Setelah berpikir kira-kira lima tarikan nafas... "Suku Devahari adalah legenda kuno," jawab Surya setelah jeda yang cukup panjang itu. Suaranya berubah lebih dalam."Konon, mereka adalah suku pertama yang mendiami Zolia, jauh sebelum Kekaisaran terbentuk. Mereka dikatakan memiliki hubungan khusus dengan para dewa, mampu melakukan sihir yang tidak bisa dilakukan oleh manusia biasa.""Mereka bisa memanipulasi elemen," tambah Ranya, matanya berkilat penuh keingintahuan."Air, api, tanah, udara—semua tunduk pada kehendak mereka. Beberapa cerita bahkan menyebutkan mereka bisa berbicara dengan hewan dan tumbuhan."Keheningan..."Tapi itu hanya cerita untuk anak-anak sekarang," lanjut Surya, suaranya sedikit lebih pelan."Tidak ada yang pernah bertemu dengan anggota Suku Devahari dalam beberapa generasi terakhir. Banyak yang percaya mereka telah punah, atau mungkin hanya mitos belaka."Kiran merasakan kekecewaan menyelimuti hatinya.Jika bahkan penduduk Zolia sendiri menganggap Suku Devahari
Kiran menatap bunga yang cantik, secantik namanya... “Popy”Dengan hati-hati, ia memetik beberapa kuntum bunga popy yang paling mekar, memilih dari berbagai warna—merah darah yang menyala seperti api, ungu kebiruan yang dalam seperti langit senja, dan putih murni bagai salju pertama.Kelopak-kelopak tipis itu terasa lembut di antara jemarinya, namun ia bisa merasakan getaran aneh—hampir seperti denyut kehidupan—dari bunga-bunga tersebut. Ia memasukkan bunga-bunga itu ke dalam kantong kecil di balik jubahnya, memastikan tidak ada yang melihat tindakannya."Tuan, apa yang kau lakukan?" bisik Kon, mengintip dari tas Kiran dengan mata besarnya yang berkilau cemas. "Bukankah mereka bilang bunga itu berbahaya?""Kadang-kadang kita perlu mengambil risiko untuk mendapatkan jawaban," jawab Kiran pelan, matanya terus mengawasi keadaan sekitar."Jika bunga ini bisa membantuku berkomunikasi dengan dewa mereka, mungkin aku bisa mendapatkan petunjuk tentang Suku Devahari.""Tapi bagaimana cara meng
Kiran menunggu hingga tengah malam, ketika seluruh desa telah terlelap.Suara-suara malam—jangkrik, burung hantu, dan angin yang berdesir di antara pepohonan—menjadi satu-satunya pengiring langkahnya. Dengan hati-hati, ia menyelinap keluar dari rumah Rajagopal, membawa cairan ekstrak bunga popy dalam botol kecil yang ia temukan di dapur.Kon dan Burs mengikutinya, terbang rendah dan bersembunyi di balik bayangan.Kuil Hiranyakashipu tampak berbeda di malam hari—lebih misterius dan sedikit mengintimidasi. Bangunan batu itu seolah menyerap cahaya bulan, menciptakan siluet gelap yang menjulang di tengah desa.Cahaya bulan menyinari ukiran-ukiran di dindingnya, menciptakan bayangan-bayangan aneh yang seolah bergerak dan menari. Beberapa pendeta masih terlihat berjaga di sekitar kuil, melakukan ritual malam mereka dengan lilin-lilin dan dupa yang menyala redup."Bagaimana kita bisa masuk tanpa terlihat?" bisik Burs, mengamati para pendeta dari kejauhan. Matanya yang tajam menghitung jumlah
