Malam itu, Arsela tak bisa tidur. Pikirannya terus melayang ke hari esok. Apakah benar besok dia akan menikah dengan dosennya sendiri? Selama dua tahun kuliah, cukup bagi Arsela untuk sedikit mengenal karakter pria itu—tegas, kaku, dan tak kenal kompromi. Jika tugas harus dikumpulkan saat itu juga, maka harus saat itu juga, tanpa negosiasi. Dan kini, bukan tugas yang dipaksakan, melainkan pernikahan.
Membayangkannya saja membuat Arsela nyaris gila. Ia ingin kabur, tapi rumah ini hanya punya satu akses keluar—gerbang utama. Tidak ada jalan lain. Arsela tahu, ia tak punya pilihan selain mengikuti semua ini. Keesokan paginya, ia berniat pergi kuliah seperti biasa. Namun langkahnya terhenti ketika melihat beberapa pekerja sedang memasang dekorasi bernuansa Malaysia di ruang tengah yang cukup luas. “Kamu mau ke mana?” suara papa terdengar keras. “Papa tidak izinkan kamu ke mana pun. Pernikahanmu dan Arya akan digelar siang nanti!” “Papa, please... Percaya sama Ela. Ela nggak pernah melakukan hal memalukan itu. Tolong percaya, Pa. Ela nggak mau menikah dengan Pak Arya... Ela nggak mau…” Arsela memeluk kaki ayahnya. Dalam hati ia berharap ini hanya mimpi buruk yang akan segera berakhir saat ia membuka mata. Tapi semuanya sudah terlambat. Segala persiapan telah matang. Arya memang seperti itu—menyusun segalanya dengan sempurna. Sementara itu, di kediaman Arya, Ny. Wira masih tidak bisa menerima kenyataan. “Arya, Bunda tidak mau punya menantu seperti dia. Tolong mengerti…” Namun bicara dengan Arya seperti bicara dengan tembok. “Bunda, aku sudah putuskan. Aku akan menikah dengan Arsela, titik. Terserah Bunda mau setuju atau tidak.” Arya kini bukan pemuda biasa. Di usia dua puluh tujuh tahun, ia merasa berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. “Namun Arya—” “Cukup, Bunda. Yang akan menjalani semua ini aku dan Arsela. Bukan Bunda.” Usai bicara, Arya masuk ke kamarnya. Semua persiapan untuk siang ini sudah ia siapkan. Hanya kerabat terdekat yang diundang, tidak lebih dari dua puluh orang. --- Siang harinya, rumah keluarga Mahendra dipenuhi sanak saudara. Semua berkumpul. Sepupu dan saudara silih berganti memuji penampilan Arsela, tapi Arsela hanya diam. Wajahnya datar. Tanpa ekspresi. “Kak Ela cantik banget. Tapi kok nggak senyum ya…” gumam seorang anak kecil bernama Aurel. Tapi tatapan tajam Arsela membuat anak itu langsung diam ketakutan. Beberapa menit kemudian, Arsela resmi menjadi istri Arya. Ia berjalan ke pelaminan ditemani sang mama. Tidak ada seulas senyum pun di wajahnya. Sementara itu, Arya tersenyum lebar. Arsela melirik, lalu membuang muka. “Dengan senyum begitu, kamu terlihat tua,” bisiknya sinis. Lalu matanya melirik Ny. Wira yang menatap tajam padanya. “Astaga… ibu mertua yang malang. Anaknya malah menikahi gadis tak beretika.” Arya melihat interaksi itu, tapi memilih diam. “Yang menjalani ini kita, bukan orang tua kita. Aku harap kamu bisa bertahan dengan cara hidupku,” bisik Arya. “Haha… aku malah berharap perpisahan cepat menghancurkan pernikahan ini,” balas Arsela, tersenyum getir. Di tengah keramaian, dua mempelai itu saling melempar kalimat tajam yang hanya mereka mengerti. Selepas acara, sesuai tradisi keluarga Arsela, ia harus tinggal selama tiga hari di rumah ini bersama suaminya. Setalah tiga hari, baru ia bisa pergi kerumah suaminya untuk tinggal