Pagi itu, Elena sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk ketiga putrinya. Aroma roti panggang memenuhi ruangan kecil itu. Katty dan Delya sudah duduk di meja makan, menunggu dengan penuh semangat.Namun, Olivia masih berdiri di pintu dapur dengan wajah murung."Olivia, kenapa diam saja? Ayo, sarapan," kata Elena sambil meletakkan piring di meja.Olivia menggigit bibirnya, lalu menunduk. "Mommy..." suaranya pelan, hampir seperti bisikan.Elena menghentikan kegiatannya dan menatap Olivia dengan cermat. "Ada apa, sayang?"Olivia menarik napas dalam-dalam, lalu menatap Elena dengan mata yang berkaca-kaca. "Besok ada acara keluarga di sekolah. Semua temanku datang bersama ayah dan ibu mereka..."Elena langsung mengerti arah pembicaraan ini. Ia mengelus kepala Olivia dengan lembut. "Sayang, Mommy bisa ikut bersamamu.""Tapi temanku bilang Daddy juga harus datang..." Olivia meremas ujung bajunya. "Mommy... bisa minta Daddy untuk datang?"Elena terdiam sejenak. Ia tahu permintaan ini akan munc
Dokter menatap Elena dengan ekspresi tenang sambil merapikan jas putihnya. “Tidak ada masalah serius, Nona Elena. Anda hanya kelelahan. Pastikan untuk lebih banyak beristirahat dan jangan memaksakan diri.” Elena menghembuskan napas lega. “Terima kasih, Dokter.” Nathan, yang berdiri di samping ranjang rumah sakit, menyilangkan kedua tangannya di dada. “Kelelahan, ya?” Suaranya datar, tetapi sorot matanya penuh teguran. Elena hanya melirik sekilas, lalu mengalihkan pandangan. “Aku baik-baik saja.” Dokter tersenyum tipis. “Hati-hati, Nona Elena. Anda sedang hamil, jadi jangan anggap remeh kelelahan.” Setelah dinyatakan tidak apa-apa, Nathan langsung mengantar Elena pulang ke apartemen. Meskipun tidak banyak bicara, tatapan dan sikapnya jelas menunjukkan bahwa ia masih kesal karena Elena ceroboh menjaga kesehatannya. Sesampainya di apartemen, pintu langsung dibuka oleh Olivia dan Katty. Keduanya terlihat gembira melihat Nathan berdiri di samping sang mommy. “Paman Nathan!” s
Isabella duduk di sofa rumah mewahnya dengan wajah kesal. Di tangannya, ponsel yang baru saja ia gunakan untuk menghubungi Tamara masih bergetar pelan. Ia mengetik pesan dengan marah.Tamara: [Maaf, Nona Isabella. Nona Queen Elisabeth tidak bisa menerima pesanan Anda karena jadwalnya sangat padat. Saat ini beliau memiliki banyak proyek lain yang harus diselesaikan].Mata Isabella membelalak, lalu tanpa pikir panjang, ia langsung membalas.Isabella: [Apa maksudnya? Aku sudah membayar tiga kali lipat! Kalian menolak uang sebanyak itu?!]Tidak ada balasan cepat dari Tamara, membuat darah Isabella semakin mendidih.Isabella: [Bilang pada desainer itu untuk membuatkan desain untukku! Aku mau perhiasan spesial dari Queen Elisabeth!]Beberapa detik kemudian, akhirnya balasan datang.Tamara: [Maaf, tapi keputusan ini sudah final].Isabella menatap layar ponselnya dengan napas memburu. Amarahnya memuncak, dan ia menghantamkan ponsel itu ke lantai dengan keras.BRAK!Damian, yang baru saja masu
Nathan duduk di kursinya, satu tangan bertumpu di dagu sementara pandangannya terpaku pada layar komputer. Namun, pikirannya tidak berada di sana. Berulang kali ia mencoba fokus pada laporan keuangan di hadapannya, tapi adegan itu terus berulang di kepalanya.Ciuman itu.Singkat, tak terduga, tapi entah bagaimana meninggalkan kesan yang begitu dalam.Nathan menghela napas panjang, mencoba mengusir pikirannya, tapi seolah ada sesuatu yang mengikatnya di sana.Sial, kenapa dia masih memikirkannya? Itu hanya sebuah kecelakaan.Tapi tetap saja...Nathan bangkit dari kursinya, berjalan menuju jendela kantornya, dan menatap pemandangan kota dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ia tidak bisa seperti ini. Elena hanyalah karyawannya. Tidak lebih.Tidak lebih... bukan?Sementara itu, di ruang desain, Elena sibuk dengan beberapa dokumen di tangannya. Ia masih merasakan wajahnya panas setiap kali mengingat apa yang terjadi di ruang Nathan tadi."Apa aku gila?" gumamnya pelan.Ia menggeleng, menc
Di dalam kamar mewah mereka, Isabella duduk di depan meja rias, dengan tenang merias wajahnya. Sesekali, ia melirik Damian yang duduk di sofa dengan wajah kesal."Apa maksudmu dia menolak?" suara Isabella melengking ketika Damian akhirnya memberitahu kabar buruk itu.Damian mengusap wajahnya kasar. "Admin-nya bilang mereka tidak menerima pesanan pribadi. Aku sudah coba menawarkan harga berapa pun, tapi dia tetap menolak."Isabella mendengus keras, lalu meletakkan lipstik di tangannya dengan kasar. "Tidak mungkin! Aku yakin Queen Elisabeth itu cuma sok jual mahal. Apa dia tidak tahu siapa aku? Aku ini istrimu, Damian! Mereka seharusnya merasa terhormat kalau aku memakai perhiasan mereka."Damian menatapnya tajam. "Kau pikir statusmu bisa membeli segalanya? Queen Elisabeth punya aturan sendiri, dan dia tidak peduli siapa dirimu!"Isabella bangkit dari kursinya, mendekati Damian dengan wajah penuh amarah. "Jadi kau akan membiarkan dia menolak kita begitu saja? Kau ini suamiku atau bukan?
Di ruang VIP rumah sakit, Baby David akhirnya diizinkan pulang setelah beberapa hari menjalani perawatan intensif. Damian menggendong putranya dengan hati-hati, memastikan tubuh kecil itu tetap hangat di bawah selimut lembut. Wajahnya masih dipenuhi kekhawatiran, meski dokter sudah meyakinkannya bahwa kondisi David sudah stabil.Namun, berbeda dengan Damian, Isabella tampak santai. Alih-alih khawatir akan kondisi putranya, ia justru sibuk melihat katalog perhiasan eksklusif di ponselnya."Honey, lihat ini!" seru Isabella sambil menyodorkan layar ponselnya tepat di depan wajah Damian. "Liontin ini luar biasa! Ini karya terbaru dari Queen Elisabeth. Aku mau yang ini."Damian mengernyit. "Isabella, putra kita baru saja keluar dari rumah sakit, dan kamu malah memikirkan perhiasan?"Isabella manyun. "Memangnya kenapa? David sudah membaik, kan? Aku hanya mau hadiah kecil sebagai perayaan. Lagipula, aku ini ibu dari anakmu, Damian. Masa kamu keberatan membelikanku liontin?"Damian mendengus,