Di penginapan..."Aku tidak percaya kau membuat kami diam seperti itu!" protes Burs begitu mereka kembali ke Cyan Lady, dan Kiran melepaskan mantra penutup mulut. "Mereka menghinamu, Tuan Kiran! Kami seharusnya membela kehormatanmu!""Dan membongkar penyamaran kalian?" tanya Kiran. "Itu akan lebih berbahaya.""Tapi mereka sangat menyebalkan!" tambah Kon, wajahnya masih merah karena marah. "Terutama pria bernama Tanner itu! Aku ingin menyihirnya menjadi kodok!"Emma, Chen, dan Pigenor, yang sudah kembali dari ekspedisi belanja mereka, mendengarkan dengan geli."Jadi mereka meremehkanmu?" tanya Emma, tersenyum kecil. "Mereka tidak tahu apa yang akan mereka hadapi.""Orang-orang bodoh," kata Chen, menggelengkan kepala. "Menilai kekuatan seseorang dari penampilan fisiknya saja.""Itu hal yang umum," kata Pigenor bijak. "Manusia selalu terlalu cepat menilai. Tapi itu bisa menjadi keuntungan. Musuh yang meremehkanmu adalah musuh yang lengah.""Tepat sekali," kata Kiran. "Lagipula, aku suda
Fajar menyingsing di Kota Falice, meskipun tidak ada matahari yang benar-benar terbit di kota bawah tanah ini. Kristal-kristal di langit-langit gua raksasa mulai bersinar lebih terang, menandakan pergantian hari. Kiran sudah bangun sejak tadi, bersiap untuk hari penting yang akan dihadapinya."Pertarungan masih sore nanti," gumamnya sambil mengenakan jubah perjalanannya. "Masih ada waktu untuk berbelanja pot mana."Kiran meninggalkan penginapan Cyan Lady dengan langkah ringan. Emma, Chen, dan Pigenor masih tertidur, kelelahan setelah petualangan mereka kemarin. Burs dan Kon, yang tidur dalam wujud Imp di sudut kamar, juga masih mendengkur pelan.Jalanan Kota Falice sudah mulai ramai meski hari masih pagi. Para pedagang membuka kios mereka, pengunjung baru berdatangan dari pintu masuk tambang, dan aroma makanan menguar dari kedai-kedai yang baru buka.Kiran menuju ke distrik toko alkimia, tempat toko-toko sihir berjajar rapi. Ia memilih untuk mengunjungi Fantastic Store, toko yang men
Senja menjelang di Kota Falice. Suasana Kota terasa redup dan tenang.Meski berada jauh di bawah permukaan tanah, kota ini memiliki siklus siang dan malam sendiri berkat ribuan kristal sihir yang tertanam di langit-langit gua raksasa. Kini, kristal-kristal itu memancarkan cahaya keemasan kemerahan, menciptakan ilusi matahari terbenam yang begitu indah.Cahaya senja palsu ini memantul pada permukaan bangunan-bangunan batu, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menari di jalan-jalan kota. Meski buatan, senja di Kota Falice memiliki keindahan misteriusnya sendiri—perpaduan antara teknologi kuno dan sihir yang telah bertahan selama berabad-abad.Di tengah kota, Paradox Colosseum berdiri megah. Bangunan berbentuk lingkaran raksasa itu tampak lebih hidup dari biasanya. Obor-obor besar menyala di sepanjang dindingnya, dan bendera-bendera warna-warni berkibar tertiup angin buatan. Orang-orang dari berbagai penjuru berduyun-duyun memasuki arena, menciptakan lautan manusia yang bergerak
