LOGINReino perlahan bangkit, tubuhnya gemetar menahan rasa takut. Ia berdiri di hadapan ayahnya, menunduk dalam-dalam. “Pah … tolong,” pintanya memohon. “Katakan pada Irisha … bahwa pernikahan kami tetap akan berlangsung. Reino mohon, Pah ... jangan biarkan pernikahan Reino hancur seperti ini.”
Revan mendengus kasar, sorot matanya tajam bagai pisau. “Kau masih memikirkan pernikahan? Setelah apa yang kau lakukan?” Ia melangkah mendekat, menatap putranya lurus-lurus. “Kau sadar, Reino? Kau telah menghancurkan dua wanita sekaligus — Vania, dan Irisha.” Reino menggigit bibirnya, menahan sesal. “Reino tahu, Pah. Tapi Reino sudah bicara dengan Vania. Kami sama-sama khilaf. Dia bahkan setuju … untuk melahirkan anak ini dan menyerahkannya pada kami.” Sejenak, ruangan itu membeku. Lalu tawa getir Revan pecah, berat dan menyakitkan. “Luar biasa,” katanya dingin. “Kalian berdua bukan hanya khilaf … kalian be-jat.” Ia mendekat lebih lagi, menatap Reino dari jarak sedekat-dekatnya. “Kalau benar kalian menyesal dan khilaf, setidaknya tutupilah bekas perbuatan kalian berkali-kali sebelum berbohong padaku. Tanda merah di lehermu, dan di dada Vania itu … menjijikkan.” Reino spontan menyentuh lehernya, hangat dan perih di bawah sentuhan jemarinya. Ia melirik sekilas ke arah Vania yang buru-buru menunduk, tapi tak cukup cepat untuk menyembunyikan bekas kecupan di kulitnya yang pucat. “Jadilah pria bertanggung jawab, Reino,” suara Revan bergetar oleh amarah yang ditahan. “Bukan pengecut yang sembunyi di balik kata khilaf.” Reino mengepalkan tangan, menahan gejolak yang mendesak dari dadanya. “Baik, Pah. Reino akan tanggung jawab. Aku akan biayai semua masa kehamilan Vania sampai anak itu lahir.” Revan mendengus, wajahnya semakin gelap. “Tanggung jawab?” Ia menunjuk ke arah Vania dengan sorot jijik. “Kau bahkan tidak bisa menjaga batas antara kehormatan dan nafsu. Bagaimana caramu menanggung dosa sebesar ini, Reino?” Keheningan menelan ruangan. Hanya isakan pelan terdengar, tapi bukan tangisan tulus, melainkan tangisan yang terasa dibuat-buat. Vania menunduk, suaranya parau, gemetar. “Om … saya mohon, jangan marah sama Mas Reino. Semua ini memang salah kami berdua.” “Ya Pah. Dan tolong katakan pada Irisha sekali lagi, aku ingin tetap menikah dengannya, Pah. Reino sangat cinta sama Irisha, Pah.” Revan hampir saja menampar wajah puteranya itu. Tapi, ia sadar semuanya tak kan berguna. “Baiklah, papah akan coba berbicara pada Irisha sekali lagi. Tapi, jika dia tetap tidak mau melanjutkan pernikahan ini, kau harus menikah dengan Vania, bertanggung jawablah dengan apa yang kalian perbuat.” Revan menatap keduanya lama, dingin, kemudian berbalik, berjalan keluar ruangan dengan langkah berat. Begitu pintu tertutup rapat, Vania menghapus air matanya dengan cepat. Wajah sendunya berubah, kini tergantikan oleh senyum licik yang terselubung di balik kepura-puraan. Ia menatap Reino yang masih terpaku di tempat, wajahnya kosong. Dalam hati, Vania berbisik, “Reino, lihat saja nanti … aku akan buat ayahmu sendiri memaksamu menikahiku. Ini baru permulaan. Aku tidak akan biarkan Irisha atau siapa pun merebut kau dan anakku.” Keheningan menyeruak di ruangan itu, hingga Vania memutuskan untuk bertanya kembali pada Reino. “Mas …?” panggil Vania lirih, suaranya bergetar. Reino tersadar dari