Share

Kau Peras Peluhku Demi Madu
Kau Peras Peluhku Demi Madu
Penulis: Shaveera

1. Pernikahan

Penulis: Shaveera
last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-28 20:16:01

"Saya nikahkah dan kawinkan saudara dengan wanita bernama Arini binti Joesni dengan mas kawin uang sebesar seratus ribu rupiah."

"Saya terima nikah dan kawinnya wanita tersebut dengan mas kawin seratus ribu rupiah."

"Bagaimana para saksi, sah!" tanya Penghulu.

Sah!

Semua saksi dan beberapa tetanggaku segera menjawab pertanyaan penghulu. Dadaku berdetak lebih kencang, hari ini aku sudah resmi menjadi istri Yahya. Duda dengan anak tiga, perjalanan hidupku akan dimulai hari ini. Semoga saja sang pencinta selalu menyelamatkan dan memberi aku dengan berlimpah sabar dan iklas.

Semua acara berjalan dengan lancar tanpa hambatan. Pernikahanku sangat sederhana, hal ini aku pilih karena calon suamiku adalah orang biasa begitu pun keadaan orang tuaku. Aku hanya seorang wanita dengan kemampuan yang sederhana maka tidak layak jika harus menggelar sebuah acara yang diatas rata-rata. Hari ini aku harus siap menjalani kehidupan dengan suami beranak tiga.

Entah apa yang ada dalam otakku hingga saat di khitbah oleh pria itu aku langsung setuju. Iya, memang meski dia berusia jauh dari aku wajahnya masih terlihat muda dan tampan. Menurut cerita yang mengalir dari bibirnya, dia memiliki keturunan china. Hati ini bergetar, entah karena apa. Hal itu mungkin yang membuat aku inginkan dia menjadi imam dunia akherat.

"Assalamualaikum ya, Istriku!" sapa Yahya padaku.

Aku hanya menjawab dengan suara yang rendah dan menunduk. Perlahan sebuah tangan mendekat dan ujung jari telunjuknya menyentuh daguku. Aku begitu bergetar, gemuruh dalam dada tidak mau berhenti. Masih di sentuhnya ujung dagu saja genderang dalam dada sudah bertalu, apalagi nanti. Oh Tuhan, apa yang akan terjadi dengan tubuh ini.

"Ijinkan aku untuk membuka tabir penutup wajah ini?" pinta pria itu dengan nada lembut padaku.

Aku sekali lagi tidak mampu berucap. Hanya anggukan kepala yang kuperlihatkan. Bahkan seulas senyum pun tidak terbit di wajah yang sebentar lagi akan terkuak. Dengan lembut tangan yang kuning mulai menyentuh ujung cadarku, kemudian perlahan naik hingga pada pengaitnya. Dengan mengucap kata bismallah, maka dibukanya cadar penutup wajahku.

"Subhanallah, Cantik!" pujinya saat pertama kalu melihat wajahku.

"Begitu segar dan cantik!" sekali lagi dia memujiku membuatku melayang.

Baru kali ini aku mendapat pujian dari seorang lelaki setelah aku berhijrah. Iya, aku dulu adalah sama seperti yang lain tanpa hijab dan cadar. Hingga ada suatu peristiwa yang membuatku harus berhijrah dan hal itu mampu membuat hatiku tenang.

"Bolehkah!" ijinnya dengan lembut.

Kembali hanya anggukan yang aku berikan tanpa ada suara. Namun, belum selesai aku mengangguk ujung jari pria itu sudah berjalan menyusuri semua permukaan wajahku. Usapan demi usapan begitu mengalir dengan lembut. Hingga saat ujung jari itu berlabuh pada dua buah yang saling merapat, dia berhenti.

"Ini, begitu tipis dan lembut. Seakan dia memanggil agar segera disentuh. Bicaralah, aku ingin dengar suara dari istriku ini!" perintahnya.

"Jika memang sudah waktunya, maka aku serahkan semua yang ada padaku hanya Untukmu. Hanya satu pintaku, jaga dan rawatlah apa yang aku beri jangan pernah kau sia-siakan ataupun duakan. Jika masa itu terjadi, maafkan segala salahku!" ucapku lirih.

