Share

Kecewa

Auteur: Mini
last update Dernière mise à jour: 2025-05-21 07:28:28

"Ternyata masih ingat jalan pulang juga kamu," sindir sang bunda saat melihat anak lajangnya tiba di rumah setelah sekian lama. Wanita itu membetulkan letak kacamatanya sambil melirik sekilas putranya.

"Pulang salah, nggak pulang juga salah," balas Arya santai, duduk di sofa dan melonggarkan dasinya. "Mama kelihatan sehat sekali," tambahnya, berusaha mencairkan suasana.

"Apa kamu berharap bundamu ini sakit keras, hah?" sahut sang bunda dengan nada sengit, lalu melempar bantal ke arah Arya.

"Bukan begitu, Bun. Tapi, kan, Bunda sendiri yang bilang lagi kurang sehat..."

"Kurang sehat bukan berarti sekarat, Devara Aryasatya Wiratama! Kenapa darah Wira itu begitu melekat di tubuhmu?" gerutu sang bunda, menyebut nama mendiang suaminya. Arya memang begitu mirip dengannya, seperti salinan yang hidup.

"Papa aku kan memang suami Bunda," ujar Arya santai, seakan tidak merasa bersalah.

"Sudah, sekarang mana istri yang kamu bilang kemarin? Kenapa kamu datang sendiri? Jangan bilang kamu tidak serius mau mengenalkannya padaku."

Arya menghela napas. "Calon, Bun. Bukan istri."

"Kamu pikir Bunda salah dengar? Kamu jelas bilang istri, bukan calon istri!" protes sang bunda keras kepala.

"Kemarin sinyalku jelek kayaknya, Bun. Makanya Bunda salah dengar. Tapi kalau Bunda mau, malam ini kita bisa ke rumahnya. Silaturahmi."

Kalimat Arya membuat senyum merekah di wajah wanita paruh baya itu. Ia segera berpindah duduk mendekat ke putranya.

"Benarkah? Perlu Bunda siapkan sesuatu?"

"Nggak usah, Bun. Aku sudah atur semuanya. Malam ini kita ke rumahnya, di kediaman Mahen."

"Mahen?" Bunda terdiam sejenak. "Nama itu nggak asing."

"Ya, Bunda akan punya menantu dari keluarga Mahendra."

Raut wajah sang bunda makin cerah. Siapa yang tak kenal keluarga Mahendra—dikenal baik, dermawan, walau ia hanya mendengar kabar itu dari cerita orang.

---

Sementara itu, Arsela tidak kembali ke kos. Ia hanya mampir sebentar mengambil keperluan pribadi. Mulai hari ini, ia akan diantar-jemput oleh sopir pribadi sesuai perintah sang papa.

Sesampainya di rumah, Arsela mengurung diri di kamar. Ia menolak keluar, bahkan hingga malam hari. Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya.

"Dek, ada yang mau ketemu kamu," ujar kakaknya, Yogi, dari balik pintu.

"Aku sibuk, Kak. Suruh saja pulang," sahut Arsela datar dari dalam.

"Dek, buka dulu pintunya. Mama dan Papa nunggu di bawah. Jangan buat mereka menunggu lebih lama." Yogi pun akhirnya menyerah dan pergi.

Di ruang tamu, Arya dan bundanya sedang berbincang ringan dengan orang tua Arsela. Tak ada satu pun yang menyinggung insiden malam kemarin.

Arsela mendengar tawa lembut seorang wanita asing di rumahnya. Ia turun perlahan dari tangga, tak menghiraukan tatapan dingin dari Arya. Dengan hanya mengenakan celana pendek selutut dan kaos oblong, ia menghampiri semua yang ada di ruang tamu.

"Duduk sini, Nak," ucap mama, menyuruh Arsela duduk. Tanpa ekspresi, Arsela menurut, bahkan tak melirik Arya sedikit pun.

"Dia yang kamu maksud?" tanya sang bunda kepada Arya. Laki-laki itu hanya mengangguk. Sang bunda menatap tajam gadis yang disebut-sebut akan menjadi menantunya.

"Apa kabar, Nak? Senang akhirnya bisa bertemu langsung," sapa sang bunda ramah. Namun, Arsela hanya melirik tanpa menjawab.

"Ela!" tegur sang papa tajam.

