Share

Bab 7

Author: Zoro
Arlena memberhentikan taksi di pinggir jalan dan pulang ke rumah dengan susah payah.

Siapa sangka, begitu masuk, dia melihat pemandangan yang menyayat hati.

Callista meringkuk di sofa, terbungkus selimut, seperti anak kucing yang terluka. Declan menjaganya, dengan sangat hati-hati menyuapi dia sesendok demi sesendok sup obat.

Ekor matanya menangkap Arlena. Declan mengangkat pandangannya, tatapannya seperti pisau tajam, dipenuhi rasa jijik yang hampir nyata.

"Kamu masih berani pulang?" Rizkan melangkah maju, mengangkat tangannya dan menampar Arlena dengan keras!

Arlena merasa pusing, hampir tidak bisa berdiri tegak.

"Aku tahu kamu tidak senang dengan kembalinya Callista, tapi bagaimanapun juga dia kakakmu. Kamu melakukan lelucon seperti ini, apa kamu tidak khawatir kalau terjadi sesuatu padanya?"

"Kalau bukan karena Declan datang tepat waktu, tidak tahu masalah besar apa lagi yang akan kamu timbulkan!"

Callista merasa senang di dalam hati, tetapi di permukaan dia berpura-pura membujuk. "Ayah, jangan pukul Arlena lagi. Aku baik-baik saja, 'kan?"

"Jangan bela anak durhaka ini!" Dada Rizkan naik turun hebat, menunjukkan betapa besar amarah yang sedang meluap darinya.

Arlena berdiri kaku di tempat, telinganya berdenging.

Detik berikutnya, Declan yang selama ini diam akhirnya angkat bicara.

"Minta maaf pada Callista." Nada suara pria itu sangat dingin, seolah bisa membekukan apa pun.

Arlena menggertakkan giginya.

Entah dari mana keberanian itu datang, dia malah membantah. "Aku tidak akan minta maaf."

Saat para penculik menyiksanya, dia sudah mengerti.

Penculikan itu diatur oleh Callista. Tujuannya adalah untuk menjebaknya, membuat dia benar-benar menjadi adik yang jahat.

Dia tidak salah, mengapa harus minta maaf?

Callista menghela napas, berpura-pura bermurah hati. "Sudahlah, Declan. Mungkin Arlena tidak sengaja. Aku tidak ingin merusak hubungan persaudaraan kami…"

"Dia hampir membunuhmu. Apa terlalu berlebihan jika dia diminta untuk minta maaf?" tanya Declan, menatap Arlena dengan tajam. Sorot jijik di matanya makin dalam.

Sejak kapan Arlena menjadi begitu liar dan sulit diatur?

Rizkan juga marah melihat kegigihan Arlena.

Dia meraih lengan Arlena dan mengangkatnya seperti mengangkat anak ayam ke hadapan Callista. Baru saat Arlena mengerang kesakitan, dia menyadari bahwa lengan itu dipenuhi luka bakar.

Rizkan mengerutkan kening.

Baru saja hendak bertanya ada apa, dia sudah mendengar Declan berkata dengan dingin, "Demi menjebak Callista, kamu sampai melukai dirimu sendiri seperti ini. Arlena, kamu benar-benar memanfaatkan segala cara tanpa batas."

Mendengar itu, kebingungan di hati Rizkan langsung sirna, digantikan oleh kemarahan yang lebih kuat.

Dia mencengkeram bahu Arlena dan menekannya dengan kuat ke bawah, memaksa kakinya lemas dan berlutut di tanah dengan keras.

"Tubuh dan rambutmu diberikan oleh orang tua. Sepertinya kamu sudah benar-benar tidak menganggap rumah ini, dan tidak menganggap aku sebagai ayahmu!"

Arlena mengangkat kepalanya dengan hampa, tanpa persiapan menghadapi tatapan dingin Declan.

Dia memeluk Callista, tampak angkuh seperti sedang mengadili seorang penjahat. Sementara dia berlutut di hadapannya dengan menyedihkan, harga dirinya telah hancur berkeping-keping.

Declan entah mengapa merasa tidak nyaman dengan tatapan keras kepala Arlena.

Dia mengulang dengan dingin. "Arlena, selama kamu minta maaf pada Callista, masalah ini bisa aku lupakan."

Mendengar itu, Arlena tertawa.

Matanya yang memerah menatap tajam ke arah Declan. Dia mengucapkan setiap kata dengan tegas, "Aku ulangi sekali lagi, aku tidak akan meminta maaf. Mau membunuhku atau menyiksaku, itu terserah kamu."

Declan terkejut, sisa belas kasihan di matanya pun lenyap tak berbekas.

Selanjutnya, Rizkan terus-menerus memukul dan memarahi seperti badai.

Arlena yang sudah lemah tidak butuh waktu lama untuk tergeletak di tanah seperti anjing tanpa tulang punggung, benar-benar kehilangan kesadaran.

