Amara menatapnya dengan tatapan penuh kebencian dan luka. "Aku tidak akan pernah bisa menerima ini," katanya tegas. Dengan tangan gemetar, dia mengumpulkan barang-barangnya dan mulai berjalan pergi. Tapi sebelum benar-benar pergi, dia berbalik dan berkata, "Suatu hari, kalian semua akan menyesali apa yang telah kalian lakukan."
Tanpa menunggu jawaban, Amara berbalik dan meninggalkan kamar yang pernah ia sebut sebagai tempat perlindungan, hatinya kini dipenuhi oleh kekecewaan dan rasa sakit yang mendalam. Dia mulai menata barang-barangnya di dalam kamar tamu. Hatinya memang sakit, tapi dia harus kuat dengan semua ini. Sambil berkemas, Amara merasakan beban yang menghimpit dadanya. Setiap barang yang ia keluarkan dari dalam tas seakan menjadi pengingat betapa cepat segala sesuatunya berubah. Foto-foto yang dulu penuh tawa dan kebahagiaan sekarang hanya menjadi bayangan dari masa lalu yang tak lagi ia kenali. Amara duduk sejenak di tepi ranjang, menatap kamar tamu yang terasa asing. Di tempat ini, dia berharap bisa menemukan ketenangan dan menjauh dari semua kenangan yang menyakitkan. Tapi, bahkan dinding-dinding ini pun seolah menyimpan sisa-sisa perasaan yang bergejolak di dalam hatinya. Terdengar suara ketukan pelan di pintu. Amara mendongak, berharap bukan dia yang datang. Namun, ternyata yang datang memang benar Athar suaminya. "Maaf, Amara. Aku tidak bisa berbuat apa pun untuk membelamu." Athar berbicara dengan nada yang sedikit bergetar. "Apa hanya kata Maaf yang bisa kamu katakan, Mas. Tidak bisakah kamu meninggalkan Maya? Apakah selama ini cintamu hanya pura-pura?" cecar Amara yang masih kesal. Dia tahu, ucapannya akan terasa sia-sia. Athar terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat untuk merespons. Dia menundukkan kepalanya, tidak sanggup menatap mata Amara yang penuh luka. "Amara, bukan seperti itu," ujarnya pelan. "Aku tidak bisa meninggalkan Maya. Dia... dia sedang hamil, dan aku punya tanggung jawab yang besar terhadapnya." Amara menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosinya. "Jadi, karena dia sedang hamil, kamu merasa lebih bertanggung jawab padanya daripada pada kita? Bagaimana dengan semua janji yang pernah kamu buat padaku, Mas Athar?" Athar menggigit bibirnya, merasakan sakit yang mendalam dari pertanyaan itu. "Ini bukan soal janji, Amara. Ini soal melakukan hal yang benar... untuk semua orang." "Apa yang benar untuk semua orang?!" Amara membalas dengan suara yang naik satu oktaf. "Apa yang benar bagimu dan Maya jelas-jelas menghancurkan hidupku! Kamu pernah bilang akan selalu ada untukku. Tapi sekarang, kamu memilih dia dan membiarkan aku terpuruk sendirian." Athar mencoba mendekat, tetapi Amara mengangkat tangannya, memberi isyarat agar dia tetap di tempatnya. "Aku hanya ingin kamu tahu," katanya dengan suara yang lebih tenang namun penuh kepedihan, "Bahwa aku mencintaimu. Selalu mencintaimu. Tapi aku tidak bisa mengubah kenyataan ini." Amara mengangguk pelan, air matanya mulai mengalir lagi. "Aku tahu, Mas. Tapi itu tidak mengurangi rasa sakit ini. Mungkin waktu akan menyembuhkan, tapi saat ini, aku hanya butuh waktu sendiri." Athar tidak tahu harus berkata apa lagi. Dia hanya bisa menatap Amara dengan rasa bersalah yang mendalam sebelum perlahan melangkah mundur, meninggalkan ruangan dengan perasaan yang hancur. Saat pintu tertutup di belakangnya, Amara terduduk di lantai, memeluk dirinya sendiri dan menangis dalam diam, mencoba memahami bagaimana cinta yang pernah terasa begitu kuat kini menjadi sumber luka yang begitu dalam. Bahkan wanita itu juga tidak tahu bagaimana suaminya bisa tergoda pada Maya bahkan sampai