Share

Bab 4 Ibu Nangka

Penulis: Author Receh
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-28 06:00:19

Matahari siang menyinari taman kota dengan hangat, tidak terlalu terik, hanya cukup membuat daun-daun pohon berkilau. Anak-anak berlarian di antara ayunan dan perosotan, sesekali terdengar suara tertawa dan teriakan gembira. Kiwi berjalan santai di samping Melon, membawa dua gelas es kelapa muda yang baru dibeli dari gerobak pinggir jalan.

Jeruk berjalan di depan mereka sambil menarik Milo dengan tali kekang. Anjing itu tampak lebih jinak hari ini—mungkin karena diberi sosis sebelum berangkat.

“Kalau Milo nyeret tali lagi, aku langsung naik ke pundak Om Kiwi!” teriak Jeruk sambil setengah berlari.

Kiwi menjawab dengan suara nyaring, “Om siap, tapi pundak Om bukan angkot!”

Melon menggeleng pelan. “Kamu ini ya, selalu bikin suasana kayak film kartun.”

Kiwi menyodorkan satu gelas es kelapa ke Melon. “Minum dulu. Biar nggak sewot terus, Bu Janda Ceria.”

Melon menyipitkan mata, tapi tetap mengambil gelas itu. “Hati-hati. Gelar janda bisa saya cabut kalau kamu terus-menerus nyebelin.”

Kiwi pura-pura kaget. “Waduh. Kalau dicabut, saya harus panggil apa? Mbak? Nona? Ratu Taman?”

Jeruk berbalik sambil tertawa. “Panggil aja Ibu Madu!”

Kiwi langsung pura-pura tersedak. “Astaga! Jangan terlalu cepat, Nak! Om belum siap jadi Om Sambung!”

Melon langsung mencubit lengan Kiwi pelan. “Nih anak ketularan gombalnya kamu.”

Kiwi menggosok lengannya sambil tertawa. “Itu bukan gombal, itu namanya visi masa depan.”

Mereka berhenti di bangku taman di bawah pohon rindang. Jeruk duduk di rumput sambil mengelus Milo yang tampak menikmati pemandangan.

Melon menyeruput es kelapanya. “Sudah lama saya nggak ke taman kayak gini. Dulu waktu suami masih hidup, kita sering ke sini. Jeruk masih bayi.”

Kiwi menoleh, nadanya melunak. “Kalau gitu, terima kasih sudah ajak saya hari ini. Saya tahu kenangan kayak gitu... kadang bikin langkah jadi berat.”

Melon menatap taman, matanya menerawang sebentar. “Tapi hidup terus jalan. Jeruk juga butuh lihat ibunya bisa ketawa lagi.”

Kiwi tersenyum. “Kalau butuh pelawak, saya bersedia dikontrak tanpa gaji.”

Melon menoleh. “Nggak ada gaji, tapi wajib cuci piring dan jagain Milo kalau saya malas bangun.”

“Deal,” kata Kiwi cepat. “Tapi saya minta bonus: satu kali senyum tulus tiap hari.”

Melon diam sebentar, lalu menatap Kiwi dan tersenyum kecil. “Itu tadi udah dihitung belum?”

Kiwi memegang dadanya, pura-pura terharu. “Wah, saya harus catat di kalender.”

Jeruk tiba-tiba berdiri dan berlari kecil ke arah ayunan. “Om Kiwi! Ibu! Aku mau ayunan! Dorongin ya!”

Kiwi langsung berdiri. “Siap, Komandan Jeruk! Mari kita terbang sampai langit kelihatan malu!”

Melon tertawa pelan, lalu berdiri sambil menghabiskan es kelapanya. Sore itu, di taman sederhana dengan canda yang sederhana, mereka menemukan sesuatu yang lebih penting dari cinta—yaitu rasa nyaman, dan keberanian untuk memulai lagi.

Kiwi sedang mendorong ayunan Jeruk dengan gaya dramatis. “Dan satu, dua, tiga... terbang sampai ke langit ketujuh!” teriaknya sambil mengangkat kedua tangannya ke atas, seolah Jeruk benar-benar akan meluncur ke angkasa.

Jeruk tertawa ngakak. “Om Kiwi lucu banget! Lagi! Lagi!”

Melon duduk di bangku taman, mengawasi mereka sambil memotret diam-diam dengan ponselnya. Ia berusaha menahan senyum tiap kali Kiwi mengeluarkan suara efek seperti, “Wuuush!” dan “Zzoom!” seolah sedang menyutradarai film superhero.

Tiba-tiba, ponsel di saku belakang Kiwi bergetar. Ia merogoh dengan satu tangan sambil tetap memegang tali ayunan dengan tangan lain. Layarnya menyala, menampilkan tulisan: "Ibu Rumah - Telp Masuk".

