Azizah kembali pulang ke rumah bersama Arlin setelah beberapa hari berlalu. Arlin sangat bahagia bisa bertemu lagi dengan Darino, wajahnya memancarkan keceriaan yang sudah lama hilang.
"Papa!" seru Arlin sambil berlari ke pelukan Darino yang sudah menunggu di ruang tamu dengan wajah penuh harap.
Darino merangkul putrinya erat-erat, merasakan kehangatan keluarga yang hampir hilang. "Arlin, Papa rindu sekali padamu," katanya dengan suara bergetar, matanya berkaca-kaca melihat kebahagiaan putrinya. Dia mengecup kedua pipi putrinya dan tersenyum terharu.
Azizah berdiri di belakang, menatap momen tersebut dengan hati yang campur aduk. Meski ia masih menyimpan kekecewaan dan kemarahan, ia tahu bahwa pertemuan ini penting bagi Arlin.
Setelah beberapa saat, ia mengambil napas dalam-dalam dan melangkah maju. "Darino, kita perlu bicara," katanya dengan nada tegas tapi tenang.
Darino menatap Azizah dengan tatapan penuh harap. "Tentu, Azizah. Aku siap menjelaskan semuanya."
Mereka berdua duduk di sofa, Arlin bermain dengan mainannya di sudut ruangan, bahagia dalam ketidaktahuan. Azizah menipiskan bibirnya, menatap Darino yang terdiam disisi kanannya.
“Pulpen itu milik mahasiswiku yang aku pinjam karena aku lupa untuk membawa pulpenku yang tertinggal dan saat itu aku harus mengkoreksi tugas mereka,” jelas Darino setelah mengumpulkan keberanian.
“Dua hari setelahnya, pas aku selesai kelas sore, salah satu mahasiswiku itu datang ke ruangan untuk meminta kembali pulpen yang sempat aku umumkan di sosial media yang aku punya,” tambahnya dengan tutur katanya yang lembut.
Azizah mengerjapkan kedua matanya, mendengarkan suaminya yang sedang berbicara, dan memperhatikan kedua mata pria yang sudah bersamanya hampir tujuh tahun ini. Azizah tahu bagaimana Darino berbohong, dan saat ini pria itu tidak berbohong.
Ya, Darino mengatakan yang sejujurnya.
“Bagaimana caranya kamu kefikiran untuk mengumumkan di sosial media? Itu aneh menurutku karena hanya sebuah pulpen.”
Darino menghela nafas beratnya, meraih dan menggenggam tangan sang istri cukup erat. Bayangan tentang dirinya di kurung di sebuah gudang, Azizah yang mengatakan ingin cerai dan Azizah pergi bersama pria lain, sudah menghantui fikirannya selama dua hari.
“Kamu meminta cerai dan kamu memilih pria lain,” ucap Darino, menatap Azizah yang terdiam sejenak. Cukup lama, sekitar sepuluh detik lalu terdengar suara tertawa milik Azizah yang berhasil membuat Darino mendelik.
“Kamu mimpi?” tanya Azizah setelah tawanya bisa dikendalikan. Darino hanya menjawabnya dengan bergumam pelan. “Aku sedang hamil. Bagaimana bisa aku mengajukan cerai? Sudah pasti ditolak,” imbuhnya.
Darino terdiam sejenak. Apa yang dikatakan Azizah memang benar. Jika istri sedang hamil, tidak boleh mengajukan gugatann cerai ke pengadilan, setelah bayi lahir boleh kembali mengajukan gugatan jika memang sudah tidak bisa dipertahankan.
Azizah menaruh tangan kirinya diatas tangan Darino, seperti bertumpuk. Ia tersenyum kepada sang suami yang sedang menatapnya. Saat dirinya ingin bersuara, ponsel milik Darino membuatnya dan sang empu menoleh.
PRANG!
Dengan gerakan cepat, Azizah meraih ponsel tersebut dan melemparkannya ke lantai, menghancurkan layar ponsel itu menjadi serpihan.
"AZIZAH … Kenapa kamu lakukan itu?" teriak Darin, suaranya penuh dengan kemarahan dan frustasi. "Itu hapeku! Kamu tidak bisa sembarangan merusaknya!" tambahnya dengan emosi yang sudah tidak bisa ditahan.
