Jasper tidak berhenti.Ia terus mengalirkan energi ke dalam apinya, membuat tornado itu semakin besar dan panas. Wendigo berputar dalam kesakitan, mencoba memadamkan api, tapi sia-sia.Api keemasan Jasper terlalu kuat, terlalu lapar.Dalam hitungan menit, tubuh Wendigo mulai runtuh menjadi abu. Tanduk peraknya jatuh ke tanah dengan dentingan keras, diikuti oleh sesuatu yang berkilau merah dari dalam tubuhnya yang terbakar.Saat api padam, yang tersisa hanyalah tumpukan abu dan dua benda: tanduk perak yang menjadi target Perburuan Malam, dan sebuah kristal merah sebesar ibu jari yang berkilau seperti bara api.Jasper merangkak mendekati sisa-sisa Wendigo, mengabaikan rasa sakit di kakinya.Ia mengambil tanduk perak itu, merasakan beratnya yang tidak wajar untuk ukurannya. Tapi perhatiannya lebih tertarik pada kristal merah yang berdenyut seperti jantung."Monster core," bisiknya, mengenali benda itu dari pelajarannya di Institut Sihir Magentum. "Inti api."Inti monster adalah kristalis
Pohon prem bergoyang lembut, aroma bunganya yang manis memenuhi udara. Awal musim semi membawa keindahan yang memikat siapa saja yang melangkah ke sini.Tahun ini adalah 575 dalam kalender Kekaisaran Hersen. Di tengah ketenangan, sebuah portal sihir muncul, memancarkan cahaya biru keperakan. Dari dalamnya, tiga sosok muncul: seorang pemuda manusia, seekor Kyuubi berekor sembilan, dan seekor Pegasus yang memancarkan aura agung.Namun...."Berhenti!" Suara tegas memecah keheningan Hutan. "Jangan bergerak, serahkan diri sekarang juga!"Sekelompok prajurit Kekaisaran dengan baju zirah muncul dari balik pepohonan, lanngsun mengepung. Gerakan tentara itu serempak, jumlahnya lima ratus orang."Tentara Suci Qinchang?" gumam pemuda bernama Kiran itu bingung.Kiran memandang sekeliling dengan heran. "Kenapa kalian, pasukan elit Kekaisaran, mengepungku? Apa salahku?" tanyanya tenang."Aku juga bagian dari Tentara Suci. Aku sedang menjalankan tugas rahasia!" Kiran mengangkat sebuah token emas. To
“Muridku, Kiran, setujukah kau ikut denganku ke ibu kota? Di hadapan Kaisar, kau akan bersaksi bahwa kau tidak terlibat dengan Klan Phoenix Merah!” kata Master Cho memecah keheningan.Sejak menjadi muridnya, Kiran jarang dipanggil "murid." Namun, panggilan itu membuatnya merasa hangat, meski ia tetap diam.“Aku akan menjamin keselamatanmu,” lanjut Master Cho tegas.Kiran membatu, tatapannya dingin.“Aku akan bersaksi di depan Kaisar bahwa kau tidak bersalah!” suaranya sedikit meninggi, mencoba meyakinkan Kiran.Akhirnya, Kiran menarik napas dalam. Ekspresi tulus Master Cho membuat hatinya sedikit tenang.“Aku setuju! Aku akan ikut ke ibu kota. Tolong buka jalan!” katanya, mendekati Master Cho dan mengangkat tangan, siap diborgol.Ekspresi lega tampak di wajah Khanze dan para Tentara Emas, sementara wajah Master Cho tetap sulit dibaca.Roneko dan Diolos tidak setuju. Roneko, gadis kecil berambut merah, berdiri marah.“Tuan Kiran, aku tidak setuju! Firasatku mengatakan ada yang tidak be
