Share

5 - Awal Mula

Tiga bulan lalu

Bima membenarkan posisi dasinya sambil berusaha mengatur napasnya yang tidak karuan. Jantungnya berdebar kencang dan telapak tangannya basah. Ini semua dikarenakan dia harus menemui klien penting di sebuah restoran yang ada di lantai 46.

Berkali-kali Bima berdeham seraya mensugesti dirinya agar tenang.

Di tengah ketegangan yang melanda dirinya, tiba-tiba saja pintu lift membuka perlahan.

Sudut matanya langsung menangkap sesosok wanita yang kini berdiri di sampingnya. Aroma parfum wanita itu menyerbak ke setiap sudut lift.

Kehadiran wanita itu membuat ketegangan Bima sedikit teralihkan. Karena hanya ada mereka berdua di dalam lift, pikiran kotor menyergap benak lelaki itu. Apalagi penampilan wanita itu sangat sensual.

Rok hitam di atas lutut yang dikenakan wanita itu memperlihatkan kakinya yang jenjang. Kemeja putihnya juga menerawang sehingga bra hitam wanita itu terlihat jelas.

Bima menelan ludahnya dalam-dalam.

Pria itu lantas tersontak saat wanita yang dipandanginya diam-diam menoleh ke arahnya.

Sontak Bima mengalihkan pandangannya ke sudut lift.

“Sialan!” pekiknya dalam hati.

Kening si wanita mengernyit. “Sepertinya kita pernah kenal?”

Bima terkesiap. “A-apa? Kenal?” Otaknya langsung bekerja, berusaha mengenali wajah wanita seksi di sampingnya ini.

Wanita itu tersenyum tipis. “Kamu pasti lupa denganku.”

Kedua alis Bima bertautan. “Benarkah? Kita pernah kenal di mana?”

“Aku Vania, sahabat lama istrimu, Mira. Aku pernah jadi bridesmaid-nya saat kalian menikah,” terangnya.

Bima memiringkan kepalanya sambil mengernyit. “Vania?”

Ting.

Pintu lift membuka perlahan. Kini mereka sampai di lantai 46. Kedua kaki mereka langsung melangkah keluar lift.

“Oh, kamu turun di lantai ini juga?” tanya Vania.

“Tunggu, kamu Vania yang itu?” Bima menyipitkan matanya.

“Iya, aku Vania yang dulu kerempeng itu,” balas Vania dengan nada satir.

“Ah, iya! Aku ingat sekarang. Well…sekarang kamu berubah,” ucap Bima kagum, memperhatikan penampilan sahabat lama istrinya itu.

Vania berdecak sambil berjalan di samping Bima. “Semua orang bilang begitu. Tapi people change, right?”

“Eh, kamu juga mau ke restoran itu juga?” Bima pun tersadar kalau mereka berjalan ke arah yang sama.

Vania mengangguk. “Aku ada meeting dengan klien di restoran ini.”

“Wah, aku juga.”

“Jangan-jangan jodoh,” gumam Vania lagi.

“Apa katamu?”

“Enggak,” Vania langsung menepiskan tangannya. “Aku bilang kebetulan banget.”

Bima hanya mengangguk-anggukkan kepala mendengarnya. Sampai akhirnya mereka sampai di depan meja pelayanan restoran yang mereka tuju.

“Untuk dua orang?” tanya pelayan dengan ramah.

Mereka langsung menggeleng dan berkata bahwa mereka sudah reservasi tempat secara terpisah.

“Mungkin pelayan itu mengira kita berkencan,” tandas Vania santai. Bima hanya menanggapinya dengan tertawa kecil.

“Senang berjumpa denganmu. Mungkin lain waktu kita bisa ngobrol lebih banyak lagi,” Bima melempar senyumnya.

“Baiklah,” Vania mengangguk, membalas senyum Bima. Saat Bima memutar tubuhnya, Vania menghela napas panjang. Jantungnya berdebar oleh senyuman pria itu, pria impiannya sejak lama.

*

Angin malam berembus kencang, membuat pohon-pohon di depan lobi bergoyang-goyang. Sesekali petir menyambar menerangi langit malam. Tidak butuh waktu lama hujan deras pun turun.

Vania menyandarkan punggungnya sambil memeriksa layar ponsel. Sudah lima belas menit dia menunggu di lobi karena tidak ada satu pun taksi online yang mau mengantarnya. Beberapa kali ordernya di-cancel.