"Langsung saja ke intinya. Kedatangan Anda ke sini untuk apa?" tanya Arsela dingin, membuat suasana canggung.

"Ela! Di mana sopan santunmu?!" sang papa geram. "Maafkan anak kami, Ny. Wira," ujarnya malu.

"Khem... saya langsung ke intinya. Saya datang ingin melamar putri Om dan Tante. Semoga niat baik saya diterima," ucap Arya lantang.

Suasana langsung hening. Semua orang mencoba mencerna perkataan Arya. Namun...

"Cih! Aku muak dengan semua ini!" seru Arsela. Semua mata tertuju padanya.

"Kenapa kalian semua melihatku seperti itu?"

"Ela, kenapa kamu jadi tidak sopan seperti ini, Nak? Masih untung Arya ingin menikahimu!" seru mama, frustasi.

"Untung? Yang untung itu dia, Ma, bukan aku!" ujar Arsela lantang.

Plak!

Tamparan keras mendarat di pipinya. Kali ini dari sang papa.

"Papa nampar Ela?" suara Arsela lirih, tak percaya. Semalam mamanya, kini

papanya sendiri. Ia menahan tangis, tapi air matanya tetap jatuh tanpa izin.

"Puas kamu? Lihat aku ditampar kedua orang tuaku, hah?! Puas kamu?!" teriaknya pada Arya yang duduk diam tanpa ekspresi.

"Ela!"

"Apa, Pa?! Mau tampar aku lagi?! Silakan! Tapi sampai kapanpun, aku nggak akan pernah sudi menikah dengan dia!"

Bunda Arya hanya diam. Ia tidak menyangka akan menyaksikan drama keluarga seperti ini. Ada yang janggal. Kenapa Arya, yang biasanya keras, kini justru diam saja?

"Apa karena dia bilang sering ke kosku, lalu Mama Papa percaya begitu saja?" tanya Arsela getir. "Mama Papa nggak sebodoh itu untuk dibohongi. Tanya saja penghuni kos, tanya Ibu kos. Aku jamin, nggak ada yang bisa memastikan kalau pria ini sering datang!"

Ia berkata begitu karena merasa benar—karena ia tak mau diinjak-injak begitu saja.

"ARSELA, CUKUP!!"

Yogi, yang awalnya hanya lewat, tak sengaja mendengar teriakan Arsela kepada kedua orang tua mereka.

"Apa ini yang kamu dapat dari dunia luar, Arsela?" tanyanya, kecewa. Tatapannya tajam, seolah tak mengenali adiknya sendiri.

"Apa Kakak juga akan menamparku?" tanya Arsela pilu, air matanya menggantung. Tapi Yogi hanya menatap, tanpa menjawab, mempertanyakan kemana perginya sopan santun adiknya.

Sekarang, siapa lagi tempat Arsela berlari? Kedua orang tuanya menamparnya. Kakaknya mempertanyakan sikapnya. Tak seorang pun menyalahkan pria itu—pria yang membuat semuanya berantakan.

Dengan penuh amarah, Arsela memukul Arya. Beberapa kali. Namun Arya tak menangkis, tak melawan, hanya diam membiarkan pukulan itu mendarat.

Bunda Arya sontak berdiri dan menarik Arsela menjauh.

"Apa yang kamu lakukan! Berhenti memukul anak saya!" teriaknya marah. "Kenapa kamu diam saja, Arya?!"

"Bunda, biarkan. Biarkan dia meluapkan semuanya malam ini. Aku tak ingin membebaninya lebih jauh… Karena semua ini berawal dari kesalahanku."

Perkataan Arya membuat Arsela makin muak. Dosen yang kini menyebut dirinya calon suami, berbicara seolah malaikat, tapi tersenyum puas seolah telah memenangkan sesuatu.

"Keputusan Papa sudah bulat!" ucap sang ayah keras. "Besok kamu akan menikah dengan Arya, titik!"

"Tidak!" potong Ny. Wira, tajam. "Saya tidak merestui hubungan ini. Saya tidak sudi punya menantu yang tak punya sopan santun! Ternyata gosip tentang keluarga kalian, hanya isapan jempol!"

Arsela tersenyum tipis. Akhirnya, ada satu suara yang berpihak padanya. Tapi senyuman itu sirna saat Arya mendekat dan berbisik:

"Aku tak butuh restu Bunda… Aku hanya ingin Arsela jadi istriku, apapun risikonya."