"Masya Allah. Sungguh indah suaramu, Istriku," balas Yahya dengan ujung jari yang masih bermain di sekitar bibir tipis nan ranum milikku.

Malam yang panjang kulalui dengan indah, malam pertama yang mampu membuat kenangan tidak bisa aku lupa. Malam itu semua berakhir dengan lembut, belaiannya juga semua aktifitasnya begitu membekas dalam relung jiwa. Yahya, suamiku itu sangat sulit untuk dilukiskan, tetapi yang pasti semua perlakuannya begitu lembut dan sopan.

Pagi hari pun tiba. Saat menjelang subuh, dibangunkannya aku penuh cinta. Hati ini seakan meleleh, aku pun bangun lalu membersihkan badan. Setelah semua siap, Yahya keluar rumah hendak berjamaah di masjid dekat rumah. Aku tersenyum dan bersyukur mendapat suami yang berahklak baik.

Hidup terus berjalan, berbagai masalah telah kami lewati bersama. Ketiga anak tiriku dimasukkan abahnya ke pondok. Kini yang tinggal di rumah hanya aku dan suami. Kami berdua saling bahu membahu bekerja sama dalam memperbaiki ekonomi. Suamiku mulai merintis kariernya sebagai pedagang, mulai dari dagang kerupuk warisan keluarganya.

"Bagaimana hasil pembuatan krupukku, Umi?" tanya suamiku. Iya, dia selalu membiasakan dirinya memanggilku dengan sebutan Umi dan aku memanggilnya abah.

Kuambil satu kerupuk untuk merasakan hasil buatan suamiku, "heem, pas dilidah. Gurihnya terasa," jawabku.

"Alhamdulillah," balasnya.

Hanya ketrampilan membuat kerupuk yang dimiliki oleh suamiku, dia termasuk lelaki yang sulit berfikir sebuah ide cemerlang. Sedangkan aku kembali kerutinitas pekerjaan yang akhir-akhir ini aku lakukan, yaitu ikut seorang penjahit. Setiap pagi selesai membantu suami mempersiapkan dagangannya, aku pun bersiap diri hendak ke tempatku bekerja.

"Umi, aku berangkat dulu. Hati-hati kamu berangkatnya. Semoga lancar!" pesannya padaku.

Aku pun melangkah mendekat padanya, kucium punggung tangannya. Kemudian kulepas keberangkatan suami dengan senyum dan doa semoga lancar jualannya. Setelah punggungnya sudah tidak tampak olehku, barulah aku melanjutkan aktifitasku. Semua sudah aku siapkan. Dari makan siang suamiku hingga teh untuknya. Biasanya suamiku pulang jika jam salat luhur tiba.

"Semua sepertinya sudah siap, makan siang, teh dan kopi. Rasanya cukup untuk siang hingga petang. Aku bisa berangkat sekarang, Assalamualaikum!" absenku pada seluruh benda yang aku tinggalkan untuk keperluan suami.

Ku kayuh sepeda onthel warisan ayahku, iya beliau sudah meninggal dunia sebulan setelah usia pernikahanku. Hanya sebuah rumah dan sepeda onthel yang beliau tinggalkan untukku. Rumah yang cukup luas untuk aku tinggali bersama suami. Dengan sedikit berdendang sesekali bersholawat, kukayuh sepeda hingga sejauh 2km.

"Baru sampai kamu, Arini?" tanya Santi teman kerjaku.

"Iya, San. Biasa menyiapkan semua keperluan suami dulu," jawabku.

"Semua kerjaan bagian kamu sudah aku taruk di meja biasanya. Tinggal kamu lenjutkan saja," ujar Santi dengan nada rendah.

Aku pun tersenyum menanggapi semua kalimatnya, Santi sangat peduli denganku. Apapun yang dia punya selalu berbagi denganku tanpa malu dan jijik. Aku sangat bersyukur atas semua perhatiannya selama ini. Aku segera melanglah menuju meja tempatku bekerja.

Perasaanku tiba-tiba tidak nyaman, entah apa yang terjadi. Perutku terasa sangat sakit, sejenak aku diam. Pandanganku menyapu seluruh ruangan berharap ada teman yang sedang lewat. Maklum mejaku berada sedikit di belakang sehingga jarang melihat lalu lalang karyawan lainnya.