Kiwi mengangkat alis, lalu memberi isyarat ke Jeruk. “Istirahat dulu, Komandan. Pangkalan pusat memanggil.”

Jeruk melompat turun dari ayunan dan langsung mengejar Milo yang sedang mencium pohon. Kiwi menjauh sedikit, menempelkan ponsel ke telinga.

“Halo, Bu!” sapanya ceria.

Suara dari seberang terdengar agak nyaring. “Kiwi, kamu di mana? Kenapa nggak pernah angkat video call kemarin-kemarin?”

Kiwi nyengir. “Lagi sibuk, Bu. Banyak kerjaan. Ini juga baru sempat santai.”

“Santai di mana? Dengar suara anak kecil tuh. Jangan-jangan kamu udah punya anak diam-diam?”

Kiwi tergelak. “Astaga, Bu! Itu anak tetangga. Saya di taman, nemenin mereka main.”

“Perempuan?”

Kiwi menoleh sekilas ke arah Melon yang sedang menyuapi Jeruk potongan buah semangka. “Iya.”

“Udah janda?”

Kiwi hampir tersedak udara sendiri. “Bu! Kok tahu?!”

“Feeling ibu mana pernah salah. Pasti janda anak satu yang galak tapi manis.”

Kiwi mencibir kecil. “Itu deskripsi yang sangat spesifik. Ibu paranormal sekarang?”

“Dari nada suaramu aja udah kelihatan naksir. Hati-hati ya, Nak. Janda itu dua kali lebih hati-hati daripada perawan. Tapi kalau kamu serius, jangan PHP.”

Kiwi mengusap wajahnya. “Bu, saya baru kenal. Belum sampai tahap lamaran. Ini aja masih di fase dorong ayunan.”

“Dorong ayunan aja kamu senang banget suaranya. Awas, nanti ibu nyusul ke sana lho. Biar bisa nilai calon menantu langsung.”

Kiwi tertawa kencang. “Ibu sabar dikit. Saya juga masih ngetes apakah Milo setuju.”

“Milo itu anjing? Anjing aja dites, ibu malah belakangan?”

“Tenang, Bu. Urutan prioritas tetap. Milo, baru Ibu.”

“Kurang ajar kamu, ya!”

Kiwi ngakak sambil mengakhiri panggilan. Ia menyimpan ponsel ke saku, lalu berjalan kembali ke arah Melon dan Jeruk yang kini duduk di atas tikar taman sambil makan buah.

“Telepon penting?” tanya Melon, menawarinya sepotong semangka.

“Dari Ibu saya. Hebatnya, beliau bisa nebak semua: kamu janda, punya anak, galak, tapi manis.”

Melon mengangkat alis. “Ibunya cenayang?”

“Lebih ke... intel cinta,” jawab Kiwi sambil menggigit semangka.

Jeruk berseru, “Kalau Om Kiwi nikah sama Ibu, aku bisa punya anjing, kan?”

Melon langsung tersedak semangka. Kiwi menepuk punggungnya sambil nyengir. “Tenang, Bu. Baru juga masuk level ayunan, belum sampai akad.”

Melon menatapnya tajam. “Kalau masih garing, saya suruh Milo gigit sandal kamu.”

Kiwi tertawa. “Kalau saya digigit gara-gara suka sama janda manis, saya rela.”

Melon menggeleng pelan, tapi tak bisa menyembunyikan senyumnya. Siang itu, taman tak hanya menyimpan tawa anak-anak, tapi juga percikan kecil dari kemungkinan yang lebih besar.

Langit mulai beranjak mendung, tapi taman masih ramai oleh suara tawa anak-anak dan derit ayunan. Jeruk duduk di atas tikar, menyusun batu-batu kecil menjadi menara yang tampak sangat serius bagi anak seusianya. Milo tergeletak di sampingnya, menjulurkan lidah ke luar seperti baru saja menang lomba lari.

Kiwi duduk bersandar pada pohon sambil memakan potongan nanas dari kotak bekal Melon. Ia tampak santai, sesekali mencuri pandang ke arah Melon yang duduk bersila di depannya, memutar-mutar sendok plastik di dalam gelas es buah.

“Eh, Kiwi...” Melon menatapnya sambil mengerutkan kening. “Tadi waktu kamu teleponan, ibumu terdengar... seru, ya.”

Kiwi nyengir. “Seru itu kata halus buat ‘bawel’, ya?”

Melon terkekeh. “Enggak juga. Cuma penasaran. Siapa nama ibumu?”

Kiwi langsung duduk tegak, wajahnya mendadak serius seperti mau disidang.

“Kenapa? Kamu mau kirim surat lamaran resmi ke beliau?” godanya.