hamil? Apakah Athar sebenarnya pura-pura menyesal? Akan tetapi, dia menatap netra sang suami terlihat jelas kalau sang suami tulus dengan penyesalannya. "Apa yang sebenarnya kamu rencanakan, Mas? Kenapa kamu tega?" Foto pernikahan yang sedari tadi digenggaman tangannya kini dilempar ke segala tempat untuk melampiaskan kekesalan yang begitu mendalam dalam hatinya. Amara terisak semakin keras ketika ingatan tentang pernikahan mereka membanjiri pikirannya. Sejak saat pertama kali Athar mengucapkan akad, hingga saat-saat bahagia yang mereka lalui bersama, semuanya kini terasa hancur. Bagaimana bisa seorang pria yang pernah begitu dia percayai dan cintai mengkhianati ikatan mereka? Dia mulai menghapus air matanya dengan kasar, lalu sebuah rencana terbersit dalam benaknya. "Aku tidak bisa begini terus, membiarkan Maya, mertua dan mas Athar hidup bahagia setelah apa yang mereka lakukan padaku. Aku harus berbuat sesuatu yang akan membuat mereka malu. Aku tidak akan membiarkan mereka bersenang-senang di atas penderitaan yang kini aku rasakan." Kalimat itu keluar dan seolah menjadi penguat bagi Amara hari ini. Dia tidak bisa cuma diam saja dengan semuanya, dengan penuh tekad. Wanita cantik itu pun mulai meraih ponselnya dan segera menceritakan apa yang dirasakannya melalui salah satu akun sosial medianya."me ngakulah Maya, bahwa anak yang kamu kandung itu anak ku" cecar lelaki berperawakan tinggi, dan manis berdiri di depan Maya. dadanya bergemuruh sangat lah hebat. Dia sangat ketakutan, dan ingin pergi dari tempat itu. Semenjak di Bali, Athar dan Maya tinggal di kontrak kecil dan kumuh. Berbanding terbalik, dengan kehidupan mewah nya dulu. Sementara Athar, Luntang Lantung mencari pekerjaan di kota orang, untuk membuat ekonomi nya membaik, tapi nyatanya dia tidak menemukan kontrak kerja dengan siapapun. Mantan CEO itu masih tidak putus asa untuk mencari pekerjaan yang layak, dan dia ingin memulihkan ekonomi nya. Dia berjanji akan merebut apartemen mewah Amara dengan apapun caranya, karena dia telah bosan hidup dengan serba kekurangan. Mega sang ibu pun begitu, dia selalu meneror Athar untuk mengirimkan uang kepadanya. Karena uang untuk makan sudah habis. Maya tertegun sangat lama, Angga Pratama Wijaya, kekasih sewaktu berpacaran dengan Athar. Bahkan keduanya, sudah kumpul kebo dalam b
" aku tidak menyuruh mu, masuk. jangan mimpi kamu tinggal disini, Athar!" tatapan mata Amara begitu tidak suka terhadap Athar, yang mendesak nya untuk tinggal bersamanya. "jelas lah, aku suamimu. Kamu lupa itu, hartamu juga hartaku. terus, dari segi mana aku salah?" ucap nya menekan kan, Amara begitu muak dengan pernyataan dari Athar. perasaan nya kembali pudar terhadap Athar, padahal sebenarnya Amara masih mencintai Athar. karena dia tahu, Athar adalah seseorang yang penyabar dan penuh kasih sayang. Sebelum mertuanya meracuni hati dan pikiran dari suaminya tersebut. Bahkan Athar lupa, bahwa persidangan cerainya pada tahap akhir, dan akan menyandang status janda dan duda. bagaimana biasa, Athar datang ke Bali, dan menuntut nya untuk tinggal serumah lagi. "jangan gila kamu, aku bisa melaporkan kamu ke pihak berwajib. karena kamu mengancam keselamatan ku." tegas Amara, berlari mengejar Athar dan Maya masuk kedalam apartemen mewahnya. "wau... aku suka mas, aku suka." teriak Maya, se
