LOGINIrisha tersenyum puas melihat wajah Dita yang memerah, jelas kepanasan menahan amarah. Dengan langkah pelan penuh percaya diri, ia mendekati Revan, tubuhnya condong sedikit sengaja menggoda. “Om … apa aku salah jika bicara seperti itu?” tanyanya manja, nada suaranya dibuat selembut mungkin. Revan menarik napas pendek. “Dita, apa yang Irisha katakan sebenarnya ada benarnya. Sebaiknya Reino berusaha dulu. Setelah itu, baru aku bisa memberi dukungan dan membantu apa yang dia perlukan,” ucapnya hati-hati. “Oh, jadi sekarang kamu lebih memilih mengikuti kata-kata istri barumu ini, Mas?” pekik Dita, suaranya bergetar menahan emosi. “Dita, bukan begitu maksudku,” balas Revan cepat, berusaha meredam suasana. Dita menoleh tajam ke arah Irisha. “Irisha, kamu benar-benar kurang ajar. Sudah bagus mantan suamiku menikahi wanita sial seperti Kamu. Dan kamu tidak perlu ikut campur urusan anakku.” Irisha mengangkat bahu, senyum mengejek tak luntur dari wajahnya. “Uh … takut,” ujarnya sant
Saat pelukan erat itu akhirnya terlepas. “Kita pulang, ya?” ajak Revan, seolah dunia mereka baik-baik saja. “Ok,” jawab Irisha singkat. Tanpa bantahan. Tanpa emosi yang ingin ia perlihatkan. Revan tersenyum tipis, lalu mengecup kening Irisha pelan. Isyarat kasih yang terasa asing di dada Irisha. Setelah itu mereka keluar dari rumah, menuju kediaman Revan Di rumah itu, Reino tengah duduk berhadapan dengan Dita. Suasana ruang tamu dipenuhi ketegangan yang samar, namun nyata. “Mah, sampai kapan aku harus berpura-pura jadi anak yang baik?” tanya Reino lirih, rahangnya mengeras. Dita mendengus pelan. Tatapannya tajam, dingin. “Pertama-tama, kita harus singkirkan Irisha. Wanita itu terlalu licik. Mamah yakin dia juga sedang mengintai harta Revan.” Reino menghela napas frustrasi. “Tapi, Mah … kenapa kita tidak minta saja langsung pada Om Revan?” Dita menatap putranya tajam, meremehkan. “Reino, jangan bodoh!” bentaknya tertahan. “Kita harus pakai strategi, agar pria itu rela m
Setibanya di rumah lama Irisha, Revan langsung masuk tanpa ragu lalu duduk di ruang tamu. Ia yakin, cepat atau lambat, istrinya itu pasti akan pulang ke rumah tersebut. Menit demi menit berlalu. Keheningan menyelimuti ruangan, hanya suara detik jam yang menemani penantiannya. Rasa lelah perlahan mengalahkan amarah yang sejak tadi menggerogoti dada. Hingga akhirnya, Revan tertidur di sofa. Saat sore menjelang, Irisha pulang dari pemakaman ibunya. Langkahnya terhenti begitu melihat sebuah mobil terparkir di depan rumah. Jantungnya mendadak berdegup lebih cepat. “I-ini … bukannya mobil Om Revan?” gumamnya pelan, tak percaya. Irisha melangkah masuk ke dalam rumah dengan hati berdebar. Pandangannya langsung tertuju pada sosok pria yang terlelap di sofa ruang tamu. “Om?” panggilnya pelan. Ia mendekat perlahan. Saat tertidur, wajah Revan tampak jauh berbeda tak ada lagi sorot dingin atau ketegasan yang kerap membuatnya gemetar. Wajah itu terlihat tenang, polos, seperti seorang ba
Tanpa menunggu lebih lama, ia segera masuk ke dalam mobil online yang sedang menunggunya. Ia tak peduli ke mana suaminya pergi. Baginya, itu tak lagi penting. Setelah hasil tes DNA berada di tangannya, semuanya akan berakhir. Rencana berikutnya sudah tersusun rapi di kepalanya—meninggalkan Revan, dan memastikan pria itu menyesali perbuatannya. Termasuk tamparan keji yang masih terasa membakar harga dirinya. Setibanya di rumah sakit, Irisha tak membuang waktu. Langkahnya cepat, wajahnya datar, namun matanya menyimpan kegelisahan yang sengaja ia tekan dalam-dalam. Ia langsung menemui dokter yang sudah menunggunya. “Bu Irisha?” sapa dokter itu pelan. “Iya, Dok.” Irisha berdiri tegak di hadapannya. “Bagaimana hasil tes DNA-nya?” tanyanya, terdengar tenang—terlalu tenang untuk sebuah penantian yang seharusnya menegangkan. Dokter itu meraih map cokelat di atas meja, membukanya perlahan. Kertas hasil laboratorium dikeluarkan satu per satu, lalu ia amati dengan saksama. Keheningan
Keesokan paginya, Reino, Revan, dan Vania tengah menikmati sarapan, seketika itu langkah kaki terdengar menuruni tangga. Irisha muncul dengan gaun sederhana yang seksi, namun yang paling membuat Reino dan Revan terpaku aura cantiknya pagi itu sungguh luar biasa. Ia melangkah mendekat, lalu menunduk mencium pipi Revan tanpa ragu. “Pagi, Sayang,” sapanya lembut. Revan tersentak kecil, tubuhnya menegang. Belum sempat ia bereaksi, sendok di tangan Reino terlepas dan jatuh membentur piring, menimbulkan suara nyaring yang memecah keheningan. “Kau tak tahu malu sekali Irisha,” cibir Reino tajam. Senyum Irisha justru semakin merekah. Ia jelas menikmati tatapan panas dari mantan tunangannya itu. “Kenapa aku harus malu?” ujarnya santai. “Kau lupa, papahmu itu sekarang adalah suamiku. Benar, kan, Sayang?” lanjutnya, sengaja menekankan kata terakhir. "Sha!" protes Revan."Ssstt!" balas Irisha. Wajah Revan memerah karena malu, sembari menghela napas pendek, kesal dengan sikap Ir
“Kau takut aku salah masuk kamar, kan?” Ucapan itu seperti percikan api di atas bara. Dada Revan memanas. Tanpa banyak pikir, ia menarik Irisha ke dalam pelukannya, genggamannya kuat, posesif.“Sekali saja kau berani mengkhianatiku,” bisiknya rendah, penuh ancaman, “aku tak akan ragu menyuntikmu sampai mati.”Namun, alih-alih gentar, Irisha justru tertawa kecil. Ia mengalungkan kedua lengannya di leher Revan, mendekatkan wajah mereka hingga napas mereka saling berbaur.“Kau takut aku selingkuh?” tanyanya lirih, penuh tantangan.Revan menelan ludah. Cemburu, amarah, dan hasrat bercampur jadi satu. Tanpa menjawab, ia mencium Irisha dengan kasar, lalu mendudukkannya di atas meja.“Om, jangan di sini,” Irisha berbisik, suaranya tertahan.Namun, Revan yang telah dikuasai rasa cemburu tak lagi peduli. Akalnya menyingkirkan logika, bahkan kenyataan bahwa di rumah itu ada anak dan menantunya sendiri seolah lenyap begitu saja.Revan menarik pinggang Irisha mendekat, gerakannya tegas tanpa se