Tongkat itu terbuat dari kayu oak yang diukir dengan simbol-simbol kuno, dengan kristal biru cerah di ujungnya. Kiran menerimanya dengan rasa terima kasih."Berhati-hatilah di sana," kata Emma dengan senyum."Kami akan mendukungmu," tambah Chen."Dan ingat," kata Pigenor dengan suara rendah, "percayalah pada instingmu."Setelah teman-temannya pergi ke tribun, Kiran menunggu di ruang persiapan. Ia bisa mendengar suara riuh rendah dari arena di atas, tanda bahwa pertunjukan akan segera dimulai."Peacock?" seorang petugas memanggil. "Sudah waktunya."Kiran mengangguk, menggenggam erat tongkat sihir Chen. Ia mengikuti petugas menaiki tangga batu yang mengarah ke pintu masuk arena. Jantungnya berdegup kencang, tapi bukan karena takut. Ada sesuatu yang aneh tentang pertarungan ini, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.Di atas, suara Itzam kembali terdengar. "Dan sekarang, mari kita sambut penantang kita malam ini! Seorang penyihir muda yang berani menantang sang juara! Inilah dia... Peacock
Gong besar berbunyi, menandakan dimulainya pertarungan. Yuta tidak membuang waktu. Ia langsung merapal mantra, tangannya bergerak cepat membentuk simbol-simbol rumit di udara."Ignis Infernum, Flamma Mortis, Exaudi Vocem Meam!" teriaknya, suaranya dalam dan bergema.Lingkaran sihir merah menyala terbentuk di bawah kakinya, memanaskan udara di sekitarnya. Dari lingkaran itu, muncul tiga pilar api yang membentuk wujud naga api, siap menyerang Kiran.Penonton bersorak antusias. Banyak yang sudah yakin pertarungan akan berakhir cepat, dengan Peacock menjadi santapan naga api Yuta dalam sekejap.Namun, Kiran tetap tenang. Ia mengangkat tongkat sihirnya, bersiap menghadapi serangan pertama Yuta.Naga api itu melesat ke arah Kiran dengan kecepatan luar biasa. Panasnya membakar udara, menciptakan gelombang panas yang terasa hingga ke tribun penonton."Veritum Shieldra," bisik Kiran tepat sebelum naga api itu menghantamnya.Kubah pelindung transparan terbentuk di sekeliling Kiran. Naga api men
"Hentikan!" teriak Yuta, suaranya melemah. "Kau akan membunuhku!"Seluruh arena terdiam, menyaksikan dengan takjub dan ngeri saat Yuta Si Tiada Tanding, juara bertahan yang belum pernah kalah, kini berlutut di tanah, energinya tersedot habis oleh pusaran hitam misterius."Peacock, kumohon!" suara Yuta terdengar putus asa, tangannya berusaha meraih udara, mencoba melawan tarikan pusaran hitam yang semakin kuat. "Hentikan sihir ini!"Kiran tetap diam, tongkat sihirnya masih terarah pada pusaran hitam yang mengelilingi Yuta. Wajahnya tersembunyi di balik topeng jade, tidak menunjukkan emosi apapun.Yuta, dengan tangan gemetar, perlahan meraih topeng besi yang menutupi wajahnya. Dengan satu gerakan lemah, ia melepaskan topeng itu, membiarkannya jatuh ke pasir arena.Napas Kiran tercekat. Dunia di sekelilingnya seolah berhenti berputar.Di hadapannya, berlutut dengan wajah pucat dan keringat bercucuran, adalah Jasper—pemuda yang pernah ia kenal di Institut Sihir Magentum, di Kota Shanggu.