Akhirnya aku terpaksa berjalan menuju ke luar ruangan, ku lihat Santi sedang berjalan sambil membawa beberapa lembar kain yang sudah dipotong. Sepertinya dia akan menuju ke ruanganku. Aku berusaha memanggil namanya agar dia segera melihat ke arahku. Namun, sesuatu terjadi padaku. Pandanganku mulai kabur, kurasakan ada air mengalir melalui paha dalamku.

"Arini!" teriak Santi yang sempat aku dengar sebelum aku jatuh pingsan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
IM Lebelan
Hadir kak, awal ceritanya seru ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   168. Sebuah Keputusan Yang Sakit

    Aku pun memanggil Zahra dan Abdul setelah menurunkan semua barang bawaan Adam. Kedua anakku pun segera keluar dari rumah."Umi ingin membesuk abah kalian, siapa yang akan ikut dan tinggal di rumah?" tanyaku."Aku ikut saja, Umi. Biar Halimah di rumah bersama Arkan, kau bagaimana Abdul?" kata Adam."Aku ikut, mungkin Zahra saja yang tetap tinggal di rumah menemani Kak Halimah. Iya 'kan Zahra?" tanya Abdul yang memandangku lalu berganti pada Zahra.Putriku itu mengangguk tetapi mukanya cemberut, ada sebersit rasa kecewa. Namun, aku mencoba memberinya pengertian. Agar dia mau tinggal di rumah, akhirnya gadis kecilku pun setuju.Setelah kata sepakat tercapai, kami bertiga segera masuk ke dalam mobil. Sopir pun melajukan kendaraannya menuju ke Rumah Sakit Bayangkara. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah sakit itu. Keadaan jalanan yang sepi bagai kita mati membuat lalu lintas Surabaya begitu lengang.Kuinjakkan kakiku dengan napas berat, kuatur ulang pola napasku dan hatiku. Mampuka

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   167. Memberi Kabar

    Aku terdiam cukup lama, mencari jalan keluar untuk masalah ini. Akhirnya kucoba hubungi Adam untuk menyelesaikan masalah ini. Mengingat ini berita sangat penting akhirnya kupaksakan hatiku. Panggilang terhubung tetapi belum diangkat. Hingga panggilan yang kedua barulah diangkat, kudengar suara wanita yang lembut."Assalamualaikum, Umi! Ada apa dini hati seperti ini hubungi mas Adam?" kata Halimah."Waalaikumsalam, Halimah. Ini abah baru saja mengalami kecelakaan bersama istri sirinya, saat ini sudah ditangani oleh polisi dan masuk ke RS. Polda. Sedangkan pesanan ayam bakar untuk esok setelah salat idul fitri ada 150 ayam, tolong Umi!" paparku tanpa ku tutupi.Hening, aku masih menunggu reaksi lanjutan dari seberang. Aku masih diam, tetapi kudengar langkah mendekat dan duduk di sampingku."Biar Abdul yang lihat kondisi abah, Umi. Berhubung ini sudah menjelang dini hari, sebaiknya Umi pejamkan mata agar esok terasa sedikit segar!" pinta Abdul."Benar apa yang dikatakan oleh Abdul, Umi.

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   166. Kabar Duka

    Aku pun hanya tersenyum di balik cadar untuk melepas kepergian suamiku. Sebenarnya sudah hal biasa dia pergi tinggalkan aku sendiri dalam memberesi semua pekerjaan, tetapi malam ini ada yang berbeda. Sebuah rasa was was menelusup di relung hati, Abdul pun yang juga ada di dekatku hanya berdiri mematung menatap kepergian abahnya."Apakah ini tidak apa, Umi?" tanya Abdul."Semoga saja tidak, Abdul. Kita bereskan ini lebih dulu, lalu segera istirahat agar esok menjelang subuh bisa bakar ayam dalam keadaan fit!" kataku sambil mulai memberesi barang.Abdul pun segera melakukan apa yang aku perintahkan dengan rapi. Semua lantai teras dibersihkan dan langsung dia pel. Hal ini kami lakukan dengan bekerja sama, bahkan kali ini Zahra juga ikut turun. Putriku itu membantu membereskan semua wadah baskom yang sudah aku cuci. Cukup lama waktu yang kami gunakan untuk membersihkan teras, hingga pukul delapan malam semua baru selesai. Aku menutup warung lebih dulu tetapi masih berada di dalam. Kulih

