Beranda / Romansa / Kecantol Cinta Janda / Bab 5 Bijaknya Kiwi

Share

Bab 5 Bijaknya Kiwi

Penulis: Author Receh
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-29 18:15:00

Angin sore mulai berembus pelan, mengibaskan rambut Melon yang kini duduk bersandar di pohon, napasnya sedikit terengah setelah "perang buah" kecil yang mereka lakukan. Jeruk tertidur pulas di atas tikar, dengan Milo yang meringkuk di sampingnya seperti penjaga setia. Pipinya belepotan bekas semangka, tapi ia tetap terlihat damai.

Kiwi duduk di dekat mereka, mencoba mengelap pipinya dengan tisu sambil mencuri pandang ke arah Melon yang kini diam, memandangi langit dengan pandangan kosong.

Kiwi menyenggol lengannya pelan. “Kok jadi diam? Kalah perang, ya?”

Melon mengerjap, lalu tersenyum. “Enggak. Cuma mikir.”

“Serius banget. Sampai nggak berkedip.”

Melon menghela napas. “Aneh aja. Saya nggak nyangka bisa ketawa-tawa lagi kayak tadi. Apalagi sama orang baru yang...,” ia berhenti sejenak, menatap Kiwi dengan tatapan geli, “...nama ibunya Bu Nangka.”

Kiwi tertawa. “Itu pertanda Tuhan masih sayang sama kamu. Kalau kamu bisa ketawa hari ini, berarti Tuhan kasih kamu izin buat bahagia lagi.”

Melon menunduk. “Kamu gampang banget ngomongin bahagia.”

“Karena saya sering sedih juga,” ucap Kiwi pelan. “Tapi saya selalu cari celah buat ketawa. Soalnya kalau nunggu hidup jadi sempurna dulu, saya nggak bakal pernah tertawa.”

Melon menatap Kiwi. “Kamu kehilangan seseorang juga?”

Kiwi mengangguk. “Dulu. Tunangan saya ninggalin pas saya lagi susun rencana pernikahan. Tiba-tiba dia bilang... dia pengin hidup sendiri dulu, nyari jati diri. Saya bingung, emang selama ini dia pake jati siapa?”

Melon menahan tawa, tapi gagal. Tawanya meledak dan membuat Jeruk menggeliat sebentar dalam tidurnya.

“Maaf,” ucap Melon cepat, menutup mulutnya.

Kiwi ikut tertawa pelan. “Itu dulu. Sekarang saya lebih santai. Hidup nggak harus selalu sesuai rencana. Kadang, ketemu janda galak di taman juga bisa jadi jalan baru yang... tak terduga.”

Melon menatap Kiwi. “Saya bukan galak.”

“Oke. Koreksi: tegas. Tapi manis.”

Melon tersipu. “Kalau saya bilang saya mulai nyaman, kamu bakal kabur?”

Kiwi menaikkan alis. “Kabur? Justru saya bakal bilang, ini saatnya beli sepatu yang kuat buat lari ke masa depan bareng-bareng.”

Melon menghela napas, pelan tapi lega. “Terima kasih, Kiwi.”

Kiwi tersenyum lebar. “Kapan-kapan kamu ajak saya ke rumah, ya. Biar bisa salaman sama Ibu Mertua Nangka.”

Melon menjitak bahunya pelan. “Bisa nggak... sehari aja kamu nggak bawa-bawa buah?”

“Bisa,” sahut Kiwi cepat. “Asal kamu janji terus nemenin saya kayak gini.”

Langit makin redup. Matahari mulai sembunyi, meninggalkan warna jingga yang melukis senja. Di bawah pohon, di antara sisa perang buah dan gelak tawa, mereka duduk bersebelahan. Tak ada janji. Tak ada rencana muluk. Hanya dua orang dewasa yang lelah, akhirnya saling menemukan dalam kehangatan sederhana.

Dan di tikar taman yang mulai dingin, Jeruk masih tertidur, tak tahu bahwa ibunya... mungkin sedang jatuh cinta lagi.

Angin malam mulai terasa lebih dingin saat Kiwi merapikan tikar, mengangkat perlahan Jeruk yang masih tertidur dalam gendongannya. Kepala kecil itu bersandar di bahu Kiwi dengan nyaman, sementara Milo berjalan di depan mereka, sesekali menoleh seolah memastikan semua berjalan aman.

Melon menggandeng tas bekal dan botol minum. Ia menoleh ke Kiwi sambil tersenyum samar. “Kamu kuat juga ya gendong Jeruk. Dia itu berat lho.”

Kiwi melirik ke bahu tempat Jeruk bersandar. “Mungkin karena hatiku lagi ringan, jadi terasa seimbang.”