lamunannya, ia pun segera mendekat. “Ada apa?” “Papahmu sudah tahu tentang kehamilanku ini. Kalau ayahku dan ibumu tahu juga … bagaimana, Mas? Mereka pasti akan marah besar.” Nada suaranya terdengar putus asa, tapi di balik air mata itu, ada tatapan licin yang nyaris tak terbaca. Reino mendekat, lalu menarik Vania ke dalam pelukannya. “Tenang,” bisiknya, lembut tapi penuh kegelisahan. “Kamu nggak perlu takut. Bukannya papahmu pikir kamu tinggal di luar negeri? Kita bisa atur semuanya. Kau akan bersembunyi dulu, di tempat aman. Sampai anak kita lahir, aku yang akan tanggung jawab.” Vania memejamkan mata di pelukan Reino, mengatur napasnya agar terdengar sesak, seolah benar-benar ketakutan. Padahal, di balik debar jantungnya, ada sesuatu yang jauh lebih gelap. Giginya merapat kuat. Kalau bukan karena cintanya pada pria ini, kakak tirinya sendiri—ia pasti sudah pergi jauh dari semua kekacauan ini. Tapi tidak sekarang. Tidak setelah ia tahu, Reino masih bertekad menikahi Irisha. Perlahan ia membuka matanya. Pandangannya tajam, ke arah bahu Reino. “Kau pikir aku akan sembunyi, Mas?” bisiknya dalam hati. “Tidak. Aku akan pastikan seluruh dunia tahu aku mengandung anakmu. Biar semua orang membencimu, asal aku tetap jadi milikmu.” Ia menatap wajah Reino yang masih memeluknya, tak sadar bahwa senyum tipis sudah tersungging di bibirnya, senyum seorang wanita yang tahu betul, permainan ini baru saja dimulai. ** Di ruang jenazah yang dingin, Irisha masih duduk di samping tubuh ibunya. Lampu putih di atas kepala berpendar redup, memantulkan bayangan wajahnya yang pucat dan kosong. Tangannya bergetar halus saat mengusap kepala ibunya, seolah berharap sentuhannya bisa membangunkan wanita itu dari tidur panjangnya. “Bu?” panggilnya lirih. “Irisha harus bagaimana sekarang?” Udara di ruangan itu begitu berat, seakan ikut berkabung bersamanya. Matanya menatap wajah ibunya lama, kering, tak ada lagi air mata yang tersisa. Ia sudah terlalu lelah untuk menangis, terlalu letih untuk marah. Dalam satu hari, segalanya hancur, Reino, lelaki yang ia percayai sepenuh hati, berkhianat dengan adik tirinya sendiri. Vania, gadis yang selama ini ia anggap seperti adik kandung Reino, ternyata mengandung anak dari pria yang dicintainya. Dan Revan, dokter yang begitu dihormati justru orang yang membuat ibunya terusir dari rumah sakit hingga kehilangan nyawanya. Tangan Irisha mengepal pelan di atas kain putih yang menutupi tubuh sang ibu. Suara napasnya bergetar, tapi matanya perlahan mengeras. “Bu … mereka pikir Irisha akan diam?” gumamnya lirih. “Mereka salah.” Ia menunduk, mencium dahi ibunya satu kali, lama dan penuh getir. “Aku akan menuntaskan semuanya, Bu. Untukmu. Pembalasan kepada mereka, baru saja dimulai." Cahaya lampu berpendar di matanya yang kini memantulkan sesuatu yang baru, bukan kesedihan, melainkan amarah yang tenang, tajam, dan dingin. Malam itu, di antara tubuh yang telah kaku dan doa yang belum selesai, lahirlah versi lain dari Irisha, gadis yang tidak lagi menangis, tapi bersumpah untuk membalas semua penderitaannya. Langkah kaki terdengar mendekat di lorong sunyi itu. Dentum sepatunya menggema, memecah kesunyian kamar jenazah. “Irisha?” suara itu terdengar berat. Revan berdiri di ambang pintu, wajahnya lelah. “Om sudah urus semuanya. Jenazah ibumu sudah bisa dibawa