Bisikan itu hanya didengar oleh Bunda dan Arsela. Orang tua Arsela hanya mendengar samar-samar.

Arya lalu berdiri, membungkuk sopan ke hadapan Tuan dan Nyonya Mahendra.

"Terima kasih, Om, Tante. Saya akan mempersiapkan semuanya untuk esok hari."

Dan tanpa menoleh lagi, Arya melangkah pergi, meninggalkan kediaman Mahendra dalam kekacauan yang baru saja ia ciptakan.

Rasanya, napas Arsela di ujung tanduk, sangat sesak, bercampur aduk. Dunianya seakan runtuh..

" Papa kecewa sama kamu"

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Kebaikanku, permainanmu.   16

    Tawa mereka belum juga reda saat langkah mereka hampir melewati ruang dosen. Secara tak sengaja, mereka melihat Bu Weni keluar dari ruangan dengan wajah yang berbeda dari biasanya—lebih dingin, lebih kaku. “Eh, itu Bu Weni,” bisik Flo pelan. Refleks mereka menunduk, pura-pura sibuk dengan langkah masing-masing. Bu Weni lewat begitu saja, tanpa senyum ramah seperti biasanya. Bahkan tidak menyapa, padahal biasanya beliau paling cerewet menyapa mahasiswa, apalagi yang cewek-cewek. Kali ini? Datar. Dingin. Seolah ada tembok besar yang dipasang di wajahnya. “Wah, vibes-nya beda ya,” gumam Intan pelan, setelah Bu Weni cukup jauh. “Dingin banget. Padahal biasanya kalau lihat kita langsung senyum-senyum,” timpal Dwi. “Pasti karena gosip itu, deh,” ucap Flo yakin. “Gue yakin Bu Weni tuh ada rasa sama Pak Arya.” Arsela hanya diam. Ada rasa tak nyaman, apalagi mengingat semua yang terjadi belakangan ini terasa makin rumit. Bukan cuma statusnya yang harus disembunyikan, tapi juga reaksi-rea

  • Kebaikanku, permainanmu.   15

    Paginya, Arsela terbangun dan masih berada dalam pelukan Arya. Perlahan, ia melepaskan tangan Arya yang melingkar di tubuhnya. Matanya menatap lekat wajah sang suami. “Alis tebal, hidung mancung... membuat dia terlihat gagah. Aku ingin menolakmu semalam, tapi entah kenapa... saat berada di pelukanmu, hati kecilku merasa nyaman,” ucap Arsela lirih, masih memandangi wajah Arya yang tertidur. Setelah itu, ia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Suara pintu kamar mandi yang tertutup membuat Arya perlahan membuka matanya dan tersenyum sambil menatap pintu itu. “Astaga, jantung... untung dia nggak merasakannya,” gumam Arya sambil menyentuh dadanya yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Memang usia mereka terpaut jauh, tapi entah kenapa, bagi Arya, Arsela sangat menarik—lebih menarik dari wanita dewasa mana pun yang pernah ia temui. Arya percaya, takdir dan jodoh sudah ada yang mengatur. Pagi ini, karena Arya mengajar di kelas Arsela, mereka pun berangkat bersama ke kampus. T

  • Kebaikanku, permainanmu.   14

    Keduanya sarapan dalam keheningan. Arya tidak mengizinkan Arsela menyentuh piring kotor sebelum ia berangkat kerja. Dan pagi ini, seakan kurang repot, Arya malah menambah beban: menyuruh Arsela ini-itu sebelum pamit. "Aku nggak mau! Kalau kamu mau pergi kerja, ya pergi aja! Jangan bikin repot!" seru Arsela setengah kesal. Bagaimana tidak, Arya minta pamitan dengan pelukan perpisahan dan ciuman di kening. Sederhana, memang. Tapi bagi Arsela, itu sulit. Masih untung ia sudah cukup legowo menerima pernikahan ini, mau belajar beradaptasi. Tapi lihatlah—si tukang paksa itu, selalu menuntut lebih. "Apa? Mau nyium?" tantang Arsela saat melihat Arya mendekat. Pagi ini, kepercayaan dirinya seolah bangkit, tak gentar sedikit pun. "Ya udah, sini." Arya menarik pinggang Arsela dengan satu tangan, lalu menatap bibir mungil istrinya. "Ini bibir, kalau udah ngoceh, seperti ibu beranak sepuluh," godanya. "Lepas! Aku gak mau. Dasar mesum!" ucap Arsela tegas, meski tahu dirinya tak akan menang dal