Melon memutar bola mata. “Enggak, saya cuma ngebayangin aja, nama ibunya Kiwi tuh kira-kira kayak apa. Manis kayak anaknya, atau... pedas kayak sambal terasi?”

Kiwi menatap jauh ke depan, dramatis. “Namanya... Bu Nangka.”

Melon berkedip. “Hah?”

“Serius,” kata Kiwi sambil menahan tawa. “Nangka Lestari. Tapi kalau marah, jangan harap ada manis-manisnya. Lebih mirip duren jatuh.”

Jeruk, yang diam-diam mendengar, langsung menyahut, “Om! Masa ibunya buah juga?!”

Kiwi mengangkat bahu. “Takdir, Nak. Keluarga kami semua buah-buahan. Paman saya: Pak Manggis. Tante saya: Bu Sawo. Kakek: Alm. Durian.”

Melon memukul pelan lengan Kiwi pakai sendok. “Bisa nggak sekali aja kamu jawab jujur tanpa embel-embel kebun?”

Kiwi tertawa sambil menahan lengan. “Oke, oke. Nama asli ibuku Sri Lestari. Tapi karena dulu kerja di toko buah, semua orang manggilnya Bu Nangka. Nempel sampai sekarang.”

Melon mengangguk pelan. “Lucu juga. Saya pikir kamu bercanda lagi.”

“Biasanya iya,” kata Kiwi sambil mengunyah nanas. “Tapi yang ini beneran. Kamu boleh tanya langsung kalau ibu saya ke sini nanti.”

Melon menaikkan alis. “Ibumu mau ke sini?”

“Dia ngancem datang kalau saya terus teleponan sambil senyum-senyum sendiri.”

Melon mendengus. “Lain kali kasih tahu saya dulu. Biar bisa nyiapin mental dan... lemari bersih.”

Kiwi menyipitkan mata, pura-pura serius. “Itu pernyataan siap kenalan sama calon mertua, bukan?”

Melon langsung melempar biji kelengkeng ke arahnya. Kiwi menghindar dengan gaya k****u.

Jeruk menjerit, “Perang buah! Ayo serang Om Kiwi!”

Dan dalam waktu tiga detik, taman berubah jadi arena lempar-lemparan sisa buah. Tawa mereka menyatu dengan suara alam, seperti lagu gembira yang diciptakan tanpa naskah.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kecantol Cinta Janda   Bab 8 Pertengkaran Melon dan Kiwi

    Sore itu, langit berwarna jingga pucat saat Melon dan Kiwi duduk di bangku taman, masing-masing memegang es krim rasa favorit. Jeruk bermain di ayunan tak jauh dari mereka, tertawa-tawa bersama anak-anak lain. Awalnya, suasana begitu nyaman. Kiwi bercerita tentang pekerjaannya, Melon menimpali dengan candaan, lalu tertawa bersama. Namun, ketika Kiwi mulai berbicara serius, nada suaranya berubah. “Aku sempat dengar dari Jeruk... kamu ketemu mantan di mal, ya?” Melon yang sedang menjilat es krim vanila tiba-tiba diam. Ia menoleh perlahan. “Iya. Kenapa?” Kiwi mencoba tersenyum, tapi senyumnya canggung. “Cuma nanya, kok. Tapi kenapa kamu nggak cerita?” Melon mengangkat alis. “Itu cuma ketemu biasa. Dia cuma nyapa, terus aku tinggalin. Bukan hal penting.” Kiwi menoleh ke arah Jeruk, lalu kembali menatap Melon. “Tapi buat aku, itu cukup penting buat diceritain. Biar aku nggak denger dari orang lain.” Melon menghela napas. “Kiwi, kamu bukan pacarku. Kita nggak punya kewajiban lapor-lap

  • Kecantol Cinta Janda   Bab 7 Bertemu Lemonta

    Siang itu, Mall Citrus Square cukup ramai. Musik pop kekinian mengalun dari speaker, terdengar samar di antara hiruk pikuk orang berlalu-lalang. Melon melangkah santai di koridor, matanya menyapu etalase butik yang memajang diskon besar-besaran. Ia mengenakan blouse putih sederhana, celana jeans high-waist dan sling bag cokelat muda yang serasi dengan sneakers-nya. Wajahnya santai, matanya ceria. “Astaga, masker buy 2 get 3? Ini sih rezeki anak janda!” bisiknya sambil nyengir sendiri, lalu segera masuk ke toko skincare dengan langkah penuh semangat. Beberapa menit kemudian, setelah berhasil memborong sheet mask dan satu lip tint yang sebenarnya tidak ia butuhkan, Melon keluar dari toko sambil membuka ponselnya—niatnya cuma cek saldo. Tapi langkahnya mendadak terhenti begitu suara berat, sangat dikenal, memanggil dari arah samping. “Melon?” Langkahnya beku. Seolah namanya tadi dipanggil oleh masa lalu yang terlalu tajam untuk diulang. Ia menoleh pelan. Dan benar saja. Di sana, be

