Share

2. Sebuah Ide

Author: Shaveera
last update Huling Na-update: 2023-05-29 20:35:02

Saat aku tersadar, tubuh ini sudah berada di atas ranjang ruangan serba putih. Kuedarkan pandanganku. Dan kudapati sosok lelaki yang tidak lain adalah Yahya, suamiku. Kulihat dia tertidur di kursi dengan bersandarkan dinding. Dengan pelan kupanggil namanya.

"Abi!" lirihku.

Perlahan ada gerakan kecil pada anggota tubuh suamiku itu. Kemudian bibirnya membentuk sebuah lengkungan indah nan tipis. Sesaat aku terlena, senyum yang hampir tidak tampak itu mampu menggetarkan seluruh nadiku. Perlahan kakinya mulai digerakkan mengikis jarak denganku.

Senyum itu belum pudar, masih terlukis di bibirnya. Aku menjadi sedikit malu, kemudian dia pun menarik kursi agar bisa duduk di dekatku. Dengan lirih aku meminta tolong padanya untuk mengambilkan minum, tenggorokanku terasa kering. Setelah kuterima gelas berisi teh hangat, gegas kuteguk pelan dan segera kukembalikan gelas tersebut.

"Terima kasih!" ucapku.

"Iya, Umi haris sehat. Di sini sudah ada buah hati kita, dijaga ya, Umi!" pintanya lembut sambil mengusap perutku yang masih datar.

Aku termangu mendengar kalimatnya dan gerakan tangannya yang lembut mengusap perut datarku. Dia, lelakiku itu kembali tersenyum. Kemudian kudengar langkah kaki mendekat ke brangkarku. Kulihat sekilas ternyata suster datang dengan membawa hasil laporanku.

"Selamat siang, Ibu Arini!" sapanya.

"Siang, Sus," balasku.

"Ini suamianya Ibu Arini, 'Kan? Begini, Pak, janin yang ada di kandungan Ibu Arini tumbuh kembangnya tidak sehat. Dokter menyarankan agar segera dikuret untuk kesehatan ibu, istri Bapak. Bagaimana, Pak?" papar suster tersebut.

Bagai petir di malam hari saat aku terlelap dalam mimpi. Sebuah kenyataan yang menamparku, bagaimana bisa aku saja belum merasakan gerakannya sang dokter sudah memberi vonis tumbung kembang calon anakku tidak bagus. Tuhan, takdir apa lagi yang harus aku jalani. Aku hanya mampu diam menatap sendu wajah sang suster.

"Baik, Sus, kami akan musyawarah dulu mengenai hal ini," jelas suamiku.

"Baik, Pak. Segera kabari kami jika kalian setuju agar semua bisa disiapkan secepatnya," ucap Suster tersebut.

Aku masih diam dan menerawang. Baru saja kabar suka aku dapat dari suami, kini kabar itu seakan langsung menguap terbang bersama angin siang. Aku menatap sendu pada suamiku, tanpa terasa air mata mulai mengalir di pipi. Ujung jari yang kuning mengusap pipiku dengan lembut.

"Sudahlah, Umi. Kita iklaskan saja. Jika memang masih ada kepercayaan Allah untuk kita, maka semua akan dipermudah," kata Yahya menenangkan perasaanku.

"Yang kita pikirkan untuk saat ini adalah biayanya, Umi. Semua tidak murah dan gratis," lanjut suamiku.

Kembali aku terdiam, kualihkan pandanganku pada tempat lain. Nyeri di hati makin terasa perih. Baru saja kemarin aku jual gelas emasku untuk menebus anak tiriku yang ketiga, kini haruskah kujual lagi gelangku yang lain. Sungguh semua begitu sulit.

"Umi!" panggil Yahya dengan nada rendah

Aku bergeming, tangan Yahya meraih tapak tanganku. Kemudian diciumnya tanganku dengan lembut. Perlakuannya yang lembut inilah yang mampu membuatku luluh dan akhirnya aku pun menoleh padanya. Wajah itu terkadang membuatku jengah, tetapi terkadang juga membuatku kesal. Semua rasa membaur menjadi satu.

Mungkin jika aku bercermin, akan terlihat nyata kekesalan dan kekecewaanku pada pria yang ada di depanku ini. Namun, walau bagaimanapun dia adalah suamiku. Aku harus tunduk dan nurut dengan semua perintahnya.

