Share

Kau Pilih Dia, Aku Bawa Anakmu Pergi!
Kau Pilih Dia, Aku Bawa Anakmu Pergi!
Author: Cocojam

Bab 1

Author: Cocojam
"Apakah kamu menerima cincin ini sebagai simbol janjimu pada Keluarga Moro?"

Suara pendeta menggema di seluruh gereja yang suci ini.

Leo menggenggam cincin lambang keluarga itu, emas berat yang telah diwariskan selama lima generasi.

Dia mencondongkan tubuh, napasnya yang hangat menerpa telingaku sembari berbisik, "Aku sudah menunggu seumur hidupku untuk ini, Jeny."

Deretan bangku dipenuhi oleh keluarga-keluarga paling berkuasa di Casida, mata mereka tertuju pada kami bak belati.

Aku menatap mata cokelat gelap Leo. "Aku bersedia."

Cincin itu menyentuh ujung jariku.

Leo hendak mengucapkan, "aku bersedia" bagiannya.

Tapi ponsel pribadi Leo bergetar, hanya tiga orang yang mengetahui nomor pribadinya ini.

Ayahnya, wakilnya Mark, dan aku.

Namun, Ayah Leo berada di luar negeri.

Dan Mark serta aku berdiri tepat di sini.

Jadi, siapa gerangan yang menelepon?

Leo mengerutkan kening sembari melirik layar.

Wajahnya pucat pasi.

Tangan yang menggenggam tanganku itu bergetar, dan dia hampir menjatuhkan ponselnya.

"Leo?" tanyaku lembut.

Leo tidak menjawab. Dia hanya membalikkan badan untuk menjawab telepon itu.

"Apa? Kamu di mana?!" Suara Leo tercekat karena panik. "Jangan lakukan hal bodoh! Aku lagi di jalan."

Cincin itu terlepas dari tangan Leo hingga jatuh ke karpet merah tua.

Keheningan melanda seluruh gereja.

Dua ratus pasang mata tertuju pada kami.

Leo menutup telepon dan menatapku, matanya penuh permintaan maaf. "Jeny, aku harus pergi."

Sekarang? Aku tidak percaya. "Leo, kita bahkan belum menyelesaikan janji pernikahan."

"Dia mau lompat," bisik Leo, lebih kepada dirinya sendiri daripada padaku. "Aku nggak bisa biarin dia mati."

Rasa ngeri dingin menjalar ke tulang punggungku. "Telepon dari Via, 'kan?"

Leo sudah berbalik hendak pergi. Dia berhenti sebentar tanpa menoleh. "Dia... dia butuh aku."

Dan kemudian Leo lari.

Di pernikahan kami, di depan semua keluarga penting, Leo Moro meninggalkan pengantinnya.

Kerumunan pun langsung banyak yang berbisik.

Aku mendengar gerutuan marah dari para tetua Moro, juga mendengar suara pukulan tangan ayahku ke sandaran kursi.

Mark bergegas ke altar. "Semuanya, tolong tetap tenang. Ini… keadaan darurat."

Ayahku berdiri. "Keadaan darurat macam apa yang pantas melanggar janji di hadapan Tuhan?"

"Via Cokro ada di Jembatan Jalan Jaksa, dia mengancam mau lompat," kata Mark dengan suara tegang. "Dia nggak stabil. Kalau polisi ikut campur, dua keluarga bakal kena imbasnya."

Aku teringat pesan-pesan semalam, tentang Leo yang bersumpah bahwa gadis itu tidak berarti apa-apa baginya.

Rasanya bak serpihan es telah menusuk jantungku.

Aku berdiri membeku di altar dengan gaun seharga belasan miliar, cincin lambang Keluarga Moro membakar lingkaran dingin di kulitku, setengah jalan menuju buku jariku.

Dua ratus pasang mata, semuanya tertuju padaku sembari menunggu.

Aku mengeluarkan ponsel cadanganku sendiri.

Aku menelepon Leo.

Nada sibuk terdengar.

Lagi-lagi...

Nada sibuk.

Tiga belas kali.

Tiga belas kali tidak bisa dihubungi, hanya kotak suara yang menjawab.

"Jeny, mungkin kita sebaiknya... " Mark mencoba menenangkanku.

"Diam kamu." Setiap kata keluar seperti pecahan es. Mark tersentak, lalu mundur selangkah.