Kota Qingchang berdiri megah sebagai pusat kekuasaan, dikelilingi tembok tinggi yang melindungi rahasia kuno dan sungai deras yang memisahkan dunia luar dari kemewahan di dalamnya. Setiap batu tembok menyimpan kisah pertempuran dan kejayaan.Di sisi utara kota, Istana Raja menjulang anggun. Atapnya yang meruncing seakan menembus langit, melambangkan kekuatan negeri ini. Cahaya matahari memantul dari atap, menciptakan kilauan menakjubkan.Kiran melangkah tertatih di koridor istana, dibebani borgol dan rantai. Suara gemerincing rantai mengisi kesunyian, menandai perjalanan menuju takdir yang tak pasti.Dua tentara suci mengawalnya, diikuti dua ahli sihir dengan aura magis yang menakutkan. Mereka berada di bawah perintah Panglima Tertinggi Eadric Windmere dan Menteri Sihir Eamon Thornfield. Kehadiran mereka menambah suasana mencekam.Sepanjang koridor, puluhan prajurit berdiri tegak, siap menghunus senjata. Ketegangan semakin terasa, setiap napas Kiran dipenuhi rasa takut dan ketidakpast
Hari ketiga setelah sidang pengadilan di balairung istana raja. Suasana kota Qingchang pagi itu riuh rendah, dipenuhi oleh desas-desus dan bisikan-bisikan yang bergulir seperti angin.Tuk – tak – tuk – tak!Suara roda kereta kuda bergema di jalanan berbatu, mengiringi langkah kuda-kuda putih yang gagah. Di belakang kereta, sebuah kerangkeng besi setinggi manusia terlihat jelas.Di dalamnya, seorang pemuda berdiri tegak, tubuhnya dibelenggu rantai yang mengikat pergelangan tangan dan kakinya. Wajahnya tenang, tapi matanya yang dingin memancarkan ketegaran.“Siapa dia? Apakah dia tahanan raja?” tanya seorang wanita tua, suaranya bergetar penuh rasa ingin tahu.“Dia masih begitu muda. Sungguh kasihan!” sahut yang lain, suaranya lirih namun penuh simpati.Semua mata penduduk Kota Qingchang tertuju pada kerangkeng itu. Mereka berdesakan, mencoba melihat lebih dekat sosok yang menjadi tahanan.Rantai yang membelenggu pemuda itu berderak setiap kali kereta bergerak, seolah mengingatkan semua
Sementara itu, jauh dari keramaian alun-alun ibu kota, Raja Thalion Stormrider berdiri di balkon tinggi istananya.Teleskop perak di tangannya mengarah ke alun-alun kota, lensanya menangkap setiap detail dari kejauhan. Sorot matanya tajam, menembus jarak untuk memastikan sesuatu yang penting terjadi di sana."Dia sudah tiba," gumam Raja dengan suara rendah yang penuh kepuasan. "Semoga tubuh dan jiwanya terbakar habis, dan Raja Hersen memaafkan Qingchang."Di sampingnya, Kanselir Agung Cedric Ironwood berdiri dengan sikap tenang. Wajahnya yang berkerut oleh usia dan pengalaman tampak ikut senang."Raja tak perlu khawatir," ujar Kanselir, suaranya halus namun penuh keyakinan. "Aku sudah memerintahkan Menteri Sihir dan Kepala Akademi Sihir untuk berjaga-jaga di alun-alun.""Mereka telah menyiapkan pasukan sihir terbaik untuk menangkal segala serangan. Jika Klan Phoenix Merah muncul dan mencoba membuat kekacauan, mereka akan dihadapi dengan kekuatan yang tak tertandingi."Raja menurunkan
BOOM!Suara ledakan mengguncang alun-alun ketika obor yang dilempar algojo menghantam tumpukan kayu kering. Api langsung menjilat ke atas, membakar udara dengan panas yang menyengat.Di langit, awan gelap mulai berkumpul, seakan alam turut merasakan ketegangan yang memuncak.Derak nyala api terdengar seperti suara ular yang mendesis, sementara asap tebal mulai mengepul ke langit.“Hukuman telah dilaksanakan!” teriak algojo dengan suara keras, mengangkat tangannya ke kerumunan. “Biarkan penyihir ini mati, menebus hutang darah atas perbuatan The Flame, sang Phoenix!”Sorak-sorai dan desisan memenuhi alun-alun.Wajah-wajah penduduk yang menonton tampak keras dan puas, tanpa belas kasihan. Namun, di antara kerumunan, beberapa suara lirih terdengar, seperti bisikan yang takut dihukum.“Dia masih muda... terlalu muda untuk mati seperti ini.”“Apakah kesalahannya sebesar itu? Dia hanya dituduh sebagai mata-mata. Belum ada bukti yang jelas.”Kiran, yang terikat di tiang kayu, mulai gelisah.A
