Share

Kaya sih, tapi Pelit!
Kaya sih, tapi Pelit!
Author: lasminuryani92

Awal Kesalahan

last update Huling Na-update: 2023-05-13 09:03:57

"Satu, dua, tiga, empat ... sembilan, sepuluh." Aku tertegun di depan mesin cuci. Berkali-kali menghitung uang yang kutemukan di celana Mas Aksa. Sebenarnya bukan satu kali ini saja aku menemukan uang di saku celananya, sudah belasan kali bahkan mungkin lebih, hanya tidak sebanyak ini. Biasanya uang yang kutemukan hanya pecahan 2 ribu, 5 ribu sampai 10 ribu. Setiap kali menemukan uang tidak pernah kukatakan padanya, kuanggap sebagai uang jajan yang tidak pernah sekali pun diberikan Mas Aksa.

Selama setahun pernikahan kami, tak sekali pun Mas Aksa memberiku uang jajan, semua kebutuhan rumah, kamar mandi dan dapur ia yang mengurusnya. Aku hanya memakai, memasak dan memakan apa yang dibelinya. Sekali pun aku menginginkan sesuatu begitu sulit untuk ia berikan, jika terus meminta barulah disanggupi.

Mas Aksa punya toko pakaian yang cukup besar di kota kami, pelanggannya pun sudah banyak, tokonya hampir tidak pernah sepi, orang-orang luar memandang kami sebagai salah satu keluarga yang terbilang kaya, sehingga tidak sedikit dari keluargaku yang terkadang meminta bantuan pinjaman uang. Tapi, apa mau dikata, seratus ribu pun aku jarang punya, meminta pada Mas Aksa bilangnya selalu tak ada, hingga berkali-kali aku menolak permintaan mereka.

Terkadang sedih karena di mata mereka aku seperti orang yang sangat pelit, banyak pula yang akhirnya menjauh, dalam acara keluarga aku sangat jarang diikut sertakan, selain tidak bisa menyumbang, Mas Aksa jarang mengijinkanku untuk berkumpul bersama keluarga, katanya, acara seperti itu hanya menghamburkan uang saja.

Aku jarang membantah dan lebih banyak mengikuti maunya saja, karena jika sekali saja dia marah, tak ada makanan yang bisa kumakan. Pernah satu hari aku tidak menurut padanya, Mas Aksa pergi pagi dan pulang malam tanpa membelikanku makanan atau pun memberi uang, untung saat itu aku masih punya beras untuk di makan bersama garam.

Aku sangat bahagia saat pertama kali menemukan uang di saku celana kotor Mas Aksa, awalnya aku merasa takut dan berniat untuk mengatakannya saat dia bertanya, tapi sudah sering aku menemukan uang, tak pernah satu kali pun ia menanyakannya. Akhirnya, aku selalu berharap dan terkadang berdoa agar Mas Aksa menjadi pelupa dan sering menyimpan uangnya di saku celana atau bajunya.

Hari ini antara senang dan bingung, uang yang kutemukan terlalu besar jumlahnya, aku takut Mas Aksa ingat kalau aku tidak memberitahunya, tapi sangat sayang jika uang ini aku beritahukan, berharap dia lupa. Kapan lagi aku bisa mendapatkan uang sebanyak ini.

Aku kembali menghitung jumlah uang yang kutemukan, rasanya sangat bahagia bisa memiliki uang sebanyak ini. Jumlah semuanya ada 1 juta rupiah.

Lebih baik kusimpan dulu dan menunggu beberapa hari sampai yakin Mas Aksa tidak akan menanyakannya lagi.

Saat hendak menyimpan uang, ponselku tiba-tiba berbunyi. Ternyata Ibu yang menelpon.

[Iya Bu.]

[Hil, kamu punya uang simpanan nggak?]

Deg! Hatiku sudah tak nyaman mendengarnya.

[Berapa Bu?] tanyaku sedikit ragu.