"Umi, masih ada simpanan beberapa gelang emas, 'Kan? Pakai saja dulu. Nanti jka semua usaha abi menemui jalan sukses akan abi ganti," ucapnya dengan lembut sambil memandangku penuh harap, "dan lagi ini semua juga untuk Umi," lanjutnya.

Aku tidak mampu berkata, hanya anggukan kecil yang aku beri. Saat melihat anggukanku itu, suamiku tersebut seketika melebarkan bibirnya mengulas senyum manis. Terpaksa aku membalas senyumnya meski dalam hati ada kekecewaan. Bagaimana tidak baru saja bulan kemarin aku menjual gelas emas seberat 10 gram untuk menebus Abdurahman putra ketiga dari istri pertama Yahya.

Abdur kecil yang diasuh oleh kakak iparku yang beragama lain itu harus ditebus sebesar lima juta rupiah jika suamiku ingin mengasuhnya kembali. Dengan sedikit menguacapkan sesuatu akhirnya aku pun luluh dan terjual lah gelang itu. Sekarang saat aku mengalami keguguran, dia pun juga memintaku untuk menjual kembali gelangku yang lain.

Apa aku ini begitu lemah, Ya. Hingga apa yang dia katakan selalu saja aku ikuti tanpa sedikitpun menetang atau berkata kasar. Mungkin inilah jalan takdirku. Aku harus iklas menjalani semua agar mendapat ridho dari Robbku

"Terima kasih, Umi. Semoga semua usahaku memenuhi inginmu!" ucap Yahya lembut.

Aku tidak bisa berkata, akhirnya surat dari suster tersebut pun ditandatangani oleh suamiku. Dan dia, lelakiku pun beranjak dari duduknya berjalan keluar dari ruang rawatku saat ini. Aku hanya memandang punggungnya hingga hilang dari balik pintu.

"Maafkan umi ya, Dek. Semua bukan inginnya umi, semoga kamu lebih bahagia di atas sana bersama sang khalik," gumamku sambil mengusap pelan perutku yang masih datar.

Hari terus berlalu, dan kesehatanku sudah kembali pulih. Kini suamiku hanya diam di rumah. Setiap hari dia selalu pergi berdakwah bersama dengan kelompoknya, sedangkan aku mulai bosan tinggal sendiri di rumah. Sesekali datang ponakanku, anak dari kakak perempuanku. Mereka melihat keadaanku dan mengajakku berbincang sebentar.

"Bagaimana kabarnya, Bulek?" tanya Andi, ponakan lelakiku.

"Baik, Ndi. Kamu sendiri apa kabar?" tanyaku balik.

"Alhamdulillah, baik. Heemm, Bulek, boleh tidak jika emper rumah sebelah barat itu aku gunakan untuk jualan ayam bakar. Akan tetapi aku tidak punya modal, hanya tenaga," keluh Andi.

Aku diam, pikiranku menerawang mencoba mencari solusi akan ide ponakan. Kemudian senyumku mengembang kala aku ingat bahwa aku masih punya simpanan di bank daerah. Simpanan itu belum aku ungkap pada Yahya, suamiku. Mungkin tabungan itu cukup untuk modal usahaku dengan bantuan Andi.

"Aku masih ada modal sedikit kok, Ndi. Namun, itu usaha atas nama siapa?" tanyaku.

"Aku hanya sekedar kegiatan kok, Bulek. Semua akan kembali pada Bulek. Cukup beri aku upah setiap hari agar aku bisa membeli rokok," paparnya.

"Hanya itu, Ndi?" tanyaku sedikit bimbang.

Kulihat Andi mengangguk, sungguh ponakanku itu begitu perhatian pada kehidupanku. Meskipun dia sendiri belum cukup mapan, tetapi dia mampu membuatku sedikit bersemangat menjalani kehidupan. Perlahan aku tersenyum membayangkan usaha ayam bakar dan berdoa semoga semua lancar hingga menuju kesuksesan.

