Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Biasanya setelah salat subuh aku gegas berjibaku di dapur menyiapkan sarapan dan menu makan siang Arya, tapi sejak dia menikah lagi, aku hanya keluar setelah rapi. Tidak kupedulikan dapur yang kotor, rumah berantakan. Aku benar-benar super masa bod0h. Mau rumah bau kandang kambing, piring jamuran di wastafel, tidak peduli. Setelah merapikan kamar, aku bersiap-siap ke kantor. Pagi ini celana palazo putih dan kemeja slimfit berwarna hitam menjadi pilihanku. Pekerjaan sebagai desain interior membuatku lebih memperhatikan penampilan agar bisa membuat kesan baik saat bertemu klien.
"Nah, ini dia ratu baru bangun. Sana siapin sarapan!" Baru saja keluar kamar sindiran Mama mertua menyambutku. Alih-alih peduli, aku mengunci pintu kamar lalu berjalan ke pintu keluar. "Heh, kamu dengar gak Mama ngomong apa?" Aku menoleh dengan raut polos. "Oh, Mama ngomong sama aku? Bilang dong, di sini kan ada aku sama Lisa juga." Wajah Mama mertua memerah. "Kamu lama-lama ngelunjak, ya. Udah nggak pernah bersihin rumah, masak, sekarang juga gak ada sarapan lagi. Kamu lupa tanggung jawab sebagai istri?" Aku tertawa mendengar omelan mertuaku. "Pertanyaan itu harusnya Mama tanyain ke Mas Arya. Apa dia ingat tanggung jawabnya sebagai suami?" "Mbak, jangan ngebantah terus. Kasian Mama belum makan nasi dari semalam. Tadi malam kami cuma masak mie rebus. Apa Mbak kasihan aku lagi ham1l." Cih, ingin rasanya muntah di wajah Lisa, melihatnya memelas semakin membuatku muak. "Nggak, ngapain aku kasihan sama kamu? Kamu yang ham1l kenapa aku ikut repot." "Anna! Kamu jangan keterlaluan. Harusnya kamu tahu diri, masih untung Arya tidak menceraikan kamu. Kalau bukan anakku siapa yang mau nikahin perempuan mandul kayak kamu!" "Mama!" Suara Arya membuat kami semua menoleh ke arahnya yang baru keluar dari kamar mandi. "Bisa tidak sehari saja tidak bertengkar dengan Ana? Aku pusing." "Anna yang kurang ajar. Mama suruh masak dia tidak mau. Bersih-bersih rumah juga tidak pernah lagi. Mau dia apa? Ongkang-ongkang kaki saja di rumah ini?" Arya menghela napas dalam. Wajahnya terlihat kusut, bulu-bulu halus di rahangnya mulai terlihat. Baru nikah, tapi penampilannya sudah tidak terawat. Aku mengejek dalam hati, masih enak jamanku to? Dicukurin, dipijitin, pokoknya dirawat luar-dalam. "Sayang, kamu mengalah sedikit, ya. Mama udah terbiasa dimasakin kamu." Mas Arya melembutkan suaranya agar aku luluh. "Maaf, Mas, aku nggak mau lagi jadi pembantu gratisan Mamamu. Kamu lupa siapa yang megang uang belanja siapa? Sejak kamu nikah lagi apa pernah kamu ngasih aku nafkah? Tidak sepeser pun kamu ngasih aku. Padahal aku masih istrimu, tapi nggak papa sih, aku mampu cari uang sendiri. Nggak kayak istri barumu yang parasit!" "Anna!" Wajah Mas Arya memerah, sepertinya kata-kataku melukai hatinya. Kalau dulu aku selalu menjaga perkataanku, tapi sekarang tidak lagi. Aku akan bersikap seperti apa dia memperlakukanku. "Kenapa Mas? Ucapanku benar kan? Lisa yang megang uang, dia juga yang harus tanggung jawab. Masak mau enaknya aja? Lagi pula aku nggak pernah makan di rumah, sudah untung listrik sama air aku yang bayar." "Tapi, aku nggak punya uang lagi, Mbak." Aku terperangah mendengar jawaban Lisa. Padahal baru dua minggu Arya gajian, bisa-bisanya dia bilang uang belanja sudah habis. "Trus, masalah buat aku? Uang habis ya, nggak usah makan." Aku melenggang keluar dari rumah. Puas rasanya melihat wajah kesal Mama mertua. Ini belum apa-apa, baru satu bulan saja punya menantu baru sudah uring-uringan. Mama- Mama, silakan menikmati kebersamaan dengan menantu baru yang dibanggakan yang ternyata tidak bisa apa-apa. "Anna, tunggu!" Aku urung membuka pintu mobil mendengar suara Arya memanggil. "Ada apa, Mas? Aku buru-buru." "An, kamu belum jadi transfer Mas kemarin. Kamu lupa, ya?" 