Semua orang yang berada di meja itu langsung membisu. Napas mereka tertahan, takut melihat reaksi Juno setelah mendengar kata-kata Alea yang sangat berani, atau lebih tepatnya, nekat.
Pak Gunawan, yang duduk di sebelah Alea, dengan panik mencoba meredakan situasi. "Maaf, Pak Presdir. Bu Alea benar-benar tidak sadar dengan apa yang dia katakan..." Namun, Juno tetap diam dan itu membuat suasana menjadi horor. Tatapannya tertuju pada Alea, yang tampak tidak peduli dan malah menuangkan lebih banyak minuman ke gelasnya. Wanita itu benar-benar menantangnya. "Hey wanita Gold Night!" Suara Juno dalam, hampir seperti bisikan, tapi mengandung ancaman yang jelas. Gold Night adalah nama klub malam tempat Alea dan Juno bertemu semalam. Alea mendongak, menatapnya dengan mata yang mulai kehilangan fokus. "Apa?" jawabnya enteng, masih dengan nada menantang. Juno mendekat. Sekretarisnya, Adrian, terlihat tegang di belakangnya. Tidak ada yang tahu apa yang akan dilakukan pria itu. Lalu, dalam hitungan detik, Juno meraih gelas dari tangan Alea dan meletakkannya di meja dengan suara tak! yang cukup keras. "Cukup," katanya tegas. "Kamu harus pulang. Sekarang." Alea tertawa kecil. "Kenapa? Om takut aku ngomong lebih banyak? Tentang kejadian semalam? Dasar mesum!" Juno menatapnya dengan intens. Semua orang menahan napas dengan pikiran yang bertanya-tanya, kiranya kejadian semalam apa yang dimaksud Alea? Sampai ada kata mesum di sana. Lantas apa hubungan presdir baru mereka dengan ketua tim desain baru mereka? Kemudian, tanpa peringatan, pria itu meraih pergelangan tangan Alea dan menariknya berdiri. "Adrian, bayar semua tagihan mereka," perintah Juno pada Adrian. "Dan kamu, wanita Golden Night, ikut denganku." "Aku nggak mau!" Alea berusaha menarik tangannya, tapi Juno lebih kuat. "Om aja yang pergi dari sini. Om ganggu tau nggak," ucap Alea kesal. "Kamu tidak dalam posisi untuk menolak," bisik Juno di telinganya. "Pak, biar saya yang mengantar bu Alea pulang!" Yudha tiba-tiba berbicara, niatnya baik ingin mengantar Alea yang mabuk, tapi malah mendapatkan tatapan horor dari Juno. "Haha, tidak jadi Pak. Silahkan Bapak saja yang antar Bu Alea." Yudha tertawa canggung, sambil menghindari tatapan Juno padanya. Juno memegang tangan Alea semakin erat. "Ayo." "Aku masih mau—" Dan sebelum Alea bisa membantah lagi, Juno sudah membawanya keluar dari restoran itu. Alea terlihat sempoyongan dan Juno membawanya keluar begitu saja. Sementara orang-orang yang ada di dalam restoran itu, langsung berbisik-bisik membicarakan Alea dan Juno. "Ada hubungan apa Bu Alea dengan Pak Juno? Pak Adrian pasti tahu kan?" tanya salah seorang karyawan wanita pada Adrian dengan rasa penasaran yang besar. "Saya juga tidak tahu!" Adrian sendiri bertanya-tanya ada hubungan apa Juno dan Alea. Sampai-sampai Juno yang ia tahu sebagai pria dingin dan tidak peduli pada wanita, menunjuk perhatiannya pada Alea. *** Di dalam mobil yang Juno kendarai sendiri, Alea yang duduk disampingnya tampak tidak tenang. Wanita itu bergerak dengan gelisah, wajahnya berkeringat seperti kepanasan. "Kenapa aku peduli pada kamu yang sudah menolakku?" gumam Juno bertanya-tanya, kenapa dia peduli pada wanita yang sudah menolaknya mentah-mentah. "Tidak ada wanita di