bersama. ... "Apa kamu nggak mau mandi?" tanya Arya, melihat istrinya masih terpaku dengan ponsel di tangan, duduk di sofa tanpa bergeming. Arsela hanya melirik sekilas, lalu kembali fokus pada layarnya. "Arsela, apa kamu nggak dengar?" tanya Arya lagi, suaranya terdengar lebih tegas. "Dengar," jawab Arsela singkat. "Aku capek. Aku mau istirahat," tambahnya sambil merebahkan diri di sofa panjang, masih mengenakan gaun pengantin dan riasan yang belum dihapus. "Apa yang kamu lakukan?!" seru Arsela panik ketika tubuhnya tiba-tiba terangkat. Ia membuka mata lebar-lebar, jelas tak terima diperlakukan seperti itu. Tapi Arya tetap tenang, mengangkat tubuh mungil istrinya ke tempat tidur dengan mudah. Setelah membaringkannya, Arya menatap wajah istrinya sejenak. "Tidurlah. Aku akan menemui Bunda sebelum beliau pulang." Tanpa menunggu respons, Arya berbalik dan keluar dari kamar. Awalnya Arsela ingin marah, tapi kemudian ia memutuskan untuk tidak peduli. Ia membiarkan tubuhnya terlelap begitu saja, masih dalam balutan gaun dan riasan yang tebal. --- Di luar kamar, para tamu mulai meninggalkan rumah keluarga Mahendra. Suasana mulai sepi. Arya menghampiri Bundanya yang bersiap pulang. “Bunda mau pulang?” tanyanya pelan. “Iya,” jawab Ny. Wira dingin, nada suaranya masih menyimpan ketidaksukaan. Dalam hatinya, ia tetap tak bisa menerima menantu seperti Arsela. Anaknya seorang dosen sekaligus pebisnis muda—seharusnya bisa mendapatkan perempuan yang lebih baik, lebih pantas. Tak jauh dari situ, mama Arsela ikut bertanya, “Arsela mana, Nak?” “Di kamar, Ma. Katanya capek, mau istirahat,” jawab Arya jujur. "Anak itu…" gumam Papa Arsela dengan nada kesal. --- Setelah semua tamu pergi, Arya kembali ke kamar. Ia menemukan Arsela sudah tertidur, masih dalam balutan gaun dan wajah penuh riasan. Ia menarik napas dalam, sedikit frustrasi, lalu berjalan pelan ke meja rias. Dengan hati-hati, Arya mengambil kapas dan sebotol micellar water. Ia duduk di sisi tempat tidur, lalu mulai membersihkan wajah istrinya perlahan-lahan. Sentuhannya lembut, seolah takut membangunkannya. “Entah kenapa… kata-katamu itu justru membuat aku ingin memilikimu,” gumam Arya lirih, hampir tak terdengar. Setelah memastikan wajah Arsela bersih tanpa sisa makeup, Arya ikut berbaring di sebelahnya, memandangi wajah itu untuk beberapa saat sebelum akhirnya memejamkan mata. Jam dinding menunjukkan pukul setengah sepuluh malam saat Arsela membuka matanya. Tubuhnya terasa remuk—tidur selama berjam-jam sejak pukul lima sore ternyata tidak membuatnya lebih segar. Perlahan, ia menggeser pandangannya ke samping. Samar-samar, ia melihat sosok Arya tertidur di sebelahnya. Satu tangan pria itu dijadikan bantal, wajahnya terlihat tenang. "Dia nggak macam-macam, kan?" gumam Arsela lirih, memastikan kondisi dirinya. Gaun pengantin itu masih melekat di tubuhnya, tak tersentuh. Ia menghela napas lega. Bangkit perlahan, Arsela menuju kamar mandi. Saat menatap cermin, ia tertegun. Wajahnya bersih, tanpa sisa makeup sedikit pun. “Dia yang bersihin?” bisiknya pada bayangannya sendiri. Ingatannya kembali pada niat semalam—tidak menghapus riasan sebagai bentuk penolakan diam-diam. Tapi sekarang, wajah itu bersih. Bahkan terasa lembap dan segar. Setelah mandi dan berganti pakaian, Arsela turun ke bawah. Rumah terasa sunyi, mungkin semua orang