Amara membuka aplikasi media sosial favoritnya dan menatap layar ponselnya dengan tangan gemetar. Dia tahu bahwa langkah ini akan mengubah segalanya. Dalam benaknya, berbagai skenario bermain—bagaimana orang akan bereaksi, bagaimana Maya, mertua, dan Athar akan menanggapi. Namun, rasa sakit dan kekecewaan yang dia rasakan lebih besar daripada ketakutannya.
Dengan napas panjang, dia mulai membuat vidio tentang dirinya serta sebuah ketikan tertulis di sana untuk memperjelas semua yang dirasakannya: --- "Selama ini aku diam. Aku mencoba menerima semua perlakuan tidak adil yang diberikan kepadaku. Tapi aku sudah mencapai batas. Kalian, Maya, mertua, dan terutama kamu, Mas Athar, telah membuat hidupku seperti neraka. Maya, kamu merebut suamiku, dan kamu, mertua, mendukung semua kebohongan dan pengkhianatan ini. Mas Athar, kamu mengkhianati janji suci kita. Apa yang kalian lakukan padaku adalah sesuatu yang tidak pernah bisa aku lupakan atau maafkan. Aku hanya ingin semua orang tahu kebenarannya. Aku tidak akan diam lagi. Aku akan berjuang untuk diriku sendiri. Ini belum berakhir." --- Setelah mengetik kata-kata tersebut, Amara memeriksa kembali setiap kalimat. Dia merasakan campuran antara kemarahan, kesedihan, dan kelegaan yang aneh. Ini adalah pertama kalinya dia membiarkan dirinya menjadi rentan di depan umum, mengungkapkan semua luka yang dia rasakan selama ini. Amara menekan tombol "Kirim" dan segera merasakan gelombang kecemasan menyapu dirinya. Dia menunggu dengan penuh ketegangan, membayangkan reaksi yang akan datang. Komentar dan pesan mulai masuk satu per satu. Beberapa teman memberikan dukungan, sementara yang lain terkejut dengan pengungkapan tersebut. Wanita cantik itu sengaja tidak membalas setiap komentar yang diterima, melainkan membiarkan ponselnya tergeletak begitu saja. Dia belum siap untuk menceritakan semuanya, lebih tepatnya menunggu hatinya kembali tenang seperti semula. Sedangkan di kamar utama, terlihat Maya begitu santai setelah mendapatkan apa yang diinginkannya. "Kamu jangan pernah khawatir, Maya. Aku akan terus mendukungmu hingga wanita mandul itu pergi dari rumah ini." Mega memberikan dukungan penuh pada menantunya. "Iya, Bu. Selama ada Ibu di sini mendukungku, pasti semuanya akan baik-baik saja." Maya tersenyum puas. Mega tidak tahu menahu tentang Maya yang memiliki hati busuk lebih dari yang dipikirkannya. Dia mengira, bahwa menantu yang dibanggakan kali ini akan selalu baik padanya. Di saat mereka berdua merayakan kemenangan karena sudah berhasil mengusir Amara ke kamar tamu, tiba-tiba saja Athar datang dengan wajah memerah. "Kenapa kalian melakukan ini semua?" tanya Athar sembari mengernyitkan dahi. "Harusnya kamu bersyukur, Athar. Dengan bantuan Ibu dan Maya, kamu juga tidak perlu repot-repot mengusir Amara dari kamar ini?" Mega langsung memberikan suara. "Tapi jangan mendadak begini, Bu. Kita harus menunggu waktu yang tepat." Athar memberikan nasihat. "Mau nunggu sampai kapan, Athar. Lebih cepat lebih baik, dari pada harus menunggu sampai dia berani menentang!" pekik Mega kesal karena sikap anaknya yang masih labil. "Apa kamu lupa, Mas. Kita berhubungan tanpa ada rasa keterpaksaan, kenapa sekarang Mas seakan tidak rela jika aku tinggal di kamar utama menggantikan Amara? Apa sekarang Mas Athar sudah berubah pikiran?" Maya mulai merajuk. Athar merasa kepalanya berdenyut hebat. Perdebatan yang tidak ada ujung ini membuat pikirannya semakin kacau. Di satu sisi, dia merasa Mega dan Maya benar. Amara sudah terlalu lama menghuni kamar utama itu, meski hubungan mereka sudah lama membeku. Di sisi lain, dia tidak ingin terlihat kejam atau tergesa-gesa. "Sudahlah, Mas. Aku sudah lelah dengan semua drama ini. Kita harus bertindak