"Mas, bagaimana Agam?" tanya Arin yang baru saja sampai di rumah sakit."Dia sedang ditangani dokter, Rin. Kita tunggu saja," ujar Kaisar. Arin sungguh tak menyangka jika Agam akan mengalami hal seperti ini."Mas, bagaimana ini bisa terjadi? Apa Mas tak melihat ada Mas Bayu atau keluarganya di sana?""Tidak, Mas tidak lihat siapapun. Mas melihat Agam sedang berjalan seorang diri di pinggir jalan dan kecelakaan tadi tak ada yang Mas lihat.""Astaghfirullah, bagaimana Mas Bayu ini. Aku akan coba telepon Mas Bayu sekarang.""Tunggu, kita tunggu keterangan dokter saja. Jika parah, kita telepon Bayu. Kalau hanya luka ringan, kita akan diskusikan dengan Bayu dan menegurnya," ujar Kaisar."Kelamaan, Kak. Kenapa nggak sekalian adukan polisi atas penelantaran anak. Ini semua sudah sangat keterlaluan, punya anak kok ditinggalkan sendiri," ucap Kenzi geram.Ketiganya tampak tak memiliki jalan keluar, tiba-tiba Kaisar memiliki ide."Rin, punya nomor Omanya Agam di Bandung?" Arin menautkan alisnya
Arin akhirnya menelpon Bayu dan mengabarkan jika Agam ada di rumah sakit. Tadinya memang Kaisar melarang, namun setelah mengetahui kabar Agam yang tak terlalu parah membuat Kaisar setuju memberi kabar Bayu. Biarlah setelah ini, ia bisa pulang dan beristirahat di rumah."Rin." Arin yang menunggu di luar menengok ke arah Bayu. Dia datang bersama Susi dan Reni."Agam di dalam sedang istirahat, karena kalian sudah datang, Arin pamit pulang. Lain kali, jaga Agam dengan baik. Kalau tak bisa menjaganya, biar Arin yang mengurus dia. Buka sok bisa tapi aslinya nol besar, ditinggal sebentar saja sudah begini. Ck!" Arin berlalu setelah berbicara secara tegas kepada Bayu dan Susi. Tampak tak suka dengan ucapan Arin, Susi mencegahnya pergi."Apa maksudmu?" sentak Susi."Apa? Aku nggak lagi bilang kamu, aku lagi bilang ke kalian semua. Kenapa hanya situ yang marah? Situ nyadar kalau salah? Bagus deh, jadi wanita itu harus punya jiwa keibuan. Biar nggak murahan dan tahu batasan!" Arin mengibaskan ta
"Belum tidur, Rin?" tanya Narsih yang masih melihat lampu di kamar Arin terang."Belum, Bu. Lagi kerjain tugas dari Mas Kaisar, tinggal dikit lagi. Ibu kalau ngantuk tidur saja, jangan tungguin Arin." Narsih tampak beranjak ke belakang dan kembali lagi dengan secangkir susu."Ibu nggak buatkan kopi karena takut kamu tipesnya kambuh. Susu saja biar nggak lelah banget di layar hp besar kayak gitu," ucap Narsih. Arin tertawa kecil sambil menerima secangkir susu pemberian Ibunya."Makasih, Bu. Ini itu namanya laptop, temennya ponsel dan Tv," terang Arin."Lektop?""Leptop, Bu. Pakai P, bukan k.""Oh, Tengtop.""Oalah, Laptop, Bu. Ya wis lah apapun itu, intinya ini itu yang biasa orang kelurahan pake buat input-input data.""Heleh, kamu ngomong kayak gitu Ibu nggak tahu. Ya sudah, Ibu mau tidur dulu. Kamu jangan kemalaman, besok berangkat jam berapa?""Mungkin jam setengah enam, bangunkan jam empat ya, Bu.""Nggak terlalu awal?""Arin harus siapkan semua ini dan memastikan semua beres.""B
Arin memasukan kembali ponsel di saku celananya. Ia berusaha tak menggubris panggilan telepon Bayu, hendak ia blokir tetapi takutnya Agam yang membutuhkannya.[Angkat, Rin. Agam cariin kamu, dia tak mau makan kalau nggak sama kamu.] Mungkin lelah karena panggilan tak juga diangkat, akhirnya Bayu memilih mengirim pesan saja pada Arin. Arin tak membuka, hanya sedikit mengintip dari beranda depan ponselnya dan kemudian mengabaikannya begitu saja.Panggilan telepon dari Kaisar masuk dan kali ini Arin langsung mengangkatnya.[Assalamualaikum, Rin. Kenzi sudah pergi?][Waalaikumsalam, sudah, Mas. Ada apa ya?][Kamu cek email yang baru masuk di laptop ruang kerja saya, ada tiga pesanan masuk yang katanya harus diselesaikan hari ini. Mas minta tolong sama kamu, bantu saya kerjakan hari ini ya. Mas lagi ada urusan penting, sepertinya hari ini nggak bisa pulang dan agak lama di Purwokerto. Bisa nggak?][Arin coba kerjakan dulu ya, sorean nanti Arin kirimkan laporannya ke ponsel Mas Kai. Gimana
