Malam semakin larut. Lampu ruang makan menyala temaram, menciptakan bayangan hangat di dinding. Melon dan Kiwi masih duduk berdampingan, tangan mereka bertaut di atas meja, tapi tak ada kecanggungan. Hanya keheningan nyaman yang menggantung di antara mereka.
Kiwi menguap kecil sambil meregangkan lengan. “Aduh, kalau ngobrol sama kamu, waktu kerasa kayak sepuluh menit. Padahal tahu-tahu udah hampir tengah malam.” Melon tersenyum. “Kalau kamu ngantuk, pulang aja. Jangan sampai besok telat kerja gara-gara nemenin janda insecure.” Kiwi memiringkan kepala, matanya menyipit dramatis. “Tuh kan, mulai lagi... janda insecure. Udah saya bilang, kamu jangan panggil diri kamu gitu. Kamu tuh janda rasa premium.” Melon tertawa kecil, geleng-geleng. “Rasa premium?” “Ya. Kalau kamu itu buah, pasti masuk golongan langka, manis, mahal, dan cepet habis kalau diburu orang,” jelas Kiwi sambil memainkan gelas airnya. “Makanya saya buru duluan sebelum diserbu yang lain.” “Kalau kamu, buahnya apa?” tanya Melon sambil bersandar. Kiwi menjawab cepat. “Saya? Pastilah alpukat. Luar agak keras, dalamnya lembut. Tapi kalau ketemu yang cocok, bisa dibikin jus bareng.” Melon mengangkat alis. “Jus alpukat dan melon?” “Romantis banget, kan?” Kiwi menyengir. “Tapi jangan lupa, kasih susu cokelat biar makin manis.” Melon menutup wajahnya dengan tangan, geli tapi bahagia. “Kamu tuh... bisa nggak sih sehari aja nggak pakai analogi buah?” Kiwi berdiri pelan dari kursinya. “Bisa, tapi saya takut hari kamu jadi hambar tanpa bumbu buah-buahan dari saya.” Melon berdiri juga, mengantarnya sampai ke depan pintu. Langkah mereka pelan, seolah tak ingin malam itu cepat berakhir. Saat Kiwi sudah berdiri di depan pagar, ia menoleh sekali lagi. “Melon.” “Hm?” “Saya tahu kamu masih punya tembok, dan saya nggak akan maksa buat hancurin. Tapi... boleh nggak saya ngetuk pintunya pelan-pelan, tiap hari?” Melon menatap Kiwi lama. “Boleh,” katanya akhirnya. “Asal kamu sabar, dan jangan bawa palu.” Kiwi tersenyum lebar. “Janji. Saya bawa bunga aja, atau... potongan buah segar.” “Kiwi!” tegur Melon. “Hei, itu nama saya,” sahutnya sambil mundur, lalu memberi hormat kecil sebelum benar-benar pergi. Melon berdiri di ambang pintu cukup lama. Setelah Kiwi menghilang di ujung jalan, ia menarik napas panjang. Di dalam rumah, Milo menggonggong pelan, seolah ingin memastikan tuannya baik-baik saja. Melon menutup pintu, menyandarkan punggung di sana. Wajahnya tenang, bibirnya tersenyum tipis. Untuk pertama kalinya sejak lama, hatinya terasa hangat... dan sedikit penuh harapan. Pagi datang dengan riuh suara ayam tetangga dan aroma roti bakar dari dapur. Jeruk bangun lebih awal dari biasanya, matanya masih sepet, rambut awut-awutan, tapi semangatnya seperti anak yang baru saja dijanjikan liburan ke taman bermain. “Bu! Sarapan apa hari ini?” teriak Jeruk dari dalam kamar sambil melompat ke ruang tengah. Melon, yang sedang menuang susu ke gelas, menoleh dengan senyum hangat. “Roti bakar keju dan susu hangat. Tapi sebelum itu, cuci muka dulu. Kamu kelihatan kayak durian jatuh.” “Durian kan enak!” seru Jeruk sambil berlari ke kamar mandi. Milo menggonggong pelan, seperti sedang menyemangati. Sementara Jeruk sibuk di kamar mandi, Melon diam di dapur, menyender di meja, memandangi ponselnya. Jemarinya melayang-layang, ragu, lalu akhirnya membuka aplikasi pesan. Ada satu pesan baru dari Kiwi semalam sebelum ia tidur: Kiwi: Pagi besok kamu mau aku bawain sarapan juga, atau cukup senyum kamu aja? Selamat tidur, Bu Janda Favorit. Melon