“Silakan, Mas,” Hanna tersenyum ramah.
Semangkuk bubur ayam hangat tersaji di hadapan suaminya.
“Dan ini kopinya,” lanjut Hanna lagi.
Kedua alis tebal Putra sontak terangkat. ‘Tumben.’ Batinnya.
“Kamu sudah enggak marah lagi sama aku?” Tanya Putra setelah menyisip kopi buatan Hanna.
“Maafkan aku ya, Mas…” Hanna membelai pundak Putra yang kini sedang mencicipi bubur buatan dirinya. “Kemarin-kemarin tuh aku lagi bad mood aja.”
Putra manggut-manggut sambil memuji bubur buatan Hanna yang lezat dalam hati.
“Nanti lembur lagi atau gimana? Kalau Mas lembur, aku enggak usah bikin makan malam.”
“Yah… sepertinya lembur lagi, Han.”
“Baiklah kalau gitu. Oh iya, Mas…”
Kedua tangan Hanna kini mulai memijat bahu Putra.
Entah kenapa bulu kuduk Putra seakan merinding sesaat. Ini seperti bukan kebiasaan Hanna. Putra merasa istrinya agak aneh.
“Terima kasih ya, sudah bekerja keras untuk keluarga kita,” lanjut Hanna. “Maafkan aku kalau aku jadi istri yang mengecewakan untukmu.”
Putra menggenggam satu tangan istrinya. “Jangan bilang begitu, Hanna.”
Hanna lantas mendesah.
“Ibu bilang aku ini beban bagimu, Mas…”
“Sudah, jangan dengarkan perkataan Ibu. Beliau kalau ngomong memang begitu, tapi sebenarnya niatnya baik kok.”
Hanna pun mengangguk pelan.
“Oh ya, Mas. Aku boleh minta izin enggak?”
“Izin apa?”
“Akhir pekan ini, Andin ngajakin aku staycation di Bandung. Sudah lama aku enggak liburan kan? Habis Mas sibuk terus sih.”
“Oke, aku enggak masalah kok. Seminggu juga enggak apa-apa. Yang penting kamu senang. Ingat, dokter bilang kamu enggak boleh stres kan? Dan liburan ini mungkin bisa menghilangkan segala pikiran-pikiran burukmu itu.”
“Beneran boleh, Mas?”
Putra mengangguk yakin.
“Makasih ya, Mas. Tapi sebenernya aku lebih kepengen liburan bareng kamu…”
“Nantilah kalau itu… Pekerjaanku lagi banyak-banyak, Hanna. Oh ya, berapa hari kamu di Bandung? Seminggu?”
Hanna tertawa kecil. “Enggak mungkin selama itulah, Mas. Aku kan harus ngurusin kamu. Hanya dua hari aja kok.”
“Oh…oke.”
Lantas Hanna memutar tubuhnya ke arah dapur dan senyum yang sedari tadi mengembang di wajahnya kini lenyap.
***
Marcella tentu saja senang saat Putra mengajak dirinya menginap di rumah pria itu.
Ini kali pertama wanita itu menginjakkan kaki di rumah Putra.
Rumah kecil yang nyaman dengan halaman belakang yang asri.
Perabotannya nampak minimalis, dengan foto-foto Putra dan Hanna yang menggantung di dinding.
Tawa mereka bahagia di foto itu dan Hanna juga terlihat sangat cantik. Rasa cemburu pun menyeruak dalam diri Marcella.
Seharusnya dirinya-lah yang bersanding dengan Putra, bukan Hanna.
Seketika tubuh Marcella menggeliat begitu Putra merangkulnya dari belakang. Pria itu menghirup dalam-dalam wangi tubuh Marcella yang manis.
Dengan cepat tangan Putra menggerayangi setiap lekukan tubuh Marcella.
“Mas…” Marcella mendesah manja.
Putra langsung memutar tubuh Marcella dan kedua bibir mereka pun bertautan.
Napas Marcella menderu begitu Putra mendorongnya ke atas sofa di ruang tengah. Rok mini wanita itu lantas tersingkap, memperlihatkan kakinya yang jenjang.
