"Hei, ngelamun aja. Kemarin ayam tetanggaku ngelamun pagi-pagi besoknya langsung ngidam Topoki."
Aku melengos melihat Syam berdiri di depan meja kerjaku sambil nyengir. "Sejak kapan ayam doyan makanan korea, garing!" "Ish, ish, ish! Galaknya Kak Ros kita ni. Aku tebak, pasti lo bad mood gara-gara suamimu yang sok kecakepan itu?" Aku tersenyum, lelucon Syam mampu menghalau mendung di wajahku. Sejak dulu dia selalu ada untukku. Bahkan kami sempat dinobatkan sebagai pasangan serasi di kampus. Saat aku menikah dengan Arya banyak teman-temanku yang heran, menurut mereka aku dan Syam lebih cocok. "Aku nggak mau ngomongin Arya, bikin rusak mood aja," balasku sembari menghidupkan komputer. Syam berdecak, dia menarik kursi lalu duduk di depanku. "Kenapa kamu nggak cerai aja sih? Udah jelas-jelas musang itu selingkuh sampai bikin anak orang tekdung. Kamu masih mau bekasnya?" Aku tertawa mendengar Syam menyebut Arya, musang, Sejak dulu dia memang tidak suka kedekatan aku dan Arya. Bahkan, saat tahu aku menerima lamaran Arya, dia sempat menjauh, tapi menjelang pernikahan hubungan kami membaik. Aku bersyukur memiliki Syam sebagai sahabat. Dia selalu sabar mendengarkan semua keluh-kesah juga celotehan yang menurut Arya membosankan. Kadang aku berpikir kenapa bukan Syam suamiku? Tentu rumah tangga kami bakalan seru. Sayang sekali, dilihat dari gestur tubuh sepertinya Syam tidak tertarik menjalin hubungan dengan wanita mana pun. Kadang aku berpikir dia tidak menyukai wanita. "Enak aja, mana enak langsung cerai setelah Arya selingkuhin aku. Hati ini sakit banget, hancur rasanya dikhianati. Kadang bertanya salahku apa sampai tega nu-suk dari belakang, ditambah mertua bawaannya sinis melulu. Aku memang mau cerai sama Arya, tapi nanti setelah dia juga hancur." "Kamu main api, An. Aku takut kamu yang makin sakit hati." Wajah Syam memelas. "Hatiku udah mati buat Arya, sakit yang kayak gimana yang belum aku rasain sejak nikah sama dia? Jadi, ditambah sedikit lagi nggak bakal ngaruh." "Aku khawatir kamu tertekan. Apalagi tinggal bareng sama duo betina ular itu." Aku terdiam melihat tatapan Syam memancarkan kekhawatiran untukku. Sesaat dadaku berdebar, baru kali ini dia memandangku selekat ini. Paras Syam sangat tampan dengan fitur wajah sempurna. Tulang hidung tinggi, alis tebal, bibir berisi kemerahan, ditambah sorot mata yang tajam. Lidahku tergelitik ingin bertanya kenapa sampai sekarang dia belum menikah? Padahal untuk ekonomi dia sudah mapan. "Heh, kenapa liatin aku seperti itu? Ntar kamu naksir, baru tahu rasa." Tawaku tersembur mendengar celukan Syam. "Kalau kamu suka perempuan udah dari dulu aku naksir, tapi kamu sukanya pisang." Wajah Syam memerah. "Sembarangan, siapa bilang aku nggak suka perempuan?" "Heh, benar kamu nggak ....." "Ya nggaklah!" sela Syam cepat. "Apa karena aku nggak pernah dekat wanita manapun trus kamu anggap aku sukanya laki-laki? Sory, aku masih selera sama perempuan." "Syukur deh, aku lega, tapi kenapa sampai sekarang kamu belum nikah?" Syam menghela napas panjang, tatapannya meredup ke arahku. "Gimana mau nikah, perempuan yang aku suka udah nikah. Kalau berharap dia cerai sama suaminya dosa nggak sih?" "Dosalah, jangan doa yang jelek-jelek. Kalau emang dia udah nikah kamu ikhlasin. Masih banyak perempuan di dunia ini. Apalagi kamu ganteng, karir bagus, rumah sama kendaraan udah punya. Tinggal tunggu waktu ketemu sama jodohnya." Syam hendak bicara lagi, tapi ponselku berdering menampilkan nama Arya sebagai pemanggil. Aku melengos, pasti dia bertanya perihal u4ng yang diminta tadi. Kadang aku berpikir hatinya terbuat dari apa? Selama pernikahan akulah yang banyak berkorban demi kemajuan karirnya. Bahkan, saat dia mementingkan gaya hidup mengikuti teman-temannya, aku mengalah menutupi kebutuhan rumah tangga dengan gajiku. Sekarang, setelah menikahi selingkuhannya aku jarang diberi nafkah. Aku merasa miris saat Arya meminta u4ng untuk spesi istri barunya. Dia pikir aku sebod0h dulu. Sengaja kumatikan data seluler agar tidak terganggu. "Mau ngapain lagi dia?" Syam melirik ponsel di