pulang ke rumah duka, sekarang.” Irisha menoleh pelan, menatap pria itu dengan senyum samar. “Terima kasih, Om.” Nada suaranya terdengar lembut, tapi tatapan matanya yang tajam, dan dingin seperti kaca yang hampir pecah. Ia melangkah mendekat. Cahaya lampu putih memantul di matanya yang berkilat aneh. Revan sempat meneguk ludah, ada sesuatu dalam tatapan gadis itu yang membuat dadanya sesak, bukan karena iba, tapi karena rasa bersalah yang entah datang dari mana. Irisha berhenti tepat di hadapan Revan. “Sekarang semuanya sudah terbukti, kan?” katanya pelan. “Anakmu itu … pria kotor. Menjijikkan, bukan?” Revan menatapnya, rahangnya menegang. “Jaga ucapanmu, Irisha!” bentaknya.Irisha sudah lebih dulu mencium bibirnya, membuat tubuh Revan menegang. Efek obat membuatnya tak mampu melawan, hanya bisa memejam dan merasakan bagaimana ciuman itu menuntut lebih. “Kau hanya diam?” gerutu Irisha di sela napasnya yang terengah. “Aku bahkan belum berpengalaman. Jangan buat aku bekerja sendirian.” Revan membuka mata perlahan, napasnya naik-turun tak teratur. “Dasar payah,” ledek Irisha sambil mendorong dada Revan dengan jari telunjuknya. Senyuman miring muncul di bibir Revan, tantangan itu justru membakar sisanya yang masih sadar. Dalam satu gerakan cepat, ia membalikkan tubuh Irisha hingga gadis itu terperanjat. “Om—pelan! Kau gila!” pekiknya, tapi wajahnya memerah antara kaget dan tak percaya. “Kau yang memulainya,” ucap Revan rendah, parau, dan berbahaya. “Sekarang … biarkan aku yang mengakhirinya.” Irisha yang tadi begitu berani menantang, kini berubah total, matanya melembut, tubuhnya mengecil seperti seekor anak kucing yang ketakutan namun te
Revan spontan merapatkan celananya, ekspresi terkejutnya begitu jelas sampai Irisha menahan tawa. Melihat wajah pria itu yang memerah, ia akhirnya tak sanggup dan tertawa gemas, bahunya sampai bergetar. “Om, kamu kenapa sih?” ujarnya sambil mendekat, suaranya turun satu oktaf lebih menggoda. “Aku kan istri Om. Masa sama istri sendiri malu?” Revan mengembuskan napas panjang, ketiga kalinya sejak tadi. “Risha, sebaiknya kamu ke kamar sekarang.” “Enggak mau,” sahutnya cepat, mendongak menantang. “Risha!” tegur Revan lebih keras. “Aku lagi masak makan malam,” ucap Irisha, tiba-tiba berubah ceria. “Mau aku buatin?” “Tidak perlu,” jawabnya tegas, berusaha memulihkan kewibawaannya yang tercabik sejak sentuhan tadi. “Ya sudah …” Irisha mengangkat alis, menahan tawa nakalnya. “Aku masak dulu ya? Nanti malam kita lanjutin lagi.” Ia menyipitkan mata, menggoda setengah mati sebelum berbalik menuju dapur. Revan hanya bisa memejamkan mata, menahan frustasi yang menumpuk karena sikap istriny
Reino menatap layar ponselnya sesaat setelah sambungan terputus, lalu menghembuskan napas pelan, namun senyum dingin tetap terukir di wajahnya.“Kau terlalu ikut campur dengan urusanku, Revan?” gumamnya pelan, “Kalau bukan karena hartamu dan nama besar yang menempel di belakangku, sudah lama aku menyingkirkanmu dari dunia ini.”Nada suaranya tak lagi terdengar seperti seorang anak yang berbicara tentang ayahnya, melainkan seperti musuh yang berbicara tentang target berikutnya, bahkan sisa rasa hormat di matanya telah lenyap.Setelah mengatakan itu, Reino berbalik menuju ruang rawat Vania. Senyum manipulatif kembali muncul di wajahnya saat tangannya memutar gagang pintu.“Sekarang, saatnya memastikan Vania tetap berada dipelukanku,” ucapnya pelan, sebelum menghilang ke dalam ruangan.Sementara itu, di kediaman Revan, suasana terasa begitu sunyi. Hanya terdengar bunyi jarum jam yang berdetak pelan di ruang tamu.Di lantai atas, Irisha berguling malas di tempat tidur, sampai perutnya tib
