"Sudah aku pergi dulu," ucap Anna lalu menutup pintu mobil.
Aku masih memperhatikan Anna yang berjalan masuk ke gerbang perusahaan tempat dia bekerja. Aku mengembuskan napas keras. Tak pernah terlintas sedikit pun menduakannya. Namun, desakan Mama dan pertanyaan dari saudara tentang an4k membuatku risih. Ditambah taruhan dari rekan kerjaku. Mereka mengatakan akulah yang bermasalah. Tentu saja aku tak terima dengan tudingan tersebut. Memang, Anna pernah mengajak kami memeriksakan diri dan dia mengatakan kami sehat. Tentu saja, hubungan suami-istri kami juga normal, jadi aku berpikir ini tentang waktu saja. Akan tetapi, semakin hari tudingan itu makin gencar diarahkan padaku. Aku ingat percakapan di kantin beberapa bulan lalu dengan beberapa orang rekan kerjaku. "Arya, kalau lo memang nggak ada masalah, berani nggak buktiin ke cewek lain?" Aku tersedak minuman, menatap lawan bicaraku. "Maksud lo nyuruh gue selingkuh?" "Halah, nggak usah kaget gitu. Punya selingkuhan zaman sekarang lumrah. Laki-laki sesekali nggak apa-apa nakal, yang penting prioritas yang di rumah." Pendapat itu sambut gelak tawa teman-temanku. Bukan rahasia lagi kalau mereka bermain api dengan sesama karyawan wanita, baik satu perusahan atau lainnya. Letak perusahaan yang berada di satu gedung di pusat kota dan disewa beberapa perusahaan membuat kami sering bertemu karyawati lain. Bahkan, mereka saling bantu untuk menutupi perselingkuhan tersebut. "Mikir apalagi. Tuh, lihat." Ardi salah seorang temanku menunjuk ke arah seorang anak magang yang mengantri di kantin. Aku ikut memperhatikan wanita itu. "Namanya Lisa, bening banget kan? Bodynya oke, gue aja ngiler liatnya." "Ck, apaan sih lo. Otak lo perlu dicuci pake sabun kayaknya." Aku memilih menekuni makan siangku. Jujur saja melihat Lisa jantungku berdetak cepat. Wanita itu anak magang di kantor dan kebetulan aku adalah mentornya. Mau tidak mau kami sering berinteraksi. Sebagai lelaki normal harus kuakui Lisa sangat menarik. Wajahnya cantik, tingkahnya manja menggemaskan. Dia sering menunjukkan sinyal suka padaku, tapi tak pernah kuladeni. "Eh, Lisa ke sini. Kayaknya dia lihat lo." Ardi kembali berkata. "Mas Arya, maaf ganggu Mas. Nanti bisa antar aku pulang? Soalnya aku nggak bawa motor, trus aku dapat shift malam. Takutnya pulang sendiri kenapa-napa." "Tenang aja, Lis, Arya pasti ngantar kamu pulang. Itu tanggung jawabnya sebagai mentor." Aku melirik Ardi dengan tatapan tajam, tetapi dia malah cengengesan. "Wah, makasih ya, Mas." Lisa memegang lenganku, mengucapkan terima kasih dengan suara lembut dan bahasa tubuh manja, imut sekali. "Lo apa-apaan sih? Gue udah punya Anna!" Aku menegur Ardi setelah Lisa kembali berkumpul bersama teman-temannya, tapi yang ditegur malah tertawa. "Lo cupu banget sih. Ana nggak bakal tahu, kita-kita bakal jaga rahasia lo. Kapan lagi main-main, apalagi Lisa kayaknya juga suka sama lo. Udah, embat aja. Jangan jadi suami takut istri." Memang teman-teman ses4t, bukannya mengarahkan ke jalan yang benar malah menyuruh selingkuh. Aku mengiyakan perkataan mereka. Jujur, bersama Lisa aku merasa lebih tertantang. Lisa yang manja, seksi, dan sangat menggoda. Malam pertama mengantarnya dia sudah berani mengajakku menginap di rumahnya. Namun, aku masih bertahan, tetapi lama-kelamaan aku kebablasan. Hubungan itu terjalin, aku menikmati setiap pertemuan kami yang selalu diakhiri pergulat4n di tempat tid-ur. Aku seakan lupa pada dosa, lupa pada Anna yang setia menunggu di rumah. Dering ponsel membuyarkan lamunanku. Lisa memanggil, aku menghela napas lelah. Baru satu bulan menikah perasaanku padanya mulai hambar. Lisa mulai banyak menuntut, kalau bukan dia sedang meng4ndung an4kku tak mungkin kuturuti kemauannya. Ditambah lagi Mama selalu mendukungnya membuatku merasa tertekan. "Ya?" "Mas, kamu di mana sih? Jangan