dunia ini yang menolakku. Semua wanita berusaha mendekatiku, tapi kamu ..." Juno merasa bicara sendiri, sebab wanita yang diajaknya bicara itu sedang berada dalam keadaan setengah sadar. Boro-boro diajak bicara, sadar saja tidak? Huwek! Tanpa Juno duga, Alea menumpahkan muntahannya di kemeja dan jas mahalnya. Sampai Juno kaget dan memberhentikan mobilnya dipinggir jalan. "Hey! Kamu sengaja ya?" tuduh Juno. Jari Alea tiba-tiba mampir di bibir Juno dan membungkamnya. "Sst ... jangan berisik Om. Om jadi kelihatan gak ganteng lagi deh kalau marah. Diem ya Om." Tatapan Alea pada Juno sungguh membuat lelaki dewasa itu hampir lost control. Tatapan yang polos, menggemaskan, manis dan pesona wanita muda didepannya ini tak main-main. Tiba-tiba saja Juno tersenyum menyeringai setelah mendapatkan sesuatu dikepalanya yang membuat Alea tak mampu menolaknya lagi. "Kali ini saya tidak akan melepaskan kamu. Saya mau kamu bertanggungjawab," ucap Juno seraya mengecup jari telunjuk Alea dengan lembut. "Hehe, aku juga nggak mau melepaskan pria setampan Om!" Alea tak sadar, bahwa alkohol sangat berbahaya untuknya. Sangat! *** Bulan, bintang dan gelapnya malam sudah berganti menjadi cahaya mentari hangat dan menyilaukan. Namun, seorang Alea masih terbaring diatas ranjang king size dengan seprai berwarna putih itu. Rambut panjang berwarna hitam milik si cantik itu terurai diatas bantal dan ranjang. Tanpa dia sadari, seorang pria yang hanya memakai jubah mandi, tengah memperhatikannya dari sofa yang ada di sudut kamar itu. Ia senyum-senyum sendiri dan entah apa isi pikirannya saat ini. "Eungh." Suara lenguhan terdengar dari bibir Alea, perlahan-lahan mata wanita cantik itu terbuka. Dia merasakan tubuhnya tak nyaman, terutama pada perutnya yang mual, dan kepalanya pening. "Ughh." Alea berusaha bangkit untuk duduk, dia memegang kepalanya dan saat itu dia menyadari kalau dia hanya memakai gaun tipis yang tidak dikenalinya. "Gaun milik siapa ini? Bagus juga. Sepertinya mahal." Bisa Alea rasakan dari bahannya, kalau gaun tidur yang dia kenakan ini pasti mahal. Sebab, selama ini Alea tidak pernah memakai pakaian yang mewah dengan bahan nyaman seperti ini. Semua kerja kerasnya selama ini, dia dedikasikan untuk membeli rumah sederhana sebagai tempatnya bernaung saat ini. "Harganya cuma 10 juta, itu murah." "10 juta? Itu gajiku sebulan! Dan kamu bilang murah? Murah dari—" Wanita itu terdiam kala dia menyadari ada yang bicara padanya. Seketika Alea tersentak kaget. Dia menoleh ke samping dan melihat presensi seorang pria yang duduk santai di sofa. "Pak Juno. Kenapa Anda ada di sini?" Alea buru-buru memakai selimutnya dan menutupi tubuhnya yang hanya memakai gaun tidur tipis. "Saya tidak suka panggilan Bapak. Tapi panggilan itu lebih baik daripada dipanggil Om." Juno melangkah mendekat ke arah Alea dengan seringai tipis tampak dibibir merahnya. Jantung Alea berdegup kencang, setiap kali Juno mendekat ke arahnya. Ada rasa takut tersirat dimatanya, tapi dia harus tetap berani. Kini Juno sudah duduk disudut ranjang, yang hanya berjarak beberapa senti darinya. Alea menelan ludah, terutama saat dia menghindari perut kotak-kotak milik Juno yang terpampang nyata. "Kamu pasti lelah semalam. Tenanglah, saya tidak akan melakukannya