Home / Romansa / Kau Menikah, Aku Mengikhlaskan / Bab 9 Tangisan Terakhir Untukmu

Share

Bab 9 Tangisan Terakhir Untukmu

Author: Jovita Tantono
[Pernikahan besok, masih jadi?]

Tengah malam, Adeline menerima sebuah pesan singkat.

Ia menatap nenek yang tertidur di sampingnya, lalu menjawab: [Akan kukirimkan alamatnya padamu. Besok jemput aku dan nenek. Kalau kamu berubah pikiran, kamu boleh tak datang.]

[Sampai jumpa besok, pengantinku!]

Menatap barisan kata itu, hati Adeline terasa perih.

Dia juga akan menjadi pengantin esok hari. Hanya saja, orang yang menikahinya adalah seorang teman dunia maya yang bahkan belum pernah ia temui.

Bukan karena patah hati yang membuatnya jadi gila, tapi karena ia tak ingin membuat nenek kecewa, tak ingin membuat nenek khawatir. Lagipula, meski belum pernah bertemu, pria itu sudah dikenalnya lewat internet selama sepuluh tahun.

Hidup manusia itu pendek. Jadi jika seseorang bersedia memberikan sepuluh tahun hidupnya untuknya, maka itu sudah cukup untuk membuat Adeline mempercayainya.

Telepon dari Felix datang tepat pukul dua belas malam.

Tak ingin membangunkan nenek, Adeline keluar kamar untuk menerima telepon. “Apa masih ada yang ingin Tuan Felix tugaskan?”

Di seberang, Felix sedang memijit pelipisnya. Entah kenapa, belakangan ini kalimat itulah yang paling sering ia dengar dari Adeline.

“Kamu kenapa tidak di rumah?” Entah mengapa, ia merasa cemas, gelisah, dan tidak tenang malam ini. Jadi ia menyetir ke rumah tempat mereka pernah tinggal bersama selama lebih dari enam tahun. Tapi ranjang di kamar utama terlihat rapi, tak ada tanda-tanda keberadaan Adeline.

Dari suara Felix, Adeline tahu di mana ia berada sekarang ini. Hanya saja dia tidak tahu apakah pria itu sudah menyadari bahwa semua barang miliknya sudah tidak ada.

“Aku sedang bersama nenek,” jawabnya jujur.

Felix duduk di sofa dalam gelap. Saat masuk tadi ia memang tidak menyalakan lampu, takut mengganggu Adeline. Tapi kini, ia justru merasa nyaman dalam kegelapan ini, seolah hanya dalam kegelapan, hatinya bisa tenang.

Dia duduk di sofa. Untuk pertama kalinya, rumah ini begitu sunyi tanpa Adeline, begitu sunyi hingga terasa menakutkan. “Untuk apa kamu ke sana?”

Mendengar perkataannya, Adeline langsung tahu bahwa pria itu tidak menyadari kepergiannya, jadi dia memang tak pernah benar-benar peduli.

Andai saja ia sedikit saja peduli terhadapnya, tentu dia sudah tahu bahwa lemari sudah kosong, kamar mandi tidak lagi menyimpan perlengkapan mandi miliknya, rumah ini sudah tidak menyisakan jejak dirinya.

Tapi tak apa, justru lebih baik begitu. Agar besok dia bisa menikah dengan lancar.

“Bukankah kamu bilang akan menjemput nenek untuk menghadiri pernikahanmu besok?” Dia menjadikan itu alasan jawabannya.

Felix terdiam. Beberapa detik kemudian ia berkata, “Besok pagi akan kuutus orang menjemput kalian.”

“Tak perlu, biar aku saja yang bawa nenek ke sana. Kamu pasti sibuk besok,” ujar Adeline dengan nada sangat pengertian.

“Adeline,” panggil Felix, suaranya rendah dan penuh tekanan emosional, “Besok… kamu harus datang, mengerti?”

“Kenapa aku harus datang?” Adeline menatap langit malam yang penuh dengan bintang-bintang. Baru ia sadari, malam ini bintang-bintang tampak begitu terang dan padat, seolah memenuhi seluruh angkasa.

Felix menghela napas pelan, “Pokoknya kamu datang saja. Besok kamu akan tahu alasannya.”

Tapi, dia tidak akan datang.

Dan mulai besok, dalam hidup pria itu tak akan pernah ada dirinya lagi.

Jadi dia tidak perlu tahu lagi mengenai alasan Felix.

“Felix,” panggil Adeline, suaranya tenang, tanpa suka atau duka, “Semoga kamu bahagia.”