[Satu juta saja, Hil.]

[Besar sekali Bu, buat apa?]

[Hanya satu juta kamu bilang besar, suamimu itu uangnya ratusan juta Hilya!]

[Iya, Bu. Tapi, itu bukan uang Hilya.]

[Uang suamimu itu, uangmu juga Hilya, apa salahnya membantu Ibu?]

[Iya Bu, nanti Hilya kirim uangnya,] jawabku tak ingin memperpanjang perdebatan.

Selama ini aku memang tidak pernah menceritakan tentang buruknya perilaku Mas Aska, tidak ada untungnya, yang ada malah aku yang kena olok mereka, tidak becus menaklukan hati suamilah, sampai dikatakan aku terlalu lemah.

[Ibu kirimkan nomor rekeningnya. Kirim sekarang ya!]

[Iya Bu.]

Saat panggilan ditutup aku segera berdandan tipis untuk pergi kesalah satu gerai bank.

Tak lama Ibu mengirimkan nomor rekeningnya, aku mengerutkan alis, nama dari pemilik rekening ini adalah Mbak Ratna kakakku.

Kaki sedikit ragu untuk melangkah saat nomor yang harus kukirim adalah nomor rekening Mbak Ratna.

Dalam perjalanan aku terus berpikir, menimbang apakah harus bertanya lagi pada Ibu. Namun, belum sempat memanggilnya, Ibu sudah memanggil lebih dulu.

[Hil, sudah ditransfer belum?] tanya Ibu sedikit kesal, mungkin karena cukup lama menunggu.

[Bu, ini dikirimnya ke Mbak Ratna?] tanyaku ragu.

[Iya,] jawab Ibu sedikit kecut.

[Mbak Ratna kan kaya Bu, kenapa harus dikirim uang?] tanyaku lagi.

[Kamu sebenarnya mau kasih pinjam apa tidak?]tukas ibu.

Aku mengusap dada, [Iya Bu, ini Hilya sedang di jalan] jawabku lagi.

[Cepat ya, uangnya ditunggu!]

Panggilan dimatikan, aku mempercepat langkah agar Ibu tidak kembali menghubungi.

Sampai di salah satu gerai, aku mengirimkan uang satu juta pada Mbak Ratna, pintar sekali kakakku itu meminta tolong Ibu untuk menodongku, biasanya ia begitu jaim, mengata-ngatai aku bukan anak yang berbakti.

Setelah selesai dikirimkan aku memberitahu Ibu dan segera kembali, sebentar lagi masuk waktu Ashar, jadwalnya Mas Aksa pulang.

Aku segera menyiapkan makanan dan mandi untuk menyambut kedatangannya, biasanya aku sudah tidak memegang ponsel kalau Mas Aksa di rumah, ia tidak suka jika aku lebih sibuk hal lain dan kurang memperhatikannya. Aku selalu menurut saja daripada tidak dikasih makan.

"Assalamulailaikum," ucap Mas Aksa dari luar.

Aku segera membuka pintu dan menyambutnya, menawarinya makan atau mandi.

Tapi Mas Aksa menggeleng, lalu ia masuk ke dalam kamar. Aku melihat gelagat yang aneh darinya, tumben sekali, biasanya ia langsung makan atau bersih-bersih badan.

Aku mencoba mengintip dari celah pintu yang tidak tertutup rapat.

Mas Aksa menyibak tempat tidur, lemari dan laci meja. Apa yang sebenarnya ia cari? mungkinkah uang satu juta itu? bagaimana kalau dia bertanya padaku, apa yang harus aku katakan?

Bersambung ....

