menatap Mas Bram. Lalu kulangkahkan kaki menuju kamar, muak melihat wajahnya yang tanpa rasa bersalah itu. "Baiklah jika itu maumu," teriaknya tak mau kalah saat aku berlari masuk ke kamar. Brak! Tubuh ini terasa tak bertulang saat aku baru saja menutup dan mengunci pintu. Terduduk. Air mata yang sejak tadi aku tahan, kini tak terbendung lagi, tumpah ruah bagai air terjun. Bayangan saat ijab kabul delapan tahun lalu kembali terbesit di kepalaku. Sungguh tak kusangka, Mas Bram akan menyuguhkan sakit luar biasa dalam pernikahan ini. Aku malah sangat percaya diri kala itu, dicintai dengan lebih, dir