Felix mendengar kalimat itu, dan entah kenapa... ia merasa ingin menangis. Perasaan itu datang tiba-tiba, sulit dijelaskan. Ia pun mengusap wajahnya kasar. “Beberapa kata itu... aku ingin mendengarnya langsung darimu besok.”

Apa dia ingin membuktikan sesuatu pada Valencia?

Adeline sudah tak ingin memikirkan hal tersebut. Angin malam mulai terasa dingin, ia pun menggigil ringan. “Felix, aku sudah mengantuk. Aku mau tidur.”

Ia menutup telepon, lalu menutup mata sembari menghadap langit yang bertabur bintang bagaikan samudra cahaya. Setitik air mata jatuh dari sudut matanya...

Felix, ini adalah air mata terakhirku untukmu.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kau Menikah, Aku Mengikhlaskan   Bab 100 Katanya Aku Sudah Tidur dengan Banyak Pria

    Di belakang Adeline adalah meja hidangan penutup. Ia tak sempat menghindar dan memang tak bisa sembarangan bergerak. Kalau sampai menabrak meja itu, harga dirinya bisa jatuh.Tubuh Valencia menimpanya secara langsung. Bahkan dia sempat berteriak kecil, membuat semua mata di ruangan langsung beralih menatap ke arah mereka.Meski tubuhnya menimpa Adeline, kekuatan Valencia sebenarnya tidak besar. Adeline langsung sadar, ini adalah trik terakhirnya setelah cara halus maupun kasar gagal. Sekarang mulai main licik. “Valencia, kamu benar-benar tak tahu malu.”“Tak ada pilihan, siapa suruh kamu tidak kerja sama?” meski dihina, wajah Valencia masih penuh kepuasan.Adeline mendorongnya, “Seperti plester murahan.”“Ada apa ini?” suara Stella terdengar lebih dulu saat ia datang menghampiri.Belum sempat Adeline menjawab, Valencia sudah lebih dulu berdiri sambil memijat pelipis, “Maaf, Nyonya Brown. Tadi aku tiba-tiba merasa pusing, untung saja Nyonya Muda Brown sempat menolongku.”Penjelasan Vale

  • Kau Menikah, Aku Mengikhlaskan   Bab 99 Silakan, Nyonya Galvin

    Valencia tak berani, juga tak bisa.Tujuannya datang ke sini hari ini, ia sangat paham. Hanya saja Adeline benar-benar membuatnya emosi, hingga hilang kendali sesaat.Valencia diam-diam mengatur napasnya. Wajah yang tadi dipenuhi amarah kini diganti dengan senyum palsu, “Nyonya Brown, jangan salah paham. Aku hanya ingin sedikit lebih akrab, supaya orang lain tak melihat kita saling berseteru.”Ucapannya menyentuh titik yang tepat. Meski para nyonya dan sosialita di acara ini tampak ramah dan penuh senyum di depan mereka, siapa tahu apa yang dibicarakan di belakang. Mereka pasti sibuk mengarang cerita tak senonoh tentang dua wanita yang pernah berhubungan dengan pria yang sama.Bagaimanapun juga, dua wanita yang pernah terlibat dengan satu pria akan cukup bagi mereka untuk membayangkan seribu satu kisah liar tanpa batas.Valencia memberi dirinya sendiri jalan keluar yang sopan, namun Adeline tak memberinya muka sama sekali. Ia hanya menanggapi dengan senyum sinis, “Nyonya Galvin, aku pa

  • Kau Menikah, Aku Mengikhlaskan   Bab 98 Karena Aku Bisa Menenggelamkan Cahayamu

    Mengikuti arah pandangan Stella, Adeline melihat sosok yang dikenalnya, Valencia.Ucapan Stella barusan membuat Adeline tersenyum geli, hatinya pun terasa hangat.Kebanyakan ibu mertua pasti menyimpan keberatan terhadap masa lalu menantu mereka, terlebih jika berkaitan dengan wanita lain dari hubungan suaminya. Tapi Stella tidak seperti itu. Ia bahkan mengingatkan Adeline agar berhati-hati terhadap mantan kekasih suaminya.Stella menarik lengan Adeline sedikit dan berbisik pelan, “Perempuan itu begitu datang langsung sibuk cari perhatian.”Wajah Stella penuh dengan rasa tak suka yang tak ditutupi sedikit pun.“Mama, aku tahu kok. Tenang saja,” Adeline merespons santai sambil mengedipkan mata genit.“Kalau ada yang berani macam-macam sama kamu, langsung datang ke Mama. Mama akan membelamu,” ucap Stella mantap. Panggilannya yang terus-menerus menyebut “Mama” itu, secara tak terduga, mengisi kekosongan yang sejak lama ada dalam hati Adeline.“Pergilah, makanannya di sini cukup enak hari i

