Sepertinya, ini akan jadi akhir dari segalanya.
Perselingkuhannya dengan Marcella bakal terungkap. Tidak mungkin Hanna percaya kalau Putra bilang wanita itu adalah rekan kerja biasa.
Bagaimana mungkin seorang rekan kerja biasa ditemukan setengah telanjang di kamar mandi mereka?!
Putra mengumpat kesal dari balik punggung Hanna. Karirnya bisa hancur, apalagi dirinya dan Marcella berada di satu perusahaan yang sama.
“Hanna, tunggu!”
Namun istrinya keburu masuk ke dalam kamar mandi.
“Aku bisa jelaskan–”
“Jelaskan apa, Mas?” Hanna menatap Putra dengan heran.
Putra termangu. Bola matanya bergerak memandangi sekeliling kamar mandi.
Kosong.
“Mas? Kamu mau jelasin soal apa?” Hanna mengambil sabun cuci mukanya yang berada di atas wastafel.
“I-Itu… soal…” suara Putra kini terdengar parau.
“Aa!” Putra terperanjat begitu telapak tangan istrinya menempel di dahinya.
“Kamu sakit, Mas? Sikapmu aneh,” tandas Hanna. “Tapi badanmu enggak panas. Apa sebaiknya aku batalkan saja liburanku dengan Andin?”
“Eh? Jangan!” Sahut Putra cepat. “Aku… aku hanya sedikit capek. Kamu jangan cemaskan aku, oke? Bersenang-senanglah…”
Putra segera melayangkan kecupan di dahi Hanna.
“Yang benar?”
“Iya, Sayang…” cepat-cepat Putra menuntun Hanna keluar dari kamar mereka.
“Kalau ada apa-apa, hubungi aku ya?” Pinta Hanna saat dia berada di teras rumah.
“Tentu,” Putra tersenyum meyakinkan. “Taksinya udah nunggu lama tuh.”
“Ya udah, aku pergi,” Hanna menatap lekat-lekat bola mata suaminya yang nampak gelisah.
“Dah!” Putra melambaikan tangan dari balik pagar rumah mereka.
*
‘Ha, mereka pikir aku bodoh,’ gumam Hanna dalam hati.
Di kursi belakang, kedua tangan wanita itu mengepal kesal.
Di teras, dia melihat sepasang sepatu hak merah yang tersembunyi di balik pot. Lalu wangi itu… wangi manis yang khas yang melekat di tubuh suaminya.
Hanna tahu betul wangi parfum Putra, yang pasti bukan wangi parfum manis khas wanita seperti tadi.
Dan yang paling mengusik pikirannya adalah sprei ranjang mereka yang berantakan.
Dada Hanna seketika sesak memikirkannya lagi.
Jangan-jangan mereka sudah bergulat panas di atas ranjangnya…
Pipi Hanna basah. Dia tak sanggup membayangkan Putra mengkhianatinya dengan wanita yang pernah dia lihat di mall tempo lalu.
‘Lihat saja… Aku akan menghancurkan kalian… Aku sudah tahu siapa wanita sialan itu. Aku tahu, Putra!’ Pekik Hanna dalam hati.
‘Marcella…’ ulang Hanna. ‘Itu namanya kan? Kalian satu kantor bukan?’
Hanna menghapus air mata yang jatuh.
Kemampuan Hanna menyelidiki selingkuhan suaminya bahkan lebih cepat dari agen rahasia sekalipun.
Sekarang tinggal tunggu waktu saja, Hanna akan bertindak dan mengungkap perselingkuhan mereka.
‘Tadi hanya sekedar pembukaan, Putra. Aku akan memberi kalian pelajaran berharga!’
Kuku panjang Hanna menusuk permukaan kulitnya. Namun bukan rasa sakit yang dia rasakan, melainkan amarah membara yang bergumul di dadanya.
*
“Aku hampir kehabisan napas!”
Marcella menyeruak keluar dari lemari pakaian. Pelipisnya berkeringat dan napasnya kembang-kempis.