Reino tampak gugup, tangannya gemetar saat membuka map yang dibawa ayahnya. Ia berusaha terlihat tenang, pura-pura membalikkan lembar demi lembar berkas seolah mencari sesuatu yang penting. Namun, Revan sudah kehilangan kesabaran. “Reino!” bentaknya keras. Tubuh Reino menegang, pandangannya terangkat perlahan menatap ayahnya. “P–pah, maksudnya apa?” tanyanya bergetar, mencoba terdengar polos. Revan melangkah maju, wajahnya mendekat hingga hanya berjarak sejengkal. “Jangan pura-pura bodoh! Gara-gara ulahmu itu, ibunya Irisha mati!” Nada suaranya tajam, membuat udara di balkon seakan ikut menegang. Reino terdiam sesaat, matanya membulat kaget. “Papah … Papah menuduh aku yang membunuhnya?” “Ya!” jawab Revan meninggi. “Kalau bukan karena kamu membiarkan ibunya Risha tanpa pengobatan, ini semua nggak akan terjadi! Enam bulan, Reino! Enam bulan pasien itu dibiarkan begitu saja tanpa tindakan!” Reino menghela napas berat, kemudian menatap ayahnya dengan ekspresi getir. “Ayolah,
Malam itu, perut Irisha mulai keroncongan, tapi gengsinya terlalu tinggi untuk sekadar keluar kamar.“Sialan, kenapa Om Revan nggak manggil-manggil aku sih?” gerutunya kesal, sambil menatap pintu kamar yang tetap diam.Ia akhirnya melangkah ke balkon, membiarkan angin malam menyapa wajahnya. Lampu kota berkelip lembut, menambah sunyi yang tiba-tiba terasa menelusup. “Bu … Ibu lagi ngapain di atas sana? Ibu lihat Risha, nggak?” ucapnya lirih. “Risha kangen sama Ibu.”Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh juga. Seandainya saja Reino tidak menunda pengobatan ibunya mungkin ibunya saat ini masih ada, dan Risha tidak akan terjebak dalam pernikahan kejam ini, menikahi ayah dari kekasihnya sendiri.“Bu, setelah semua ini selesai … setelah dendam kita terbalaskan, Risha janji, Risha bakal pergi ke kampung. Kota ini … terlalu kejam buat kita.”Hingga pukul sepuluh malam, Irisha masih betah di balkon. Angin malam meniup lembut rambutnya, sementara pikirannya melayang entah ke mana
Revan mengepalkan tangan. Rasa muak menyesak di dadanya. Ia memilih pergi sebelum emosinya benar-benar meledak. Pintu kamar tertutup dengan suara blam, yang membuat udara seketika hening. Irisha menegakkan tubuhnya, menahan napas sesaat sebelum akhirnya mengembuskannya perlahan. “Huh … dasar pria keras kepala,” gumamnya. “Apa benar yang Reino bilang dulu, kalau ayahnya itu pengecut? Dan ibunya selingkuh karena muak hidup dengan pria seperti dia?” Suara lembutnya terdengar getir. Ingatannya melayang pada ucapan Reino di masa lalu, ucapan yang dulu sempat ia abaikan, tapi kini mulai terasa masuk akal. “Ya,” bisiknya lagi. “Aku harus cari tahu semuanya. Mungkin saja benar ... kalau Om Revan bukan ayah kandung Reino.” Setelah menenangkan diri, Irisha mulai membereskan pakaiannya dan beranjak ke kamar mandi. Tapi baru beberapa langkah masuk, matanya membulat tak percaya. “Ini … kamar mandi?” ujarnya terperangah. “Atau kamar hotel bintang tujuh?” Segalanya tampak begitu me