Kiran setelah menenggak ekstrak bunga popy...Kuil di sekitarnya mulai berubah. Dinding-dinding batu seolah meleleh dan berubah menjadi cahaya keemasan yang berpendar lembut. Lantai di bawah kakinya tidak lagi terasa keras, melainkan seperti awan yang lembut.Patung Hiranyakashipu di hadapannya tampak berkilau dengan cahaya dari dalam, mata permatanya berkedip-kedip seperti bintang.Kiran merasakan tubuhnya melayang, terlepas dari gravitasi. Ia tidak lagi berada di kuil, melainkan di sebuah ruang tak terbatas yang dipenuhi cahaya keemasan dan ungu.Tidak ada langit, tidak ada tanah—hanya keindahan murni yang tak terlukiskan. Bunga-bunga berwarna-warni melayang di sekitarnya, memancarkan aroma yang memabukkan. Musik lembut terdengar dari segala arah, seperti ribuan harpa yang dimainkan oleh tangan-tangan tak terlihat."Apakah ini... nirwana?" bisik Kiran, terpesona oleh keindahan di sekelilingnya."Bukan nirwana, anak muda," jawab sebuah suara yang dalam dan bergema. "Hanya sebuah ruan
Matahari pagi bersinar hangat menyinari Desa Chandrapur.Kiran duduk di beranda rumah keluarga Rajagopal, menikmati secangkir teh rempah yang disajikan Nyonya Ranya. Pikirannya masih dipenuhi oleh pengalaman mistisnya di kuil semalam—pertemuan dengan Dewa Hiranyakashipu yang entah nyata atau hanya halusinasi akibat bunga popy."Dengarkan angin yang berbisik di antara daun-daun tertua," gumam Kiran, mengulang teka-teki yang diberikan oleh dewa itu."Ikuti aliran sungai yang tidak pernah mengalir ke laut..."Tiba-tiba..."Kau mengatakan sesuatu, anak muda?" tanya Surya Rajagopal, bergabung dengan Kiran di beranda.Hanya terkejut sesaat, Kiran menggeleng pelan."Hanya memikirkan perjalananku selanjutnya," jawabnya. Ia meletakkan cangkir tehnya dan menatap Surya dengan tenang."Aku sudah memuuskan. Harus pergi ke ibukota—ke Zahranar. Aku perlu mencari informasi lebih banyak tentang Suku Devahari," kata Kiran, menggambarkan sesuatu yang mendesak.Surya Rajagopal mengangguk pelan. Ada kilat
Matahari bersinar terik di atas padang rumput luas yang membentang hingga kaki langit, menciptakan gelombang panas yang menari-nari di atas tanah.Kiran berjalan dengan langkah mantap, menyusuri jalan setapak yang telah dilewati ribuan kaki pedagang dan penjelajah selama berabad-abad. Jalur Kafilah—rute kuno yang menghubungkan kota-kota besar Zolia—terbentang di hadapannya seperti ular raksasa yang meliuk di antara bukit-bukit hijau.Jubah linen tipis berwarna cokelat tanah menutupi tubuhnya, dengan tudung yang ditarik rendah menutupi sebagian wajahnya untuk melindungi dari terik matahari dan tatapan penasaran.Crimson Dawn—pedang legendaris dengan bilah merah darah yang konon ditempa dari logam bintang jatuh — tersembunyi dengan baik di dalam tas punggungnya, terbungkus kain tebal yang dilapisi rune-rune peredam energi agar aura sihirnya tidak menarik perhatian penyihir atau pemburu bounty yang mungkin berkeliaran."Tuan, apakah masih jauh?" tanya seorang anak laki-laki berusia sekit
"Kami hanya kaum kelana yang kebetulan lewat," jawab Kiran sopan, menundukkan kepalanya sedikit sebagai tanda hormat."Kami dalam perjalanan ke Zahranar. Bermaksud mengisi perbekalan dan melanjutkan perjalanan besok pagi."Penjaga itu mengangguk, tampak puas dengan jawaban yang jujur."Festival Gandum Emas sedang berlangsung. Kota penuh dengan pengunjung dari seluruh Zolia dan bahkan dari luar kerajaan. Kalian mungkin kesulitan mencari penginapan.""Terima kasih atas informasinya," kata Kiran. "Kami akan mencoba peruntungan kami."Penjaga itu memberi isyarat dengan tombaknya agar mereka lewat. Kiran, Kon, dan Burs melangkah memasuki Samarkhal, segera disambut oleh hiruk-pikuk kota yang sedang berpesta.Jalanan Samarkhal dipenuhi dengan orang-orang yang berpakaian cerah, bernyanyi dan menari dalam lingkaran-lingkaran besar. Musik dari seruling, tambur, dan alat musik senar yang tidak Kiran kenali mengalun di setiap sudut, menciptakan atmosfer pesta yang meriah.Spanduk-spanduk berwarna