40 hari sudah waktu yang digunakan suamiku untuk berdakwah, dia kembali dengan beberapa pakaian kotor. Setelah mengucapkan salam, dia pun segera masuk ke dalam rumah untuk bebersih diri. Semua barang bawaannya yang kotor itu dibiarkan menumpuk di pojok tempat cucian baju, sedangkan lelakiku itu langsung merebahkan dirinya di atas ranjang.

Aku hanya menghela napas panjang, dengan berbesar hati dan menyemangati diri kuambil semua pakaian kotor dan mulai mencuci. Dengan bersholawat kulalui hariku mencoba iklas. Ternyata begitu berat menjalani peran sebagai istri dari duda beranak tiga. Wajah dan kesopanan tidak bisa menjadi tolak ukur seorang pria. Semua sudah terlanjur, aku harus iklas.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
IM Lebelan
Sedih sama nasib Arini
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   168. Sebuah Keputusan Yang Sakit

    Aku pun memanggil Zahra dan Abdul setelah menurunkan semua barang bawaan Adam. Kedua anakku pun segera keluar dari rumah."Umi ingin membesuk abah kalian, siapa yang akan ikut dan tinggal di rumah?" tanyaku."Aku ikut saja, Umi. Biar Halimah di rumah bersama Arkan, kau bagaimana Abdul?" kata Adam."Aku ikut, mungkin Zahra saja yang tetap tinggal di rumah menemani Kak Halimah. Iya 'kan Zahra?" tanya Abdul yang memandangku lalu berganti pada Zahra.Putriku itu mengangguk tetapi mukanya cemberut, ada sebersit rasa kecewa. Namun, aku mencoba memberinya pengertian. Agar dia mau tinggal di rumah, akhirnya gadis kecilku pun setuju.Setelah kata sepakat tercapai, kami bertiga segera masuk ke dalam mobil. Sopir pun melajukan kendaraannya menuju ke Rumah Sakit Bayangkara. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah sakit itu. Keadaan jalanan yang sepi bagai kita mati membuat lalu lintas Surabaya begitu lengang.Kuinjakkan kakiku dengan napas berat, kuatur ulang pola napasku dan hatiku. Mampuka

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   167. Memberi Kabar

    Aku terdiam cukup lama, mencari jalan keluar untuk masalah ini. Akhirnya kucoba hubungi Adam untuk menyelesaikan masalah ini. Mengingat ini berita sangat penting akhirnya kupaksakan hatiku. Panggilang terhubung tetapi belum diangkat. Hingga panggilan yang kedua barulah diangkat, kudengar suara wanita yang lembut."Assalamualaikum, Umi! Ada apa dini hati seperti ini hubungi mas Adam?" kata Halimah."Waalaikumsalam, Halimah. Ini abah baru saja mengalami kecelakaan bersama istri sirinya, saat ini sudah ditangani oleh polisi dan masuk ke RS. Polda. Sedangkan pesanan ayam bakar untuk esok setelah salat idul fitri ada 150 ayam, tolong Umi!" paparku tanpa ku tutupi.Hening, aku masih menunggu reaksi lanjutan dari seberang. Aku masih diam, tetapi kudengar langkah mendekat dan duduk di sampingku."Biar Abdul yang lihat kondisi abah, Umi. Berhubung ini sudah menjelang dini hari, sebaiknya Umi pejamkan mata agar esok terasa sedikit segar!" pinta Abdul."Benar apa yang dikatakan oleh Abdul, Umi.

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   166. Kabar Duka

    Aku pun hanya tersenyum di balik cadar untuk melepas kepergian suamiku. Sebenarnya sudah hal biasa dia pergi tinggalkan aku sendiri dalam memberesi semua pekerjaan, tetapi malam ini ada yang berbeda. Sebuah rasa was was menelusup di relung hati, Abdul pun yang juga ada di dekatku hanya berdiri mematung menatap kepergian abahnya."Apakah ini tidak apa, Umi?" tanya Abdul."Semoga saja tidak, Abdul. Kita bereskan ini lebih dulu, lalu segera istirahat agar esok menjelang subuh bisa bakar ayam dalam keadaan fit!" kataku sambil mulai memberesi barang.Abdul pun segera melakukan apa yang aku perintahkan dengan rapi. Semua lantai teras dibersihkan dan langsung dia pel. Hal ini kami lakukan dengan bekerja sama, bahkan kali ini Zahra juga ikut turun. Putriku itu membantu membereskan semua wadah baskom yang sudah aku cuci. Cukup lama waktu yang kami gunakan untuk membersihkan teras, hingga pukul delapan malam semua baru selesai. Aku menutup warung lebih dulu tetapi masih berada di dalam. Kulih

