Arhan terduduk di sofa ruang tamunya, mata sembab, rambut berantakan, dan surat gugatan itu masih tergeletak di meja. Kata-kata “Gugatan Cerai” terus berulang-ulang di kepalanya bagaikan palu yang menghantam. Ia tahu seharusnya hari ini ia sibuk menyusun laporan proyek untuk Leonard. Namun pikiran itu hilang begitu saja, sirna oleh satu nama yang kini menguasainya, Alma. “Alma nggak mungkin tega melakukan ini … dia cuma marah sesaat. Aku harus bicara langsung. Aku harus menghentikan ini,” gumamnya dengan suara serak, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Tangannya gemetar saat meraih kunci mobil di atas meja. Tanpa sarapan, tanpa merapikan penampilan, ia langsung bangkit tergesa. Sepatu yang setengah dikenakan membuat langkahnya hampir terhuyung saat keluar rumah. Wajahnya kacau, mata merah berair, nafas berat dan tersengal. Mobil yang dikendarainya melaju ugal-ugalan di jalanan. Klakson dibunyikan berkali-kali saat beberapa kendaraan lain menghalangi jalannya. Beberapa pengendara s
Arhan menelan ludah ketika Leonard membuka pintu ruangan meeting yang selama ini menjadi pusat diskusi proyek. Ruangan elite itu mendadak terasa asing dan menyeramkan. Dindingnya dilapisi panel kayu elegan, meja oval besar penuh berkas tersusun rapi, dan layar monitor hitam terpajang di sisi dinding. Namun, atmosfer di dalamnya justru dingin dan menakutkan. “Duduk,” ucap Leonard singkat tanpa menoleh. Arhan menuruti, meski kakinya terasa berat. Napasnya masih kacau sejak meninggalkan kamar Nadine. Wajah Leonard tampak tenang, tapi tatapan matanya penuh perhitungan. Itu cukup membuat Arhan merasa seperti terdakwa di ruang interogasi. Beberapa detik hening sebelum Leonard membuka percakapan.“Arhan, aku mau dengar progres proyek yang sudah aku serahkan padamu.” Suaranya datar, tegas, tapi ia seperti sedang dihakimi. “Novomedica sudah mengeluarkan dana tidak sedikit untuk riset ini. Aku tidak mau alasan. Aku hanya butuh hasil. Mana laporanmu?” Arhan menegang. Matanya beralih pada tu
Langkah Arhan lunglai saat keluar dari ruangan Prof. Mahendra. Dunia seakan runtuh menimpa pundaknya. Kata-kata “nonaktif” masih terngiang jelas di kepalanya, menghantam kesadarannya berkali-kali. Baginya, keputusan itu bukan sekadar hukuman sementara, tapi seperti tanda-tanda kehancuran kariernya. Satu bulan tanpa status dokter aktif bisa dengan mudah menghancurkan reputasi yang ia bangun bertahun-tahun. Ia menyusuri lorong rumah sakit seperti orang kehilangan arah. Setiap langkah terasa berat, seakan semua mata memandanginya dengan tatapan sinis. Bayangan video rekaman bentakannya pada Nadine di ruang observasi kembali berputar dalam kepalanya. Apa aku sudah sebodoh itu? batinnya mencaci diri sendiri. Arhan menarik napas panjang, mencoba menegakkan bahu. Satu-satunya hal yang terpikirkan adalah proyek bersama Leonard. Ia tahu, proyek itu punya nilai besar di mata direksi rumah sakit. Jika ia bisa menorehkan prestasi lewat proyek itu, mungkin ada secercah harapan untuk menyelamatka
Arhan tercekat ketika mendengar namanya dipanggil oleh petugas rumah sakit. Jantungnya tiba-tiba berdebar cemas, wajahnya memucat.“Dokter Arhan, diminta ke ruangan Prof. Mahendra sekarang juga,” ulang petugas itu dengan nada serius. Dada Arhan berdegup keras. Apa Prof Mahendra sudah tahu? Apa mungkin percakapannya dengan Nadine barusan sampai ke telinga atasan? Tanpa pikir panjang, ia melangkah cepat keluar dari ruang observasi, meninggalkan Nadine dan Rafael yang saat ini masih mendapatkan sorot mata penuh tanda tanya dari para perawat. Sepanjang lorong, langkah kaki Arhan terdengar terburu-buru. Sesekali ia mengusap wajah, seolah ingin menghapus rasa malu yang masih membekas. “Sial … apa yang sudah kulakukan?” batinnya meraung. Sementara itu, di ruang observasi, suasana tetap hening tegang. Rafael hanya bisa merebahkan kembali tubuhnya di ranjangnya, menahan berbagai pikiran yang berdesakan di kepalanya. Tatapannya kosong, tapi hatinya dipenuhi amarah bercampur penyesalan. Ia me
Arhan mengepalkan tangannya. Tanpa sadar kakinya melangkah cepat masuk ke ruang observasi. Tatapannya langsung tajam pada Nadine yang brankarnya berada tak jauh dari pintu. Nadine yang sejak tadi menangis tersedu langsung tersentak. Gerakan kedua tangannya terhenti, seolah ketahuan sedang melakukan kejahatan. Matanya menatap Arhan, lalu melirik cepat ke arah Rafael yang terbaring lemah di ranjang sebelah. Nafas Nadine memburu, naik turun tidak teratur, seakan sulit untuk bernapas. “Mas …” suaranya nyaris tak terdengar, namun ketakutan jelas terlihat di wajahnya. Arhan tidak menjawab. Ia melangkah mendekat, pandangannya begitu tajam pada Nadine, membuat wanita itu gelagapan, bingung harus bicara apa. Rafael yang memperhatikan adegan itu pun ikut bingung. Keningnya berkerut, matanya bergantian menatap Arhan dan Nadine. Ketegangan di wajah Arhan membuat pikirannya berputar cepat. Apa mungkin … Arhan sudah tahu Nadine yang meracuni Ferika? Apa itu sebabnya ia tampak begitu marah? Nam
Alma menyipitkan mata, memperhatikan Leonard dan Septiana yang berdiri canggung di parkiran rumah sakit. Awalnya dia tidak yakin melihat dua orang yang biasa bermusuhan itu kini tampak berjalan tenang bersisian. “Wah … aku nggak nyangka ternyata kalian berdua sering jalan bareng, ya,” ucap Alma dengan senyum penuh arti. Nada suaranya terdengar menggoda, tapi sorot matanya menunjukkan sangat penansaran. Septiana spontan membuang muka, pura-pura sibuk merapikan tasnya. “Nggak, kok. Kamu salah paham. Aku cuma … kebetulan aja satu arah sama dia.” “Tapi kenapa wajahmu merah?” Alma memandang Septiana dengan senyum menggoda. Felix yang berdiri di samping Alma mengangkat alis, ikut tersenyum, seolah ikut menikmati moment langka itu. Leonard berdeham keras, mencoba menjaga wibawa. “Ehm ..., jangan asal menuduh. Aku sama Septiana itu … ya, sering beda pendapat, sering debat. Jadi kalaupun terlihat bareng, itu cuma kebetulan.” Alma menyilangkan tangan di dada, menyeringai. “Justru karena se