Mereka mengisi perbekalan di pasar pagi—roti gandum yang akan tahan beberapa hari, keju keras yang dibungkus dalam daun, buah kering dan kacang-kacangan untuk energi, dan air segar dalam kantong kulit—sebelum meninggalkan kota melalui gerbang utara.Jalan setapak yang mereka ikuti kini lebih lebar dan lebih ramai, dengan beberapa pedagang dan penjelajah yang juga menuju ke arah yang sama."Kota berikutnya adalah Marakand," kata Kiran, mengingat peta yang diberikan Surya. Ia membayangkan garis-garis dan simbol di perkamen tua itu."Kota Seribu Kubah. Kita mungkin bisa mencapai perbatasannya dalam tiga hari jika kita berjalan dengan baik."Perjalanan mereka relatif tenang dan tanpa insiden. Mereka berjalan saat matahari bersinar dan beristirahat di malam hari, terkadang bergabung dengan kelompok pedagang untuk keamanan tambahan.Kon dan Burs semakin terbiasa dengan wujud manusia mereka, meskipun Burs masih sering mengeluh tentang betapa lambatnya berjalan dibandingkan terbang dan bagaim
Chen merasakan tubuhnya terhempas melalui ruang dan waktu. Sensasi seperti ditarik dan ditekan dari segala arah, membuatnya tidak bisa bernapas. Dunia berputar dalam kecepatan yang tidak masuk akal, dan kesadarannya mulai memudar."Lila!" teriaknya, tapi suaranya tertelan oleh kekosongan di sekitarnya. Ia berusaha melawan kekuatan teleportasi, berusaha kembali ke tempat Lila berdiri menghadapi kematian, tapi sia-sia. Talisman itu telah mengunci tujuannya, dan tidak ada yang bisa menghentikannya sekarang.Cahaya putih membutakan berubah menjadi berbagai warna yang berputar cepat, lalu mendadak gelap total. Chen merasakan tubuhnya jatuh, jatuh, dan terus jatuh, hingga akhirnya menghantam sesuatu yang keras dan dingin.Rasa sakit menyebar ke seluruh tubuhnya seperti gelombang, dan kegelapan segera menelannya sepenuhnya.+++Suara burung-burung berkicau perlahan menarik Chen kembali ke kesadaran. Matanya terbuka dengan berat, menyipit melawan cahaya matahari yang menembus dedaunan di atas
Eve memejamkan mata sejenak, dan ketika ia membukanya kembali, mata itu telah berubah menjadi merah menyala seperti darah segar. Ia mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, dan mulai merapalkan mantra dalam bahasa kuno yang bahkan Chen tidak kenali.Tanah di bawah kaki mereka mulai bergetar. Retakan-retakan muncul, dan dari dalamnya, keluar asap merah yang panas. Asap itu berputar di sekitar Eve, semakin tebal hingga nyaris menutupi sosoknya."Apa yang dia lakukan?" tanya Chen, panik mulai menguasainya."Mantra pemanggilan tingkat tinggi," jawab Lila, wajahnya pucat pasi. "Dia memanggil Ifrit, iblis api dari dimensi lain."Tameng kristal Chen akhirnya pecah berkeping-keping saat naga api terakhir menghantamnya dengan kekuatan penuh.Chen terhempas ke belakang, punggungnya menghantam dinding kereta dengan keras. Rasa sakit menjalar di seluruh tubuhnya, dan ia bisa merasakan darah mengalir dari hidungnya, tanda bahwa ia telah mendorong batas kemampuan sihirnya terlalu jauh.Asap merah