bilang Anna nahan kamu biar gak nganterin aku spesi?" Aku memejamkan kelopak mata, tuduhan Lisa membuatku lelah. Harusnya dia sadar Ana juga istriku. "Lis, kamu pergi sama Mama, ya. Aku harus ke kantor. Keseringan telat gajiku bisa dipotong." "Nggak mau, pokoknya aku maunya sama kamu. Lagian aku udah nggak punya u4ng lagi, gimana bayar dokternya nanti." "U4ng yang aku kasih udah habis?" Aku memijit pangkal hidung. Saat Ana yang mengurus keuangan rumah tangga dia tak pernah mengeluh, semua tercukupi, makananku tak pernah terlantar termasuk membuatkan bekal makan siang. Padahal u4ng bulanan yang kuberi tidak sebanyak Lisa. "Habislah, kamu ngasih u4ng cuma 8 juta sebulan. Buat masak, laundry, bayar mbak rewang, sama perawatan aku. Itu aja nggak cukup. Bulan besok kamu kasih 10 juta. Ingat, aku lagi ham1l an4k kamu, jadi harus aku prioritas kamu." Aku tidak menjawab, membiarkan Lisa bicara semaunya. Suaranya yang dulu manja dan mampu membuatku hanyut kini terdengar seperti kaleng rombeng. "Mas, kamu dengar tidak, pokoknya kamu langsung balik, anterin aku spesi!" Aku menatap nanar layar ponsel yang menghitam. Lisa memutuskan sambungan telepon sepihak. Kepalaku semakin nyeri, dari mana u4ng untuk biaya spesinya? Sementara di dompet hanya tersisa dua ratus ribu? Kalau kupakai lalu bagaimana u4ng bensinku untuk dua minggu ke depan? Aku memeriksa M-banking siapa tahu Anna sudah mentrasfer u4ng yang kuminta. Aku semakin bingung melihat saldo tidak berubah. Apa dia lupa dengan permintaanku tadi? Aku menghubungi Anna, tapi tidak dijawab. Aku mencoba sekali lagi dan kali ini tidak tersambung. Apa dia sengaja mematikan ponselnya? Aduh, bagaimana ini?!Anna menatap Syam dalam perjalanan pulang."Menurutmu dia akan berubah?"Syam diam beberapa saat. "Mungkin tidak, tapi kita sudah melakukan yang terbaik, dan keadilan akan bicara."Anna mengangguk. Dia memejamkan mata, berharap bahwa setelah badai ini, mereka bisa benar-benar melanjutkan hidup. Ditambah rasa mual membuat pandangannya seakan berputar."Kau baik-baik saja?" Syam memelankan laju kendaraannnya. Melihat wajah pucat Anna dia menepikan kendaraannya ke bahu jalan. "Kau pucat, kita ke rumah sakit, ya."Anna menggeleng lemah. "Nggak usah. Aku cuma mual, padahal udah masuk tri semester ke-dua."Pandangan Syam menurun ke perut Anna. Dia mengus4p lembut di mana calon anaknya bersemayam. "Jangan nakal, ya, sayang. Kasian Mama."Anna tersenyum, dia memegang tangan Syam di perutnya. "Syam, apa kamu bahagia?"Syam mendekatkan wajah lalu mengecup dahi Anna lama dan lembut. "Harusnya aku yang nanya, apa kamu bahagia?""Tentu aku bahagia.""Makasih, sayang. Makasih udah bertahan sama aku
Sudah tiga hari sejak kejadian penculikan itu. Rumah menjadi tempat paling aman untuk Anna dan Kairo. Meski fisik mereka tidak terluka parah, Syam tahu luka batin lebih sulit disembuhkan.Pagi itu, matahari menyelinap lembut melalui tirai jendela kamar perawatan. Anna duduk di pinggir pembaringan Kairo, menyuapi bubur perlahan. Anak itu masih terlihat murung. Ia menunduk, hanya sesekali mencuri pandang pada wajah Anna.“Sayang, habiskan buburnya, ya,” ucap Anna dengan suara seramah mungkin.Kairo menggeleng pelan. “Nggak enak”“Kalau Kairo makan, Mama janji kita liburan ke tempat yang Kai mau."Kairo tetap diam.Anna menoleh pada Syam, yang berdiri memandangi mereka dari dekat pintu. Dia menarik napas dalam-dalam dan melangkah masuk, berjongkok di sisi tempat tidur anaknya.“Kairo, boleh Papa cerita sesuatu?” tanyanya pelan.Kairo mengangkat kepala perlahan.“Papa juga pernah takut. Waktu dulu, waktu Kakek dan Nenek meninggal. Papa takut banget, tapi ternyata Papa bisa jadi kuat kare