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Kaya sih, tapi Pelit!   Tiga puluh Lima

    Aku mengerucutkan bibir, menatap kesal pada Mas Aksa. Kenapa juga Ibu dan Ulfa hanya tersenyum mesem seperti itu, dan tidak membelaku?"Baiklah kalau begitu, aku tidak akan keluar dari Rumah Sakit ini!" kelakarku sembari membelakangi mereka."Kenapa?" tanya Mas Aksa polos."Orang bodoh pun pasti melakukan hal yang sama Mas! di rumah nggak dikasih makan di sini makan tiga kali sehari. Pasti pilih tinggal di sinilah.""Itu kalau Mas masih bayar biaya pengobatannya, kalau enggak kamu pasti disuruh keluar dari sini."Bola mataku berputar, benar juga, kalau sudah tidak dibayar boro-boro makan, tinggal pun pasti tidak diperbolehkan."Kalau begitu kenapa Mas tidak membiarkan aku mati saja kemarin!" sungutku."Kalau kamu mati, lalu siapa yang akan menjadi Ibu dari anak-anakku?"Aku mengerutkan dahi, "Anak?" "Heum!""Tanggal berapa sekarang Mas?" Tiba-tiba aku mengingat sesuatu yang terlupakan."Sebelas.""Apa?" Aku langsung terbangun."Ada apa Hilya, kamu masih sakit," tegur Mas Aksa langsun

  • Kaya sih, tapi Pelit!   Tiga Puluh Empat

    Aksa~“Hilya kamu kenapa?” Hatiku syok melihatnya terkulai."Hilya, bangunlah! jangan buat Mas Khawatir!" pekikku sembari terus berlari menuju mobil. Cukup lama aku berlari karena mobil di sembunyikan jauh dari lokasi.Hilya tak menjawab, wajahnya terlihat pucat pasi, saat sorot lampu jalan memperlihatkan lekuk wajahnya.Aku segera membuka kunci mobil, mendudukannya di kursi. Sebelum menutup pintu, mata terbelalak, darah memenuhi pakaian.Mataku melotot, hatiku tersentak, dari mana darah ini? perlahan aku menyibakkan baju, tidak ada luka di sana. Lalu, aku melihat wajah Hilya yang semakin pucat.'Mungkinkah?' Aku tak kuasa menahan gejolak hati yang tiba-tiba berderu lebih cepat. Debaran jantung pun berpacu lebih keras.Aku meraba tubuh Hilya, bagian mana dari tubuhnya yang terluka? Mata melihat darah menetes cepat dari lengannya, seketika tubuhku mundur dengan sendirinya. Bayangan wajah Mbak Ayu berkelebat mengembalikan kenangan buruk itu."Tidak! Aku tidak bisa!" Kaki terus mundur me

  • Kaya sih, tapi Pelit!   Tiga Puluh Tiga

    “Kalian sudah akrab rupanya?” kelakarnya, sembari mendongakkan wajah.Wajahnya yang ditutupi topi, terlihat jelas sekarang.Lelaki itu? bagaimana mungkin ia begitu tega melakukan hal seperti ini pada Ibunya sendiri?“Apa kamu sudah tidak waras Mas?” tanyaku dengan tatapan heran.“Hm! apakah kamu berpikir aku yang sakit sekarang, dan bukan perempuan di sampingmu itu?” Mas Rian malah balik bertanya. “Seorang anak yang waras tidak akan memperlakukan Ibunya sendiri seperti ini Mas!” tegasku.“Hahahaha,” ia tertawa nyaring. Lalu, melangkah cepat ke ruangan wanita itu. Mas Rian mendongakkan dagu Ibunya dan menyanggahnya dengan tangan.“Apakah wanita seperti ini yang kamu sebut Ibu?” ucapnya tanpa melepaskan tatapan dari dua bola mata Ibunya yang ia tengakkan.“Apa kesalahannya hingga kamu berani seperti Itu pada Ibu mu sendiri Mas?” Aku mendekati pagar besi, hendak menolongnya dengan mencoba meraih tubuh itu. Tapi, karena jaraknya cukup jauh, aku bahkan tidak bisa memegangnya secuil pun.