Lantas, pandangannya beralih pada tetesan hujan yang semakin menjadi. Dia melirik jam tangannya. Sudah pukul delapan malam.

Tiba-tiba dia mendengar derap kaki yang mendekati dirinya.

“Vania,” ujar suara yang tidak asing itu.

Saat dia menoleh, Bima sudah berada di belakangnya. “Eh, Bima? Udah selesai meetingnya?”

“Baru saja. Tadi aku mengantar klienku yang orang Jepang ke mini market di lantai dasar. Katanya mereka mau beli teh kotak Indonesia. Aneh-aneh saja ya. Terus aku lihat kamu,” terang Bima.

“Mungkin di sana enggak ada teh kotak kali,” balas Vania.

Bima mengedikkan bahunya dan duduk di hadapan Vania. “Lagi nungguin pacar?”

“Oh, enggak. Aku enggak bawa mobil jadi aku nunggu taksi online. Tapi mungkin karena hujan jadi enggak ada yang mau ambil.”

“Gimana kalau aku anter kamu pulang?”

Vania terkesiap. Debaran jantungnya semakin menjadi. Dia tidak menyangka Bima akan menawarkan tumpangan padanya.

“Ta-tapi, apa enggak ngerepotin?”

“Memangnya kamu tinggal di mana?”

“Enggak jauh sih, hanya dua puluh menit dari sini,” ucap Vania.

“Ya sudah, lebih baik kuantar.Yuk,” Bima langsung beranjak dari sofanya. Dengan perasaan membuncah bahagia, Vania mengangguk dan mengeekor di samping Bima.

*

“Mira pasti kaget kalau aku ketemu sama sahabat lamanya,” Bima menukas dari balik kemudi. Sementara itu, mobil yang mereka tumpangi berjalan pelan menembus hujan dan genangan air yang mulai meninggi.

“Gimana kabar Mira?”

“Yah, dia sibuk mengurus anak kami Kiran,” jawab Bima sekenanya.

“Aku udah lama enggak menghubungi dia. Bahkan aku hanya kirim DM waktu Kiran lahir beberapa tahun lalu," suara Vania terdengar bersalah.

Tiba-tiba, ponsel Bima berdering kencang. Vania melirik dan mendapati nama istrinya Bima muncul di layar.

“Bim, jangan kasih tahu kalau kamu sedang bersamaku ya?” pinta Vania.

Kening Bima mengernyit. “Lho, kenapa?”

“Aku enggak enak kalau Mira tahu kamu mengantarku pulang.”

“Kurasa Mira enggak masalah soal itu. Kamu kan sahabatnya. Lagian dia pasti senang kalau bisa ngobrol sama kamu,” Bima berujar bingung.

Namun Vania tetap menggelengkan kepalanya. “Tolong, Bim. Jangan beri tahu Mira.”

Akhirnya Bima mengedikkan bahunya. “Baiklah, kalau itu memang maumu.”

Lantas, Bima mengangkat telepon dari istrinya itu. Vania mencuri dengar percakapan mereka. Terbesit rasa iri dalam hatinya. Seketika dia membayangkan kalau saja dirinya yang menjadi istri Bima.

“Hah, ternyata jalanan ke daerah rumahku tergenang air yang cukup dalam,” keluh Bima. “Mira bilang sebaiknya aku menginap di rumah orangtuaku saja.”

“Yah, hujannya memang cukup deras,” Vania memandang ke luar jendela. Tiba-tiba saja mobil Bima terhenti.

Seorang petugas lalu lintas mengetuk kaca mobil Bima dan menyuruhnya putar arah karena ada pohon tumbang yang melintang di jalan beberapa meter dari tempat mereka.

“Apa ada jalan lain menuju ke kosanmu itu?” Tanya Bima setelah memutar arah.

Vania terdiam sejenak. Setelah itu dia mengedikkan bahunya. “Bagaimana kalau kita singgah ke mana gitu?”

“Maksudmu?”

“Yah, menunggu hujan sedikit reda,” Vania memberi alasan. “Kamu enggak keberatan kan?”

“Hm, baiklah. Kamu ada ide kita harus kemana?”

“Gimana kalau kita ke bar aja. Aku tahu bar yang cozy di daerah sekitar sini,” Vania pun langsung mengecek ponselnya.

“Boleh juga. Kamu tunjukkan arahnya ya.”