menahan senyum sambil mengetik balasan: Melon: Senyum saya stoknya terbatas. Sarapan boleh, asal jangan bawa salad buah. Tak sampai lima detik, pesan balasan masuk: Kiwi: Siap. Saya bawain nasi uduk. Ada sambelnya, biar hubungan kita nggak hambar. Melon menggeleng sambil tersenyum kecil. Jeruk kembali dari kamar mandi, masih mengelap pipinya yang basah. “Bu, nanti sore Kiwi datang lagi?” Melon mengerjap. “Kenapa nanya gitu?” “Soalnya dia lucu. Dia ngajak Milo lari-lari muter halaman. Milo aja nggak biasanya ceria gitu,” kata Jeruk polos. Melon pura-pura sibuk menyiapkan roti. “Lucu, ya?” “Iya! Kayak badut buah!” Melon menahan tawa. Badut buah... cocok sih. Beberapa menit kemudian, suara sepeda motor terdengar dari luar pagar. Jeruk langsung berteriak, “Itu dia! Kiwi datang!” Melon memutar tubuh dengan cepat. “Kok tahu?” “Kan aku hafal suara motornya. Dia tuh bunyinya beda, kayak... bawa semangat!” Melon membuka pintu. Dan benar saja, Kiwi berdiri di balik pagar, membawa plastik isi kotak nasi dan termos kecil. “Selamat pagi, keluarga buah!” sapa Kiwi ceria, mengacungkan plastik. Jeruk melambai dari ruang tamu. “Kiwi! Kamu bawa sambel?” Kiwi menjawab dengan bangga, “Bawa, dong! Tapi nggak pedas-pedas banget. Soalnya saya nggak tega kalau ibu kamu kepedesan terus malah diem-dieman sama saya.” Melon membukakan pagar dengan senyum malas-malasan. “Kamu nggak capek ya, gombalnya?” Kiwi masuk dengan santai, menyerahkan kotak makan. “Selama kamu masih bisa senyum gara-gara gombalan saya, saya nggak bakal berhenti.” Jeruk bersorak, “Yeay! Sarapan bareng Kiwi lagi!” Dan pagi itu, di meja makan yang sederhana, tiga makhluk—satu janda cantik, satu bocah ceria, dan satu pria lucu yang doyan buah—tertawa bersama, menyantap nasi uduk sambil sesekali rebutan emping. Tak ada yang terlalu manis. Tak ada yang terlalu pedas. Semua pas di lidah... dan mungkin, juga pas di hati. Suasana di meja makan perlahan mereda, suara sendok sudah tak terdengar. Jeruk duduk sambil menyandarkan punggung ke kursi, perutnya kenyang, pipinya mengembung puas seperti anak panda habis makan bambu. Kiwi mengelap tangannya dengan tisu, hendak membereskan kotak makan yang tadi ia bawa, ketika Jeruk tiba-tiba bersuara serius, “Mulai sekarang, aku akan panggil kamu Om Kiwi saja.” Kiwi berhenti bergerak. Ia menoleh cepat, menatap bocah kecil itu penuh kecurigaan. “Eh? Kok mendadak berubah pikiran lagi?” Jeruk menautkan jari-jarinya di atas meja, ekspresinya sangat dewasa untuk anak seumur dia. “Soalnya aku baru sadar... kamu itu seumuran Ibu.” Melon yang sedang menuang air putih nyaris tersedak. “Jeruk!” tegurnya sambil tertawa tertahan. “Tapi bener kan, Bu?” tanya Jeruk dengan polos. Kiwi ikut tergelak. “Wah, anak ini jujur banget ya.” Jeruk melanjutkan, serius sekali. “Tadi aku pikir manggil nama doang itu keren, kayak di film. Tapi habis aku pikir-pikir lagi... nggak sopan kalau aku nyebut nama orang dewasa yang seumuran Ibu tanpa panggilan hormat. Jadi aku manggil Om Kiwi aja. Itu lebih... dewasa.” Kiwi meletakkan kotaknya di meja, lalu membungkuk sedikit ke arah Jeruk dengan nada dramatis, “Terima kasih, Tuan Jeruk, atas penghargaan dan kebijaksanaanmu. Saya terima gelar Om Kiwi ini dengan penuh tanggung jawab dan... uban.” “Uban?” Jeruk melotot. “Om Kiwi punya uban?!” Kiwi menunjuk pelipisnya dengan ekspresi sangat meyakinkan. “Sedikit. Tapi itu tanda kebijaksanaan. Uban itu bukti saya sudah pernah gagal menggoreng tahu tanpa meledak.” Jeruk tertawa ngakak. “Om Kiwi, kamu aneh!” “Tapi aneh yang