lagi." Perkataan Juno membuat Alea salah fokus. "A-apa maksud Bapak? Memangnya semalam—" Alea bingung, bertanya-tanya Apa yang terjadi semalam. Dan dia baru menyadari, saat ini dirinya berada di tempat asing. Tempat ini, ranjang ini, ruangan ini bukanlah kamarnya. "Apa yang Bapak lakukan pada saya? Berani sekali Bapak melecehkan saya!" seru Alea dengan mata berkaca-kaca. Tubuhnya gemetaran. "Saya? Melecehkan kamu? Salah. Kamu yang melecehkan saya dan saya minta ganti rugi sama kamu, Golden Night." TBCSetelah resepsi yang sederhana namun indah itu, Martin benar-benar menjalankan janjinya, membuktikan pada Ghea. Bahwa ia meratukan Ghea—dalam arti sebenar-benarnya.Setiap pagi, sebelum berangkat kerja, Martin selalu menyiapkan sarapan untuk Ghea. Kadang, ia bangun lebih pagi hanya untuk membuatkan teh hangat, menyiapkan baju, atau sekadar mengecup kening istrinya sambil berbisik, “Ratuku, hari ini kamu nggak boleh capek, ya.”Ghea awalnya sering merasa tak enak, bahkan canggung. Tapi seiring waktu, perhatian Martin menjadi sesuatu yang ia syukuri setiap hari. Ghea yang dulu terbiasa menyendiri dan mandiri, kini terbiasa dimanja.Saat Ghea mengalami migrain akibat kecapekan mengurus galeri seni barunya, Martin tak marah sedikit pun. Ia langsung mengambil alih semua pekerjaan rumah, memijat kepala Ghea, membelikan makanan favoritnya, bahkan membacakan buku untuk menenangkan hati istrinya.“Kak Martin…” gumam Ghea suatu malam, sambil menyandarkan kepala di dada suaminya, “Aku nggak pern
"Daddy. Cepet bangun dong! Aku nggak mau kita sampai telat ke nikahannya Ghea sama Martin," ujar Alea pada suaminya yang masih rebahan di atas ranjang, bergelut di dalam selimut.Sedangkan Alea, saat ini sedang memoles wajahnya di depan cermin. Ia ingin melihat pernikahan Ghea dan Martin. Ya, hari ini mereka berdua akan menikah. Setelah cukup lama berkabung atas kepergian Arkan, mantan kekasihnya, Ghea akhirnya mau menerima Martin kembali. Membuka hatinya untuk Martin yang mau berusaha mendapatkan hatinya.Nyatanya, usaha itu akhirnya membuahkan hasil. Ghea bisa menerimanya kembali, setelah 3 tahun menyendiri. Martin juga bisa membuktikan kepada Ghea, kalau ia pantas mendapatkan maaf dan cinta dari wanita itu. Bahwa ia memang sudah berubah dan hari ini adalah waktunya, Ghea dan Martin akan menikah."Daddy, kalau kamu tidak mau bangun. Aku mau pergi sama cowok lain aja!" seru Alea mengancam suaminya yang masih diam saja dan tak merespon ucapannya. Bibirnya memonyong ke depan, menunjukk
Ghea menggeleng cepat. “Jangan, Mas… jangan bilang hal-hal kayak gitu. Aku gak butuh siapa-siapa selain kamu. Aku cinta kamu…”Arkan menarik napas pelan, tubuhnya gemetar menahan sakit luar biasa. Namun bibirnya tetap memaksakan senyum. “Tapi kamu butuh seseorang yang bisa nemenin kamu sampai tua. Yang bisa berjalan di sebelah kamu, bukan yang hanya bisa tinggal di hati kamu.”Martin berdiri terpaku, tubuhnya kaku di ambang pintu. Ia mendengar setiap kata Arkan. Hatinya bergetar, tapi dia belum mengerti arah pembicaraan itu sampai akhirnya Arkan memanggil namanya.“Martin… ke sini…”Martin melangkah perlahan, seperti dibawa angin. Ia tidak bisa berkata apa pun. Luka Arkan terlalu mengerikan, namun senyumnya terlalu damai untuk ukuran orang yang sedang sekarat.“Aku tahu kamu masih sayang Ghea. Meskipun kamu pernah salah… Tapi kamu pria yang kuat. Aku titip Ghea ke kamu…”Martin membelalak mendengar ucapan Arkan yang begitu lirih d an memohon itu seakan kata-katanya adalah yang terakhi