Suara tawa kecil Nadin di ujung telepon membuat d4rah Syam mendidih."Kau gil4, Nadin. Itu an-akmu, dar4h dagingmu. Apa kau tega menyakit1nya?!"“Ralat, an4k kita, bukan milikku sendiri, tapi apa? Kau lebih memilih bersama jal4ng itu daripada aku." Nadin terkekeh sinis. “Kau sudah tak menganggapku siapa-siapa, lalu sekarang kau masih berani bilang itu anakku? Dia an4kmu setelah kau buang aku seperti sampah, Syam. Sekarang kau tahu rasanya kehilangan. Aku tak akan segan meny1ks4nya. Kau lihat saja nanti!"Syam mencengkeram ponselnya dengan erat. Napasnya berat, tapi dia berusaha tenang. Dia tahu tak bisa meladeni orang nekat dengan perkataan provokasi.“Aku akan menemukanmu. Kau akan menyesal telah meny3ntuh an4kku.”"Coba saja, jangan banyak bicara. Kalau kau tidak memenuhi permintaanku dalam 2 × 24 jam, jangan salahkan kau akan menemukan may4tnya saja."Klik. Telepon terputus.Anna memperhatikan Alex yang berdiri di teras, wajahnya tampak gelisah. Pria itu mondar-mandir tak segera ma
Suasana ruang VIP rumah sakit masih sunyi saat ponsel Syam terus berdering. Para rekan bisnis dan teman ramai menanyakan tayangan gosip tentang dirinya dan Anna yang terus bergulir liar di media sosial. Wajahnya dingin, sorot matanya mengeras. Dia tahu siapa dalangnya, Nadin dan pengacaranya yang licik.'Aku akan selesaikan ini,' gumamnya pelan sambil meng-ecup kening Anna yang masih terbaring lemah.Keesokan paginya, Syam muncul di sebuah kantor hukum ternama di pusat kota. Dia datang bersamanya ada dua orang dari tim huku. legal pribadinya, dan seorang pria paruh baya yang menjadi penasihat bisnisnya selama bertahun-tahun.Pengacara Nadin, Herman Sudrajat adalah pria dengan jas mahal dan senyum licik. Dia menyambut Syam dengan ekspresi penuh percaya diri."Pak Syam, saya tidak menduga Anda akan datang sendiri. Ada yang bisa saya bantu?"Syam menatap tajam."Anda terlalu percaya diri membela seseorang yang secara hukum terbukti menyerang wanita h4mil dan membantunya menyebar kebohon
Pagi di rumah sakit seharusnya berjalan tenang, tapi tidak untuk Syam. Dia menelusuri koridor dengan langkah cepat. Keringat dingin masih menempel di pelipisnya meski hujan belum berhenti sejak semalam. Wajahnya pucat, tangannya gemetar.“Pak Syam, istri Anda sudah sadar, tapi kami sarankan observasi lebih lanjut.”Itu kata dokter pagi tadi yang membuatnya gegas mendatangi rumah sakit. Syam melimpahkan semua pekerjaan ke asistenya. Keselamatan Anna priotitasnya sekarang.“Pak, istrinya sudah dibawa ke ruang observasi. Tekanan d4rahnya turun drastis, kemungkinan ada trauma,” kata perawat waktu itu, berusaha menenangkan.Mendengar itu Syam tak bisa tenang. Dia merasa bersalah, harusnya malam itu dia tidak sekadar mengus1r, tapi segera mengkasuskan Nadin. Kini, di dalam ruang perawatan VIP rumah sakit itu, Anna sudah terbaring lemah dengan infus di tangan. Wajahnya pucat, nafasnya pelan dan teratur, tapi tubuhnya tak sehangat biasanya.Syam duduk di sisi r4njang. Dia menggenggam tangan
"Bagaimana, kamu lelah?" tanya Anna melirik Syam yang sedang mengusap keringatnya.Syam menggeleng, meski sebenarnya letih dia tak boleh mengatakan. Anna hanya memintanya menjadi pelayan di restorannya. Hukuman yang diberikan Anna terlalu mudah dibanding luka yang dia berikan. Syam terus dibebani rasa bersalah setiap melihat Anna. Sampai kapan pun dia tak mungkin lupa sikap buruknya pada sang istri."Tante Anna, Papa bohong. Lihat, napas Papa saja udah ngos-ngosan. Muka Papa juga udah pucat, takutnya tiba-tiba pingsan." Kai bercelutuk sembari tertawa.Anna tersenyum mendengar kata-kata Kai. Dia tahu Syam kelelahan. Dia sengaja meminta lelaki itu bekerja di restorannya selama sepuluh hari nonstop dari pagi sampai malam sebagai syarat kepulangannya. Anna tak punya cara lain untuk menghukum Syam, bagaimana pun dia masih suaminya. Anna tak ingin melangkahi harga diri Syam meski lelaki itu sudah menyakitinya. Bucin? Entahlah, Anna merasa Syam layak diberi kesempatan menilik kesabaran lelak