“Kenapa dia bisa tiba-tiba datang sih?!” keluh Marcella lagi, mengipasi dirinya.
“Untung kamu bersembunyi di sini,” Putra menarik napas lega. “Kalau tidak, bisa gawat! Jantungku rasanya mau copot saat Hanna membuka pintu kamar mandi!”
“Instingku bilang kalau dia bakalan ngecek kamar mandi, Mas. Makanya aku inisiatif ngumpet di lemari. Tapi aku hampir mati, tau!”
Putra tertawa mendengarnya.
“Kamu kok malah senang sih?” Bibir Marcella mengerucut kesal.
“Uh, jangan ngambek gitu dong, Sayang…” Putra segera merangkul selingkuhannya itu. “Lucu aja, ngebayangin kamu meringkuk di dalam lemari.”
Marcella memutar kedua bola matanya jengkel.
“Nah, sekarang istriku sudah benar-benar pergi. Jadi….”
Putra menarik tubuh wanita itu kembali ke atas ranjang.
“Kita lanjutkan yang tadi,” Putra tersenyum nakal.
“Tunggu, kamu yakin istrimu enggak bakalan datang lagi?” sergah Marcella.
“Iya, tadi dia cuma ngambil sabun cuci mukanya yang ketinggalan. Aku benar-benar melepas kepergiannya sampai taksinya menghilang di ujung jalan,” terang Putra.
Lantas, Marcella menarik leher Putra, mendekatkan wajah tampan pria itu ke hadapannya.
“Kalau begitu, buat aku menjerit, Sayang… Buat aku berteriak tanpa ampun…” Marcella mendesah dengan menggoda.
“Tentu, Manis. Kamu tahu kekuatanku kan…”
Bibir Putra langsung melumat bibir merah Marcella.
Ciuman mereka bergulir begitu liar. Tubuh mereka pun menggeliat di atas ranjang.
Tidak ada siapa-siapa lagi di rumah ini, hanya mereka berdua. Desahan Marcella semakin menjadi-jadi.
Jantung wanita itu kini berdetak dua kali lebih cepat.
Kedua tangan Marcella mulai bergerak tidak karuan sampai akhirnya satu tangannya tidak sengaja menyenggol bingkai foto yang ada di atas nakas.
Prang!
Kepala Putra yang tadinya terbenam di antara kedua kaki Marcella, sontak menengadah.
“Ya ampun, Mas! Sorry…”
Bingkai foto itu jatuh ke lantai. Kacanya pecah.
Bergegas, Putra beranjak dan mengambilnya. Dipandanginya sesaat foto dirinya dengan Hanna yang tersenyum bahagia di depan Gunung Fuji.
Foto bulan madu mereka, tiga tahun yang lalu.
“Sorry…” ucap Marcella dengan lirih.
“Enggak apa-apa. Foto ini enggak penting.”
Putra menaruh bingkai foto itu di laci nakas.
“Yang penting sekarang ini adalah kamu, Cella…” suara berat Putra langsung membuat Marcella kembali bergairah.
Jujur, wanita itu sudah tidak sabar untuk menodai ranjang pernikahan Putra dan Hanna.
“Mas, langsung saja… aku udah enggak tahan. Dan, enggak perlu pakai pengaman. Aku lagi enggak subur kok.”
“Be-benarkah? Tapi… kurasa itu agak beresiko.”
Marcella menggeleng sambil menatap Putra dengan manja. “Tenang saja, aku enggak akan hamil. Rasanya pasti menyenangkan kalau milikmu melebur di dalam tubuhku, Sayang…”
Namun, Putra nampak sedikit termenung.
Selama ini dia selalu memakai pengaman dan bermain aman dengan Marcella.
“Plis, Sayang… buktikan kalau kamu benar-benar sayang sama aku…” ucap Marcella dengan nada memohon.
Akhirnya, Putra menyunggingkan senyumnya.
“Tentu saja aku mencintaimu, Sayang. Sayangku, Marcella…”
Putra kembali melakukan aksinya.