sekarang," desak Mega dengan nada tajam, matanya menyiratkan ketegasan yang tidak bisa ditolak. Athar menarik napas panjang, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Aku hanya tidak ingin membuat keputusan yang tergesa-gesa dan nanti malah menyesal. Amara masih berguna untukku, kita harus mempertimbangkan perasaannya juga," katanya akhirnya, mencoba menjaga suaranya tetap tenang. Maya yang duduk di sebelah Mega, menatap Athar dengan pandangan memohon. "Mas, aku juga tidak ingin ini menjadi rumit. Tapi aku ingin kita bisa memulai hidup baru tanpa bayang-bayang masa lalu yang terus menghantui. Apa itu terlalu banyak diminta?" Kata-kata Maya menusuk hati Athar. Dia tahu Maya punya hak untuk merasa demikian, tetapi ada perasaan bersalah yang tak bisa dia abaikan. Dia menatap Mega dan Maya bergantian, merasa terjepit di antara harapan dan kenyataan yang tidak bisa dihindari. Mega mendesah, sedikit melunak. "Kita bisa melakukannya dengan cara yang baik, Athar. Tapi tetap saja, kita harus bertindak sekarang. Aku tidak mau menunggu lebih lama lagi." Athar akhirnya mengangguk perlahan, meski hatinya masih bimbang. "Baiklah. Tapi kita harus memastikan semuanya berjalan dengan baik. Kita akan bicara dengan Amara besok agar dia bisa menerima semua ini dengan lapang dada." Maya tersenyum, meskipun samar. Mega pun mengangguk, merasa sedikit lega. Keputusan sudah diambil, dan meski ada banyak ketidakpastian di depannya, Athar tahu dia harus melangkah maju."me ngakulah Maya, bahwa anak yang kamu kandung itu anak ku" cecar lelaki berperawakan tinggi, dan manis berdiri di depan Maya. dadanya bergemuruh sangat lah hebat. Dia sangat ketakutan, dan ingin pergi dari tempat itu. Semenjak di Bali, Athar dan Maya tinggal di kontrak kecil dan kumuh. Berbanding terbalik, dengan kehidupan mewah nya dulu. Sementara Athar, Luntang Lantung mencari pekerjaan di kota orang, untuk membuat ekonomi nya membaik, tapi nyatanya dia tidak menemukan kontrak kerja dengan siapapun. Mantan CEO itu masih tidak putus asa untuk mencari pekerjaan yang layak, dan dia ingin memulihkan ekonomi nya. Dia berjanji akan merebut apartemen mewah Amara dengan apapun caranya, karena dia telah bosan hidup dengan serba kekurangan. Mega sang ibu pun begitu, dia selalu meneror Athar untuk mengirimkan uang kepadanya. Karena uang untuk makan sudah habis. Maya tertegun sangat lama, Angga Pratama Wijaya, kekasih sewaktu berpacaran dengan Athar. Bahkan keduanya, sudah kumpul kebo dalam b
" aku tidak menyuruh mu, masuk. jangan mimpi kamu tinggal disini, Athar!" tatapan mata Amara begitu tidak suka terhadap Athar, yang mendesak nya untuk tinggal bersamanya. "jelas lah, aku suamimu. Kamu lupa itu, hartamu juga hartaku. terus, dari segi mana aku salah?" ucap nya menekan kan, Amara begitu muak dengan pernyataan dari Athar. perasaan nya kembali pudar terhadap Athar, padahal sebenarnya Amara masih mencintai Athar. karena dia tahu, Athar adalah seseorang yang penyabar dan penuh kasih sayang. Sebelum mertuanya meracuni hati dan pikiran dari suaminya tersebut. Bahkan Athar lupa, bahwa persidangan cerainya pada tahap akhir, dan akan menyandang status janda dan duda. bagaimana biasa, Athar datang ke Bali, dan menuntut nya untuk tinggal serumah lagi. "jangan gila kamu, aku bisa melaporkan kamu ke pihak berwajib. karena kamu mengancam keselamatan ku." tegas Amara, berlari mengejar Athar dan Maya masuk kedalam apartemen mewahnya. "wau... aku suka mas, aku suka." teriak Maya, se