kelelahan setelah acara pernikahan siang tadi. Perutnya berbunyi pelan, meminta diisi. Di dapur, ia menemukan semangkuk mi instan dan memutuskan untuk memasaknya. Semua lauk dari siang tadi masih tertata di meja makan, tapi tak satu pun menggugah seleranya. Setelah menghabiskan satu mangkuk mi, ia merasa cukup kenyang dan memutuskan kembali ke kamar. Baru saja membuka pintu, matanya langsung menangkap sosok Arya yang sudah terjaga, duduk di atas ranjang dengan tatapan penuh selidik. "Habis dari mana?" tanyanya, suara serak khas orang yang baru bangun tidur. “Makan,” jawab Arsela singkat sambil berjalan melewati Arya, lalu duduk di sisi lain ranjang dan membuka laptopnya.Tawa mereka belum juga reda saat langkah mereka hampir melewati ruang dosen. Secara tak sengaja, mereka melihat Bu Weni keluar dari ruangan dengan wajah yang berbeda dari biasanya—lebih dingin, lebih kaku. “Eh, itu Bu Weni,” bisik Flo pelan. Refleks mereka menunduk, pura-pura sibuk dengan langkah masing-masing. Bu Weni lewat begitu saja, tanpa senyum ramah seperti biasanya. Bahkan tidak menyapa, padahal biasanya beliau paling cerewet menyapa mahasiswa, apalagi yang cewek-cewek. Kali ini? Datar. Dingin. Seolah ada tembok besar yang dipasang di wajahnya. “Wah, vibes-nya beda ya,” gumam Intan pelan, setelah Bu Weni cukup jauh. “Dingin banget. Padahal biasanya kalau lihat kita langsung senyum-senyum,” timpal Dwi. “Pasti karena gosip itu, deh,” ucap Flo yakin. “Gue yakin Bu Weni tuh ada rasa sama Pak Arya.” Arsela hanya diam. Ada rasa tak nyaman, apalagi mengingat semua yang terjadi belakangan ini terasa makin rumit. Bukan cuma statusnya yang harus disembunyikan, tapi juga reaksi-rea
Paginya, Arsela terbangun dan masih berada dalam pelukan Arya. Perlahan, ia melepaskan tangan Arya yang melingkar di tubuhnya. Matanya menatap lekat wajah sang suami. “Alis tebal, hidung mancung... membuat dia terlihat gagah. Aku ingin menolakmu semalam, tapi entah kenapa... saat berada di pelukanmu, hati kecilku merasa nyaman,” ucap Arsela lirih, masih memandangi wajah Arya yang tertidur. Setelah itu, ia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Suara pintu kamar mandi yang tertutup membuat Arya perlahan membuka matanya dan tersenyum sambil menatap pintu itu. “Astaga, jantung... untung dia nggak merasakannya,” gumam Arya sambil menyentuh dadanya yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Memang usia mereka terpaut jauh, tapi entah kenapa, bagi Arya, Arsela sangat menarik—lebih menarik dari wanita dewasa mana pun yang pernah ia temui. Arya percaya, takdir dan jodoh sudah ada yang mengatur. Pagi ini, karena Arya mengajar di kelas Arsela, mereka pun berangkat bersama ke kampus. T
Keduanya sarapan dalam keheningan. Arya tidak mengizinkan Arsela menyentuh piring kotor sebelum ia berangkat kerja. Dan pagi ini, seakan kurang repot, Arya malah menambah beban: menyuruh Arsela ini-itu sebelum pamit. "Aku nggak mau! Kalau kamu mau pergi kerja, ya pergi aja! Jangan bikin repot!" seru Arsela setengah kesal. Bagaimana tidak, Arya minta pamitan dengan pelukan perpisahan dan ciuman di kening. Sederhana, memang. Tapi bagi Arsela, itu sulit. Masih untung ia sudah cukup legowo menerima pernikahan ini, mau belajar beradaptasi. Tapi lihatlah—si tukang paksa itu, selalu menuntut lebih. "Apa? Mau nyium?" tantang Arsela saat melihat Arya mendekat. Pagi ini, kepercayaan dirinya seolah bangkit, tak gentar sedikit pun. "Ya udah, sini." Arya menarik pinggang Arsela dengan satu tangan, lalu menatap bibir mungil istrinya. "Ini bibir, kalau udah ngoceh, seperti ibu beranak sepuluh," godanya. "Lepas! Aku gak mau. Dasar mesum!" ucap Arsela tegas, meski tahu dirinya tak akan menang dal