disukai kan?” sahut Kiwi, melempar pandang ke arah Melon sambil tersenyum penuh makna. Melon pura-pura tidak melihat. Ia malah berdiri, mulai membereskan piring-piring. “Jeruk, bantuin Ibu bawa gelas ke dapur ya.” Jeruk masih tertawa kecil sambil membawa gelasnya, lalu berkata pelan pada Milo, “Ternyata punya Om itu seru juga ya, Milo.” Kiwi menyusul ke dapur sambil membawa sisa plastik dan kotaknya. “Saya senang naik jabatan hari ini.” “Jabatan apa?” tanya Melon sambil mencuci piring. “Dari Kakak ganteng jadi Om bijak. Nggak semua orang bisa.” Melon melirik. “Kalau kamu terus-terusan gombal kayak gini, bisa turun jabatan jadi Om genit.” Kiwi pura-pura terkejut. “Waduh, itu jabatan berbahaya. Tapi... boleh saya naik pangkat lagi nanti?” Melon berhenti mencuci, menatapnya sambil menyipit. “Naik pangkat jadi apa?” Kiwi tersenyum santai, lalu menjawab pelan, “Jadi bagian tetap dari keluarga kecil ini.” Melon menoleh cepat, pipinya memerah sedikit. Tapi sebelum ia sempat menjawab, Jeruk muncul dari balik pintu dapur sambil memegang dua potong semangka. “Ibu, Om Kiwi, ayo makan semangka bareng! Ini dari kulkas, dingin banget!” Melon langsung mengambil napas lega. “Ayo, sebelum semangkanya habis dijilat Milo.”Sore itu, langit berwarna jingga pucat saat Melon dan Kiwi duduk di bangku taman, masing-masing memegang es krim rasa favorit. Jeruk bermain di ayunan tak jauh dari mereka, tertawa-tawa bersama anak-anak lain. Awalnya, suasana begitu nyaman. Kiwi bercerita tentang pekerjaannya, Melon menimpali dengan candaan, lalu tertawa bersama. Namun, ketika Kiwi mulai berbicara serius, nada suaranya berubah. “Aku sempat dengar dari Jeruk... kamu ketemu mantan di mal, ya?” Melon yang sedang menjilat es krim vanila tiba-tiba diam. Ia menoleh perlahan. “Iya. Kenapa?” Kiwi mencoba tersenyum, tapi senyumnya canggung. “Cuma nanya, kok. Tapi kenapa kamu nggak cerita?” Melon mengangkat alis. “Itu cuma ketemu biasa. Dia cuma nyapa, terus aku tinggalin. Bukan hal penting.” Kiwi menoleh ke arah Jeruk, lalu kembali menatap Melon. “Tapi buat aku, itu cukup penting buat diceritain. Biar aku nggak denger dari orang lain.” Melon menghela napas. “Kiwi, kamu bukan pacarku. Kita nggak punya kewajiban lapor-lap
Siang itu, Mall Citrus Square cukup ramai. Musik pop kekinian mengalun dari speaker, terdengar samar di antara hiruk pikuk orang berlalu-lalang. Melon melangkah santai di koridor, matanya menyapu etalase butik yang memajang diskon besar-besaran. Ia mengenakan blouse putih sederhana, celana jeans high-waist dan sling bag cokelat muda yang serasi dengan sneakers-nya. Wajahnya santai, matanya ceria. “Astaga, masker buy 2 get 3? Ini sih rezeki anak janda!” bisiknya sambil nyengir sendiri, lalu segera masuk ke toko skincare dengan langkah penuh semangat. Beberapa menit kemudian, setelah berhasil memborong sheet mask dan satu lip tint yang sebenarnya tidak ia butuhkan, Melon keluar dari toko sambil membuka ponselnya—niatnya cuma cek saldo. Tapi langkahnya mendadak terhenti begitu suara berat, sangat dikenal, memanggil dari arah samping. “Melon?” Langkahnya beku. Seolah namanya tadi dipanggil oleh masa lalu yang terlalu tajam untuk diulang. Ia menoleh pelan. Dan benar saja. Di sana, be