Arlena tidak tahu berapa lama dia pingsan.

Saat dia bangun lagi, ruang tamu sudah kosong.

Dia menahan rasa sakit yang menyayat di sekujur tubuhnya, menopang dirinya dengan kedua tangan di sofa untuk berdiri, lalu gemetar kembali ke kamar, memeriksa barang bawaannya untuk terakhir kali.

Sebelum menutup koper, suara Callista terdengar dari belakang.

"Suka dengan hadiah perpisahan yang aku siapkan untukmu?" Callista bersandar di kusen pintu, senyum menghina terpulas di bibirnya. "Sebenarnya, aku ingin menahanmu di sini sampai hari pertunangan. Akan sangat menyenangkan melihatmu memberikan restu untukku dan Declan." Dia menghela napas pendek, lalu melanjutkan dengan nada ringan yang dingin. "Sayangnya, Ayah menolak mentah-mentah. Katanya, kamu telah mempermalukan Keluarga Montel. Dia bahkan tak ingin kamu tinggal di rumah ini satu detik pun lebih lama."

"Arlena, kali ini setelah kamu pergi, jangan pernah kembali lagi. Karena tanpa kamu, rumah ini baru terasa lengkap."

"Dan juga, terima kasih sudah menjadi mainan gratis suamiku selama dua tahun, agar dia tidak kesepian di hari-hari tanpaku."

Bibir Arlena terkatup rapat, tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Terdengar bunyi "klik", koper tertutup.

Bersamaan dengan itu, sisa-sisa terakhir kasih sayangnya pada keluarga ini juga terkubur.

Keesokan harinya sebelum fajar, Arlena naik pesawat ke luar negeri.

Dia pergi dengan tekad bulat.

Sebelum naik pesawat, dia tanpa ragu menghapus semua kontak Declan.

Pesawat meluncur di langit yang luas, meninggalkan jejak putih, benar-benar mengakhiri masa lalunya yang menyedihkan.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Kebahagiaan yang Pernah Kusimpan   Bab 18

    Pada malam acara, Ardian datang ke lokasi kemah sambil membawa ransel berat. Dia mendirikan tenda, menata camilan, dan menyalakan api unggun seorang diri, tanpa membiarkan Arlena membantu sedikit pun.Setelah semuanya siap, dia menepuk bantalan yang lembut dan menyuruh Arlena untuk duduk terlebih dahulu.Kemudian, dia mengeluarkan selimut yang sudah disiapkan sebelumnya dan menyelimuti Arlena."Posisi ini bagus. Sebentar lagi aku yang akan memotret, kamu yang bertugas melihat aurora."Setelah Ardian selesai bicara, tiba-tiba dia merasa lengan bajunya berat.Arlena menarik lengannya. "Pemandangan indah harus direkam dengan mata. Ayo duduk dan lihat bersama."Telinga Ardian kembali memerah.Selama menunggu aurora, keduanya tidak bicara.Arlena makan camilan sambil merasakan kehangatan api unggun.Saat itu, ponselnya menampilkan sebuah berita.[Mantan konglomerat bisnis, Declan, meninggal dunia pagi ini. Perusahaannya bangkrut, masa kejayaan akhirnya berakhir...]Melihat nama yang begitu

  • Kebahagiaan yang Pernah Kusimpan   Bab 17

    Arlena beristirahat cukup lama.Nadira merasa bersalah karena telah membujuk Arlena hingga terlibat dalam bahaya, sehingga dia dengan sukarela tetap tinggal di sisinya, merawat kebutuhan sehari-hari dan memastikan Arlena makan dengan baik.Nadira jarang membicarakan Declan di hadapannya, dan setiap kali menyebut nama itu, yang keluar dari mulutnya hanyalah makian pedas.Karena masalah dengan Declan, dia jadi alergi terhadap pria tampan. Dia terus-menerus bilang bahwa tidak ada pria tampan yang benar-benar baik.Dengan ditemani Nadira, Arlena perlahan-lahan keluar dari kegelapan.Awal April, dia mulai mengepak barang-barangnya. Bersama Nadira, dia bersiap kembali ke Negara A untuk melanjutkan studi.Rizkan mengantarnya ke bandara, lalu dengan berat hati berpesan agar dia menjaga diri baik-baik.Saat keduanya bersiap melewati pemeriksaan keamanan, tiba-tiba seseorang muncul dan menarik perhatian.Declan mengenakan baju rumah sakit yang longgar, berjalan tertatih lalu berlari ke arahnya t

