Malam itu, suasana tegang tak kunjung padam saat Rio tiba di pintu markas, menembus batas kegelapan. Suara tembakan berdentang di kepalanya, membangkitkan semangat para pemberontak yang berjuang dalam balutan api amarah. Dia tahu, waktunya hampir habis—dia harus membawa Jacky pergi sebelum semuanya terlambat.“Jangan berhenti! Ini adalah kesempatan kita!” teriak Rio kepada prajuritnya yang mengekor di belakangnya. Kabar bahwa Jacky ditahan telah menyebar, membuat semua orang bertekad untuk menyelamatkan sang pengkhianat.Di dalam markas, Jacky bisa mendengar deru langkah kaki mendekat, hatinya bergetar antara ketakutan dan harapan. Rasa sakit yang ditimbulkan oleh Brigjen William telah membangkitkan semangat baru dalam dirinya. Dia tahu, para pemberontak akan datang untuk menjemputnya, dan kini saat itu telah tiba.“Cepat Jacky! Kita tidak punya banyak waktu!” teriak Rio saat dia membuka pintu ruangan tempat Jacky terkurung. Seketika itu juga, tatapan mereka bertemu; dalam sekejap, se
Melihat Sang Jendral dibunuh secara tragis. Pasukan pemberontak tak tinggal diam. Kejadian itu membuat api kemarahan para pasukannya. Mereka seketika mengarahkan senjata ke arah pasukan republik. Beruntung pasukan republik langsung merespon dengan tembakan. Para pasukan Pemberontak pun tewas di tempat. Suara tembakan itu telah memancing kedatangan pemberontak lain yang berada di luar ruangan. "Cepat bawa keluar Jacky! Sedikit lagi mereka akan datang untuk melakukan pembalasan!" seru Julian, kepada pasukannya. Lalu pasukan langsung membawa Jacky keluar dari markas itu. Julian memilih tidak melawan para pasukan Pemberontak karena mempertimbangkan jumlah pasukannya yang tak sebanding dengan jumlah pasukan Pemberontak. Di saat pasukan pemberontak memasuki ruangan markas. Mereka terkejut melihat Jendral Dedy telah tewas dengan luka yang menganga di kepala. "Tidak mungkin! Para pasukan Republik telah membunuh Jendral Dedy?!" ucap salah satu Pemimpin pemberontak. Salah s
Pembunuhan seorang komandan regu serta pembantaian pasukannya. Telah menyulutkan api kemarahan Sang pemimpin pemberontakan. Sebanyak 50 Prajurit bersenjata lengkap seketika dikerahkan untuk melakukan penyisiran di sekitar Markas dan seluruh pos keamanan. Lebatnya hujan yang tak berhenti mengguyur hutan. Begitu menyulitkan langkah prajurit dalam melakukan gerakan. Karena tanah yang dilalui menjadi semakin licin. Setelah berjam-jam mereka menyusuri hutan. Tampaknya tak juga membuahkan hasil. Lalu Salah seorang prajurit langsung melaporkan kepada Jendal Dedy melalui HT. "Lapor Jendral! Kami tidak menemukan tanda-tanda keberadaan pasukan Republik di area!" ucap seorang prajuritnya. "Tidak ada cerita! Kalian harus menemukannya sampai dapat! Terus lakukan penyisiran! Aku yakin keberadaan mereka masih tak jauh dari area ini," Jendral Dedy, memerintahkan. "Siap Jendral!" jawab para Pasukannya. Para pasukan pun kembali melakukan penyisiran di tengah guyuran hujan. Tak terasa,
Para pemberontak pun tersentak. Tak menyangka dengan kehadiran mereka. Padahal pertahanan sudah dibuat sedemikian rupa. Namun bisa ditembus begitu saja. Keadaan mereka kini terdesak. Lantas Mereka mengangkat kedua tangannya. Saat puluhan pasukan merangsek masuk dan menodongkan senjata. Dan siap melepaskan tembakan kapan saja. Jika sedikit saja Pasukan pemberontak melakukan gerakan. Maka puluhan pasukan itu akan sangat cepat melakukan tindakan hanya dengan menarik pelatuknya. "Letakkan senjata kalian!" seru seorang prajurit, membentak dan menodongkan senjata semi otomatis ke arah mereka. Para pasukan pemberontak hanya bisa bergeming lalu berlutut dan meletakkan senjatanya di lantai. Julian melangkah santai memasuki ruangan. Tiba-tiba tatapannya berubah menjadi sangat menakutkan. Terbelalak matanya dengan urat di lehernya yang menyembul keluar memandang para pemberontak. "Kalian tidak bisa dimaafkan!" "Pasukan, ikat kedua tangan mereka! jangan sampai mereka melepaskan d
Di sebuah bangunan bambu yang sangat terpencil di pedalaman hutan. Di sebuah ruangan yang gelap dan minim pencahayaan. Letnan David dalam keadaan terbelenggu dengan kedua tangan yang terikat. Mereka didudukkan di sebuah bangku kayu. Dengan dihadapkan oleh para pemuda bertubuh tegap lengkap dengan persenjataan. Tampak tak ada harapan dari raut wajah Letnan David. Ia hanya bisa tertunduk lesu dan berserah diri. Tiba-tiba saja sebuah tongkat Baseball mengayun dengan cepat ke arah wajahnya. Dengan kerasnya tongkat itu menghantam wajah Sang Letnan hingga menimbulkan luka lebam. "Tidak akan ada yang bisa menyelamatkan kalian di sini! Karena sekeliling area ini telah tertanam ranjau dan mereka tak akan bisa melewatinya kecuali mati!" ucap seorang pria berpakaian loreng. Dengan sebuah simbol di lengannya. David hanya bisa merintih kesakitan, menahan perihnya luka di wajahnya. Lalu Pemuda itu menunjuk wajah Sang Letnan seraya berteriak, "Akan ku penggal kepalamu untuk membuat per
Tembakan machine gun dilepaskan Julian dari atas mobil anti peluru. Para pemberontak terdesak dan lari tunggang langgang menuju ke pedalaman hutan. Pasukan pemberontak yang berada di hutan sebelah barat melakukan penembakan brutal terhadap pasukan. Letnan David kewalahan membendung jumlah pemberontak yang menyerang. lantas ia menelepon Julian melalui HT. "Sersan Julian, serangan musuh terkonsentrasi di sisi barat. Tolong perbantuan pasukan. Tentara pemberontak melebihi kapasitas pasukan kami!" "Baik, laporan saya terima. Pasukan cadangan segera kesana!" Jawab Julian. Julian seketika membawa beberapa pasukan menggunakan mobil lapis baja menuju ke arah barat. Suara tembakan terdengar semakin nyaring di telinga. Tiba-tiba di pertengahan jalan, di saat Julian dan beberapa pasukan hampir sampai. Tiba-tiba saja peluru dari sniper musuh hampir mengenai kepala. Mereka memang sudah mengincar Julian hidup atau mati. Karena nama Julian sudah menjadi daftar hitam para pemberontak.