Satu jam sebelumnya, ketika Alea belum lama menutup matanya. Tiba-tiba saja dia dikagetkan dengan bayangan hitam seseorang dari jendela kamarnya. Alea kembali terbangun, dia pun berteriak. "TOL—" Namun, mulutnya langsung dibekap."Hempp! Hemph!" Tubuh Alea diseret paksa turun dari ranjang oleh kekuatan tangan kekar. Alea panik dan mencoba melawan pria yang menyeretnya itu. Tangannya berhasil lampu tidur di atas meja dan dengan cepat ia memukul kepala pria itu dengan lampu tersebut. Sampai lampunya pecah."Sialan! Wanita ini!" desis pria itu marah saat keningnya terluka dan kepalanya sakit karena ulah Alea. Tetesan darah berceceran dari keningnya. Pria itu menyeret Alea yang telanjang kaki dengan kasar. Hingga telapak kakinya berdarah- darah terkena pecahan lampu tidur di lantai. Darah di telapak kakinya terlihat di lantai. Alea meringis kesakitan, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa saat tubuhnya diseret paksa oleh tubuh kekar dan kuat pria ini. Tenaga yang jauh lebih kuat darinya.
Hati Giska hancur saat mendengar dari bibir Adrian, kalau lelaki itu menolak cintanya. Padahal dia sudah sangat bereffort menyatakan cinta lebih dulu dan menciptakan suasana romantis. Namun, lelaki itu menolaknya dengan satu kata 'tidak'"Tidak. Kamu pasti bohong kan, Pak kulkas? Kamu tidak bicara dari hati kamu!" ujar Giska seraya menggeleng-gelengkan kepalanya, seakan tak percaya dengan penolakan yang dikatakan pria itu. "Kamu itu sebenarnya suka sama aku, kan?"Adrian mengerutkan keningnya, mendengar Giska yang sangat percaya diri kalau ia menyukainya. Selama ini dia mendedikasikan hidupnya untuk pekerjaan dan adiknya yang masih kuliah. Belum ada kisah percintaan di dalam hidupnya."Tidak sama sekali.""Kamu pasti bohong! Aku tahu kamu suka juga sama aku," ucap Giska mendesak. Tapi respon Adrian sangat dingin."Saya tidak ada waktu untuk hal seperti ini.""Kalau begitu, ayo kita luangkan waktu untuk hal seperti ini. Aku yakin kamu akan suka. Ayo kita pacaran dulu," ajak Giska."Men
Keesokan harinya... Alea terbangun dengan kepala yang masih berat. Cahaya matahari menyelinap dari sela tirai jendela, menyinari tempat tidur yang kini terasa begitu luas dan dingin. Tangan kirinya meraba sisi ranjang yang kosong. Tidak ada siapa-siapa. Hanya aroma samar parfum Juno yang masih tertinggal di bantal. Dengan enggan, ia bangkit dan menemukan secarik kertas di atas nakas. Sayangku sweetie girl, Maaf karena harus pergi sebelum kamu bangun. Aku tidak ingin melihatmu sedih saat aku pamit. Tolong jaga dirimu baik-baik, dan jangan pernah lepas dari pengawalku, Rama dan Hans. Mereka bisa kamu percaya. Aku mungkin tidak bisa langsung membalas pesanmu, tapi aku akan membaca semuanya. Jangan berhenti mengabariku, ya. Tunggu aku pulang. Aku cinta kamu. - Juno Alea memeluk kertas itu erat-erat. Air matanya jatuh, tanpa bisa dicegah. Meski hanya semalam mereka kembali bersama, kehangatan itu masih terasa nyata. Tapi kini, lagi-lagi ia harus menjalani hari tanpa Juno. Ia
"Tolong jelaskan. Apa yang Anda maksud dengan kekerasan?" Juno bertanya dengan tegas seraya menatap Arkan dengan tajam.Arkan lalu menjelaskan secara singkat, tentang diagnosa dokter, mengenai kondisi Ghea. Tentang adanya jejak kekerasan di tubuh wanita yang sedang hamil muda itu. Rosaline dan Juno tercengang mendengar penjelasan Arkan. Hingga mereka berdua pun meminta Tina dan Arkan untuk keluar dari ruang rawat tersebut, karena mereka akan berbicara secara pribadi dengan Ghea. Tentunya, pembicaraan keluarga.Setelah Arkan dan Tina pergi, barulah Juno, Rosaline dan Ghea bisa berbicara. Ghea tampak ketakutan, ia melipat bibirnya."Ghea. Benar apa yang dikatakan dosen kamu barusan?" tanya Rosaline seraya memegang kedua bahu Ghea."I-itu ... O-Oma. Tidak seperti itu." Ghea tidak bisa menahan rasa gugupnya."Martin pelakunya, kan?" tanya Juno yang tidak mendapatkan jawaban dari Ghea. "Kamu diam, berarti itu benar," katanya lagi."Ti-tidak Om. Martin nggak pernah nyakitin saya. Sekarang M
Dosen muda bersama pak Arkan itu membawa Ghea ke rumah sakit, karena Ghea tak kunjung sadarkan diri setelah diperiksa di UKS. Pria cuek yang juga merupakan dosen muda itu, curigai melihat luka di pergelangan tangan Ghea dan di leher Ghea. Seperti luka kekerasan.Tina, teman baik Ghea di kampus juga ikut ke rumah sakit untuk menemani Ghea."Tina, apa kamu tahu nomor kontak keluarganya?" tanya Arkan.Gadis berambut pendek itu langsung menjawab dengan cepat. "Saya ada nomor kakaknya, Pak. Saya akan hubungi kakaknya."Arkan tidak bicara, dia hanya menganggukkan kepalanya sambil melihat ke arah ruang UGD, di mana Ghea berada.Sedangkan Tina, dia berusaha menghubungi Alea. Tapi belum diangkat juga. Sesekali dia memperhatikan Arkan yang tampak berbeda pada Ghea. 'Aneh banget si pak Arkan, dia biasanya dingin sama orang-orang. Tapi sama Ghea ... kok beda' Gadis itu heran dengan sikap Arkan yang killer untuk orang lain, tapi pria ini malah terpengaruh oleh Ghea.Tak lama kemudian, dokter pun
Sesampainya di rumah sakit, Alea langsung dilarikan ke ruang UGD. Denyut nadinya lemah dan wajahnya sangat pucat seperti kehabisan darah. Disisi lain, Juno meninggalkan semua pekerjaannya untuk menemani Alea di sana. Adrian yang menghandel pekerjaannya sementara waktu. "Maaf Pak, anda tidak boleh masuk!" ujar seorang perawat yang menghadang Juno dan memintanya tidak masuk ke ruang UGD. "Tapi—""Kami akan menangani pasien. Bapak tenang saja dan tunggu di sini," ucap perawat itu dengan sabar.Namun, Juno menatapnya tajam dan membantah perkataannya. "Aku harus masuk ke dalam dan kamu tidak bisa melarangku!"Juno menerobos masuk ke dalam ruang UGD. Ia melihat Alea sedang diperiksa dokter dan dipasangi selang oksigen di mulut dan hidungnya. Pernapasan Alea terganggu setelah hampir satu jam berada di dalam koper. Melihat Alea tak sadarkan diri seperti itu, hati Juno teras nyeri. Namun, hatinya merasa marah karena ada yang berani berbuat seperti ini pada kekasihnya. "Denyut nadinya lemah