  • Kebahagiaan yang Pernah Kusimpan   Bab 16

    "Arlena!"Rizkan memeluk Arlena dengan erat, air matanya jatuh tanpa bisa dibendung.Sejak Arlena pergi ke luar negeri, hatinya sebenarnya tak pernah benar-benar tenang. Namun, setiap bulan dia tetap mengirimkan uang tepat waktu untuknya.Sampai akhirnya dia menyadari bahwa akun Arlena sama sekali tidak tersentuh, barulah dia tahu bahwa Arlena diam-diam telah bergabung dengan proyek bantuan medis di zona perang.Sejak saat itu, hal yang paling sering terlintas di pikirannya setiap hari adalah apakah Arlena baik-baik saja di sana? Apakah dia sedang menghadapi bahaya?Kemudian, dia mengetahui bahwa Declan telah menculik Arlena kembali ke ibu kota.Vila itu dijaga ketat di sekelilingnya. Dia beberapa kali mencoba menerobos masuk tetapi tidak berhasil, jadi dia terpaksa membakar vila itu!Syukurlah, Arlena berhasil diselamatkan."Arlena, ini semua kesalahan Ayah! Ayah seharusnya tidak menuduhmu... Tidak seharusnya membuatmu menderita sedalam ini..." ucap Rizkan dengan suara bergetar, penuh

  • Kebahagiaan yang Pernah Kusimpan   Bab 15

    Declan mengurung Arlena.Di vila yang megah itu, pergelangan tangan dan kaki Arlena terbelit erat rantai besi yang dingin. Setiap sedikit perlawanan, rantai itu akan berbunyi nyaring.Baru saat itulah dia menyadari, Declan ini lebih menakutkan dari yang terlihat.Dia datang jauh-jauh ke zona perang mencari Arlena, bukan karena cinta, melainkan untuk memenuhi keinginan posesifnya yang konyol."Declan, apa arti diriku bagimu?"Setelah gagal melarikan diri untuk ke-38 kalinya, Arlena akhirnya bertanya pada Declan.Declan membelai wajahnya dengan penuh obsesi, sorot matanya dipenuhi ketamakan yang membara seperti kobaran api."Kamu satu-satunya yang benar-benar aku cintai," katanya penuh perasaan.Arlena tiba-tiba tertawa.Tertawa, air mata membasahi wajahnya.Selama masa isolasi, Declan setiap hari meminta koki menyiapkan hidangan lezat dengan beragam variasi. Sementara itu, barang-barang mewah bernilai puluhan juta terus berdatangan dan menumpuk di hadapannya.Bahkan para pelayan pun men

  • Kebahagiaan yang Pernah Kusimpan   Bab 14

    Arlena mengikuti rombongan besar ke garis depan, matanya dengan cemas mencari-cari di antara puing-puing.Entah sudah berapa lama, akhirnya dia menemukan sosok seorang pria di samping sebuah truk yang ditinggalkan.Pria itu diangkat ke tandu, belum melangkah jauh, topeng di wajahnya pun terlepas.Nadira terkesiap. "Astaga, tampan sekali!"Arlena menunduk.Saat dia melihat dengan jelas wajah pria itu, napasnya langsung berhenti!Declan…Benar-benar dia!Pada saat yang sama, Declan yang berada di tandu membuka matanya.Melihat Arlena di sisinya, dia langsung menggenggam pergelangan tangan perempuan itu tanpa banyak kata. Suaranya bergetar, masih diselimuti rasa takut setelah nyaris kehilangan nyawa. "Arlena, jangan pergi..."Nadira melebarkan matanya, "Kalian saling kenal?"Arlena tidak tahu bagaimana harus menjelaskan.Dia berusaha melepaskan diri sekuat tenaga, tetapi genggaman tangan Declan terasa seperti belenggu yang menancap ke dalam daging, mustahil untuk dilepaskan.Keduanya kemb

  • Kebahagiaan yang Pernah Kusimpan   Bab 13

    Pecahan peluru tajam menabrak punggung pria itu, meninggalkan luka berdarah.Namun, pria itu tidak bergerak sedikit pun. Dia hanya menggertakkan gigi dan mendengus pelan, lalu berbisik, "Tempat ini berbahaya, ikut aku."Arlena dipaksa pria itu kembali ke tenda.Baru saat itulah Arlena menyadari bahwa pria itu berlumuran darah. Luka akibat pecahan peluru itu begitu dalam hingga tulangnya terlihat jelas.Dia buru-buru menekan pria itu ke kursi. "Jangan bergerak, aku akan obati lukamu."Pria itu tidak menolak.Arlena dengan hati-hati menggunting baju pria itu. Dengan pinset, dia perlahan menjepit pecahan peluru yang menancap di dagingnya. Setiap gerakannya dilakukan dengan penuh konsentrasi.Setelah Arlena selesai membalut lukanya, barulah dia menyadari bahwa pria itu mengenakan topeng hitam yang tampak aneh di wajahnya."Wajahmu...""Terbakar... Aku hanya tidak ingin membuat orang lain takut."Arlena mengerucutkan bibirnya.Saat dia hendak mengucapkan terima kasih atas kejadian tadi, Nad

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status