Vania mengangguk. Seketika hatinya berbunga-bunga karena pada akhirnya dia bisa berduaan dengan Bima.

*

Gelas mereka saling beradu sebelum akhirnya mereka menyesap wine mahal yang dipesan Vania.

Rasa hangat langsung memenuhi tenggorokan Bima yang membuatnya berdecak pelan.

“Kamu enggak salah pilih wine, Van,” puji Bima mengangkat gelasnya.

Vania hanya tersenyum kecil. “Ini bar favoritku, jadi aku tahu merek wine mana yang berkualitas.”

“Kamu sering datang ke sini sama pacar?”

“Aku enggak punya pacar,” ucap Vania setelah menyesap wine-nya lagi.

“Masa cewek secantik kamu enggak punya pacar? Jangan-jangan kamu baru putus,” tukas Bima tidak percaya.

“Beneran. Aku jomblo, Bim. Kamu mau sama aku?”

Bima langsung terkesiap dengan pertanyaan itu. “Ma-maksudmu?”

Vania menepiskan telapak tangannya. “Aku bercanda, Bima. Masa aku tega mengkhinanati sahabatku sendiri.”

Bima pun tertawa mendengarnya. “Tapi Van, penampilanmu saat ini benar-benar membuatku pangling. Aku enggak percaya kamu Vania yang jadi bridesmaid-nya Mira. Yah, walaupun waktu itu kita enggak banyak bicara, tapi aku sekarang ingat betul wajahmu saat itu.”

“Aku tahu. Dulu aku jelek kan?”

“Bukan begitu, hanya saja…”

“Yah, penampilan itu segalanya, Bima. Aku bisa bekerja di kantorku sekarang bukan hanya dilihat dari kemampuanku aja, tapi juga dari tampangku. Aku sadar kalau aku masih kucel dan jelek seperti dulu, aku enggak akan mungkin dilirik orang,” ungkap Vania sambil menuangkan wine ke gelasnya dan juga Bima.

“Tapi enggak semua orang menilai penampilan fisik kok.” Bima lalu menenggak wine-nya

lagi.

“Benarkah? Apa kamu mau memilih aku dibanding Mira kalau dulu penampilanku enggak seperti yang sekarang ini?”

Bima hampir tersedak mendengar pertanyaan itu. “Astaga, Vania. Kenapa kamu bertanya seperti itu?”

“Aku penasaran aja. Sebenarnya, tampangmu enggak berubah, Bim.” Vania menatap lurus ke kedua bola mata Bima yang berwarna abu.

“Aku enggak nyangka kalau kamu dari dulu memperhatikanku,” kini Bima jadi salah tingkah.

“Itu karena kamu yang enggak melirikkku sama sekali,” timpal Vania.

Bima mengusap-usap tengkuknya. “Yah, waktu itu kita hanya bertemu di pernikahanku dengan Mira. Mira enggak suka mengenalkan aku dengan para sahabatnya. Dia takut kalau aku diambil teman-teman ceweknya itu. Aneh ya pemikirannya.”

“Tapi kurasa Mira ada benarnya juga.”

“Oh ya?”

Vania mengangguk sambil memainkan gelasnya. “Karena kamu itu tampan, Bim. Dan ketampananmu itu enggak berubah sampai sekarang.”

Bima tergelak. Tawanya terdengar begitu canggung sekarang.

“Sebenarnya, aku iri dengan Mira. Dia bisa mendapatkan suami yang tampan dan sukses seperti dirimu.”

“Vania, kurasa kamu kebanyakan minum wine,” ungkap Bima.

“Aku mengatakan yang sebenarnya, Bim.”

Lantas, Vania beranjak dari tempatnya dan duduk di samping Bima. Wanita itu mulai meraba paha Bima secara perlahan.

“Va-Vania…” Bima mulai tergagap begitu bibir ranum Vania mulai mendekati wajahnya.

“Bima, kamu begitu menawan…” bisik Vania.

Debaran jantung Bima semakin menjadi. Bulu halusnya mulai meremang begitu tangan Vania mulai bermain di pangkal pahanya.

Saat bibir itu semakin mendekat, Bima diterpa rasa bimbang untuk membalas ciuman itu.

“Jangan, Bima. Dia sahabat istrimu! Jangan lakukan itu!” Bima berujar dalam hati.

Namun, hasrat untuk melumat bibir Vania semakin menjadi.

“Astaga, apa yang harus kulakukan?!” batin Bima penuh kebimbangan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status