"tidak apa-apa, pak." senyum mengembang Rendi, ketika pak Hendra menyetujui semuanya. " papah yakin, kamu mampu untuk itu. Dan kamu pasti bisa, membuat perusahaan kita berkembang begitu pesat! jangan sia-sia kan, kepercayaan papah kepadamu" puji pak Hendra kepada putra semata wayangnya. Keluarga Catur tergolong orang yang sangat kaya Raya, perusahaan nya ada dimana-mana. Bahkan restoran yang terkenal di Bali adalah milik dari keluarga Catur, investasi nya dimana-mana. Dan Catur masih tetap sama, dan berpenampilan sederhana tidak semewah orang kaya pada umumnya. "papah jadi mau nginep disini? atau langsung balik?"tanya Catur memastikan. "papah mau menginap disini, dulu. dan papah ingin tahu, perkembangan bisnis yang kamu geluti sekarang" senyum mengembang pak Hendra. muka Catur sangat khawatir, dia tidak ingin rencananya terbongkar begitu saja, sebelum dia mendapatkan Amara seutuhnya. karena jika papah nya ikut campur, pasti akan terbongkar siapa Catur sebenarnya. misi nya belu
Catur duduk dengan tenang, di ruang tamu apartemen Amara. Dia ingin sekali menanyakan perihal tentang Marvel. dan jujur dia sangat lah kepo, apakan benar-benar Marvel menyatakan cintanya kepada Amara. pikiran Catur semakin tidak karuan. ~ pak gawat, bos besar sedang menuju ketempat pak Catur kali ini~ sebuah pesan singkat, membuat dada Catur semakin tidak karuan. keringatnya mengucur dengan deras, dia mondar-mandir tidak menentu. langkah nya di percepat, rencananya bisa gagal jika ayahnya datang saat ini. ~jangan kesini Ren, biar aku yang menghampiri mu. Bisa-bisa gagal rencana ku, jangan sampai papah tahu soal ini. perlambat waktumu, sekiranya aku sudah sampai ketempat yang kamu tuju~ pinta Catur dengan pesan singkatnya. dengan tergesa-gesa Catur menuju ketempat, yang Catur atur untuk menemui papahnya. Selama perjalanan pikirannya tidak tenang sama sekali. "silahkan duduk, pak!" pinta Rendi, dengan menggeret kursi kebelakang. "Catur mana, Ren?" tanya Hendra dengan mene
"siapa dia, Amara?" tanya Marvel keheranan. "mantan suami" entengnya, seraya masuk kedalam mobil Marvel. "untuk apa dia, kesini?" tanya Marvel memastikan, dia tidak ingin rencananya gagal gara-gara mantan suaminya hadir kembali. Saingannya bertambah kali ini. "aku juga tidak tahu, tidak usah di pikirkan. dia bukan siapa-siapa" ucapnya, seraya menatap sebuah layar ponsel nya. "yang aku takutkan, dia akan merebut mu kembali"ucap Marvel, dan masih fokus menatap kearah Amara. " terus, apa masalahmu Marvel?" tanya Amara keheranan, seraya mengernyit heran dengan ucapan Marvel kali ini. "sebenarnya, tujuan ku malam hari ini adalah ingin menyatakan cinta, Amara. apakah kamu mau?" ucap Marvel dengan menggenggam tangan Amara dengan erat. Amara tidak menjawab dan masih menatap dalam kearah Marvel, sebenarnya dia tidak suka dengan sikap Marvel yang terburu-buru untuk menyatakan cintanya. Karena Amara tahu, Marvel adalah orang yang terkenal saat ini. "kamu sadar? kamu itu artis, da
Catur terkesima melihat penampilan Amara kali ini, sangat cantik dan anggun. Siapapun yang melihat pasti jatuh cinta dan tertarik kepadanya. "kamu sudah kalah" celetuk Marvel dengan mengece keberadaan Catur yang masih melihat kearah Amara. Amara berjalan di samping Catur dengan muka datar, karena Amara merasa kesal dengan ulah Catur yang tidak terbuka mengenai asal usul Catur. Amara dengan anggun Menaiki mobil Marvel, dengan santai Amara naik mobil Marvel dengan sangat cantik, Marvel dengan sombong menatap Catur dengan tatapan yang sangat lah dingin sekali. "mari masuk, tuan putri" senyum Marvel menggema. Amara hanya menyunggingkan senyum, tanpa banyak bicara kepada Marvel. pilihan nya sangat terpaksa menyetujui permintaan Marvel, karena dia sangat lah risih setiap hari Marvel mengganggu aktivitas nya. Amara ingin menyampaikan unek-unek hatinya, dan sekarang waktu nya sudah pas untuk itu. "aku ingin kamu menutup mata Amara" pinta Marvel seraya fokus menyetir mobilnya, lalu Am