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   165. Tiga Hari Akhir Puasa

    Sesaat Bulan pun sampai dari belanjanya, kemudian kutatap manik mata wanita itu. Bulan menjadi salah tingkah, dia merasa bingung mengartikan tatapanku padanya. Lalu wanita muda itu mengalihkan pandangannya ke Sambuel sambil mengangkat dagunya. Samuel kulihat menggedikkan bahu."Apa yang sedang kalian sembunyikan?" tanyaku sambil menatap keduanya bergantian.Bulan menggelengkan kepala tanda dia tidak mengerti apa yang aku tanyakan, sedangkan Samuel hanya senyum simpul membuatku semakin geram dan penasaran. "Bisa kau jelaskan alasan kamu masuk pagi, Sam?" tanyaku lebih detail lagi.Samuel menarik napas panjang, lalu dihempas perlahan. Setelahnya dia menatap sepeda motor pengantar ayam gembung. Pak Roni sendiri yang antar ayam gembung itu. Ini kesempatanku untuk bertanya berapa suamiku mengorder ayam hari ini."Bu Arini ini ayamnya masih separo ya, sisanya nanti sekitar jam sepuluhan!" kata Roni."Sebentar to, Pak. Memangnya suamiku pesan berapa?" tanyaku."100 ekor ayam, untuk tiga har

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   164. Salah Paham

    "Apakah Umi sudah lupa? Atau kasih ijin dalam diam?" cerca Yahya padaku.Jujur aku diam bukan karena lupa atau apapun itu, sungguh suamiku itu mahkluk adam yang tidak peka. Siapa dia meminta ijin wanita lain masuk ke dalam rumah pribadiku. Rumah warisan dari orang tuaku, sedangkan dia di sini numpang. Meskipun uang untuk ganti warisan para saudaraku yang lain merupakan hasil kerja ayam bakar tetapi itu tetap hal aku yang terbanyak.Aku hanya bisa mendesah kesal, tetapi untuk terucap rasanya enggan. Lebih baik diam saja daripada nanti lisanku mengeluarkan kata berbobot yang diijabah Allah malaah lebih parah. Seperti kara para orang tua dulu, jika istri atau ibu yang teraniaya mengucapkan kata balas dendam bisa langsung terjadi. Mengingat nasehat itu membuatku menjaga lisanku baik suara maupun batin. Aku tidak mau berucap yang bisa menjadi doa dan berakibat fatal. Apalagi ini menyangkut nasib anak-anak ke depan."Umi, kok diam. Jawab dong!" pinta Yahya dengan nada lembut."Tidak aku ja

  • Kau Peras Peluhku Demi Madu   163. Penjelasan

    Aku dan Zahra melangkah tanpa memedulikan panggilan suamiku. Zahra pun terlihat lebih memilih aku dari abahnya, dia kulihat langsung meraih ponselnya. Entah siapa yang akan dia hubungi, aku hanya menunggu duduk di sebelahnya. Bibir Zahra tersenyum kala panggilannya tersambung."Asslaamualaikum, Kak Abdul! Aku mau curhat ini, dengerin yaa!" sapa Zahra sekalian dia meminta pada kakaknya itu. Aku tersenyum.Lalu Zahra mulai menceritakan semua kejadian yang baru saja dialaminya di teras rumah tadi. Aku yang mendengar hanya geleng kepala, sungguh putriku itu meluapkan emosinya pada kakak tirinya. "Dia abah kamu lho, Kak. Mana ada seorang abah kok kek gitu, bawa anak dari wanita lain yang bahkan bukan darah dagingnya. Pokoknya aku tidak mau tahu, nanti Kak Abdul harus ikut merawat umiku. Enak saja!" Begitu keluh Zahra pada kakaknya, "Dan tanggung jawab padaku juga lho, janji!" lanjutnya memastikan apa yang diucapkan oleh Abdul.Aku hanya tersenyum saat Zahra menutup panggilannya itu. Lalu

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status