Azizah menatap Darino dengan mata berkilat marah. "Ini semua karena dia, Darino! Setiap kali kita mencoba berbicara, selalu ada Carisa yang mengganggu!" Suaranya menggema di ruangan, membuat Arlin yang sedang bermain berhenti sejenak dan menatap bingung ke arah orang tuanya.
Darino berdiri, menahan diri untuk tidak membalas kemarahan Azizah dengan lebih banyak kemarahan. "Azizah, kamu harus tenang. Aku tahu ini sulit, tapi merusak ponsel tidak akan menyelesaikan apa-apa. Kita harus bicara dengan kepala dingin."
Azizah menghela napas berat, air mata mulai menggenang di matanya. "Aku ingn memperbaiki hubungan kita yang sempat renggang, dan dirusak sama Carisa. Kamu tahu? Aku datang dengan nekat disaat Mommy dan Daddy melarangku untuk kembali ke rumah ini!."
Darino mendekat, berusaha meraih tangan Azizah, namun Azizah menepisnya. “Azizah ….” Suaranya selembut sutra, tidak ada lagi nada tinggi seperti sebelumnya, ia sedang menahan diri untuk tidak menyakiti Azizah.
Di tengah ketegangan itu, Arlin datang mendekat, menarik-narik baju mamanya. "Mama, Papa, kenapa kalian bertengkar?" tanyanya dengan wajah polos, membuat suasana menjadi lebih berat.
Azizah mengusap kepala Arlin, berusaha tersenyum meski hatinya terasa hancur. "Tidak apa-apa, Sayang. Mama dan Papa hanya sedang berbicara."
Melihat putrinya, Azizah menyadari bahwa apapun yang terjadi, keluarga mereka harus tetap utuh. Ia menempatkan kedua tangannya di kedua bahu Arlin, lalu berkata, “Kamu masuk kamar yaa. Cuci muka, sikat gigi, nanti Mama bawakan susu hangat untukmu.”
Arlin tersenyum lebar, kepalanya mengangguk-angguk dan mendekati sudut ruangan untuk dibereskan sebelum akhirnya menaiki anak tangga untuk tiba di kamar miliknya.
“Azizah … maafkan aku kar–”
Azizah mengangkat tangannya ke udara, menghela nafas panjangnya. Ia menoleh untuk bisa bertatapan dengan Darino yang menghentikan ucapan dan menatapnya dengan tatapan bersalah.
“Kita bicara lagi besok. Malam ini aku tidur bersama Arlin. Selamat malam.”
Setelah mengatakan hal tersebut, Azizah berdiri dan melenggang pergi dengan membawa koper miliknya. Menghindar dan menenangkan fikiran pada malam ini merupakan pilihan yang terbaik untuk mereka.
Azizah berhenti sejenak untuk menengadahkan wajahnya supaya tidak ada airmata yang mengalir, dia tidak ingin Arlin ikut bersedih jika melihat dirinya menangis. Sedangkan Darino berdiri kaku di ruang tamu, tanpa disadari kedua matanya berkaca-kaca.
“Maaf aku sudah membentakmu ….” lirih pria itu setelah Azizah menaiki anak tanga satu persatu hingga masuk ke salah kamar yang ada di lantai dua.
*
Azizah duduk sendirian di sudut kamar, cahaya redup dari lampu malam menerangi wajahnya yang termenung. Ia memegang ponsel dengan jemari yang gemetar, mengingat momen-momen ketegangan dengan Darino.
Dalam keheningan malam, Azizah merasa berat karena telah berburuk sangka terhadap suaminya sendiri. Nafasnya terhela dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Malam ini, Azizah bertekad untuk memperbaiki hubungan mereka, apapun yang terjadi.
Esoknya, saat matahari mulai menyinari rumah mereka dengan lembut, Azizah dan Darino duduk di ruang tamu. Dengan hati-hati, mereka mulai berbicara. "Darino, aku minta maaf," suara Azizah lembut namun penuh dengan ketulusan. "Aku merasa bersalah karena telah berburuk sangka padamu."