Cahaya putih menyilaukan menyambut Jasper saat ia membuka mata. Langit-langit berwarna putih bersih dengan kristal penerangan yang berpendar lembut menjadi pemandangan pertama yang ia lihat. Aroma ramuan herbal dan minyak penyembuh memenuhi udara, memberikan sensasi menenangkan sekaligus familiar.Ia berada di sebuah ruangan serba putih. Tempat tidur dengan seprai putih bersih, dinding putih tanpa hiasan, dan perabotan sederhana dari kayu terang. Beberapa botol ramuan tersusun rapi di meja samping tempat tidurnya, bersama dengan kompres dan perban bersih.Ruang pengobatan, Jasper menyadari. Ia pernah beberapa kali berada di tempat seperti ini setelah pertarungan-pertarungannya yang berat di arena.Saat kesadarannya semakin pulih, ia menyadari kehadiran dua sosok di dekatnya. Seorang pemuda berdiri di samping tempat tidurnya, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca—campuran kelegaan, keheranan, dan sesuatu yang lain. Jasper mengenalinya sebagai Kiran, lawan yang mengalahkannya d
Ruangan pengobatan itu hening sejenak setelah Kiran mengutarakan tawarannya. Cahaya dari kristal penerangan di langit-langit memantulkan bayangan lembut di wajah Jasper yang masih pucat. Di luar jendela, suara samar aktivitas Kota Falice terdengar sayup-sayup, kontras dengan keheningan yang menyelimuti ruangan."Jadi," Kiran memecah keheningan, "bagaimana? Apa kau bersedia bergabung dengan kami?"Jasper menatap selimut putih yang menutupi tubuhnya, jemarinya memainkan ujung kain dengan gelisah. Ia kemudian mengangkat wajahnya, matanya yang keemasan khas manusia serigala bertemu dengan mata Kiran."Ya," jawabnya tanpa ragu. "Aku bersedia bergabung.""Kau yakin?" tanya Chen, sedikit terkejut dengan jawaban cepat Jasper.Jasper tersenyum tipis, ada kesedihan di matanya. "Aku tidak punya pilihan lain, bukan? Aku sudah kalah di arena. Colton tidak akan menyukai itu. Dia hanya menyukai pemenang." Ia menarik napas dalam-dalam. "Lagipula, aku sudah lelah hidup sebagai buronan. Mungkin... mu
Chen merasakan tubuhnya terhempas melalui ruang dan waktu. Sensasi seperti ditarik dan ditekan dari segala arah, membuatnya tidak bisa bernapas. Dunia berputar dalam kecepatan yang tidak masuk akal, dan kesadarannya mulai memudar."Lila!" teriaknya, tapi suaranya tertelan oleh kekosongan di sekitarnya. Ia berusaha melawan kekuatan teleportasi, berusaha kembali ke tempat Lila berdiri menghadapi kematian, tapi sia-sia. Talisman itu telah mengunci tujuannya, dan tidak ada yang bisa menghentikannya sekarang.Cahaya putih membutakan berubah menjadi berbagai warna yang berputar cepat, lalu mendadak gelap total. Chen merasakan tubuhnya jatuh, jatuh, dan terus jatuh, hingga akhirnya menghantam sesuatu yang keras dan dingin.Rasa sakit menyebar ke seluruh tubuhnya seperti gelombang, dan kegelapan segera menelannya sepenuhnya.+++Suara burung-burung berkicau perlahan menarik Chen kembali ke kesadaran. Matanya terbuka dengan berat, menyipit melawan cahaya matahari yang menembus dedaunan di atas
Eve memejamkan mata sejenak, dan ketika ia membukanya kembali, mata itu telah berubah menjadi merah menyala seperti darah segar. Ia mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, dan mulai merapalkan mantra dalam bahasa kuno yang bahkan Chen tidak kenali.Tanah di bawah kaki mereka mulai bergetar. Retakan-retakan muncul, dan dari dalamnya, keluar asap merah yang panas. Asap itu berputar di sekitar Eve, semakin tebal hingga nyaris menutupi sosoknya."Apa yang dia lakukan?" tanya Chen, panik mulai menguasainya."Mantra pemanggilan tingkat tinggi," jawab Lila, wajahnya pucat pasi. "Dia memanggil Ifrit, iblis api dari dimensi lain."Tameng kristal Chen akhirnya pecah berkeping-keping saat naga api terakhir menghantamnya dengan kekuatan penuh.Chen terhempas ke belakang, punggungnya menghantam dinding kereta dengan keras. Rasa sakit menjalar di seluruh tubuhnya, dan ia bisa merasakan darah mengalir dari hidungnya, tanda bahwa ia telah mendorong batas kemampuan sihirnya terlalu jauh.Asap merah