  • Kau Menikah, Aku Mengikhlaskan   Bab 97 Ditimpa Keberuntungan

    “Edric, akhir-akhir ini cukup uang nggak?”Besoknya di pagi hari, saat Edric baru bertemu Leo, ia langsung dilempar pertanyaan seperti itu.Edric sempat melongo, belum sempat merespons, Leo sudah menyusul dengan ucapan, “Mulai bulan ini, gajimu naik dua kali lipat. Tambahan liburan sepuluh hari dengan gaji penuh di akhir tahun.”Apa?Edric merasa seperti sedang berhalusinasi. Apa yang sudah dia lakukan sampai tiba-tiba ditimpa keberuntungan sebesar ini?“Kenapa? Masih kurang puas?” suara datar Leo bikin Edric langsung siuman.“Terima kasih, Tuan Leo,” Edric buru-buru mengucapkan terima kasih meski masih bingung tak karuan. Dalam hatinya bertanya-tanya, sebenarnya apa yang membuatnya dapat bonus segila ini?“Bukan ke aku, tapi terima kasihnya ke Nyonya,” Leo menjelaskan sambil lalu.Namun hingga akhir hari, Edric tetap tidak menemukan jawaban. Ia yakin dirinya nggak merasa pernah melakukan sesuatu yang berarti untuk Nyonya. Tapi kalau bos sudah bilang, ya catat saja dalam hati.Akhir pe

  • Kau Menikah, Aku Mengikhlaskan   Bab 96 Semoga Kau Bisa Sepenuh Hati

    Keluarga Brown.Unit besar yang ada tepat di seberang apartemennya.Dan sekarang, sebuah rumah bergaya taman pribadi.Apakah Leo ingin mengurungnya dengan rumah-rumah ini?“Leo, kamu sepertinya lupa kalau pernikahan kita hanya untuk tiga bulan, dan sekarang bahkan kurang dari tiga bulan lagi,” ujar Adeline mengingatkan.Leo yang masih setengah mengantuk hanya menjawab dengan malas, “Bukankah masih dua bulan dan dua belas hari?”Dia bahkan mengingat tanggalnya lebih jelas daripada dirinya.“Kalau kamu tahu, kenapa repot-repot melakukan semua ini?” Rumah ini, mulai dari taman kecil hingga interiornya, semuanya dibangun sesuai seleranya.Leo bahkan tahu ukuran pakaiannya dengan tepat, jadi Adeline tidak heran dia bisa menebak apa yang disukainya.Apa yang dia sukai belum tentu disukai orang lain. Ketika mereka berpisah nanti, rumah ini jelas akan berpindah tangan. Pada saat itu, dia harus merenovasi ulang, dan itu jelas merepotkan.Tapi yang membuat Adeline cemas adalah sikap Leo. Ia teru

  • Kau Menikah, Aku Mengikhlaskan   Bab 95 Nyonya Brown, Pinggangku

    “Temani aku keliling sebentar!”Dengan satu kalimat itu, Leo sukses menyeret Adeline keluar dari Sanatorium hingga sampai di gerbang depan.Mobil mencolok dan penuh gaya yang sempat dipuji oleh Brilliant masih terparkir di sana dengan sikap arogan. Leo melingkarkan lengannya di pinggang Adeline, melirik mobil itu lalu melirik Adeline, “Aku bilang kan, mobil ini cocok sama kamu, tapi rasanya masih kurang sedikit. Untuk sekarang, kita pakai ini dulu. Nanti kita pilih yang lebih bagus lagi.”Jadi... mobil ini hadiah darinya?Adeline sempat tertegun. Ia tak menyangka. Mobilnya yang lama sebenarnya masih bisa dipakai setelah diperbaiki, tidak perlu beli yang baru.Tapi mobil ini sudah ada di depan matanya, menolak pun hanya akan membuang energi. Lagi pula, barang-barang dari Keluarga Brown sudah terlalu banyak ia terima. Pada akhirnya toh semua tak akan ia ambil. Jadi satu tambahan ini pun tak ada bedanya.Begitu seseorang mulai berpikir lebih ringan, banyak hal pun jadi lebih sederhana dan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status