"Berhenti! Kereta itu membawa pelarian!"Suara teriakan itu membekukan darah dalam pembuluh Chen. Ia dan Lila bertukar pandang penuh kengerian saat kereta mereka terhenti mendadak.Kuda-kuda meringkik ketakutan, seolah merasakan bahaya yang mendekat."Siapa itu?" bisik Chen, suaranya nyaris tidak terdengar.Lila mengintip dari jendela kecil kereta, wajahnya seketika memucat. "Eve Whitehouse," jawabnya dengan suara bergetar. "Penyihir pemanggil api Kekaisaran Hersen."Chen merasakan jantungnya berhenti berdetak untuk sesaat. Eve Whitehouse.Nama itu dikenal di seluruh perbatasan sebagai salah satu penyihir paling mematikan. Pengendali api dengan kemampuan sihir pesona tingkat empat, mampu membakar seluruh desa hanya dengan satu mantra.Bahkan mereka pernah bertarung melawan kelompoknya."Bagaimana dia bisa tahu?" tanya Chen, mencengkeram jubah tabibnya hingga buku-buku jarinya memutih."Dia penyihir detektor terkuat," Lila menjawab, matanya liar mencari jalan keluar. "Mantra ilusi tida
"Kiran bisa diajak bicara," Chen bersikeras. "Dan jika kau benar-benar menyesal...""Tidak semudah itu, Chen," Lila memotong lembut. "Beberapa kesalahan tidak bisa dimaafkan begitu saja."Keheningan kembali menyelimuti kereta. Chen ingin membantah, ingin mengatakan bahwa pengampunan selalu mungkin, tapi ia tahu Lila benar. Pengkhianatan adalah luka yang sulit disembuhkan, bahkan oleh waktu.Setelah hampir satu jam perjalanan melalui hutan, kereta mulai melambat. Di kejauhan, siluet Tembok Sihir menjulang tinggi, berkilau kebiruan dalam kegelapan. Benteng raksasa itu membelah daratan seperti bekas luka pada kulit bumi, memisahkan Kekaisaran Qingchang dari Kerajaan Zolia."Kita hampir sampai," Lila berbisik, matanya waspada mengamati jalan di depan. "Pos penjagaan perbatasan ada di belokan berikutnya."Chen menelan ludah, jantungnya berdebar kencang. "Apa rencanamu?""Aku akan menggunakan otoritasku untuk melewati pos," jawab Lila."Jika ditanya, aku sedang dalam misi rahasia ke Zolia.
Roda kereta berderit pelan melawan jalanan berbatu Kota Begonia. Dua ekor kuda hitam melangkah dengan irama stabil, napas mereka mengepul dalam udara malam yang dingin.Cahaya bulan sabit nyaris tak mampu menembus awan kelabu yang menggantung rendah, menjadikan malam itu lebih gelap dari biasanya.Kereta itu bergerak perlahan, hampir tanpa suara selain detak sepatu kuda dan gemeretak roda kayu. Lambang Kekaisaran terukir di sisi kereta, berkilau samar dalam keremangan.Seorang kusir berjubah tebal duduk di depan, wajahnya tersembunyi di balik tudung yang ditarik rendah.Jalanan kota tampak kosong. Jam malam telah diberlakukan sejak matahari terbenam, memaksa penduduk mengunci diri di rumah-rumah mereka yang rapuh.Hanya sesekali terlihat bayangan prajurit patroli dengan obor di tangan, memeriksa sudut-sudut gelap dengan tatapan waspada.Kereta berbelok ke jalan utama yang mengarah ke gerbang kota. Di sana, sebuah pos penjagaan berdiri dengan obor-obor menyala terang. Enam prajurit ber
Lila!Si Pengkhianat yang menyebabkan penangkapannya. Pengkhianat yang memisahkannya dari teman-temannya. Pengkhianat yang bekerja sama dengan Kekaisaran untuk menjebak Kiran dan kelompoknya di perbatasan.Darah Chen mendidih.Tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia ingin berteriak, ingin melemparkan mantra paling mematikan yang ia tahu. Tapi ia menahan diri, menunggu dengan sabar seperti predator mengintai mangsanya.Lila berjalan melalui barisan pasien, sesekali berhenti untuk berbicara dengan para penyihir terluka. Wajahnya menunjukkan keprihatinan yang tampak tulus, tapi Chen tahu lebih baik. Ia telah melihat topeng itu sebelumnya, telah mempercayainya, dan telah membayar harganya yang mahal.Saat Lila mendekat ke arahnya, Chen berbalik dan berjalan cepat menuju ruang obat di belakang balai. Ia tidak bisa menghadapinya sekarang, tidak di depan semua orang. Ia membutuhkan waktu, tempat, dan kesempatan yang tepat.Kesempatan itu datang saat senja mulai turun.Ch