"Berhenti! Kereta itu membawa pelarian!"Suara teriakan itu membekukan darah dalam pembuluh Chen. Ia dan Lila bertukar pandang penuh kengerian saat kereta mereka terhenti mendadak.Kuda-kuda meringkik ketakutan, seolah merasakan bahaya yang mendekat."Siapa itu?" bisik Chen, suaranya nyaris tidak terdengar.Lila mengintip dari jendela kecil kereta, wajahnya seketika memucat. "Eve Whitehouse," jawabnya dengan suara bergetar. "Penyihir pemanggil api Kekaisaran Hersen."Chen merasakan jantungnya berhenti berdetak untuk sesaat. Eve Whitehouse.Nama itu dikenal di seluruh perbatasan sebagai salah satu penyihir paling mematikan. Pengendali api dengan kemampuan sihir pesona tingkat empat, mampu membakar seluruh desa hanya dengan satu mantra.Bahkan mereka pernah bertarung melawan kelompoknya."Bagaimana dia bisa tahu?" tanya Chen, mencengkeram jubah tabibnya hingga buku-buku jarinya memutih."Dia penyihir detektor terkuat," Lila menjawab, matanya liar mencari jalan keluar. "Mantra ilusi tida
"Kiran bisa diajak bicara," Chen bersikeras. "Dan jika kau benar-benar menyesal...""Tidak semudah itu, Chen," Lila memotong lembut. "Beberapa kesalahan tidak bisa dimaafkan begitu saja."Keheningan kembali menyelimuti kereta. Chen ingin membantah, ingin mengatakan bahwa pengampunan selalu mungkin, tapi ia tahu Lila benar. Pengkhianatan adalah luka yang sulit disembuhkan, bahkan oleh waktu.Setelah hampir satu jam perjalanan melalui hutan, kereta mulai melambat. Di kejauhan, siluet Tembok Sihir menjulang tinggi, berkilau kebiruan dalam kegelapan. Benteng raksasa itu membelah daratan seperti bekas luka pada kulit bumi, memisahkan Kekaisaran Qingchang dari Kerajaan Zolia."Kita hampir sampai," Lila berbisik, matanya waspada mengamati jalan di depan. "Pos penjagaan perbatasan ada di belokan berikutnya."Chen menelan ludah, jantungnya berdebar kencang. "Apa rencanamu?""Aku akan menggunakan otoritasku untuk melewati pos," jawab Lila."Jika ditanya, aku sedang dalam misi rahasia ke Zolia.
Roda kereta berderit pelan melawan jalanan berbatu Kota Begonia. Dua ekor kuda hitam melangkah dengan irama stabil, napas mereka mengepul dalam udara malam yang dingin.Cahaya bulan sabit nyaris tak mampu menembus awan kelabu yang menggantung rendah, menjadikan malam itu lebih gelap dari biasanya.Kereta itu bergerak perlahan, hampir tanpa suara selain detak sepatu kuda dan gemeretak roda kayu. Lambang Kekaisaran terukir di sisi kereta, berkilau samar dalam keremangan.Seorang kusir berjubah tebal duduk di depan, wajahnya tersembunyi di balik tudung yang ditarik rendah.Jalanan kota tampak kosong. Jam malam telah diberlakukan sejak matahari terbenam, memaksa penduduk mengunci diri di rumah-rumah mereka yang rapuh.Hanya sesekali terlihat bayangan prajurit patroli dengan obor di tangan, memeriksa sudut-sudut gelap dengan tatapan waspada.Kereta berbelok ke jalan utama yang mengarah ke gerbang kota. Di sana, sebuah pos penjagaan berdiri dengan obor-obor menyala terang. Enam prajurit ber