Melon mengernyit. “Kamu lagi nyanyi lagu dangdut?”

Kiwi terkekeh pelan. “Enggak. Itu kalimat orisinal dari seorang pria yang digandeng takdir buat nemuin janda keren di taman.”

Mereka berjalan menyusuri trotoar menuju rumah Melon. Lampu-lampu jalan mulai menyala, menciptakan bayangan panjang dari langkah mereka yang berdampingan.

Sesampainya di depan pagar rumah, Melon membuka kunci dan menahan pintu gerbang agar Kiwi bisa masuk duluan.

“Biarin Jeruk tidur di kamar. Nanti saya bangunin buat makan malam,” kata Melon pelan, membimbing Kiwi ke dalam.

“Boleh saya nitipin bahu juga sekalian?” tanya Kiwi sambil senyum menggoda.

Melon tak menjawab, hanya memutar bola mata sambil menahan senyum. Kiwi menuruni tangga pelan menuju kamar Jeruk, lalu meletakkan anak itu di tempat tidur dengan hati-hati. Ia menarik selimut sampai ke dada Jeruk dan membenarkan posisi guling.

Melon berdiri di ambang pintu, menyandarkan tubuh pada kusen, menatap Kiwi dengan pandangan yang tak biasa—penuh rasa syukur sekaligus takut.

“Aku belum siap kalau harus kehilangan orang lagi,” katanya pelan.

Kiwi menatapnya, lalu mendekat. Ia berdiri di depan Melon, wajahnya tenang tapi serius.

“Kalau kamu takut kehilangan, jangan berdiri di pintu. Masuk ke dalam. Tutup pintunya. Kunci, dan... jangan kasih aku keluar.”

Melon mengedip. “Kamu ini ngomongnya...”

“Serius,” potong Kiwi. “Kamu nggak perlu buru-buru percaya. Tapi cukup tahu, aku bukan cuma mampir buat numpang main sama Jeruk atau Milo.”

Melon menunduk. “Aku tahu. Tapi aku masih belajar... untuk percaya lagi.”

Kiwi tersenyum, lalu meraih tangan Melon dan menggenggamnya lembut. “Kalau begitu, belajarnya jangan sendiri.”

Melon terdiam. Lalu pelan-pelan, ia menggenggam balik tangan Kiwi.

Tak ada ciuman, tak ada pelukan. Hanya genggaman. Tapi dalam genggaman itu, ada janji yang belum diucapkan, dan harapan yang mulai tumbuh pelan-pelan—seperti biji buah yang akhirnya menemukan tanah subur untuk bertunas kembali.

Malam semakin larut. Lampu ruang tengah menyala temaram, hanya satu sudut yang terang, tempat Melon duduk diam di sofa dengan cangkir teh di tangannya. Uap hangat mengepul pelan, tapi tak cukup menenangkan pikirannya yang mulai berkabut.

Dari dapur, terdengar suara Kiwi sedang membereskan gelas. Jeruk sudah tertidur pulas, dan Milo sudah meringkuk di bawah meja, mendengkur pelan.

Melon menatap teh di tangannya. Lama. Seolah mencari jawaban dari riak kecil yang muncul di permukaannya. Sesekali, ia menggigit bibir, matanya tak lepas dari dinding kosong di depannya.

Kiwi muncul dari balik dapur, menyeka tangan dengan handuk kecil. Ia berjalan ke sofa, duduk tak jauh dari Melon.

“Teh-nya nggak diminum?” tanya Kiwi pelan.

Melon menghela napas. “Aku... kepikiran.”

“Jeruk mimpi buruk?”

Melon menggeleng. “Bukan soal Jeruk. Ini soal aku.”

Kiwi mengerutkan kening. “Apa?”

Melon menatap Kiwi, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku takut kamu lihat aku... nggak cukup baik.”

Kiwi terdiam. Ia menunggu, membiarkan Melon bicara tanpa dipotong.

“Aku ini janda, Kiwi,” kata Melon pelan. “Aku punya anak. Aku pernah gagal. Hidupku udah nggak sederhana lagi. Aku nggak punya kemurnian yang biasanya dicari laki-laki. Aku... merasa rusak.”

Suara terakhirnya pecah. Ia buru-buru menghapus air mata, malu kalau terlihat rapuh.

Kiwi tidak bicara. Ia hanya memiringkan badan, mengulurkan tangan, lalu memegang cangkir teh Melon, menaruhnya di meja. Setelah itu, ia menggenggam tangan Melon erat-erat.

“Kamu tahu,” ucap Kiwi lembut, “kalau kamu rusak, berarti aku ini apa? Barang reject?”

Melon menoleh, bingung.

“Aku juga pernah patah. Pernah dibohongi. Pernah ditinggal tanpa alasan. Tapi apa aku menyerah jatuh cinta? Nggak.”