Mentari muncul dengan enggan di atas Kota Begonia, cahayanya yang pucat merayap perlahan melewati puing-puing bangunan yang rusak.Chen berdiri di ambang jendela sempit Balai Pengobatan Perbatasan Qingchang, mengamati kota kelahirannya yang kini hampir tak dikenali. Udara pagi terasa dingin dan lembab, membawa aroma obat-obatan, darah, dan keputusasaan yang telah menjadi teman setianya selama berminggu-minggu.Begonia dulu adalah permata kecil di tepi perbatasan, dengan pasar-pasar ramai dan taman bunga yang indah.Kini, separuh kota telah berubah menjadi lautan puing. Rumah-rumah penduduk biasa diperbaiki seadanya dengan kayu dan kain, menciptakan labirin jalan-jalan sempit yang suram. Atap-atap miring dan dinding retak menjadi pemandangan umum di distrik bawah, tempat rakyat biasa berjuang untuk bertahan hidup.Namun, di kejauhan, di balik tembok tinggi yang memisahkan distrik kumuh dari bagian kota lainnya, menara-menara megah dengan atap keemasan berdiri angkuh.Distrik bangsawan
"Serahkan dirimu," Rustam memerintah. "Hadapi pengadilan klan.""Kita semua tahu pengadilan itu hanya formalitas," Jasper menjawab. "Kalian sudah memutuskan hukumanku.""Kau membunuh putraku!" Rustam berteriak, kesedihannya berubah menjadi kemarahan murni. "Kau pantas mati!"Dengan geraman marah, Rustam berubah menjadi serigala besar dengan bulu keperakan. Ia melompat ke arah Jasper, diikuti oleh beberapa anggota klan lainnya.Jasper tidak punya pilihan. Dengan satu gerakan cepat, ia melepaskan kekuatan barunya.Api biru keemasan menyembur dari kedua tangannya, membentuk dinding api yang mengelilinginya. Para serigala berhenti mendadak, mundur dari panas yang membakar."Aku tidak ingin membunuh siapapun lagi," Jasper berteriak di atas suara api yang berderak."Biarkan aku pergi, dan aku tidak akan pernah kembali.""Tidak akan!" Faris mengangkat tongkatnya, menggumamkan mantra kuno. Angin kencang bertiup, berusaha memadamkan api Jasper.Jasper merasakan kekuatan Faris mendorong apinya,
Reyna - gadis itu mundur, menggelengkan kepalanya."Kau... kau membunuh mereka. Kau membunuh Zahir.""Aku tidak bermaksud," Jasper mencoba menjelaskan, suaranya penuh keputusasaan. "Kekuatan ini baru. Aku tidak bisa mengendalikannya.""Kau seorang penyihir," bisik Reyna, masih mundur. "Kau berbohong pada kami semua.""Reyna, kumohon," Jasper melangkah maju, tapi gadis itu berbalik dan berlari, menghilang di antara pepohonan.Jasper tahu ia tidak punya banyak waktu. Reyna akan kembali ke perkampungan dan memberitahu semuanya. Ia harus sampai ke rumah Saraya, mengambil barang-barangnya, dan pergi sebelum seluruh klan mengejarnya.Dengan kecepatan barunya, Jasper berlari melalui hutan, melewati pohon-pohon dan semak belukar dalam gerakan kabur. Ia sampai di tepi perkampungan dalam waktu singkat, berhati-hati menyelinap di antara rumah-rumah untuk menghindari perhatian.Rumah Saraya tampak tenang saat ia masuk. Wanita itu sedang menyiapkan makanan di dapur, dan menoleh dengan terkejut saa