Tetapi suara ponsel yang tiba-tiba berdering kencang membuyarkan suasana romantis mereka.
“Ah!”
Putra dan Marcella memekik kesal berbarengan.
“Siapa lagi sih, Mas?!”
Dengan enggan, Putra melirik ponselnya di atas nakas. Dia mengeluh pelan begitu melihat nama peneleponnya.
Mau tidak mau, dia harus mengangkatnya.
Marcella mematung di tempat. Kalimat yang barusan meluncur dari mulut suaminya itu masih menggantung di kepalanya. Namun sebagian dari dirinya berusaha untuk tak mempercayainya.“Ha-Hanna? Kamu bilang kamu dijebak oleh Hanna?” Marcella tercekat.Putra mengangguk dengan sorot mata yang tak tergoyahkan.Satu alis Marcella naik sebelah. “Tapi kamu bahkan menyangkal kalau Hanna masih hidup, Mas.”“Awalnya memang begitu, tapi…”“Tapi apa?” Desak Marcella.“Tapi sekarang aku yakin kalau Hanni adalah Hanna. Dia masih hidup, Cella. Dan dia sedang merencanakan sesuatu pada kita,” Putra memicingkan matanya tajam.***Marcella menutup pintu ruangannya. Dirinya langsung melempar tasnya ke atas meja.“Lantas, apa yang harus kita lakukan?” Wanita itu menyugar rambutnya.Putra berjalan sambil bersedekap menuju ke jendela. Matanya memandang ke hamparan langit biru.“Untuk saat ini, kita harus berhati-hati pada wanita itu. Hanni–atau Hanna,” tandas Putra. “Dan juga Erik.”“Erik?”Putra lantas mencerit
“Katakan, Cella. Apa kamu ada hubungannya dengan penyekapan Hanni?” Desak Putra tajam.Dengan satu gerakan cepat, Marcella melepaskan dirinya dari cengkraman Putra.Wanita itu mendengus keras, mendongakkan dagunya sambil memandang suaminya dengan tatapan tak percaya.“Pelecehan? Penyekapan Hanni??” Kedua alis Marcella bertautan. “Aku bahkan enggak mengerti dengan ucapanmu. Tapi satu yang pasti, kamu sudah berbohong, Mas. Ternyata kamu membuntuti wanita sialan itu! Hah, kamu bahkan menuduhku yang enggak-enggak!”“Aku yakin seratus persen pria itu adalah teman SMA-mu. Aku ingat betul, Cella.”“Lantas?” Kedua bola mata Marcella melebar, menantang ucapan suaminya tadi. “Jika memang pria itu temanku, bukan berarti aku terlibat, Mas!”Marcella tertawa sinis. “Jangan-jangan, semalam kamu tidur dengan wanita sialan itu kan? Oh, astaga! Ternyata seleramu memang rendahan, Mas…”Putra hanya mematung. Kenapa Hanni tega mengirim foto-foto itu pada istrinya, pikir Putra. Untuk apa wanita itu menje
“Ayo, buka pakaian dalammu, Hanna. Boleh kan aku memanggilmu dengan sebutan itu?” Sepasang mata Putra menyorot penuh gairah ke arah tubuh indah itu.Lantas, Hanna berjalan ke arah Putra, mendorong tubuh pria itu.“Tapi sebelumnya,” tangan Hanna bergerak pelan membuka satu per satu kancing kemeja Putra, “kamu juga harus menanggalkan pakaianmu.”Putra menyeringai begitu Hanna mulai melempar kemejanya ke sembarang arah, lalu lanjut melepas ikat pinggangnya.Hanna melirik nakal, melihat sesuatu yang menyembul di antara kedua kaki Putra.“Apa istrimu enggak pernah melakukan ini?” Tanya Hanna, menarik celana Putra. “Apa dia kurang menarik di atas ranjang?”“Sebenarnya dia cukup liar, tapi akhir-akhir ini kami sering bertengkar. Hubungan kami jadi dingin,” napas Putra mulai terdengar berat.Seketika, Putra menguap lebar. Sementara Hanna merangkak naik ke atas pangkuan Putra.Dada Hanna berdebar begitu kencang sekarang. Dia hanya bisa berharap obat tidur itu segera bekerja.“Duh, kok aku jadi