Lima jam penuh.

Aku menunggu di altar itu selama lima jam.

Di jam pertama, aku berbohong pada diriku sendiri. Dia akan kembali. Ini cuma keadaan darurat.

Di jam kedua, tatapan para tamu terasa seperti menguliti kulitku.

Menjelang jam ketiga, bisikan-bisikan berubah menjadi keheningan mencekik ketika bangku-bangku mulai kosong.

Hatiku bukan hanya hancur, tetapi sudah berubah menjadi bongkahan es di dalam dadaku.

Aku terus meraba cincin di jariku.

Pertama, untuk merasakan janji Leo. Kemudian, melepaskannya dengan paksa.

Akhirnya, tidak ada apa-apa. Aku tidak merasakan apa pun.

Bahkan anggota inti keluarga kami tidak tahan lagi.

Ibuku datang ke sisiku. "Jeny, Sayang, mari kita pulang."

"Nggak." Aku menggeleng. "Janji pernikahan belum selesai."

"Janji itu sudah hancur." Suara ayahku terdengar seperti racun murni. "Ini penghinaan terhadap Keluarga Arosa."

Aku merasa pusing.

Mungkin karena tidak makan, atau... mungkin karena hatiku hancur berkeping-keping.

"Aku perlu menyendiri."

Aku berjalan ke bilik pengakuan dosa di belakang gereja.

Kotak kayu kecil itu memberiku secercah rasa aman.

Aku berlutut di bangku sembari menyatukan tanganku. "Ampuni aku, Bapa, atas dosa yang akan kulakukan."

Hanya keheningan yang menjawab.

Hanya kegelapan yang menindas di bilik pengakuan dosa.

Pandanganku menyempit.

Udara terasa berat yang membuatku sulit bernapas.

Lalu segalanya berubah gelap.

Begitu aku bangun, aku berada di tempat tidur di klinik pribadi Keluarga Arosa.

Langit-langit berwarna putih, lampu-lampunya menyilaukan.

Aku mencoba untuk duduk, tetapi gelombang mual menerpaku.

"Jangan bergerak, Jeny," kata Dokter Romeo, dokter keluarga kami, sambil mendekat. "Kamu dehidrasi dan gula darahmu rendah."

"Di mana Leo?" tanyaku.

"Dia belum balik," jawab Dokter Romeo sembari menghindari tatapanku. "Tapi… ada sesuatu yang harus aku kasih tahu padamu."

Jantungku mulai berdebar kencang. "Apa itu?"

"Kamu hamil, sekitar enam minggu."

Dunia menjadi sunyi seketika.

Hamil...

Aku mengandung pewaris Keluarga Moro.

Tawa pahit dan histeris mencoba merayap naik di tenggorokanku.

Sungguh kejam, lelucon yang kejam!

Pintu terbuka.

Ayahku dan beberapa tetua keluarga masuk.

Tatapan mereka menyimpan berbagai emosi.

Kemarahan, perhitungan... tetapi di balik semuanya, ada secercah harapan.

Mata mereka tidak tertuju padaku.

Mereka tertuju pada perutku.

Seolah rahimku adalah taruhan terakhir di meja, satu-satunya yang bisa menyelamatkan harga diri mereka.

"Jeny," panggil ayahku yang duduk di tepi ranjang. "Ini kabar baik. Keluarga Moro akan kembali merendah pada kita, aliansi nggak bakal putus… "

Aku tidak bisa mendengar sepatah kata pun yang Ayah ucapkan. Yang bisa kulihat hanyalah wajah Leo.

Aku teringat tumbuh besar bersamanya.

Aku selalu tahu aku akan menikah dengannya.

Dari anak-anak yang bermain... hingga ciuman nyata pertama kami, aku tidak pernah meragukan cintanya padaku.

Kami berlatih bersama, mempelajari bisnis keluarga bersama.

Dia mengajariku menembak, aku membantunya dengan pembukuan.

Kami mengikat sumpah darah.

Namun hari ini, di hadapan Tuhan, dia justru memilih wanita lain.

Dia menginjak-injak cinta kami, menginjak-injak kehormatan keluarga kami.

Dokter Romeo memeriksa tekanan darahku. "Selamat, Jeny. Anak ini... anak ini jadi masa depan kedua keluarga kita."