Kiran terbangun ketika hari sudah senja keesokan harinya. Dalam tidurnya—atau lebih tepatnya, dalam keadaan tidak sadarkan diri—dia bermimpi sedang berdoa di Kuil Dewa Tempestia, dewa yang dipuja di dataran Tengah.Dalam mimpinya, para pendeta di kuil membunyikan lonceng, suaranya berdengung keras, menggema dari dunia lain yang misterius. Suara itu menusuk ke dalam benaknya, membuatnya merasa terpisah dari kenyataan.“Di mana aku?” gumam Kiran perlahan saat bangun dari tempat tidurnya yang sederhana.Selimut tebal yang menumpuk di atas jerami terasa kasar di kulitnya. Dia mengusap wajah, mencoba mengusir sisa-sisa mimpi yang masih membayangi pikirannya.Pandangannya tertuju ke arah jendela kecil di kamar itu. Dari sana, ia bisa melihat Ibukota Qingchang yang megah, dengan menara-menara tinggi menjulang dan lampu-lampu yang mulai menyala seiring datangnya malam.“Sebuah kamar rahasia, di bangunan diatas bukit?” Kiran menyipitkan mata.Pikirannya masih melayang, mencoba mengingat apa ya
Jasper tidak berhenti.Ia terus mengalirkan energi ke dalam apinya, membuat tornado itu semakin besar dan panas. Wendigo berputar dalam kesakitan, mencoba memadamkan api, tapi sia-sia.Api keemasan Jasper terlalu kuat, terlalu lapar.Dalam hitungan menit, tubuh Wendigo mulai runtuh menjadi abu. Tanduk peraknya jatuh ke tanah dengan dentingan keras, diikuti oleh sesuatu yang berkilau merah dari dalam tubuhnya yang terbakar.Saat api padam, yang tersisa hanyalah tumpukan abu dan dua benda: tanduk perak yang menjadi target Perburuan Malam, dan sebuah kristal merah sebesar ibu jari yang berkilau seperti bara api.Jasper merangkak mendekati sisa-sisa Wendigo, mengabaikan rasa sakit di kakinya.Ia mengambil tanduk perak itu, merasakan beratnya yang tidak wajar untuk ukurannya. Tapi perhatiannya lebih tertarik pada kristal merah yang berdenyut seperti jantung."Monster core," bisiknya, mengenali benda itu dari pelajarannya di Institut Sihir Magentum. "Inti api."Inti monster adalah kristalis
Sepasang mata putih tanpa pupil menatap Jasper dari kegelapan terowongan.Cahaya dari bola api kecil di tangannya menyinari sosok tinggi kurus yang perlahan melangkah maju. Kulitnya pucat seperti tulang yang lama terkubur, dengan tekstur kasar bagai kulit pohon mati. Tanduk perak mencuat dari kepalanya, berkilau dingin di bawah cahaya api.Wendigo Perak. Makhluk legenda yang menjadi target Perburuan Malam."Jadi kau nyata," bisik Jasper, mundur hingga punggungnya menyentuh dinding lubang.Makhluk itu menggeram, suaranya seperti angin musim dingin yang menyapu tulang-tulang kering. Ia membuka mulutnya, menampakkan deretan gigi setajam jarum yang tersusun dalam tiga baris.Lengannya yang panjang dan kurus berakhir dengan cakar melengkung yang tampak mampu mengoyak baja.Jasper menggenggam belati Reyna erat-erat, meski tahu senjata sekecil itu tidak akan banyak membantu. Kakinya yang terluka berdenyut nyeri, mengingatkannya bahwa ia tidak dalam kondisi untuk bertarung, apalagi melarikan