Suara sorak sorai serta tepukan yang meriah dari para tamu terdengar begitu, Hanna dan Putra berciuman setelah sah menjadi suami istri.Hanna tak bisa menyembunyikan pipinya yang merona saat ciuman manis itu usai.Putra yang berdiri di depannya, menatap Hanna hangat. Raut wajah bahagia terpancar karena akhirnya dia sah memiliki Hanna sepenuhnya.“Istriku…” panggil Putra pelan. “Akhirnya kamu menjadi istriku, Hanna.”Hanna menyunggingkan senyumnya, mengangguk. Dadanya berdebar bahagia. Bagi Hanna, menikah dengan Putra adalah impiannya.Dia sangat mencintai pria ini. Di matanya, Putra adalah sosok yang sempurna, pekerja keras dan penyayang.Tiga tahun mereka pacaran, banyak rintangan yang harus dilalui, termasuk penolakan keras dari ibunya Hanna, Lidya.Tapi kini rintangan itu sudah mereka lewati. Sambil memegang buku nikah, mereka akan mengarungi hidup baru yang menyenangkan.“Sekarang, hadap ke kamera ya. Buku nikahnya tunjukkin,” titah fotorgrafer itu. “Jangan lupa senyum. Satu, dua,
Erik menggeram kesal.Sudah seminggu setelah kejadian itu, tetapi pihak berwajib belum juga menemukan keberadaan Jordan.Yang membuat Erik tambah naik pitam adalah kemungkinan besar keterlibatan salah satu anak buahnya, Marcella.“Haruskah kita menyewa orang sendiri untuk mencari keberadaan pria sialan itu?” Erik melempar kedua tangannya ke udara. “Atau aku akan introgasi Marcella?”“Jangan, Erik.” Sergah Hanna. “Biarkan Marcella merasa bahwa dirinya aman, sampai Jordan tertangkap dan menyeret namanya.”“Tapi aku bahkan enggak tahan untuk melabraknya, Hanna,” geram Erik. “Dan plis, Hanna. Selalu beri tahu aku kalau kamu punya rencana. Aku enggak mau hal seperti ini terjadi.”“Maafkan aku, Erik…”Erik menghela napas pelan, berdiri di depan wanita itu. “Aku mencemaskamu. Apa… aku batalkan saja perjalananku kali ini?”“Hei!” kedua mata Hanna melebar. “Ini perjalanan dinas penting, Erik. Lagian, aku baik-baik saja kok.”“Tapi kalau aku enggak ada, kamu harus pulang-pergi sendiri. Gimana k
“Uh..” Jordan mendesah pelan. “Aku enggak menyangka tubuhmu seindah ini, Hanni…”Sebelum menarik turun pakaian dalam bagian bawah itu, ujung hidung Jordan menyentuh paha Hanna menyesap tubuh wanita itu dalam-dalam.Mau tak mau, Hanna menggeliat takut.“Pantas saja Marcella cemburu padamu…” tukasnya lagi. “Kamu tenang saja, Hanni. Aku akan memperlakukanmu dengan lembut kok. Aku ahli dalam hal ini.”Jordan mendongak sambil melempar senyum nakal ke arah Hanna.Hanna terus saja terisak, berharap keajaiban datang.Jordan mengecup pinggul Hanna, menjilatnya pelan. “Hanni, Sayang… kamu enggak akan menyesal, karena aku akan membuatmu melayang…”Dada Hanna terasa begitu sesak. Napasnya tersengal berat saat merasakan pakaian dalam bagian bawah itu perlahan turun.Pipinya benar-benar basah sekarang.Sampai tiba-tiba…BRAK!Suara pintu yang mendobrak keras itu terdengar.‘Erik!’ Kedua mata Hanna membelalak penuh harap. “Hei! Brengsek!!!” Suara lelaki itu menggelegar.Jordan tersentak dan langsun