Kiwi mengusap jemari Melon pelan.

“Kamu bukan rusak, Melon. Kamu justru perempuan paling tangguh yang pernah aku temui. Kamu membesarkan Jeruk dengan cinta, kamu masih bisa tertawa, dan kamu nggak pernah jual kesedihanmu ke siapa pun. Itu bukan rusak. Itu kuat.”

Melon menggigit bibir. “Tapi... kalau suatu hari kamu sadar, kamu bisa dapat yang lebih ‘lengkap’ dari aku...”

Kiwi menyandarkan kepalanya ke bahu Melon. “Melon, dengar. Aku bukan cari ‘lengkap’. Aku cari yang bisa jalan bareng. Yang bisa duduk sama di taman, saling lempar semangka, lalu tertawa. Dan itu... cuma ada di kamu.”

Melon tak tahan lagi. Air matanya jatuh, tapi kali ini bukan karena sedih. Ia membiarkan Kiwi tetap bersandar, tangan mereka masih saling menggenggam.

“Satu lagi,” bisik Kiwi.

“Apa?”

“Kalau kamu merasa nggak layak dicintai karena statusmu, ingat... kamu punya satu status lagi yang jauh lebih penting.”

Melon menoleh pelan. “Status apa?”

Kiwi menatapnya lekat. “Status sebagai perempuan yang berhasil bikin seorang pria jatuh cinta tanpa syarat.”

Dan malam pun menjadi saksi bisu, saat dua hati yang pernah patah... mulai percaya bahwa mereka masih layak untuk bahagia.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kecantol Cinta Janda   Bab 8 Pertengkaran Melon dan Kiwi

    Sore itu, langit berwarna jingga pucat saat Melon dan Kiwi duduk di bangku taman, masing-masing memegang es krim rasa favorit. Jeruk bermain di ayunan tak jauh dari mereka, tertawa-tawa bersama anak-anak lain. Awalnya, suasana begitu nyaman. Kiwi bercerita tentang pekerjaannya, Melon menimpali dengan candaan, lalu tertawa bersama. Namun, ketika Kiwi mulai berbicara serius, nada suaranya berubah. “Aku sempat dengar dari Jeruk... kamu ketemu mantan di mal, ya?” Melon yang sedang menjilat es krim vanila tiba-tiba diam. Ia menoleh perlahan. “Iya. Kenapa?” Kiwi mencoba tersenyum, tapi senyumnya canggung. “Cuma nanya, kok. Tapi kenapa kamu nggak cerita?” Melon mengangkat alis. “Itu cuma ketemu biasa. Dia cuma nyapa, terus aku tinggalin. Bukan hal penting.” Kiwi menoleh ke arah Jeruk, lalu kembali menatap Melon. “Tapi buat aku, itu cukup penting buat diceritain. Biar aku nggak denger dari orang lain.” Melon menghela napas. “Kiwi, kamu bukan pacarku. Kita nggak punya kewajiban lapor-lap

  • Kecantol Cinta Janda   Bab 7 Bertemu Lemonta

    Siang itu, Mall Citrus Square cukup ramai. Musik pop kekinian mengalun dari speaker, terdengar samar di antara hiruk pikuk orang berlalu-lalang. Melon melangkah santai di koridor, matanya menyapu etalase butik yang memajang diskon besar-besaran. Ia mengenakan blouse putih sederhana, celana jeans high-waist dan sling bag cokelat muda yang serasi dengan sneakers-nya. Wajahnya santai, matanya ceria. “Astaga, masker buy 2 get 3? Ini sih rezeki anak janda!” bisiknya sambil nyengir sendiri, lalu segera masuk ke toko skincare dengan langkah penuh semangat. Beberapa menit kemudian, setelah berhasil memborong sheet mask dan satu lip tint yang sebenarnya tidak ia butuhkan, Melon keluar dari toko sambil membuka ponselnya—niatnya cuma cek saldo. Tapi langkahnya mendadak terhenti begitu suara berat, sangat dikenal, memanggil dari arah samping. “Melon?” Langkahnya beku. Seolah namanya tadi dipanggil oleh masa lalu yang terlalu tajam untuk diulang. Ia menoleh pelan. Dan benar saja. Di sana, be