"Naik Koprades saja, Rin.""Iya, itu bingkisan buat Rina sudah, Bu?" tanya Arin saat memakai kerudungnya."Sudah, ayo cepat. Keburu siang nanti panas di angkutan umumnya," ujar Narsih sambil menenteng kardus berisi oleh-oleh untuk anak bungsunya."Bentar, Arin kunci rumah dulu." Arin memutar kunci rumahnya dan meletakkannya di dalam slingbag miliknya.Arin mengambil alih kardus di tangan Narsih dan membawanya ke ujung gang untuk menyetop angkutan umum berwarna merah dan ungu."Biasa ini si Koprades, kalau ditunggu lama kalau nggak ditunggu pada seliweran," gerundel Narsih."Sabar, Bu. Namanya juga angkutan umum, kadang ngetem dulu di pangkalan." Saat sedang menunggu, bu RT dan Umi serta ketiga warga yang lain lewat. Mereka sepertinya hendak ke sawah karena memakai caping di kepalanya dan pancong di tangannya."Ke sawah, Bu-Ibu?" sapa Arin dengan ramah."Iya dong. Kita wong deso, ya pasti pekerjaannya ke sawah dan ladang. Emang kamu, wong deso tapi lupa sama cangkang sendiri. Sok ngota
"Mampir ke rumah Bude aja ya, Bu. Kita harus sekalian bicarakan kepindahan Ibu pada mereka, siapa tahu mereka keberatan dan ada usulan lain," ucap Arin."Begitu tak apa, memang ini angkutan umumnya lewat Lomanis?" "Lewat, makannya Arin ingin ke sana karena sejalan."Setelah dari pesantren, Arin langsung ke rumah Pakde Supri. Bagaimanapun, mereka adalah keluarga besar ayahnya. "Assalamualaikum." Arin dan Narsih mengucap salam ketika memasuki pelataran rumah Pakde Supri."Waalaikumsalam, Bulik. Wah, ada tamu jauh. Tumben banget kesini bareng, Rin, Bulik?" sapa Sekar."Hanya mampir, tadi habis nengokin Rina di pesantren. Ayah Ibumu ada?" tanya Narsih."Nggak, Bulik. Jam segini mereka masih kerja, sore nanti pulangnya. Masuk dulu, Bu Lik, Arin. Biar Sekar buatkan minum sekalian kalian beristirahat." Arin dan Narsih duduk di kursi tamu, menikmati suasana kota yang masih sedikit ramai. Rumah Pakde Supri bukanlah perumahan, tetapi lingkungan di sekelilingnya merupakan perumahan elit. Laha
Setelah semalam menginap di rumah Pakde Supri, kini Arin sudah kembali ke rumahnya. Iya harus izin lagi dua hari untuk membantu berkemas, membereskan segala sesuatu yang akan ditinggalkan ia untuk bekerja di Rinjani bersama ibunya."Bu, tidak usah membawa pakaian terlalu banyak, beberapa saja kan kita seminggu sekali pulang," ucap Arin saat melihat ibunya sedang berkemas baju ke dalam tas ransel."Enggak banyak hanya 5 setel saja, itu nanti uang penjualan kambing sama ternak lain kamu simpan saja." Tadi pagi Arin sempat mengurus ATM di bank dan membuatkan mobilbangking agar ia mudah dalam melakukan transaksi. Pesanan desain dari Mak Ni sudah dikerjakan oleh Kenzi saat kemarin malam berada di rumah Pakde. Sungguh kerjasama yang kompak antara Arin, Kenzi dan Kaisar, ketiganya bahkan bahu-membahu mengerjakan tugas, mana yang luang, mereka yang mengerjakan."Sudah semua, Bu?" tanya Arin pada Narsih."Sudah, kita pamit dulu sama Pak RT. Jadi kalau apa-apa tidak bingung nanti mencarinya,"
Hari ini, tepatnya 1 minggu sudah Arin dan ibunya bekerja di rumah Kaisar. Arin merasa seperti tinggal di rumahnya sendiri karena majikan tidak pernah pulang, Kenzie baru mengabarkan akan pulang hari ini setelah dari Jakarta satu minggu lamanya."Bu, nanti Kak Kenzi pulang. Kita mau masak apa ya enaknya?" tanya Arin saat berbelanja di pasar Sangkal Putung."Biasanya Nak Kenzie itu sukanya makan apa?" tanya Narsih."Semua makanan dia suka kecuali udang." Akhirnya Narsih membeli beberapa sayuran dan juga daging sebagai pelengkap masakan. Setelah dirasa cukup, mereka akhirnya memutuskan untuk pulang karena hari sudah menjelang siang.Saat berada di parkiran tak sengaja Arin bertemu dengan Susi dan Reni. Keduanya tampak baru akan berbelanja. Arin mencoba pura-pura tidak melihat tetapi Reni memanggil Arin, membuat ia akhirnya terpaksa menjawab panggilan mantan mertuanya."Loh Kamu tinggal di sini, Rin? Kamu pasti sudah tahu kalau kami tinggal di sekitar sini. Kamu sengaja pasti menjual rum