tanganku. "Nggak tahu. Udah, jangan bahas dia lagi. Kerja sana." Aku mendorong Syam keluar dari kubikelku. Selain tak ingin menjadi bahan gosip, aku juga tak ingin dia banyak bertanya tentang hubunganku dengan Arya. Tanpa terasa hari beranjak malam. Aku menolak tawaran Syam mengantar ke rumah. Sebelum pulang aku singgah di warung makan untuk mengisi perut agar saat sampai di rumah tinggal rehat. Pukul delapan malam aku sampai di rumah. Saat masuk tatapan sinis dari Mama mertua dan Lisa menyambutku. "Ini dia baru pulang. Ke mana aja kamu?" Suara Mama Arya membentakku. "Kerja, memangnya dari mana lagi." Aku berjalan santai hendak masuk ke kamarku, seolah-olah keberadaan Mama dan Lisa tidak berarti. "Kerja sampai malam. Bukannya pulang cepat, sana masak, kami sudah lapar!" Telingaku berdengung mendengar perintah Mama Arya. Aku berbalik. "Mama lapar? Suruh saja menantu kesayangan Mama masak, kenapa harus aku?" "Lisa lagi h4mil, dia nggak kuat sama bau bumbu." Aku tertawa kecil mendengar pembelanan mertuaku. "Wah, kalau gitu Mama masak sendiri, nggak repot kan?" Wajah Mama Arya memerah. "Kamu kurang ajar, ya. Berani ngebantah saya. Sana masak, kalau tidak ...." "Kalau tidak apa?!" Aku menyela cepat perkataan mertuaku. Aku mendekat perlahan dengan tatapan tajam. Bukan tak menghormati orang tua, tapi beliau sendiri yang tidak pantas di hormati. "Mau suruh Arya menceraikan aku? Suruh saja, aku malah senang." Aku puas melihat wajah Mama Arya terlihat geram. Mau marah, silakan. Akan kuladeni sampai kapan pun. Sebelum masuk kamar aku berbalik. "Ingat, ya, aku bukan pembantu di rumah ini. Kalau mau makan usaha sendiri, kalau tidak mati saja kelaparan." Aku menutup pintu kamar dan mengunci dari dalam, tak peduli umpatan Mama mertua. Sejak Arya menikah satu bulan lalu dengan Lisa, aku tak pernah mengijinkan dia masuk ke kamarku. Jijik rasanya disentuh lelaki yang sudah berbagi peluh dengan wanita lain. Aku bertahan di rumah ini hanya untuk memastikan mereka semuanya mendapat balasan perbuatan mereka. Kalau aku han-cur keluarga ini harus ikut bersamaku.Aku berbalik dan melihat dua wanita beda usia sedang menatap sinis ke arahku. Aku menghela napas, kenapa dunia sempit sekali? Apa tidak cukup bertemu Lisa dan Mama mertua di rumah saja?"Pantas aja berani ngelawan Mas Arya, ternyata udah punya selingkuhan di luar." Lagi suara cempreng Lisa membuat kupingku panas. "Sok suci padahal aslinya busuk."Aku gemas melihat raut songong Lisa. Dia pikir aku akan tinggal diam dipermalukan di depan publik. "Kamu lagi ngomongin diri sendiri?" Kumainkan alisku turun-naik seolah-olah mengejek Lisa."Aduh Mbak jangan bohong, udah keciduk tadi aku lihat Mbak sama laki-laki lain masih aja ngeles. Emang muka tembok." Lisa melirik ke arah Mama mertua yang ikut menatapku tajam. Pasti dia percaya ucapan menantu barunya."Benar-benar nggak tahu diri kamu. Sudah untung Arya tidak menceraikan kamu. Sudahlah mandul, selingkuh lagi."Perkataan Mama mertua seakan melubangi dadaku. Tega sekali melontarkan perkataan keji seperti itu. Meski bukan sekali ini dia meng
Aku membuka pintu mobil dengan geram. "Mas, kamu bisa urusin istri baru kamu?" tatapanku menajam ke Mas Arya."An, ngalah sedikit, ya, sama Lisa. Nggak mungkin aku bawa dia ke dokter pake sepeda motor."Heleh! Aku tertawa sinis mendengar permintaan Mas Arya. Bisa-bisanya dia minta aku mengalah. No way!"Aku ngalah demi dia? Nggak salah?!" Aku menuding Lisa yang merasa di atas angin."Mbak, kamu itu masih untung dibolehin bawa mobil. Mulai sekarang kamu naik sepeda motor aja. Aku nggak bisa kalau kena panas atau hujan. Kalau ada apa-apa sama kandunganku kamu mau tanggung jawab?"Melihat Lisa bergelayut di lengan Mas Arya membuatku semakin muak. Bukan karena cemburu, tapi sikapnya yang seolah seperti ratu. Aku menatap lagi Mas Arya yang terlihat bingung."Mas, sekali lagi aku ngomong, kamu bisa urus gundikmu ini? Kalau nggak--""Eh, iya, jangan marah, ya." Mas Arya mengusap lenganku, tapi cepat kutepis. Tak sudi disentuh dia lagi. "Mas, kamu kenapa sih, kayak takut banget sama dia."