Maya menangis tersedu-sedu, hingga membuat Alea dan Ghea bingung. "Ma, ada apa? Mas Arkan kenapa?" tanya Ghea khawatir. Dadanya tiba-tiba panas, saat bibir Maya yang terisak itu menyebut nama Arkan."Arkan ...mobil yang membawa Arkan,saat dalam perjalanan ke sini ...mengalami kecelakaan."Ghea tersentak kaget, ia berdiri dari tempat duduknya. Dadanya sesak, matanya berkaca-kaca, hatinya tidak percaya dengan semua ini. Kepalanya menggeleng-geleng berulang kali.Alea juga terkejut mendengar kabar tidak menyenangkan itu. Namun, ia tidak berkomentar selain wajahnya yang memperlihatkan rasa prihatin."Nggak. Mama pasti bohong. Belum lama Mas Arkan bilang, dia bakal datang. Dia akan datang!" seru Ghea dengan tangan gemetar."Ghea, tenangkan diri kamu, ya?" Akhirnya Alea bicara. Bermaksud menenangkan Ghea.Akan tetapi, Ghea melangkah pergi dari ruang rias. Ia berlari dengan memakai gaun pengantinnya dan melihat beberapa tamu undangan yang sudah hadir di sana. Bahkan pria yang akan menikahkan
Hari pernikahan Ghea dan Arkan pun tiba. Ghea tampak cantik mengenakan gaun putih ala sabrina dengan mahkota kecil menghiasi rambutnya yang disanggul. Ia sangat cantik, berbeda dengan pernikahan pertamanya yang tidak sebahagia ini. Pernikahan karena kecelakaan.Saat ia sedang bercermin, ia malah terbayang wajah Martin semalam. Ya, semalam mantan suaminya itu datang menemuinya."Mau apa lagi kamu ke sini, Kak?" tanya Ghea dengan tidak ramah seperti sebelumnya. Hingga ia pun terkejut melihat wajah pria itu yang memerah dan bibirnya yang tersenyum seperti orang linglung.Jalannya sempoyongan, ia mendekati mantan istrinya itu."Selamat malam mantan istri.""Kamu ...kamu mabuk, Kak?" tanya Ghea saat ia menghirup aroma alkohol yang menyengat dari tubuh Martin."Aku gak mabuk. Aku baik-baik aja kok. Hehe. Aku ke sini, karena aku mau ngucapin selamat untuk pernikahan kamu. Besok mungkin aku gak bisa hadir, tapi aku udah siapkan hadiah untuk kamu dan calon suamimu," tutur Martin seraya menatap
Sore menjelang malam, Ghea akhirnya mulai sadar. Kelopak matanya bergerak perlahan, dan ia mendengar suara mesin monitor berdetak pelan. Aroma antiseptik memenuhi hidungnya, dan lampu di langit-langit ruangan terlihat menyilaukan.“Ghea?” suara itu lembut dan penuh harap. Arkan langsung mendekat.Ghea mengerjap pelan, melihat sosok Arkan yang wajahnya dipenuhi kekhawatiran. “Mas…” suaranya lirih.“Syukurlah… kamu sadar,” ucap Arkan dengan suara yang hampir pecah. Ia langsung memeluknya lembut, takut menyentuh area yang terluka.“Lula… dia baik-baik aja, kan?” tanya Ghea pelan.Arkan tersenyum haru. “Kamu bahkan masih mikirin dia dalam keadaan begini.” Bisa-bisanya Ghea memikirkan adiknya yang selama ini bersikap tidak baik padanya.Ghea memaksakan senyum. “Aku nggak papa, Mas. Yang penting… dia selamat.”Di luar ruangan, Lula mengintip dari balik kaca. Air matanya kembali mengalir. Tapi kali ini bukan karena takut atau sedih, melainkan karena sebuah rasa yang baru mulai tumbuh di hati