Share

Kaya sih, tapi Pelit!
Kaya sih, tapi Pelit!
Penulis: lasminuryani92

Awal Kesalahan

"Satu, dua, tiga, empat ... sembilan, sepuluh." Aku tertegun di depan mesin cuci. Berkali-kali menghitung uang yang kutemukan di celana Mas Aksa. Sebenarnya bukan satu kali ini saja aku menemukan uang di saku celananya, sudah belasan kali bahkan mungkin lebih, hanya tidak sebanyak ini. Biasanya uang yang kutemukan hanya pecahan 2 ribu, 5 ribu sampai 10 ribu. Setiap kali menemukan uang tidak pernah kukatakan padanya, kuanggap sebagai uang jajan yang tidak pernah sekali pun diberikan Mas Aksa.

Selama setahun pernikahan kami, tak sekali pun Mas Aksa memberiku uang jajan, semua kebutuhan rumah, kamar mandi dan dapur ia yang mengurusnya. Aku hanya memakai, memasak dan memakan apa yang dibelinya. Sekali pun aku menginginkan sesuatu begitu sulit untuk ia berikan, jika terus meminta barulah disanggupi.

Mas Aksa punya toko pakaian yang cukup besar di kota kami, pelanggannya pun sudah banyak, tokonya hampir tidak pernah sepi, orang-orang luar memandang kami sebagai salah satu keluarga yang terbilang kaya, sehingga tidak sedikit dari keluargaku yang terkadang meminta bantuan pinjaman uang. Tapi, apa mau dikata, seratus ribu pun aku jarang punya, meminta pada Mas Aksa bilangnya selalu tak ada, hingga berkali-kali aku menolak permintaan mereka.

Terkadang sedih karena di mata mereka aku seperti orang yang sangat pelit, banyak pula yang akhirnya menjauh, dalam acara keluarga aku sangat jarang diikut sertakan, selain tidak bisa menyumbang, Mas Aksa jarang mengijinkanku untuk berkumpul bersama keluarga, katanya, acara seperti itu hanya menghamburkan uang saja.

Aku jarang membantah dan lebih banyak mengikuti maunya saja, karena jika sekali saja dia marah, tak ada makanan yang bisa kumakan. Pernah satu hari aku tidak menurut padanya, Mas Aksa pergi pagi dan pulang malam tanpa membelikanku makanan atau pun memberi uang, untung saat itu aku masih punya beras untuk di makan bersama garam.

Aku sangat bahagia saat pertama kali menemukan uang di saku celana kotor Mas Aksa, awalnya aku merasa takut dan berniat untuk mengatakannya saat dia bertanya, tapi sudah sering aku menemukan uang, tak pernah satu kali pun ia menanyakannya. Akhirnya, aku selalu berharap dan terkadang berdoa agar Mas Aksa menjadi pelupa dan sering menyimpan uangnya di saku celana atau bajunya.

Hari ini antara senang dan bingung, uang yang kutemukan terlalu besar jumlahnya, aku takut Mas Aksa ingat kalau aku tidak memberitahunya, tapi sangat sayang jika uang ini aku beritahukan, berharap dia lupa. Kapan lagi aku bisa mendapatkan uang sebanyak ini.

Aku kembali menghitung jumlah uang yang kutemukan, rasanya sangat bahagia bisa memiliki uang sebanyak ini. Jumlah semuanya ada 1 juta rupiah.

Lebih baik kusimpan dulu dan menunggu beberapa hari sampai yakin Mas Aksa tidak akan menanyakannya lagi.

Saat hendak menyimpan uang, ponselku tiba-tiba berbunyi. Ternyata Ibu yang menelpon.

[Iya Bu.]

[Hil, kamu punya uang simpanan nggak?]

Deg! Hatiku sudah tak nyaman mendengarnya.

[Berapa Bu?] tanyaku sedikit ragu.

[Satu juta saja, Hil.]

[Besar sekali Bu, buat apa?]

[Hanya satu juta kamu bilang besar, suamimu itu uangnya ratusan juta Hilya!]

[Iya, Bu. Tapi, itu bukan uang Hilya.]

[Uang suamimu itu, uangmu juga Hilya, apa salahnya membantu Ibu?]

[Iya Bu, nanti Hilya kirim uangnya,] jawabku tak ingin memperpanjang perdebatan.

Selama ini aku memang tidak pernah menceritakan tentang buruknya perilaku Mas Aska, tidak ada untungnya, yang ada malah aku yang kena olok mereka, tidak becus menaklukan hati suamilah, sampai dikatakan aku terlalu lemah.

[Ibu kirimkan nomor rekeningnya. Kirim sekarang ya!]

[Iya Bu.]

Saat panggilan ditutup aku segera berdandan tipis untuk pergi kesalah satu gerai bank.

Tak lama Ibu mengirimkan nomor rekeningnya, aku mengerutkan alis, nama dari pemilik rekening ini adalah Mbak Ratna kakakku.

Kaki sedikit ragu untuk melangkah saat nomor yang harus kukirim adalah nomor rekening Mbak Ratna.

Dalam perjalanan aku terus berpikir, menimbang apakah harus bertanya lagi pada Ibu. Namun, belum sempat memanggilnya, Ibu sudah memanggil lebih dulu.

[Hil, sudah ditransfer belum?] tanya Ibu sedikit kesal, mungkin karena cukup lama menunggu.

[Bu, ini dikirimnya ke Mbak Ratna?] tanyaku ragu.

[Iya,] jawab Ibu sedikit kecut.

[Mbak Ratna kan kaya Bu, kenapa harus dikirim uang?] tanyaku lagi.

[Kamu sebenarnya mau kasih pinjam apa tidak?]tukas ibu.

Aku mengusap dada, [Iya Bu, ini Hilya sedang di jalan] jawabku lagi.

[Cepat ya, uangnya ditunggu!]

Panggilan dimatikan, aku mempercepat langkah agar Ibu tidak kembali menghubungi.

Sampai di salah satu gerai, aku mengirimkan uang satu juta pada Mbak Ratna, pintar sekali kakakku itu meminta tolong Ibu untuk menodongku, biasanya ia begitu jaim, mengata-ngatai aku bukan anak yang berbakti.

Setelah selesai dikirimkan aku memberitahu Ibu dan segera kembali, sebentar lagi masuk waktu Ashar, jadwalnya Mas Aksa pulang.

Aku segera menyiapkan makanan dan mandi untuk menyambut kedatangannya, biasanya aku sudah tidak memegang ponsel kalau Mas Aksa di rumah, ia tidak suka jika aku lebih sibuk hal lain dan kurang memperhatikannya. Aku selalu menurut saja daripada tidak dikasih makan.

"Assalamulailaikum," ucap Mas Aksa dari luar.

Aku segera membuka pintu dan menyambutnya, menawarinya makan atau mandi.

Tapi Mas Aksa menggeleng, lalu ia masuk ke dalam kamar. Aku melihat gelagat yang aneh darinya, tumben sekali, biasanya ia langsung makan atau bersih-bersih badan.

Aku mencoba mengintip dari celah pintu yang tidak tertutup rapat.

Mas Aksa menyibak tempat tidur, lemari dan laci meja. Apa yang sebenarnya ia cari? mungkinkah uang satu juta itu? bagaimana kalau dia bertanya padaku, apa yang harus aku katakan?

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status