Aku menutup mata, air mata membakar di baliknya.

Aku tidak bisa bicara.

Pewaris yang mereka tunggu-tunggu?

Aku akan mempertahankannya.

Namun, anak ini tidak akan pernah menjadi bagian Keluarga Moro, dia akan menjadi Keluarga Arosa.

Sedangkan untukku dan Leo... Hubungan kami sudah berakhir.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kau Pilih Dia, Aku Bawa Anakmu Pergi!   Bab 7

    Sudut Pandang Leo.Aku duduk di apartemen yang kosong dengan sebotol wiski di tanganku.Mereka membawa jenazah Via tiga jam lalu.Darahnya masih menodai ubin kamar mandi. Tim kebersihan akan mengurusnya besok.Seharusnya aku merasa sakit dan bersalah.Tapi aku tidak merasakannya.Yang kurasa justru lega.Sangat lega.Dulu, aku adalah orang bodoh yang sombong, aku pikir dia ingin membuktikan sesuatu, aku pikir dia sedang memberiku pelajaran. Aku pikir, pada akhirnya, dia akan menungguku membawanya pulang.Aku sangat salah. Sangat, benar-benar salah.Pernikahanku dengan Via adalah sangkar, neraka sejak hari pertama.Sifatnya yang posesif, histerisnya, kecemburuannya pada setiap wanita yang menatapku...Rasanya mencekik.Aku mulai menghindari Via.Aku pulang larut malam, menerima lebih banyak dinas, kuambil alasan apa pun untuk pergi.Di hari Via keguguran, aku bahkan tidak ada di rumah.Aku pergi dengan wanita lain, mencoba melupakan wajah Jeny.Ketika Mark memberitahuku Via jatuh dari t

  • Kau Pilih Dia, Aku Bawa Anakmu Pergi!   Bab 6

    "Dua setengah." Suaraku sedingin es. "Ada masalah, Pak Leo?"Mata Leo membelalak, terpaku pada wajah Adrian.Sepasang mata cokelat itu yang identik dengan miliknya, membakarnya seperti bara.Garis waktunya sederhana, tidak perlu kalkulator."Nggak… nggak mungkin… " Darah mengering dari wajah Leo."Apa yang nggak mungkin?" Aku berdiri, merapikan gaunku. "Setelah aku meninggalkan Casida, aku bertemu Juan. Kami menikah di Landan, dan Adrian lahir di Wisi, semuanya sempurna.""Tapi kamu hamil!" Leo nyaris berteriak, "Kamu hamil anakku!"Seluruh ruangan menahan napas."Oh, ya?" Aku terkekeh pelan, dingin. "Lucu juga, seingatku aku cuma pergi dengan sisa martabatku, nggak lebih. Anak ini bermarga Daven. Nggak ada urusannya sama kamu atau Keluarga Moro."Leo ambruk ke kursinya. "Kamu… kamu nikah sama orang lain… Kamu biarin anakku manggil pria lain ‘Ayah’…""Dia bukan anakmu," koreksiku."Hak buat jadi ayahnya?" Aku tersenyum tajam dan kejam. "Hak itu kamu bakar jadi abu di hari kamu ninggali

  • Kau Pilih Dia, Aku Bawa Anakmu Pergi!   Bab 5

    Tiga tahun kemudian."Nyonya Daven, ini laporan triwulanan dari cabang Zerta."Asistenku, Sofia meletakkan berkas di depanku.Di luar jendela dari lantai ke langit-langit tampak Pegunungan Alapa bersalju.Di sini sunyi, dingin, bagus untuk berpikir, bagus untuk melupakan.Tiga tahun lalu, aku datang ke Aropa dengan harta Keluarga Arosa dan anak di dalam kandunganku.Di sini, aku bertemu Juan Daven, pria yang benar-benar paham rasa hormat dan kesetiaan.Dia menerima masa laluku, menyayangiku, dan mencintai putraku seperti anaknya sendiri.Kami menikah, dan aku melipatgandakan empat kali lipat harta Keluarga Arosa.Bukan dengan pistol, tapi dengan pengambilalihan paksa, jual kosong, dan LBO. Aku bukan hanya hiu, aku adalah monster yang ditakuti para serigala pusat saham."Ada lagi?" tanyaku sambil menandatangani dokumen."Ada kabar dari Casida." Sofia ragu. "Leo Moro menikahi gadis itu, Via, setahun lalu."Penaku sempat berhenti, lalu lanjut lagi. "Terus?""Kudengar pernikahan itu nggak