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   165. Tiga Hari Akhir Puasa

    Sesaat Bulan pun sampai dari belanjanya, kemudian kutatap manik mata wanita itu. Bulan menjadi salah tingkah, dia merasa bingung mengartikan tatapanku padanya. Lalu wanita muda itu mengalihkan pandangannya ke Sambuel sambil mengangkat dagunya. Samuel kulihat menggedikkan bahu."Apa yang sedang kalian sembunyikan?" tanyaku sambil menatap keduanya bergantian.Bulan menggelengkan kepala tanda dia tidak mengerti apa yang aku tanyakan, sedangkan Samuel hanya senyum simpul membuatku semakin geram dan penasaran. "Bisa kau jelaskan alasan kamu masuk pagi, Sam?" tanyaku lebih detail lagi.Samuel menarik napas panjang, lalu dihempas perlahan. Setelahnya dia menatap sepeda motor pengantar ayam gembung. Pak Roni sendiri yang antar ayam gembung itu. Ini kesempatanku untuk bertanya berapa suamiku mengorder ayam hari ini."Bu Arini ini ayamnya masih separo ya, sisanya nanti sekitar jam sepuluhan!" kata Roni."Sebentar to, Pak. Memangnya suamiku pesan berapa?" tanyaku."100 ekor ayam, untuk tiga har

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   164. Salah Paham

    "Apakah Umi sudah lupa? Atau kasih ijin dalam diam?" cerca Yahya padaku.Jujur aku diam bukan karena lupa atau apapun itu, sungguh suamiku itu mahkluk adam yang tidak peka. Siapa dia meminta ijin wanita lain masuk ke dalam rumah pribadiku. Rumah warisan dari orang tuaku, sedangkan dia di sini numpang. Meskipun uang untuk ganti warisan para saudaraku yang lain merupakan hasil kerja ayam bakar tetapi itu tetap hal aku yang terbanyak.Aku hanya bisa mendesah kesal, tetapi untuk terucap rasanya enggan. Lebih baik diam saja daripada nanti lisanku mengeluarkan kata berbobot yang diijabah Allah malaah lebih parah. Seperti kara para orang tua dulu, jika istri atau ibu yang teraniaya mengucapkan kata balas dendam bisa langsung terjadi. Mengingat nasehat itu membuatku menjaga lisanku baik suara maupun batin. Aku tidak mau berucap yang bisa menjadi doa dan berakibat fatal. Apalagi ini menyangkut nasib anak-anak ke depan."Umi, kok diam. Jawab dong!" pinta Yahya dengan nada lembut."Tidak aku ja

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   163. Penjelasan

    Aku dan Zahra melangkah tanpa memedulikan panggilan suamiku. Zahra pun terlihat lebih memilih aku dari abahnya, dia kulihat langsung meraih ponselnya. Entah siapa yang akan dia hubungi, aku hanya menunggu duduk di sebelahnya. Bibir Zahra tersenyum kala panggilannya tersambung."Asslaamualaikum, Kak Abdul! Aku mau curhat ini, dengerin yaa!" sapa Zahra sekalian dia meminta pada kakaknya itu. Aku tersenyum.Lalu Zahra mulai menceritakan semua kejadian yang baru saja dialaminya di teras rumah tadi. Aku yang mendengar hanya geleng kepala, sungguh putriku itu meluapkan emosinya pada kakak tirinya. "Dia abah kamu lho, Kak. Mana ada seorang abah kok kek gitu, bawa anak dari wanita lain yang bahkan bukan darah dagingnya. Pokoknya aku tidak mau tahu, nanti Kak Abdul harus ikut merawat umiku. Enak saja!" Begitu keluh Zahra pada kakaknya, "Dan tanggung jawab padaku juga lho, janji!" lanjutnya memastikan apa yang diucapkan oleh Abdul.Aku hanya tersenyum saat Zahra menutup panggilannya itu. Lalu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status