  • Kebaikanku, permainanmu.   12

    Selesai makan malam, Arsela tidak ingin dibantu membersihkan piring kotor. Ia menyuruh Arya menjauh. Ya, Arya pun tak memaksa.“Kalau mau dibantu, bilang ya,” ucap Arya.“Nyuci piring aku bisa, nggak akan minta bantuan kamu,” jawab Arsela. Arya pun berlalu, membiarkan istrinya bergelut dengan piring kotor itu.Setelah itu, mereka kembali sibuk dengan aktivitas masing-masing. Arsela melanjutkan tugas kuliahnya, sementara Arya fokus dengan pekerjaannya. Tapi, bukan di kamar—Arya memilih duduk di ruang tamu.“Akhirnya selesai juga,” ucap Arsela, merebahkan tubuhnya di sofa. Arya sempat melirik, tapi kembali fokus.“Kalau mau tidur, tidur aja dulu. Nggak perlu nungguin aku,” ucap Arya sambil tetap menatap layar laptopnya.Arsela tidak langsung menjawab. Ia terdiam cukup lama.“Pak Arya?” panggil Arsela, membuat sang empunya nama menoleh, lalu meletakkan laptop di meja dan memiringkan tubuh menghadap istrinya.Arya menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya pelan. “Sebelum kita lanjut

  • Kebaikanku, permainanmu.   11

    Arsela hanya mengaduk-aduk nasi goreng buatan suaminya. Bukan tidak enak, tapi ucapan Bu Ningsih tadi membuat dirinya berpikir, takut pernikahannya dengan Arya terbongkar dalam waktu dekat."Arsela, kamu kenapa? Masakan mama kamu tidak enak? Atau ada yang sedang mengganggu pikiranmu?" tanya Dwi. Tapi, jika nasi goreng itu tidak enak, Dwi yakin itu tidak benar. Dari baunya saja sudah membuat Dwi tergoda."Bukan gitu, Dwi. Hanya saja ada yang mengganggu pikiranku," ucap Arsela, memasukkan sesendok nasi goreng itu ke mulutnya."Arsela... mmm, boleh minta nasi goreng kamu nggak?" tanya Dwi, tidak bisa menahan godaan dari wanginya. Persetan dengan malu, yang penting ia bisa mencicip nasi goreng Arsela yang berani menggoda mulutnya."Eh, boleh. Ini." Arsela sedikit mendorong bekalnya agar lebih dekat dengan Dwi.Mata Dwi bersinar tatkala nasi goreng tersebut menari di lidahnya. Sekali dua kali suapan rasanya Dwi tidak puas, tapi dia masih tahu diri bahwa nasi goreng buatan mamanya Arsela it

  • Kebaikanku, permainanmu.   Dia kerja keras

    Berada di kamar yang sama seharusnya membuat Arsela merasa tidak nyaman—apalagi bersama pria yang dulu hanya ia pandang sebagai sosok terhormat di kampus. Tapi kini, pria itu bukan hanya dosennya. Dia adalah suaminya. Suami sah yang menyandang status baru di hidup Arsela.Kalau boleh jujur, awalnya Arsela canggung berbagi ruang dengan Arya. Tapi karena Arya tidak melakukan hal-hal yang membuatnya risih, perlahan rasa tak nyaman itu menghilang. Ia mulai terbiasa.Ya, walaupun pria itu pernah mengambil ciuman pertamanya—mirisnya, tanpa izin pula. Jika dulu kamar adalah wilayah kekuasaannya, sekarang tidak lagi. Kini ia berada di kamar Arya.Sejak tadi, mereka sibuk dengan dunia masing-masing. Arsela tenggelam dalam tugas kuliahnya, sementara Arya fokus dengan pekerjaannya. Dari tempat tidur, Arsela melirik ke arah meja kerja, memperhatikan sosok Arya yang serius mengetik, sesekali membetulkan letak kacamatanya.“Dia pekerja keras,” gumam Arsela dalam hati, mengagumi dalam diam.Arya men

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status