Darino menatap Azizah dengan mata yang lembut, kemudian mengangguk pelan. "Aku juga minta maaf, Azizah. Seharusnya aku lebih bisa menahan emosiku."
Suara Darino terdengar penuh penyesalan, namun ada harapan di dalamnya. Mereka berbicara panjang lebar, menyuarakan semua kekhawatiran dan perasaan yang telah lama terpendam.
"Aku ingin hubungan kita kembali seperti dulu," kata Azizah pelan, menatap mata Darino dengan penuh harap.
"Aku juga, Azizah. Aku ingin kita lebih kuat dari sebelumnya," jawab Darino. Ia memberikan ponselnya kepada sang istri, “Aku membeli baru dan nomor baru. Hanya ada nomor kamu dan rekan sesama dosen.”
Azizah tertegun sejenak, namun kemudian senyum lega muncul di wajahnya. "Lalu bagaimana dengan data-data kamu? Pastinya penting, kan?” tanyanya setelah membuka ponsel milik suaminya.
“Aku menyimpannya di email, jadi bisa aku pulihkan setelah masuk menggunakan email. Tidak apa-apa, bukan suatu masalah yang besar,” tutur Darino dengan suara lembut, membelai surai panjang wanitanya.
Azizah terdiam sejenak, tatapannya menajam membaca pesan masuk dari nomor baru.
“Mas ….”
“Ya, Sayang?”
“Carisa punya nomor baru kamu?”
Fernandra tersenyum manis menatap sosok wanita yang sudah ia tunggu satu jam yang lalu. Azizah, wanita itu datang seorang diri ke sebuah restaurant yang lokasinya dibagikan oleh Fernandra.Setibanya di restaurant, Azizah seperti seseorang yang terkena hipnotis. Hanya diam tanpa bersuara, bahkan ia lupa akan tujuannya bertemu dengan Fernandra saat ini.Fernandra menaikkan sebelah alisnya, “Azizah … kamu baik-baik saja, kan? Tidak ada halangan selama perjalanan?” tanyanya penuh khawatir.“Ya ….” Azizah tersadar, lantas berdeham lalu menegakkan tubuhnya. Fokusnya terkunci hanya kepada Fernandra yang duduk berhadapan dengannya dengan gaya santai, dan bisa dilihat dari pakaian pria itu, sangat formal. Sudah jelas, Fernandra belum kembali ke rumah.“Kamu tahu di kampus tempat suamiku mengajar itu ada masalah?” tanyanya to the point, mengingat tidak ada waktu untuk basa-basi. “Aku rasa, kamu tahu tentang itu,” imbuhnya karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari pria yang sedang bersamanya s
Azizah mengirim pesan kepada Fernandra, mengatakan bahwa dirinya ingin bertemu sebelum suaminya bertemu dengan Fernandra nanti malam. Ia tidak tenang dihantui oleh rasa penasarannya tentang kecurangan di salah satu universitas tempat suaminya mengajar.Tidak butuh waktu lama, Azizah mendapatkan balasan dari Fernandra, masalalunya itu mengirimkan lokasi sebuah restaurant yang letaknya cukup jauh dari rumahnya saat ini. Lebih tepatnya, restauran terdekat dari rumah Fernandra.Wanita itu melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 11:00, menggigit bibir bawahnya dan berfikir ulang. Haruskah ia pergi sekarang disaat Darino sedang menjemput Arlin? Sedangkan waktunya sangat mepet.“Tidak, bukan sekarang. Nanti aku hubungi,” monolognya dengan jari lentik yang menari pada layar ponsel yang menampilkan room chat antara dirinya dan Fernandra yang sedang online.Azizah benar-benar menunggu balasan Fernandra, karena ia memanfaatkan waktu yang ada. Fernandra bukan pria yang banyak waktu luang, jadi