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Biasanya setelah salat subuh aku gegas berjibaku di dapur menyiapkan sarapan dan menu makan siang Arya, tapi sejak dia menikah lagi, aku hanya keluar setelah rapi. Tidak kupedulikan dapur yang kotor, rumah berantakan. Aku benar-benar super masa bod0h. Mau rumah bau kandang kambing, piring jamuran di wastafel, tidak peduli. Setelah merapikan kamar, aku bersiap-siap ke kantor. Pagi ini celana palazo putih dan kemeja slimfit berwarna hitam menjadi pilihanku. Pekerjaan sebagai desain interior membuatku lebih memperhatikan penampilan agar bisa membuat kesan baik saat bertemu klien."Nah, ini dia ratu baru bangun. Sana siapin sarapan!"Baru saja keluar kamar sindiran Mama mertua menyambutku. Alih-alih peduli, aku mengunci pintu kamar lalu berjalan ke pintu keluar."Heh, kamu dengar gak Mama ngomong apa?" Aku menoleh dengan raut polos. "Oh, Mama ngomong sama aku? Bilang dong, di sini kan ada aku sama Lisa juga."Wajah Mama mertua memerah. "Kamu lama-lama
"Hei, ngelamun aja. Kemarin ayam tetanggaku ngelamun pagi-pagi besoknya langsung ngidam Topoki."Aku melengos melihat Syam berdiri di depan meja kerjaku sambil nyengir. "Sejak kapan ayam doyan makanan korea, garing!""Ish, ish, ish! Galaknya Kak Ros kita ni. Aku tebak, pasti lo bad mood gara-gara suamimu yang sok kecakepan itu?"Aku tersenyum, lelucon Syam mampu menghalau mendung di wajahku. Sejak dulu dia selalu ada untukku. Bahkan kami sempat dinobatkan sebagai pasangan serasi di kampus. Saat aku menikah dengan Arya banyak teman-temanku yang heran, menurut mereka aku dan Syam lebih cocok."Aku nggak mau ngomongin Arya, bikin rusak mood aja," balasku sembari menghidupkan komputer.Syam berdecak, dia menarik kursi lalu duduk di depanku. "Kenapa kamu nggak cerai aja sih? Udah jelas-jelas musang itu selingkuh sampai bikin anak orang tekdung. Kamu masih mau bekasnya?"Aku tertawa mendengar Syam menyebut Arya, musang, Sejak dulu dia memang tidak suka kedekatan aku dan Arya. Bahkan, saat t
"Sudah aku pergi dulu," ucap Anna lalu menutup pintu mobil.Aku masih memperhatikan Anna yang berjalan masuk ke gerbang perusahaan tempat dia bekerja. Aku mengembuskan napas keras. Tak pernah terlintas sedikit pun menduakannya. Namun, desakan Mama dan pertanyaan dari saudara tentang an4k membuatku risih. Ditambah taruhan dari rekan kerjaku. Mereka mengatakan akulah yang bermasalah. Tentu saja aku tak terima dengan tudingan tersebut. Memang, Anna pernah mengajak kami memeriksakan diri dan dia mengatakan kami sehat. Tentu saja, hubungan suami-istri kami juga normal, jadi aku berpikir ini tentang waktu saja.Akan tetapi, semakin hari tudingan itu makin gencar diarahkan padaku. Aku ingat percakapan di kantin beberapa bulan lalu dengan beberapa orang rekan kerjaku."Arya, kalau lo memang nggak ada masalah, berani nggak buktiin ke cewek lain?"Aku tersedak minuman, menatap lawan bicaraku. "Maksud lo nyuruh gue selingkuh?""Halah, nggak usah kaget gitu. Punya selingkuhan zaman sekarang lumr
Namaku Anna dan lelaki yang kini membukakan pintu mobil untukku bernama Arya, suamiku. Siapa sih yang tidak bahagia dilamar cinta pertamanya? Aku langsung menobatkan Arya menjadi pemilik hati sejak melihatnya. Arya yang tampan dan supel tentu mudah menarik hati lawan jenis, berbeda denganku seorang kutu buku. Namun, jika Tuhan sudah menakdirkan bersatu siapa yang bisa mencegah. Sayangnya, Mama mertua tak pernah mau menerimaku. Banyak cara dia lakukan agar rumah tanggaku berantakan. Puncaknya, suatu sore yang bergerimis, Arya membawa pulang seorang wanita yang mengaku hamil anaknya. Apa aku marah? Ya, dadaku remuk mengetahui pengkhianatan Mas Arya. Aku tidak mengira di balik sikapnya yang perhatian tersimpan bangk4i menjij1kkan."Sayang, maafin Mama, ya, beliau tidak bermaksud meny4kiti hatimu."Suara Arya membuatku menoleh padanya. Aku tersenyum tipis lalu melabuhkan pandangan ke jalan raya. "Mama memang tidak bermaksud, tapi niat banget bikin aku s4kit hati.""Maaf, Mama hanya ingin