Share

2. Sebuah Ide

Saat aku tersadar, tubuh ini sudah berada di atas ranjang ruangan serba putih. Kuedarkan pandanganku. Dan kudapati sosok lelaki yang tidak lain adalah Yahya, suamiku. Kulihat dia tertidur di kursi dengan bersandarkan dinding. Dengan pelan kupanggil namanya.

"Abi!" lirihku.

Perlahan ada gerakan kecil pada anggota tubuh suamiku itu. Kemudian bibirnya membentuk sebuah lengkungan indah nan tipis. Sesaat aku terlena, senyum yang hampir tidak tampak itu mampu menggetarkan seluruh nadiku. Perlahan kakinya mulai digerakkan mengikis jarak denganku.

Senyum itu belum pudar, masih terlukis di bibirnya. Aku menjadi sedikit malu, kemudian dia pun menarik kursi agar bisa duduk di dekatku. Dengan lirih aku meminta tolong padanya untuk mengambilkan minum, tenggorokanku terasa kering. Setelah kuterima gelas berisi teh hangat, gegas kuteguk pelan dan segera kukembalikan gelas tersebut.

"Terima kasih!" ucapku.

"Iya, Umi haris sehat. Di sini sudah ada buah hati kita, dijaga ya, Umi!" pintanya lembut sambil mengusap perutku yang masih datar.

Aku termangu mendengar kalimatnya dan gerakan tangannya yang lembut mengusap perut datarku. Dia, lelakiku itu kembali tersenyum. Kemudian kudengar langkah kaki mendekat ke brangkarku. Kulihat sekilas ternyata suster datang dengan membawa hasil laporanku.

"Selamat siang, Ibu Arini!" sapanya.

"Siang, Sus," balasku.

"Ini suamianya Ibu Arini, 'Kan? Begini, Pak, janin yang ada di kandungan Ibu Arini tumbuh kembangnya tidak sehat. Dokter menyarankan agar segera dikuret untuk kesehatan ibu, istri Bapak. Bagaimana, Pak?" papar suster tersebut.

Bagai petir di malam hari saat aku terlelap dalam mimpi. Sebuah kenyataan yang menamparku, bagaimana bisa aku saja belum merasakan gerakannya sang dokter sudah memberi vonis tumbung kembang calon anakku tidak bagus. Tuhan, takdir apa lagi yang harus aku jalani. Aku hanya mampu diam menatap sendu wajah sang suster.

"Baik, Sus, kami akan musyawarah dulu mengenai hal ini," jelas suamiku.

"Baik, Pak. Segera kabari kami jika kalian setuju agar semua bisa disiapkan secepatnya," ucap Suster tersebut.

Aku masih diam dan menerawang. Baru saja kabar suka aku dapat dari suami, kini kabar itu seakan langsung menguap terbang bersama angin siang. Aku menatap sendu pada suamiku, tanpa terasa air mata mulai mengalir di pipi. Ujung jari yang kuning mengusap pipiku dengan lembut.

"Sudahlah, Umi. Kita iklaskan saja. Jika memang masih ada kepercayaan Allah untuk kita, maka semua akan dipermudah," kata Yahya menenangkan perasaanku.

"Yang kita pikirkan untuk saat ini adalah biayanya, Umi. Semua tidak murah dan gratis," lanjut suamiku.

Kembali aku terdiam, kualihkan pandanganku pada tempat lain. Nyeri di hati makin terasa perih. Baru saja kemarin aku jual gelas emasku untuk menebus anak tiriku yang ketiga, kini haruskah kujual lagi gelangku yang lain. Sungguh semua begitu sulit.

"Umi!" panggil Yahya dengan nada rendah

Aku bergeming, tangan Yahya meraih tapak tanganku. Kemudian diciumnya tanganku dengan lembut. Perlakuannya yang lembut inilah yang mampu membuatku luluh dan akhirnya aku pun menoleh padanya. Wajah itu terkadang membuatku jengah, tetapi terkadang juga membuatku kesal. Semua rasa membaur menjadi satu.

Mungkin jika aku bercermin, akan terlihat nyata kekesalan dan kekecewaanku pada pria yang ada di depanku ini. Namun, walau bagaimanapun dia adalah suamiku. Aku harus tunduk dan nurut dengan semua perintahnya.

"Umi, masih ada simpanan beberapa gelang emas, 'Kan? Pakai saja dulu. Nanti jka semua usaha abi menemui jalan sukses akan abi ganti," ucapnya dengan lembut sambil memandangku penuh harap, "dan lagi ini semua juga untuk Umi," lanjutnya.