Dengan sengaja, Marcella membuka kedua kakinya lebar-lebar, menggoda Putra.
“Ah!”
Marcella tertawa kecil begitu Putra menghambur, menindih tubuhnya.
Kepala Putra bergerak liar, memberi bekas di dada selingkuhannya.
“Astaga, Mas… belum apa-apa kamu sudah begitu liar…” ucap Marcella sambil menarik rambut Putra.
“Yah, itu gara-gara kamu yang ikutan-ikutan ngambek dan nyuekin aku…” Putra menengadah, menatap wajah Marcella yang nampak merona.
Tiba-tiba sebuah ide gila terlintas di benak Marcella.
“Mas, aku kepengen kita melakukannya di kamar tidurmu.”
“Kamar tidurku?”
“Iya.”
Putra nampak terdiam sesaat.
“Gimana?” Tanya Marcella lagi.
“Kalau itu maumu, kenapa enggak?” Putra lalu tersenyum nakal dan langsung menggendong Marcella menuju kamar tidurnya, lebih tepatnya kamar tidur Hanna dan dirinya.
***
Rambut panjang Marcella terurai di atas permukaan spring bed.
Sembari Putra melucuti pakaian yang melekat di tubuh Marcella, wanita itu mulai membayangkan sensasi bercinta di atas ranjang istri sahnya Putra.
Dadanya pun berdebar keras, dipenuhi rasa yang menggebu.
Tubuh Putra kini menjulang di atasnya, tanpa sehelai benang. Pundaknya yang bidang, serta wajahnya yang tampan selalu bisa memantik hasrat Marcella.
Bagaimana mungkin Marcella melepas Putra begitu saja?
Pria ini milikku, sampai kapan pun, batin wanita itu dalam hati.
Marcella mulai menggeliat begitu kepala Putra bermain-main di perutnya.
Kecupan demi kecupan membasahi setiap jengkal badan Marcella. Dia tak kuasa mengerang, menjambak rambut Putra dengan kuat.
Sprei ranjang itu mulai kusut tak karuan.
Namun saat Putra hendak menuju ke permainan utamanya, tiba-tiba saja terdengar ketukan pintu.
Dok, dok, dok.
“Shit!” Purta menukas kesal.
“Siapa itu, Mas?” Kening Marcella mengernyit.
“Entahlah. Biarkan saja.”
“Mas? Mas Putra? Buka, Mas.” Suara Hanna terdengar di pintu depan.
Sontak kedua mata Putra dan Marcella membelalak lebar.
“Ha-Hanna?!” Mulut Putra menganga. Cepat-cepat dia melompat dari ranjang dengan keadaan panik. “Cella! Cepat sembunyi!” Pintanya dengan setengah berbisik.
“Dimana?”
“Terserah kamu! Pokoknya jangan sampai Hanna memergoki dirimu di sini!”
Putra hampir saja tersandung saat sedang mengenakan celananya.
“Tasmu, Cella!” Bisik Putra lagi begitu Marcella hendak bersembunyi di kamar mandi.
“Mas Putra? Mas?” Panggil Hanna.
“Ya! Sebentar.”
Bergegas Putra membukakan pintu rumah untuk istrinya itu.
“Sayang? Kok udah pulang aja?” Putra coba tersenyum.
“Sayang?” Kedua alis Hanna bertautan melihat suaminya yang nampak terengah. “Tumben manggil aku dengan sebutan Sayang?”
“Sebenarnya, aku merindukanmu!” Seketika Putra memeluk tubuh Hanna. “Padahal kamu bahkan belum pergi lama,” lanjut Putra sambil terkekeh.
“Ada yang ketinggalan,” Hanna melepas pelukan aneh suaminya itu.
“Ketinggalan?”
“Iya, sabun cuci mukaku.”
Deg.
Putra menelan ludahnya dalam-dalam. Tubuhnya gemetar saat mengikuti Hanna yang masuk ke kamar mereka.