  • Kau Pilih Dia, Aku Bawa Anakmu Pergi!   Bab 4

    "Kamu gila?!"Jeritan Leah memecah kesunyian.Dia berlutut di samping Leo, mencoba menghentikan pendarahan."Jeny, dia anak kita!" Leo memaksa kata-kata itu keluar sembari menahan sakit dengan suara bergetar."Nggak." Aku menyerahkan pistol itu kembali kepada ayahku. "Dia akan memakai margaku dan warisanku, titik. Dia nggak ada urusannya sama Keluarga Moro atau sama kamu."Ruangan menjadi sunyi senyap.Via bangkit dari lantai, air mata mengalir deras. "Nggak... kamu nggak bisa... Dia darah daging Leo… ""Diam," kataku sembari menatapnya. "Kamu nggak punya hak bicara tentang anakku."Leo mencoba berdiri. "Jeny, kumohon... Kita bisa mulai dari awal. Aku bisa mengusirnya pergi. Aku bisa… ""Terlambat." Aku berbalik dan kembali berkemas.Via hancur, ambruk histeris di lantai. "Ini semua salahku! Ini semua karena aku!"Dia berlari ke pintu. "Aku akan ke kepolisian! Aku bakal katakan semuanya dengan jujur! Biar mereka membakar semuanya!""Via, jangan!" Leo meronta mencoba mengejarnya.Leah m

  • Kau Pilih Dia, Aku Bawa Anakmu Pergi!   Bab 3

    Aku melihat sekeliling rumah yang kutinggali bersama Leo, hatiku terasa perih.Aku tidak bisa tinggal di sini.Besok, aku harus pergi.Namun pertama-tama, aku pergi ke klinik pribadi Dokter Romeo.Dia memberiku beberapa pil, katanya itu akan membantu pada awal kehamilan.Aku menatap pil-pil itu lama sebelum membuangnya ke toilet.Area parkir klinik itu sunyi.Casida adalah kota berbahaya setelah gelap. Namun malam ini, akulah monster yang lebih berbahaya.Lalu aku melihat mereka.Leo dengan lembut menyampirkan jaket jasnya di bahu seorang gadis.Dia kurus, kecil, seperti rusa ketakutan.Tangannya gemetar, dan Leo menghiburnya dengan suara pelan.Via Cokro.Cara Via memandang Leo dipenuhi ketergantungan dan kekaguman.Cinta yang murni dan polos.Perutku mual. Bukan karena kehamilan, tetapi karena jijik.Leo menyadari keberadaanku. Dia berbalik dan melihatku berdiri di pintu klinik.Alisnya langsung mengernyit."Jeny, ngapain kamu di sini?" Suaranya rendah, mengandung peringatan dan keti

  • Kau Pilih Dia, Aku Bawa Anakmu Pergi!   Bab 2

    Leo akhirnya muncul enam jam kemudian.Pintu terbuka dengan kasar.Dia berdiri di sana dengan keadaan basah kuyup.Dia tampak seperti baru saja diseret dari neraka.Jasnya berantakan, rambutnya menempel di kulit kepala.Matanya dipenuhi kelelahan dan keputusasaan."Jeny." Suaranya terdengar serak. "Maaf."Ayahku dan para tetua langsung berdiri. Tangan mereka semua bergerak ke senjata di pinggang."Keluar," ucapku dengan suara sangat rendah dan berbahaya. "Tinggalkan kami.""Jeny… " Ayahku ragu-ragu."Keluar!"Ruangan itu kosong kecuali aku dan Leo.Leo hanya berdiri di sana, tampak seperti baru saja ditarik keluar dari sungai."Dia masih hidup?" tanyaku.Leo mengangguk. "Aku bawa dia ke rumah sakit swasta, dia bakal baik-baik saja.""Jadi, kamu selamatkan dia..." Suaraku terdengar tenang yang menakutkan. "Sesuai janjimu.""Jeny, kumohon, biarin aku jelasin… ""Jelasin apa?" potongku. "Jelasin kenapa kamu kabur dari pernikahan kita demi menyelamatkan wanita lain? Jelasin kenapa kamu bia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status