Hutan di malam hari berubah menjadi tempat yang sama sekali berbeda. Pohon-pohon yang di siang hari sudah tampak mengancam, kini menjulang seperti raksasa hitam dengan cabang-cabang bagai cakar. Bulan purnama menerobos di antara dedaunan, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak seolah hidup.Jasper berlari sekuat tenaga, berusaha mengikuti jejak para serigala. Tanpa transformasi, ia jauh lebih lambat. Napasnya mulai tersengal, tapi ia memaksakan diri terus bergerak. Belati pemberian Reyna terselip di ikat pinggangnya, siap digunakan.Setelah beberapa menit berlari, Jasper berhenti untuk mengatur napas. Hutan di sekitarnya sunyi, tidak ada tanda-tanda serigala lain. Ia telah kehilangan jejak mereka."Hebat," gumamnya pada diri sendiri. "Tersesat di malam pertama."Tiba-tiba, suara geraman rendah terdengar dari belakangnya. Jasper berbalik cepat, tangannya meraih belati. Tiga pasang mata berkilau dalam kegelapan. Satu merah, dua lainnya kuning keemasan.Zahir dalam wujud s
"Dia tidak akan senang melihatmu ikut berburu," Reyna melanjutkan. "Dia tidak suka pendatang."Saraya melangkah maju, membawa Jasper ke hadapan Patriark. "Rustam, aku membawa perwakilan keluargaku untuk Perburuan Malam."Bisik-bisik terdengar di seluruh kerumunan. Zahir menatap Jasper dengan mata menyipit."Saraya," Rustam berkata, suaranya dalam dan berwibawa. "Sudah lima tahun keluargamu tidak mengirim perwakilan.""Jasper dari Klan Moonfire akan mewakili kami," jawab Saraya tegas.Zahir melangkah maju. "Ayah, dia bukan bagian dari klan kita. Dia bahkan bukan keluarga Saraya.""Dia tinggal di rumahku dan bekerja untuk keluargaku," Saraya menjawab tenang. "Menurut tradisi, itu cukup untuk menjadikannya perwakilan."Rustam menimbang sejenak, lalu mengangguk. "Tradisi memang memperbolehkan itu." Ia menatap Jasper. "Anak muda, kau sadar bahaya yang kau hadapi?""Ya, Patriark," jawab Jasper percaya diri."Baiklah. Jasper dari Klan Moonfire akan mewakili keluarga Saraya dalam Perburua
Jasper terbangun dengan sentakan. Sinar matahari pagi menerobos melalui celah dinding kayu rumah Saraya, menciptakan pola keemasan di lantai tanah yang dipadatkan. Sudah tiga hari ia tinggal bersama keluarga ini, dan tubuhnya mulai terbiasa dengan rutinitas baru: bangun saat ayam berkokok, membelah kayu hingga matahari tinggi, lalu mengikuti Reyna mencari tanaman obat di tepian Hutan Zal-Umar.Ia bangkit dari dipan sederhana yang menjadi tempat tidurnya, meregangkan otot-otot yang masih terasa kaku. Luka di bahunya telah membaik berkat ramuan Reyna, meski kadang masih terasa berdenyut saat ia mengangkat beban berat."Sudah bangun?" Suara Reyna terdengar dari ambang pintu. Gadis itu berdiri dengan keranjang anyaman di tangan, rambutnya yang cokelat keemasan diikat longgar. "Ibu membutuhkan kayu untuk memasak.""Aku segera ke sana," jawab Jasper, menyisir rambutnya dengan jari.Reyna mengangguk, tapi tidak beranjak. "Hari ini berbeda," katanya, suaranya lebih rendah. "Malam ini Perb
Jasper bisa merasakan kekuatan sihir yang mengalir dari tongkat itu, berbeda dari sihir yang ia kenal, lebih liar dan terikat dengan alam."Mendekatlah, anak muda," perintah Patriark dengan suara dalam yang bergema di dalam tenda.Jasper melangkah maju, berusaha menyembunyikan kegugupannya. Ia tahu ini adalah saat yang menentukan. Udara di dalam tenda terasa berat dengan energi, membuat kulitnya meremang."Siapa namamu?" tanya Patriark."Jasper," jawabnya. "Dari Klan Moonfire.""Klan Moonfire telah musnah bertahun-tahun lalu," kata pria tua dengan tongkat berukir—yang Jasper duga adalah dukun klan. "Dibantai oleh Klan Stormhowl dalam Perang Bulan Berdarah."Jasper menundukkan kepala, berpura-pura sedih."Tidak semua dari kami terbunuh. Beberapa berhasil melarikan diri dan hidup tersembunyi. Keluargaku adalah salah satunya." Ia mengangkat wajahnya, memperlihatkan luka-luka di tubuhnya. "Tapi mereka akhirnya menemukan kami. Aku satu-satunya yang selamat."Patriark menatapnya lama, seola