Aku tidak mampu berkata, hanya anggukan kecil yang aku beri. Saat melihat anggukanku itu, suamiku tersebut seketika melebarkan bibirnya mengulas senyum manis. Terpaksa aku membalas senyumnya meski dalam hati ada kekecewaan. Bagaimana tidak baru saja bulan kemarin aku menjual gelas emas seberat 10 gram untuk menebus Abdurahman putra ketiga dari istri pertama Yahya.

Abdur kecil yang diasuh oleh kakak iparku yang beragama lain itu harus ditebus sebesar lima juta rupiah jika suamiku ingin mengasuhnya kembali. Dengan sedikit menguacapkan sesuatu akhirnya aku pun luluh dan terjual lah gelang itu. Sekarang saat aku mengalami keguguran, dia pun juga memintaku untuk menjual kembali gelangku yang lain.

Apa aku ini begitu lemah, Ya. Hingga apa yang dia katakan selalu saja aku ikuti tanpa sedikitpun menetang atau berkata kasar. Mungkin inilah jalan takdirku. Aku harus iklas menjalani semua agar mendapat ridho dari Robbku

"Terima kasih, Umi. Semoga semua usahaku memenuhi inginmu!" ucap Yahya lembut.

Aku tidak bisa berkata, akhirnya surat dari suster tersebut pun ditandatangani oleh suamiku. Dan dia, lelakiku pun beranjak dari duduknya berjalan keluar dari ruang rawatku saat ini. Aku hanya memandang punggungnya hingga hilang dari balik pintu.

"Maafkan umi ya, Dek. Semua bukan inginnya umi, semoga kamu lebih bahagia di atas sana bersama sang khalik," gumamku sambil mengusap pelan perutku yang masih datar.

Hari terus berlalu, dan kesehatanku sudah kembali pulih. Kini suamiku hanya diam di rumah. Setiap hari dia selalu pergi berdakwah bersama dengan kelompoknya, sedangkan aku mulai bosan tinggal sendiri di rumah. Sesekali datang ponakanku, anak dari kakak perempuanku. Mereka melihat keadaanku dan mengajakku berbincang sebentar.

"Bagaimana kabarnya, Bulek?" tanya Andi, ponakan lelakiku.

"Baik, Ndi. Kamu sendiri apa kabar?" tanyaku balik.

"Alhamdulillah, baik. Heemm, Bulek, boleh tidak jika emper rumah sebelah barat itu aku gunakan untuk jualan ayam bakar. Akan tetapi aku tidak punya modal, hanya tenaga," keluh Andi.

Aku diam, pikiranku menerawang mencoba mencari solusi akan ide ponakan. Kemudian senyumku mengembang kala aku ingat bahwa aku masih punya simpanan di bank daerah. Simpanan itu belum aku ungkap pada Yahya, suamiku. Mungkin tabungan itu cukup untuk modal usahaku dengan bantuan Andi.

"Aku masih ada modal sedikit kok, Ndi. Namun, itu usaha atas nama siapa?" tanyaku.

"Aku hanya sekedar kegiatan kok, Bulek. Semua akan kembali pada Bulek. Cukup beri aku upah setiap hari agar aku bisa membeli rokok," paparnya.

"Hanya itu, Ndi?" tanyaku sedikit bimbang.

Kulihat Andi mengangguk, sungguh ponakanku itu begitu perhatian pada kehidupanku. Meskipun dia sendiri belum cukup mapan, tetapi dia mampu membuatku sedikit bersemangat menjalani kehidupan. Perlahan aku tersenyum membayangkan usaha ayam bakar dan berdoa semoga semua lancar hingga menuju kesuksesan.

40 hari sudah waktu yang digunakan suamiku untuk berdakwah, dia kembali dengan beberapa pakaian kotor. Setelah mengucapkan salam, dia pun segera masuk ke dalam rumah untuk bebersih diri. Semua barang bawaannya yang kotor itu dibiarkan menumpuk di pojok tempat cucian baju, sedangkan lelakiku itu langsung merebahkan dirinya di atas ranjang.

Aku hanya menghela napas panjang, dengan berbesar hati dan menyemangati diri kuambil semua pakaian kotor dan mulai mencuci. Dengan bersholawat kulalui hariku mencoba iklas. Ternyata begitu berat menjalani peran sebagai istri dari duda beranak tiga. Wajah dan kesopanan tidak bisa menjadi tolak ukur seorang pria. Semua sudah terlanjur, aku harus iklas.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
IM Lebelan
Sedih sama nasib Arini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status