Beberapa hari kemudian ….Darino menghela nafas setibanya di rumah. Ia menyandarkan kepala pada sandaran sofa dengan kedua mata yang terpejam. Hanya beberapa detik, karena merasakan sofa yang ada di sisinya bergerak.Ketika pria itu membuka kedua mata, terlihat sosok perempuan yang tersenyum manis kepadanya. Darino menegakkan tubuhnya, membalas senyuman sang istri.“Tidak bilang kalau pulang cepat?” tanya Azizah dengan wajah bingung, tetapi masih tetap mempertahankan senyumannya, karena ia tahu mood suaminya sedang tidak baik-baik saja. Terlihat dari ekspresi wajah sang suami yang murung, dan tidak cerah seperti biasanya.“Ada masalah sedikit tadi di kampus, jadinya semua dosen dan mahasiswanya dipulangkan,” jelas Darino, menatap Azizah dengan tangannya yang mengusap punggung tang sang istri.Azizah bergeming, mencoba untuk mencerna apa yang dikatakan oleh suaminya. Berusaha untuk menerka-nerka, masalah apa yang sedang terjadi di sebuah universitas sehingga mengharuskan dosen dan maha
Azizah terdiam, menatap barang-barang yang berada di bagasi mobilnya. Ia benar-benar membawa barang-barang tersebut ke rumah orangtuanya, karena Fernandra memaksa dan mengancamnya. Tidak ada pilihan lain selain meng-iya-kan apa yang dikatakan oleh Fernandra, daripada merusak suasana atau memperburuk keadaan.“Maaf ….” gumamnya penuh penyesalan, menunduk dan mencengkram kuat kardus tersebut. Tanpa disadari olehnya, air matanya turun membasahi pipi. Seketika saat itu juga ia tersadar, lalu mengangkat kardus itu masuk ke dalam rumah lewat pintu samping.“Sayang … kok ke sini?”Azizah mengulas senyumnya saat berpapasan dengan mommynya di ruang tengah, “Ada barang yang harus aku taruh di gudang, Mom.” Atensinya melirik kardus yang berada dalam dekapannya, sehingga membuat mommynya mengikuti lirikannya.Mommy menaikkan sebelah alisnya, kembali menatap Azizah yang tersenyum lalu meninggalkannya begitu saja tanpa sepatah katapun. Rasa penasarannya tinggi, membuatnya mengikuti langkah putrinya
Fernandra tersenyum lebar menyambut kedatangan Azizah, walaupun ia sangat tahu wanitanya itu datang dengan perasaan yang marah, karena melihat wajah Azizah yang memerah. Tetapi itu bukan masalah untuknya.“Mau kamu apa sih?!”Fernandra bergumam pelan, sedikit membungkukkan punggungnya, mensejajarkan wajahnya dengan wajah Azizah yang menatap tajam kepadanya. “Kalau aku bilang, memangnya kamu akan memberikannya?” tanyanya dengan nada lembut, tersenyum penuh arti kepada Azizah.Azizah berdecak kesal, melipat kedua tangannya di depan dada. “Kamu ingin bermain-main denganku?” tanyanya penuh penekanan. Tidak ada raut wajah takut disaat tidak ada orang lain disekitarnya.“No. Aku sedang berusaha,” balas Fernandra, menaikkan dagu Azizah dengan jari telunjuknya. Ia menelisik wajah Azizah, lalu tersenyum dan kembali berkata, “Mengambil kembali yang seharusnya milikku.”Azizah menepisnya, membuat Fernandra terkekeh dan menegakkan kembali punggung pria itu. Ia bedecih, “Kamu belum sembuh, Nandra.