Langkah Hanna terhenti, memandang sprei yang berantakan.
“Tadi aku lagi tidur siang, Sayang,” ucap Putra buru-buru. “Kamu tahu sendiri kan, aku kalau tidur suka gerak kesana-kemari.”
“Oh…” balas Hanna sambil menuju ke kamar mandi.
‘Sial! Apa yang harus kulakukan?’ Batin Putra panik.
Jelas-jelas, Marcella bersembunyi di sana!
Otak Putra pun berputar cepat mencari alasan seiring dengan tangan Hanna yang menjulur ke arah gagang pintu kamar mandi itu.
Di hari jadinya yang ke-30 tahun, suasana kantor Beauty Inc. memang terasa jauh berbeda dari biasanya.Balon-balon sudah menghiasi lobi utama, pita-pita emas menggantung di setiap sudut, ditambah banyaknya karangan bunga ucapan selamat yang berjejer menuju pintu masuk hall utama.Segala keriuhan ini menandakan pencapaian besar–tiga dekade perjalanan perusahaan kecantikan yang paling berpengaruh di negeri ini.Nena menggandeng tangan mungil Jordan, membuntuti Putra dan Marcella yang berjalan di depan mereka. Keadaan Nena sudah membaik dan bersikukuh ikut ke kantor Putra untuk melihat kesuksesan putra satu-satunya itu–sekalian menemani Jordan.“Wah, apa itu, Nek?” Jordan menunjuk ke sebuah sudut dengan antusias, sementara satu tangannya menggenggam mainan dinosaurus kesayangannya.“Itu playground baru, Sayang,” balas Marcella menatap kedua bola mata Jordan yang berbinar.Playground itu nampak menarik perhatian Jordan. Perosotan berwarna merah, ayunan kayu, hingga area mandi bola yang be
Pagi itu matahari baru saja naik. Sinarnya memantul ke penjuru kaca-kaca gedung pencakar langit.Putra dan Marcella menikmati pagi mereka dengan duduk-duduk di rooftop kantor sebelum memulai aktivitas yang padat hari ini.Di tangan mereka ada secangkir kopi yang asapnya masih mengepul tipis.Dari ketinggian gedung, terdengar samar-samar keriuhan jalanan dari bawah sana.Marcella sibuk memeriksa e-mail melalui ponselnya, sementara Putra nampak menikmati aroma kopi hitam yang menyergap permukaan lidahnya.Namun tiba-tiba, suasana santai mereka terusik ketika dua orang dari divisi lain duduk di belakang mereka sambil membicarakan sesuatu.“Kamu tahu nggak? Minggu depan, pas ultah perusahaan ke-30, bakal ada pengumuman besar…” suara itu terdengar pelan tapi mampu ditangkap oleh telinga Putra dan Marcella.“Aku juga dengar soal itu. Komisaris baru mau diperkenalkan. Dan gosipnya…” suara orang itu kini setengah berbisik. “Orang itu adalah anak rahasia Abraham Julianto!”Perbincangan itu mem
"Kamu seperti baru saja melihat hantu, Jordan..." Suara Hanna terdengar datar dan dingin.Namun, itu sudah cukup untuk membuat napas Jordan tercekat.Lampu jalanan yang redup dari ujung gang, memberi cukup cahaya untuk menyingkap sosok Hanna yang berdiri tegap di ambang pintu.Bayangan wajah Hanna bergoyang pelan karena cahaya lampu yang berkelap-kelip redup di kontrakan lusuh itu.“Ma-mau apa kamu ke sini, hah?” Jordan berusaha mengatur nada suaranya agar tak terdengar ketakutan. “Aku bisa saja mencelakaimu, Hanni.”Hanna mendengus sambil melempar senyum tipis. “Masih berani mencelakaiku?”“Aku bisa bertindak nekat,” sorot mata Jordan berubah nyalang.“Dan aku bisa langsung menghubungi polisi,” balas Hanna santai, memamerkan ponsel di tangannya.“Apa maumu? Kenapa kamu bisa menemukanku?” Suara Jordan nampak memelan.“Mudah bagiku untuk melacak keberadaanmu, Jordan. Aku tahu, kamu punya hubungan gelap dengan Marcella. Mengikuti Marcella sama juga mengikuti dirimu,” Hanna mengedikkan b