Lila!Si Pengkhianat yang menyebabkan penangkapannya. Pengkhianat yang memisahkannya dari teman-temannya. Pengkhianat yang bekerja sama dengan Kekaisaran untuk menjebak Kiran dan kelompoknya di perbatasan.Darah Chen mendidih.Tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia ingin berteriak, ingin melemparkan mantra paling mematikan yang ia tahu. Tapi ia menahan diri, menunggu dengan sabar seperti predator mengintai mangsanya.Lila berjalan melalui barisan pasien, sesekali berhenti untuk berbicara dengan para penyihir terluka. Wajahnya menunjukkan keprihatinan yang tampak tulus, tapi Chen tahu lebih baik. Ia telah melihat topeng itu sebelumnya, telah mempercayainya, dan telah membayar harganya yang mahal.Saat Lila mendekat ke arahnya, Chen berbalik dan berjalan cepat menuju ruang obat di belakang balai. Ia tidak bisa menghadapinya sekarang, tidak di depan semua orang. Ia membutuhkan waktu, tempat, dan kesempatan yang tepat.Kesempatan itu datang saat senja mulai turun.Ch
Mentari muncul dengan enggan di atas Kota Begonia, cahayanya yang pucat merayap perlahan melewati puing-puing bangunan yang rusak.Chen berdiri di ambang jendela sempit Balai Pengobatan Perbatasan Qingchang, mengamati kota kelahirannya yang kini hampir tak dikenali. Udara pagi terasa dingin dan lembab, membawa aroma obat-obatan, darah, dan keputusasaan yang telah menjadi teman setianya selama berminggu-minggu.Begonia dulu adalah permata kecil di tepi perbatasan, dengan pasar-pasar ramai dan taman bunga yang indah.Kini, separuh kota telah berubah menjadi lautan puing. Rumah-rumah penduduk biasa diperbaiki seadanya dengan kayu dan kain, menciptakan labirin jalan-jalan sempit yang suram. Atap-atap miring dan dinding retak menjadi pemandangan umum di distrik bawah, tempat rakyat biasa berjuang untuk bertahan hidup.Namun, di kejauhan, di balik tembok tinggi yang memisahkan distrik kumuh dari bagian kota lainnya, menara-menara megah dengan atap keemasan berdiri angkuh.Distrik bangsawan
"Serahkan dirimu," Rustam memerintah. "Hadapi pengadilan klan.""Kita semua tahu pengadilan itu hanya formalitas," Jasper menjawab. "Kalian sudah memutuskan hukumanku.""Kau membunuh putraku!" Rustam berteriak, kesedihannya berubah menjadi kemarahan murni. "Kau pantas mati!"Dengan geraman marah, Rustam berubah menjadi serigala besar dengan bulu keperakan. Ia melompat ke arah Jasper, diikuti oleh beberapa anggota klan lainnya.Jasper tidak punya pilihan. Dengan satu gerakan cepat, ia melepaskan kekuatan barunya.Api biru keemasan menyembur dari kedua tangannya, membentuk dinding api yang mengelilinginya. Para serigala berhenti mendadak, mundur dari panas yang membakar."Aku tidak ingin membunuh siapapun lagi," Jasper berteriak di atas suara api yang berderak."Biarkan aku pergi, dan aku tidak akan pernah kembali.""Tidak akan!" Faris mengangkat tongkatnya, menggumamkan mantra kuno. Angin kencang bertiup, berusaha memadamkan api Jasper.Jasper merasakan kekuatan Faris mendorong apinya,
Reyna - gadis itu mundur, menggelengkan kepalanya."Kau... kau membunuh mereka. Kau membunuh Zahir.""Aku tidak bermaksud," Jasper mencoba menjelaskan, suaranya penuh keputusasaan. "Kekuatan ini baru. Aku tidak bisa mengendalikannya.""Kau seorang penyihir," bisik Reyna, masih mundur. "Kau berbohong pada kami semua.""Reyna, kumohon," Jasper melangkah maju, tapi gadis itu berbalik dan berlari, menghilang di antara pepohonan.Jasper tahu ia tidak punya banyak waktu. Reyna akan kembali ke perkampungan dan memberitahu semuanya. Ia harus sampai ke rumah Saraya, mengambil barang-barangnya, dan pergi sebelum seluruh klan mengejarnya.Dengan kecepatan barunya, Jasper berlari melalui hutan, melewati pohon-pohon dan semak belukar dalam gerakan kabur. Ia sampai di tepi perkampungan dalam waktu singkat, berhati-hati menyelinap di antara rumah-rumah untuk menghindari perhatian.Rumah Saraya tampak tenang saat ia masuk. Wanita itu sedang menyiapkan makanan di dapur, dan menoleh dengan terkejut saa