Azizah membuka pintu rawat yang tidak ada penjaganya. Lorong kosong, membuat keningnya mengkerut dan kedua alisnya bertaut. Sudah dicurigai olehnya bahwa telah terjadi sesuatu, dan kecurigaannya bertambah saat masuk ke dalam ruang rawat VIP, tidak menemukan Carisa di brankar.“Di kamar mandi, mungkin,” ucap Darino, berusaha untuk memberikan positif viber terhadap istrinya yang sudah berfikiran negatif.“Fernandra … kamu yakin dia ada di rumahnya?” tanya Azizah, menatap suaminya yang menganggukkan kepala, lantas memberikan ponsel miliknya. Tanpa pikir panjang, ia mengotak-ngatik ponselnya dan terhenti pada roomchat Fernandra.Tanpa pikir panjang, wanita itu menekan icon ‘panggilan suara’, seketika membuat Darino melebarkan kedua mata. Pria itu telat melarang Azizah untuk tidak menghubungi Fernandra. Dan yang bisa dilakukan oleh Darino hanya terdiam, diam-diam menghela nafasnya perlahan dengan kedua kaki yang menyisir setiap sudut ruang rawat ini.“Carisa hilang,” ucap Azizah setelah pa
Azizah menaikkan sebelah alisnya setelah membaca pesan yang dikirim oleh Carisa, pesan tersebut membuatnya bingung, antara harus percaya atau tidak.Carisa[Mungkin ini cara supaya semua ini cepat selesai, menurutku.][Fernandra tidak sebaik yang kamu fikir][Kalau aku tidak ada waktu untuk bertemu kalian, aku minta maaf yang sedalam-dalamnya. Aku tahu aku salah, dan aku akan hadir ke persidangan, kalau memang masih ada kesempatan]Azizah bergeming, menunggu pesan selanjutnya. Carisa sedang menunggu, dan ia sangat ingin tahu apa yang sedang terjadi.Ting![Darnius ada di tempat lain, dan itu rencana Fernandra supaya kamu dan dia terus berhubungan]Azizah menggigit bibir bawahnya tanpa sadar, emosinya mendidih, 50% percaya dan 50% tidak percaya. Kalau memang kenyataannya seperti itu, Fernandra masih belum sembuh, masalalunya itu masih sakit.[Darnius setuju tidak ada menghadiri persidangan. Aku akan tetap hadir. Jadi, kamu pasti tahu akhirnya seperti apa.]“Sayang ….”Azizah menoleh, m
Azizah menghela nafas lega setelah duduk di jok penumpang, ia menoleh ke sisi kanan lantas tersenyum saat suaminya menatapnya. “Lega bangett. Perasaan aku itu lebih plong setelah bicara sama Carisa,” tuturnya.Darino ikut tersenyum tipis melihat ekspresi wajah istrinya yang lebih cerah dibandingkan beberapa saat yang lalu. Raut wajah Azizah sangat tidak bersahabat sebelum bertemu Darnius dan Carisa, tetapi semua itu sirna setelah bertemu keduanya.“Kamu tidak membully mereka, kan?” tanya Darino, dijawab dengan gelengan kepala cepat. “Hanya bicara santai?” tanyanya, lagi.Azizah menganggukkan kepala, mengalihkan atensi menatap lurus ke depan. Ia dan suami masih berada di basement rumah sakit, belum pergi dari area rumah sakit. Hening, sunyi dan sedikit gelap, tidak membuatnya takut.“Aku cuma mengatakan apa yang seharusnya aku katakan,” ucap Azizah tanpa menoleh, memberi jeda sebelum akhirnya kembali berbicara. “Aku bilang sama Carisa, aku bisa membawa kasus ini ke jalur hukum, dan aku
Azizah membuka pintu ruangan dihadapannya saat ini, melangkah lebih masuk ke dalam ruangan VIP tempat Carisa dirawat. Tentunya diikuti oleh Darino yang setia melangkah dibelakang Azizah tanpa bersuara.“Azizah ….”Azizah tersenyum saat namanya dipanggil dengan sangat pelan, ia berdiri di sisi kiri brankar rumah sakit. Kedua matanya bertemu dengan kedua mata Carisa yang sedang menatapnya, mereka saling menatap satu sama lain selama tiga menit.“Bagaimana keadaanmu?” tanya Azizah dengan tenang, suaranya sangat lembut, kedua sudut bibirnya terangkat mengukir senyuman.“Kamu tahu darimana aku disini?” tanya Carisa tanpa menjawab pertanyaan dari Azizah, kedua matanya memperhatikan gerak-gerik wanita di sampingnya.Azizah bergumam pelan, “Fernandra. Dia yang nolongin kamu. Jadi wajarkan kalau aku tahu kamu disini?”Darino hanya terdiam memperhatikan kedua wanita di depan yang sedang berbicara. Raut wajahnya khawatir, bukan khawatir terhadap istrinya yang akan diapa-apakan Carisa, tetapi kha