'Dasar laki-laki tidak tahu diri!' Ingin kata-kata itu kusemburkan ke Mas Arya, tapi aku menahan diri. Belum saatnya mengulit1 harga dirinya. "Bukan lupa, tapi aku ngerasa aneh aja. Masak kamu minta uang untuk spesi istrimu ke aku? Nggak modal banget punya istri. Padahal aku nggak pernah lagi kamu nafkahin lho, masih untung aku nggak nuntut." "An, kamu tahu sendiri gaji Mas Berapa. 8 juta udah diminta Lisa, untuk Mama, trus bayar tagihan ini-itu, mana ada sisa." Aku menikmati wajah frustrasi Arya, tak sedikit pun hatiku tersentuh. "Itu masalah kamu, Mas. Kamu pikirin aja sendiri." Aku membuka pintu mobil, tapi lagi-lagi ditahan Arya. "An, kamu kok jadi ketus banget sekarang? Dulu nggak gini." Aku tersenyum miris. "Karena Anna yang dulu udah mati karena pengkhianatanmu. Sekarang, aku tidak pernah sama lagi," jawabku dengan nada datar tanpa menatap Arya. Aku menepis tangannya lalu masuk ke dalam mobil, baru hendak menstarter mobil tiba-tiba Lisa menghadang di depan kendaraanku. "Siapa suruh Mbak pake mobil? Aku mau pake nanti!" Aku geram, sepertinya gund1k ini harus diberi pelajaran!Aku berbalik dan melihat dua wanita beda usia sedang menatap sinis ke arahku. Aku menghela napas, kenapa dunia sempit sekali? Apa tidak cukup bertemu Lisa dan Mama mertua di rumah saja?"Pantas aja berani ngelawan Mas Arya, ternyata udah punya selingkuhan di luar." Lagi suara cempreng Lisa membuat kupingku panas. "Sok suci padahal aslinya busuk."Aku gemas melihat raut songong Lisa. Dia pikir aku akan tinggal diam dipermalukan di depan publik. "Kamu lagi ngomongin diri sendiri?" Kumainkan alisku turun-naik seolah-olah mengejek Lisa."Aduh Mbak jangan bohong, udah keciduk tadi aku lihat Mbak sama laki-laki lain masih aja ngeles. Emang muka tembok." Lisa melirik ke arah Mama mertua yang ikut menatapku tajam. Pasti dia percaya ucapan menantu barunya."Benar-benar nggak tahu diri kamu. Sudah untung Arya tidak menceraikan kamu. Sudahlah mandul, selingkuh lagi."Perkataan Mama mertua seakan melubangi dadaku. Tega sekali melontarkan perkataan keji seperti itu. Meski bukan sekali ini dia meng
Aku membuka pintu mobil dengan geram. "Mas, kamu bisa urusin istri baru kamu?" tatapanku menajam ke Mas Arya."An, ngalah sedikit, ya, sama Lisa. Nggak mungkin aku bawa dia ke dokter pake sepeda motor."Heleh! Aku tertawa sinis mendengar permintaan Mas Arya. Bisa-bisanya dia minta aku mengalah. No way!"Aku ngalah demi dia? Nggak salah?!" Aku menuding Lisa yang merasa di atas angin."Mbak, kamu itu masih untung dibolehin bawa mobil. Mulai sekarang kamu naik sepeda motor aja. Aku nggak bisa kalau kena panas atau hujan. Kalau ada apa-apa sama kandunganku kamu mau tanggung jawab?"Melihat Lisa bergelayut di lengan Mas Arya membuatku semakin muak. Bukan karena cemburu, tapi sikapnya yang seolah seperti ratu. Aku menatap lagi Mas Arya yang terlihat bingung."Mas, sekali lagi aku ngomong, kamu bisa urus gundikmu ini? Kalau nggak--""Eh, iya, jangan marah, ya." Mas Arya mengusap lenganku, tapi cepat kutepis. Tak sudi disentuh dia lagi. "Mas, kamu kenapa sih, kayak takut banget sama dia."