  • Kecantol Cinta Janda   Bab 6 Gombalan Kiwi

    Malam semakin larut. Lampu ruang makan menyala temaram, menciptakan bayangan hangat di dinding. Melon dan Kiwi masih duduk berdampingan, tangan mereka bertaut di atas meja, tapi tak ada kecanggungan. Hanya keheningan nyaman yang menggantung di antara mereka. Kiwi menguap kecil sambil meregangkan lengan. “Aduh, kalau ngobrol sama kamu, waktu kerasa kayak sepuluh menit. Padahal tahu-tahu udah hampir tengah malam.” Melon tersenyum. “Kalau kamu ngantuk, pulang aja. Jangan sampai besok telat kerja gara-gara nemenin janda insecure.” Kiwi memiringkan kepala, matanya menyipit dramatis. “Tuh kan, mulai lagi... janda insecure. Udah saya bilang, kamu jangan panggil diri kamu gitu. Kamu tuh janda rasa premium.” Melon tertawa kecil, geleng-geleng. “Rasa premium?” “Ya. Kalau kamu itu buah, pasti masuk golongan langka, manis, mahal, dan cepet habis kalau diburu orang,” jelas Kiwi sambil memainkan gelas airnya. “Makanya saya buru duluan sebelum diserbu yang lain.” “Kalau kamu, buahnya apa

  • Kecantol Cinta Janda   Bab 5 Bijaknya Kiwi

    Angin sore mulai berembus pelan, mengibaskan rambut Melon yang kini duduk bersandar di pohon, napasnya sedikit terengah setelah "perang buah" kecil yang mereka lakukan. Jeruk tertidur pulas di atas tikar, dengan Milo yang meringkuk di sampingnya seperti penjaga setia. Pipinya belepotan bekas semangka, tapi ia tetap terlihat damai. Kiwi duduk di dekat mereka, mencoba mengelap pipinya dengan tisu sambil mencuri pandang ke arah Melon yang kini diam, memandangi langit dengan pandangan kosong. Kiwi menyenggol lengannya pelan. “Kok jadi diam? Kalah perang, ya?” Melon mengerjap, lalu tersenyum. “Enggak. Cuma mikir.” “Serius banget. Sampai nggak berkedip.” Melon menghela napas. “Aneh aja. Saya nggak nyangka bisa ketawa-tawa lagi kayak tadi. Apalagi sama orang baru yang...,” ia berhenti sejenak, menatap Kiwi dengan tatapan geli, “...nama ibunya Bu Nangka.” Kiwi tertawa. “Itu pertanda Tuhan masih sayang sama kamu. Kalau kamu bisa ketawa hari ini, berarti Tuhan kasih kamu izin buat b

  • Kecantol Cinta Janda   Bab 4 Ibu Nangka

    Matahari siang menyinari taman kota dengan hangat, tidak terlalu terik, hanya cukup membuat daun-daun pohon berkilau. Anak-anak berlarian di antara ayunan dan perosotan, sesekali terdengar suara tertawa dan teriakan gembira. Kiwi berjalan santai di samping Melon, membawa dua gelas es kelapa muda yang baru dibeli dari gerobak pinggir jalan. Jeruk berjalan di depan mereka sambil menarik Milo dengan tali kekang. Anjing itu tampak lebih jinak hari ini—mungkin karena diberi sosis sebelum berangkat. “Kalau Milo nyeret tali lagi, aku langsung naik ke pundak Om Kiwi!” teriak Jeruk sambil setengah berlari. Kiwi menjawab dengan suara nyaring, “Om siap, tapi pundak Om bukan angkot!” Melon menggeleng pelan. “Kamu ini ya, selalu bikin suasana kayak film kartun.” Kiwi menyodorkan satu gelas es kelapa ke Melon. “Minum dulu. Biar nggak sewot terus, Bu Janda Ceria.” Melon men

  • Kecantol Cinta Janda   Bab 3 Pelanggan Centong

    Kiwi menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ia menggeser gelas tehnya yang sudah kosong, lalu menghela napas panjang. “Sepertinya saya harus pamit. Kalau kelamaan di sini, bisa-bisa saya dikira pengontrak baru,” ucapnya sambil berdiri, merapikan kemejanya yang sedikit kusut karena duduk terlalu santai. Melon mengangguk tanpa menoleh. Ia masih duduk di sofa, memegang map cokelat dari notaris yang tadi datang. Wajahnya terlihat lebih serius dari sebelumnya. “Terima kasih ya, sudah mampir. Maaf, jadi nggak bisa ngobrol lebih lama,” ujarnya datar, tapi masih sopan. Kiwi tersenyum kecil. “Nggak apa-apa. Urusan warisan memang nggak bisa disambi dengan lelucon gombal.” Jeruk mendekati Kiwi, lalu memeluk pinggang pria itu dengan satu tangan mungilnya. “Om Kiwi nanti main lagi, ya. Tapi jangan malam-malam, biar Ibu nggak deg-degan.” Kiwi terkekeh. “Siap, Komandan Jeruk. Lain kali saya datang bawa perisai, siapa tahu Milo lagi bad mood.” Milo mendongak se

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status