  • Kaya sih, tapi Pelit!   Tiga Puluh Dua

    Jam merangkak naik, matahari sudah mulai terasa hangat saat menembus kaca. pagi ini setelah Ibu mengetahui pekerjaan Ulfa, ia masuk ke kamar anak bungsunya dan kulihat mereka tergugu menangis. Saling memaafkan adalah jalan satu-satunya untuk merangkai kehidupan yang baru. Ibu sudah kembali bersemangat melanjutkan pekerjaanya di dapur membuat makanan untuk acara pengajian nanti malam bersama warga yang datang. Hanya membuat makanan rumahan yang bisa dibawa pulang warga sebagai sedekah untuk Ayah yang sudah berpulang.Bahan-bahan yang telah di beli Mas Aksa tadi pagi mulai kami olah menjadi beberapa makanan tradisional. Ulfa pun sudah ikut bergabung dan berbaur, meski situasi masih nampak canggung, lamat-lamat mencair juga.“Biar Ulfa yang menggunting daun pisang itu Bu,” pinta Ulfa mengambil alih pekerjaan Ibu. Wanita separuh baya itu memberikan gunting ke tangan Ulfa dan beralih pada pekerjaan lain. Sepertinya ia hendak memasak daging ayam untuk makan kami pagi ini.Mas Aksa tidak

  • Kaya sih, tapi Pelit!   Tiga Puluh Satu

    Pikiranku tidak bisa lepas dari sosok seseorang yang berdiri dan melihat kami dari kejauhan, aku mencium sebuah ancaman, ketidak nyamanan dari pandangan itu. Sedangkan Mas Aksa, Ibu dan Ulfa tidak mengetahui hal ini. Jika kuceritakan sekarang, semuanya akan bertambah buruk, suasana hati mereka bisa saja semakin sedih dan kalut.‘Semoga ini hanya perasaanku saja,’ batinku, membuang napas untuk menghilangkan rasa gugup.Mas Aksa mengemudi mobil pelan, Ibu dan Ulfa saling merangkul di belakang, sedangkan aku merasakan kegelisahan dari hal yang lain. Bagaimanapun aku mencoba untuk tenang, kemarahan Mas Rian di dalam perpustakaan itu tidak bisa diabaikan.“Dia?” teriakku refleks menunjuk seseorang dibalik semak-semak.“Siapa?” tanya Mas Aksa. Ibu dan Ulfa pun ikut menengok.“Bukan siapa-siapa, aku salah orang,” jawabku cepat.Jelas itu adalah lelaki yang kulihat tadi di pemakaman, ternyata ia masih di sekitar sini dan belum pergi, siapa yang dia tunggu?Jalan kepemakaman ini sempit dan sed

  • Kaya sih, tapi Pelit!   Tiga Puluh

    Kami sampai di sebuah bangunan dua lantai dengan bentuk luar nampak seperti sebuah Klinik, dari alamat yang kutemukan inilah tempat salah satu Psikiater yang mendapat nilai baik di aplikasi, tempatnya pun tidak terlalu jauh dari rumah.“Mas turun, Yuk,” ajakku padanya. Ia hanya menatap sendu, polos layaknya anak kecil.Aku menuntunnya memasuki meja resepsionis, mengisi data dan menunggu jadwal berkonsultasi.Mas Aksa meringkuk, memegangi perutnya di atas bangku.“Kenapa Mas?” Matanya mengiba mendengar pertanyaanku.“Mas lapar ya?” Ia hanya mengangguk lemah.“Sebentar ya, Hilya beli dulu. Mas jangan kemana-mana," pesanku sebelum pergi.Bergegas aku mencari kantin di sekitar sini, membeli roti, beberapa cemilan dan air minum. Saat kembali ke dalam, bangku sudah kosong, Mas Aksa tidak terlihat ada di sekitar sana.“Kemana dia?” aku mulai panik, berlari mencari ke semua ruangan yang kemungkinan dimasuki.“Mbak lihat seorang pria berkaos putih tidak?" tanyaku pada seseorang yang tidak jauh

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status