Jasper terbangun dengan napas tersengal. Keringat dingin membasahi tubuhnya yang terbaring di atas dedaunan lembap.Selama beberapa saat, ia hanya menatap kanopi pohon-pohon tinggi yang menghalangi langit, mencoba mengumpulkan kesadarannya yang tercerai-berai.Sudah berapa lama ia berlari? Tiga hari? Empat? Waktu terasa kabur sejak pertempuran mematikan di tembok perbatasan Qingchang dan Zolia.Ingatan tentang serangan itu masih segar dalam benaknya: teriakan Emma, mantra-mantra Chen, dan tatapan terakhir Kiran sebelum mereka terpisah dalam kekacauan. Bayangan api dan asap masih menari di belakang kelopak matanya setiap kali ia memejamkan mata."Aku harus terus bergerak," gumamnya pada diri sendiri, memaksakan tubuhnya yang lelah untuk bangkit. Setiap otot memprotes, menjerit kesakitan setelah hari-hari berlari tanpa henti.Hutan di sekitarnya terasa berbeda dari hutan manapun yang pernah ia masuki. Pohon-pohon menjulang dengan batang segelap obsidian, dedaunan begitu rimbun hingga ha
Emma bergerak cepat namun hati-hati melalui toko yang gelap, mengambil beberapa potong roti dan keju dari dapur untuk perbekalan perjalanan. Ia berhenti sejenak di ambang pintu depan, mendengarkan suara-suara dari luar.Jalanan tampak sepi, namun ia tahu pasukan Hersen berpatroli sepanjang malam, terutama sejak kabar tentang penyusupan di ibukota menyebar.Dengan satu tarikan napas dalam, Emma membuka pintu dan melangkah keluar ke dalam malam. Udara dingin menyapu wajahnya, membawa aroma kristal dan es yang khas Kota Crystalline. Ia menarik tudung jubahnya lebih rendah, menyembunyikan wajahnya dari pandangan siapapun yang mungkin berpapasan dengannya.Jalanan kota berkilau dalam cahaya bulan, kristal-kristal biru memantulkan sinar keperakan yang menciptakan pemandangan seperti di negeri dongeng.Namun bagi Emma, keindahan itu hanyalah topeng yang menyembunyikan bahaya. Setiap bayangan bisa menyembunyikan penjaga, setiap sudut bisa menjadi tempat penyergapan.Ia bergerak dari satu baya
Suara Madam Elyra memecah keheningan, lembut namun penuh keterkejutan.Emma berbalik perlahan, mendapati wanita tua itu berdiri di ambang pintu, mengenakan jubah tidur berwarna biru tua. Wajahnya yang biasanya ramah kini dipenuhi kebingungan dan kekecewaan."Madam," kata Emma, suaranya tercekat. Botol eliksir booster terasa berat di tangannya, bukti pengkhianatannya yang tak terbantahkan."Kau... mencuri ramuanku?" tanya Madam Elyra, matanya beralih pada tas kain yang kini setengah penuh dengan botol-botol ramuan. Suaranya bergetar, bukan oleh kemarahan, melainkan oleh luka pengkhianatan.Emma menelan ludah, merasakan rasa bersalah yang menusuk hingga ke tulang. "Aku bisa menjelaskan.""Menjelaskan apa?" Madam Elyra melangkah masuk ke ruangan, matanya tidak lepas dari tas berisi ramuan curian."Bahwa kau memanfaatkan kebaikanku? Bahwa kau berpura-pura selama ini?""Bukan seperti itu," kata Emma, suaranya hampir memohon. "Aku harus pergi, Madam. Teman-temanku dalam bahaya.""Teman?" Ma