Malam semakin larut. Lampu ruang makan menyala temaram, menciptakan bayangan hangat di dinding. Melon dan Kiwi masih duduk berdampingan, tangan mereka bertaut di atas meja, tapi tak ada kecanggungan. Hanya keheningan nyaman yang menggantung di antara mereka. Kiwi menguap kecil sambil meregangkan lengan. “Aduh, kalau ngobrol sama kamu, waktu kerasa kayak sepuluh menit. Padahal tahu-tahu udah hampir tengah malam.” Melon tersenyum. “Kalau kamu ngantuk, pulang aja. Jangan sampai besok telat kerja gara-gara nemenin janda insecure.” Kiwi memiringkan kepala, matanya menyipit dramatis. “Tuh kan, mulai lagi... janda insecure. Udah saya bilang, kamu jangan panggil diri kamu gitu. Kamu tuh janda rasa premium.” Melon tertawa kecil, geleng-geleng. “Rasa premium?” “Ya. Kalau kamu itu buah, pasti masuk golongan langka, manis, mahal, dan cepet habis kalau diburu orang,” jelas Kiwi sambil memainkan gelas airnya. “Makanya saya buru duluan sebelum diserbu yang lain.” “Kalau kamu, buahnya apa
Angin sore mulai berembus pelan, mengibaskan rambut Melon yang kini duduk bersandar di pohon, napasnya sedikit terengah setelah "perang buah" kecil yang mereka lakukan. Jeruk tertidur pulas di atas tikar, dengan Milo yang meringkuk di sampingnya seperti penjaga setia. Pipinya belepotan bekas semangka, tapi ia tetap terlihat damai. Kiwi duduk di dekat mereka, mencoba mengelap pipinya dengan tisu sambil mencuri pandang ke arah Melon yang kini diam, memandangi langit dengan pandangan kosong. Kiwi menyenggol lengannya pelan. “Kok jadi diam? Kalah perang, ya?” Melon mengerjap, lalu tersenyum. “Enggak. Cuma mikir.” “Serius banget. Sampai nggak berkedip.” Melon menghela napas. “Aneh aja. Saya nggak nyangka bisa ketawa-tawa lagi kayak tadi. Apalagi sama orang baru yang...,” ia berhenti sejenak, menatap Kiwi dengan tatapan geli, “...nama ibunya Bu Nangka.” Kiwi tertawa. “Itu pertanda Tuhan masih sayang sama kamu. Kalau kamu bisa ketawa hari ini, berarti Tuhan kasih kamu izin buat b
Matahari siang menyinari taman kota dengan hangat, tidak terlalu terik, hanya cukup membuat daun-daun pohon berkilau. Anak-anak berlarian di antara ayunan dan perosotan, sesekali terdengar suara tertawa dan teriakan gembira. Kiwi berjalan santai di samping Melon, membawa dua gelas es kelapa muda yang baru dibeli dari gerobak pinggir jalan. Jeruk berjalan di depan mereka sambil menarik Milo dengan tali kekang. Anjing itu tampak lebih jinak hari ini—mungkin karena diberi sosis sebelum berangkat. “Kalau Milo nyeret tali lagi, aku langsung naik ke pundak Om Kiwi!” teriak Jeruk sambil setengah berlari. Kiwi menjawab dengan suara nyaring, “Om siap, tapi pundak Om bukan angkot!” Melon menggeleng pelan. “Kamu ini ya, selalu bikin suasana kayak film kartun.” Kiwi menyodorkan satu gelas es kelapa ke Melon. “Minum dulu. Biar nggak sewot terus, Bu Janda Ceria.” Melon men
Kiwi menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ia menggeser gelas tehnya yang sudah kosong, lalu menghela napas panjang. “Sepertinya saya harus pamit. Kalau kelamaan di sini, bisa-bisa saya dikira pengontrak baru,” ucapnya sambil berdiri, merapikan kemejanya yang sedikit kusut karena duduk terlalu santai. Melon mengangguk tanpa menoleh. Ia masih duduk di sofa, memegang map cokelat dari notaris yang tadi datang. Wajahnya terlihat lebih serius dari sebelumnya. “Terima kasih ya, sudah mampir. Maaf, jadi nggak bisa ngobrol lebih lama,” ujarnya datar, tapi masih sopan. Kiwi tersenyum kecil. “Nggak apa-apa. Urusan warisan memang nggak bisa disambi dengan lelucon gombal.” Jeruk mendekati Kiwi, lalu memeluk pinggang pria itu dengan satu tangan mungilnya. “Om Kiwi nanti main lagi, ya. Tapi jangan malam-malam, biar Ibu nggak deg-degan.” Kiwi terkekeh. “Siap, Komandan Jeruk. Lain kali saya datang bawa perisai, siapa tahu Milo lagi bad mood.” Milo mendongak se