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Biasanya setelah salat subuh aku gegas berjibaku di dapur menyiapkan sarapan dan menu makan siang Arya, tapi sejak dia menikah lagi, aku hanya keluar setelah rapi. Tidak kupedulikan dapur yang kotor, rumah berantakan. Aku benar-benar super masa bod0h. Mau rumah bau kandang kambing, piring jamuran di wastafel, tidak peduli. Setelah merapikan kamar, aku bersiap-siap ke kantor. Pagi ini celana palazo putih dan kemeja slimfit berwarna hitam menjadi pilihanku. Pekerjaan sebagai desain interior membuatku lebih memperhatikan penampilan agar bisa membuat kesan baik saat bertemu klien."Nah, ini dia ratu baru bangun. Sana siapin sarapan!"Baru saja keluar kamar sindiran Mama mertua menyambutku. Alih-alih peduli, aku mengunci pintu kamar lalu berjalan ke pintu keluar."Heh, kamu dengar gak Mama ngomong apa?" Aku menoleh dengan raut polos. "Oh, Mama ngomong sama aku? Bilang dong, di sini kan ada aku sama Lisa juga."Wajah Mama mertua memerah. "Kamu lama-lama
"Hei, ngelamun aja. Kemarin ayam tetanggaku ngelamun pagi-pagi besoknya langsung ngidam Topoki."Aku melengos melihat Syam berdiri di depan meja kerjaku sambil nyengir. "Sejak kapan ayam doyan makanan korea, garing!""Ish, ish, ish! Galaknya Kak Ros kita ni. Aku tebak, pasti lo bad mood gara-gara suamimu yang sok kecakepan itu?"Aku tersenyum, lelucon Syam mampu menghalau mendung di wajahku. Sejak dulu dia selalu ada untukku. Bahkan kami sempat dinobatkan sebagai pasangan serasi di kampus. Saat aku menikah dengan Arya banyak teman-temanku yang heran, menurut mereka aku dan Syam lebih cocok."Aku nggak mau ngomongin Arya, bikin rusak mood aja," balasku sembari menghidupkan komputer.Syam berdecak, dia menarik kursi lalu duduk di depanku. "Kenapa kamu nggak cerai aja sih? Udah jelas-jelas musang itu selingkuh sampai bikin anak orang tekdung. Kamu masih mau bekasnya?"Aku tertawa mendengar Syam menyebut Arya, musang, Sejak dulu dia memang tidak suka kedekatan aku dan Arya. Bahkan, saat t
"Sudah aku pergi dulu," ucap Anna lalu menutup pintu mobil.Aku masih memperhatikan Anna yang berjalan masuk ke gerbang perusahaan tempat dia bekerja. Aku mengembuskan napas keras. Tak pernah terlintas sedikit pun menduakannya. Namun, desakan Mama dan pertanyaan dari saudara tentang an4k membuatku risih. Ditambah taruhan dari rekan kerjaku. Mereka mengatakan akulah yang bermasalah. Tentu saja aku tak terima dengan tudingan tersebut. Memang, Anna pernah mengajak kami memeriksakan diri dan dia mengatakan kami sehat. Tentu saja, hubungan suami-istri kami juga normal, jadi aku berpikir ini tentang waktu saja.Akan tetapi, semakin hari tudingan itu makin gencar diarahkan padaku. Aku ingat percakapan di kantin beberapa bulan lalu dengan beberapa orang rekan kerjaku."Arya, kalau lo memang nggak ada masalah, berani nggak buktiin ke cewek lain?"Aku tersedak minuman, menatap lawan bicaraku. "Maksud lo nyuruh gue selingkuh?""Halah, nggak usah kaget gitu. Punya selingkuhan zaman sekarang lumr
Namaku Anna dan lelaki yang kini membukakan pintu mobil untukku bernama Arya, suamiku. Siapa sih yang tidak bahagia dilamar cinta pertamanya? Aku langsung menobatkan Arya menjadi pemilik hati sejak melihatnya. Arya yang tampan dan supel tentu mudah menarik hati lawan jenis, berbeda denganku seorang kutu buku. Namun, jika Tuhan sudah menakdirkan bersatu siapa yang bisa mencegah. Sayangnya, Mama mertua tak pernah mau menerimaku. Banyak cara dia lakukan agar rumah tanggaku berantakan. Puncaknya, suatu sore yang bergerimis, Arya membawa pulang seorang wanita yang mengaku hamil anaknya. Apa aku marah? Ya, dadaku remuk mengetahui pengkhianatan Mas Arya. Aku tidak mengira di balik sikapnya yang perhatian tersimpan bangk4i menjij1kkan."Sayang, maafin Mama, ya, beliau tidak bermaksud meny4kiti hatimu."Suara Arya membuatku menoleh padanya. Aku tersenyum tipis lalu melabuhkan pandangan ke jalan raya. "Mama memang tidak bermaksud, tapi niat banget bikin aku s4kit hati.""Maaf, Mama hanya ingin