Brak!Marcella membanting pintu mobilnya dengan kencang. Dia melangkah tergesa dan langsung menarik lengan Jordan ke dalam mobilnya.“Brengsek!” Marcella memekik tertahan. “Ngapain kamu di sini, hah? Seharusnya kamu sembunyi! Polisi masih memburumu! Dasar bodoh!”Deru mesin mobil Marcella terdengar. Dengan cepat, dia melajukan mobilnya menjauh dari rumah.“Hei, kita mau kemana?” Jordan terdengar bingung. “Jauh-jauh aku datang ke rumahmu, Cella.”“Itu tindakan bodoh! Untung aku pulang sendirian. Gimana kalau sampai Putra tahu?! Dia bahkan mengingat wajahmu, Jordan!” Marcella menggenggam erat setir mobilnya. “Kamu bisa ditangkap polisi!”Jordan menghela napas pelan. “Tadinya aku malah ingin menyerahkan diri ke polisi.”“Apa?! Jangan bertindak bodoh!” Pekik Marcella lagi. Astaga, rasanya kepalanya mau pecah dengan masalah yang datang bertubi-tubi seperti ini. “Kamu harus segera pergi dari sini! Aku akan mengurusnya.”“Kamu nggak usah memikirkan hal itu,” lanjut Jordan sambil bersedekap.
Embusan angin malam langsung menyambut Marcella ketika wanita itu keluar dari ruang rawat inap ibu mertuanya, membiarkan Putra menemani ibunya.Saat berjalan menyusuri lorong, kepala Marcella terasa begitu berat.Hanna, Hanna, Hanna. Nama dan sosok wanita itu terus saja berkelebat di benaknya.“Sialan,” desis Marcella pelan. Seharusnya dia membunuh wanita itu sejak awal, melindasnya sekali lagi agar wanita itu benar-benar mati.Kini pikiran Marcella melanglang buana ke kejadian malam itu, di saat dia sengaja menabrak Hanna demi menghilangkan barang bukti.Andai saja Putra tak mencegahnya malam itu, pasti kesialan tak menimpa mereka sekarang ini.Sambil mengembuskan napas berat, Marcella memasuki kafetaria rumah sakit. Secangkir teh hangat setidaknya bisa menenangkan kegelisahannya untuk sementara.Saat Marcella menatap kosong ke luar jendela kafetaria, tiba-tiba saja dia menangkap sosok yang mencurigakan, yang sedang berjalan tergesa di lorong rumah sakit.Jaket abu-abu gelap itu memb
Kedua mata Nena membuka perlahan. Cahaya lampu menyorot, menusuk pandangannya yang membuatnya harus berkedip berkali-kali.Suara detak jantung dari monitor di sampingnya terdengar. Lantas Nena juga menyadari selang infus yang menggantung di pinggir ranjangnya.“Akhirnya, Ibu sadar juga…” suara Sarah langsung menyambut wanita tua itu. Sarah pun meletakkan ponselnya dan mendekat.“Astaga…” Nena berucap lirih. Kepalanya masih sedikit pening. Dia berusaha mengingat apa yang terjadi. “Jordan… di mana dia?”“Tenang, Bu,” sahut Sarah. “Sebaiknya, Ibu istirahat dulu. Jangan banyak gerak.”Namun Nena tak menghiraukan saran anaknya. Kedua bola matanya bergerak liar mencari keberadaan cucu kesayangannya.“Di mana Jordan?!” Suara Nena sedikit meninggi. Dia bakal menyalahkan dirinya seumur hidup kalau terjadi hal buruk pada Jordan.“Dia baik-baik saja, Bu. Aku menitipkannya ke tetangga sebelah. Hanya ada luka kecil di sekitar kakinya,” terang Sarah. “Mas Putra dan Mbak Marcella akan pulang malam i