Selesai makan malam, Arsela tidak ingin dibantu membersihkan piring kotor. Ia menyuruh Arya menjauh. Ya, Arya pun tak memaksa.“Kalau mau dibantu, bilang ya,” ucap Arya.“Nyuci piring aku bisa, nggak akan minta bantuan kamu,” jawab Arsela. Arya pun berlalu, membiarkan istrinya bergelut dengan piring kotor itu.Setelah itu, mereka kembali sibuk dengan aktivitas masing-masing. Arsela melanjutkan tugas kuliahnya, sementara Arya fokus dengan pekerjaannya. Tapi, bukan di kamar—Arya memilih duduk di ruang tamu.“Akhirnya selesai juga,” ucap Arsela, merebahkan tubuhnya di sofa. Arya sempat melirik, tapi kembali fokus.“Kalau mau tidur, tidur aja dulu. Nggak perlu nungguin aku,” ucap Arya sambil tetap menatap layar laptopnya.Arsela tidak langsung menjawab. Ia terdiam cukup lama.“Pak Arya?” panggil Arsela, membuat sang empunya nama menoleh, lalu meletakkan laptop di meja dan memiringkan tubuh menghadap istrinya.Arya menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya pelan. “Sebelum kita lanjut
Arsela hanya mengaduk-aduk nasi goreng buatan suaminya. Bukan tidak enak, tapi ucapan Bu Ningsih tadi membuat dirinya berpikir, takut pernikahannya dengan Arya terbongkar dalam waktu dekat."Arsela, kamu kenapa? Masakan mama kamu tidak enak? Atau ada yang sedang mengganggu pikiranmu?" tanya Dwi. Tapi, jika nasi goreng itu tidak enak, Dwi yakin itu tidak benar. Dari baunya saja sudah membuat Dwi tergoda."Bukan gitu, Dwi. Hanya saja ada yang mengganggu pikiranku," ucap Arsela, memasukkan sesendok nasi goreng itu ke mulutnya."Arsela... mmm, boleh minta nasi goreng kamu nggak?" tanya Dwi, tidak bisa menahan godaan dari wanginya. Persetan dengan malu, yang penting ia bisa mencicip nasi goreng Arsela yang berani menggoda mulutnya."Eh, boleh. Ini." Arsela sedikit mendorong bekalnya agar lebih dekat dengan Dwi.Mata Dwi bersinar tatkala nasi goreng tersebut menari di lidahnya. Sekali dua kali suapan rasanya Dwi tidak puas, tapi dia masih tahu diri bahwa nasi goreng buatan mamanya Arsela it
Berada di kamar yang sama seharusnya membuat Arsela merasa tidak nyaman—apalagi bersama pria yang dulu hanya ia pandang sebagai sosok terhormat di kampus. Tapi kini, pria itu bukan hanya dosennya. Dia adalah suaminya. Suami sah yang menyandang status baru di hidup Arsela.Kalau boleh jujur, awalnya Arsela canggung berbagi ruang dengan Arya. Tapi karena Arya tidak melakukan hal-hal yang membuatnya risih, perlahan rasa tak nyaman itu menghilang. Ia mulai terbiasa.Ya, walaupun pria itu pernah mengambil ciuman pertamanya—mirisnya, tanpa izin pula. Jika dulu kamar adalah wilayah kekuasaannya, sekarang tidak lagi. Kini ia berada di kamar Arya.Sejak tadi, mereka sibuk dengan dunia masing-masing. Arsela tenggelam dalam tugas kuliahnya, sementara Arya fokus dengan pekerjaannya. Dari tempat tidur, Arsela melirik ke arah meja kerja, memperhatikan sosok Arya yang serius mengetik, sesekali membetulkan letak kacamatanya.“Dia pekerja keras,” gumam Arsela dalam hati, mengagumi dalam diam.Arya men