"tidak apa-apa, pak." senyum mengembang Rendi, ketika pak Hendra menyetujui semuanya. " papah yakin, kamu mampu untuk itu. Dan kamu pasti bisa, membuat perusahaan kita berkembang begitu pesat! jangan sia-sia kan, kepercayaan papah kepadamu" puji pak Hendra kepada putra semata wayangnya. Keluarga Catur tergolong orang yang sangat kaya Raya, perusahaan nya ada dimana-mana. Bahkan restoran yang terkenal di Bali adalah milik dari keluarga Catur, investasi nya dimana-mana. Dan Catur masih tetap sama, dan berpenampilan sederhana tidak semewah orang kaya pada umumnya. "papah jadi mau nginep disini? atau langsung balik?"tanya Catur memastikan. "papah mau menginap disini, dulu. dan papah ingin tahu, perkembangan bisnis yang kamu geluti sekarang" senyum mengembang pak Hendra. muka Catur sangat khawatir, dia tidak ingin rencananya terbongkar begitu saja, sebelum dia mendapatkan Amara seutuhnya. karena jika papah nya ikut campur, pasti akan terbongkar siapa Catur sebenarnya. misi nya belu
Catur duduk dengan tenang, di ruang tamu apartemen Amara. Dia ingin sekali menanyakan perihal tentang Marvel. dan jujur dia sangat lah kepo, apakan benar-benar Marvel menyatakan cintanya kepada Amara. pikiran Catur semakin tidak karuan. ~ pak gawat, bos besar sedang menuju ketempat pak Catur kali ini~ sebuah pesan singkat, membuat dada Catur semakin tidak karuan. keringatnya mengucur dengan deras, dia mondar-mandir tidak menentu. langkah nya di percepat, rencananya bisa gagal jika ayahnya datang saat ini. ~jangan kesini Ren, biar aku yang menghampiri mu. Bisa-bisa gagal rencana ku, jangan sampai papah tahu soal ini. perlambat waktumu, sekiranya aku sudah sampai ketempat yang kamu tuju~ pinta Catur dengan pesan singkatnya. dengan tergesa-gesa Catur menuju ketempat, yang Catur atur untuk menemui papahnya. Selama perjalanan pikirannya tidak tenang sama sekali. "silahkan duduk, pak!" pinta Rendi, dengan menggeret kursi kebelakang. "Catur mana, Ren?" tanya Hendra dengan mene
"siapa dia, Amara?" tanya Marvel keheranan. "mantan suami" entengnya, seraya masuk kedalam mobil Marvel. "untuk apa dia, kesini?" tanya Marvel memastikan, dia tidak ingin rencananya gagal gara-gara mantan suaminya hadir kembali. Saingannya bertambah kali ini. "aku juga tidak tahu, tidak usah di pikirkan. dia bukan siapa-siapa" ucapnya, seraya menatap sebuah layar ponsel nya. "yang aku takutkan, dia akan merebut mu kembali"ucap Marvel, dan masih fokus menatap kearah Amara. " terus, apa masalahmu Marvel?" tanya Amara keheranan, seraya mengernyit heran dengan ucapan Marvel kali ini. "sebenarnya, tujuan ku malam hari ini adalah ingin menyatakan cinta, Amara. apakah kamu mau?" ucap Marvel dengan menggenggam tangan Amara dengan erat. Amara tidak menjawab dan masih menatap dalam kearah Marvel, sebenarnya dia tidak suka dengan sikap Marvel yang terburu-buru untuk menyatakan cintanya. Karena Amara tahu, Marvel adalah orang yang terkenal saat ini. "kamu sadar? kamu itu artis, da
Catur terkesima melihat penampilan Amara kali ini, sangat cantik dan anggun. Siapapun yang melihat pasti jatuh cinta dan tertarik kepadanya. "kamu sudah kalah" celetuk Marvel dengan mengece keberadaan Catur yang masih melihat kearah Amara. Amara berjalan di samping Catur dengan muka datar, karena Amara merasa kesal dengan ulah Catur yang tidak terbuka mengenai asal usul Catur. Amara dengan anggun Menaiki mobil Marvel, dengan santai Amara naik mobil Marvel dengan sangat cantik, Marvel dengan sombong menatap Catur dengan tatapan yang sangat lah dingin sekali. "mari masuk, tuan putri" senyum Marvel menggema. Amara hanya menyunggingkan senyum, tanpa banyak bicara kepada Marvel. pilihan nya sangat terpaksa menyetujui permintaan Marvel, karena dia sangat lah risih setiap hari Marvel mengganggu aktivitas nya. Amara ingin menyampaikan unek-unek hatinya, dan sekarang waktu nya sudah pas untuk itu. "aku ingin kamu menutup mata Amara" pinta Marvel seraya fokus menyetir mobilnya, lalu Am