  • Kecantol Cinta Janda   Bab 6 Gombalan Kiwi

    Malam semakin larut. Lampu ruang makan menyala temaram, menciptakan bayangan hangat di dinding. Melon dan Kiwi masih duduk berdampingan, tangan mereka bertaut di atas meja, tapi tak ada kecanggungan. Hanya keheningan nyaman yang menggantung di antara mereka. Kiwi menguap kecil sambil meregangkan lengan. “Aduh, kalau ngobrol sama kamu, waktu kerasa kayak sepuluh menit. Padahal tahu-tahu udah hampir tengah malam.” Melon tersenyum. “Kalau kamu ngantuk, pulang aja. Jangan sampai besok telat kerja gara-gara nemenin janda insecure.” Kiwi memiringkan kepala, matanya menyipit dramatis. “Tuh kan, mulai lagi... janda insecure. Udah saya bilang, kamu jangan panggil diri kamu gitu. Kamu tuh janda rasa premium.” Melon tertawa kecil, geleng-geleng. “Rasa premium?” “Ya. Kalau kamu itu buah, pasti masuk golongan langka, manis, mahal, dan cepet habis kalau diburu orang,” jelas Kiwi sambil memainkan gelas airnya. “Makanya saya buru duluan sebelum diserbu yang lain.” “Kalau kamu, buahnya apa

  • Kecantol Cinta Janda   Bab 5 Bijaknya Kiwi

    Angin sore mulai berembus pelan, mengibaskan rambut Melon yang kini duduk bersandar di pohon, napasnya sedikit terengah setelah "perang buah" kecil yang mereka lakukan. Jeruk tertidur pulas di atas tikar, dengan Milo yang meringkuk di sampingnya seperti penjaga setia. Pipinya belepotan bekas semangka, tapi ia tetap terlihat damai. Kiwi duduk di dekat mereka, mencoba mengelap pipinya dengan tisu sambil mencuri pandang ke arah Melon yang kini diam, memandangi langit dengan pandangan kosong. Kiwi menyenggol lengannya pelan. “Kok jadi diam? Kalah perang, ya?” Melon mengerjap, lalu tersenyum. “Enggak. Cuma mikir.” “Serius banget. Sampai nggak berkedip.” Melon menghela napas. “Aneh aja. Saya nggak nyangka bisa ketawa-tawa lagi kayak tadi. Apalagi sama orang baru yang...,” ia berhenti sejenak, menatap Kiwi dengan tatapan geli, “...nama ibunya Bu Nangka.” Kiwi tertawa. “Itu pertanda Tuhan masih sayang sama kamu. Kalau kamu bisa ketawa hari ini, berarti Tuhan kasih kamu izin buat b

  • Kecantol Cinta Janda   Bab 4 Ibu Nangka

    Matahari siang menyinari taman kota dengan hangat, tidak terlalu terik, hanya cukup membuat daun-daun pohon berkilau. Anak-anak berlarian di antara ayunan dan perosotan, sesekali terdengar suara tertawa dan teriakan gembira. Kiwi berjalan santai di samping Melon, membawa dua gelas es kelapa muda yang baru dibeli dari gerobak pinggir jalan. Jeruk berjalan di depan mereka sambil menarik Milo dengan tali kekang. Anjing itu tampak lebih jinak hari ini—mungkin karena diberi sosis sebelum berangkat. “Kalau Milo nyeret tali lagi, aku langsung naik ke pundak Om Kiwi!” teriak Jeruk sambil setengah berlari. Kiwi menjawab dengan suara nyaring, “Om siap, tapi pundak Om bukan angkot!” Melon menggeleng pelan. “Kamu ini ya, selalu bikin suasana kayak film kartun.” Kiwi menyodorkan satu gelas es kelapa ke Melon. “Minum dulu. Biar nggak sewot terus, Bu Janda Ceria.” Melon men

  • Kecantol Cinta Janda   Bab 3 Pelanggan Centong

    Kiwi menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Ia menggeser gelas tehnya yang sudah kosong, lalu menghela napas panjang. “Sepertinya saya harus pamit. Kalau kelamaan di sini, bisa-bisa saya dikira pengontrak baru,” ucapnya sambil berdiri, merapikan kemejanya yang sedikit kusut karena duduk terlalu santai. Melon mengangguk tanpa menoleh. Ia masih duduk di sofa, memegang map cokelat dari notaris yang tadi datang. Wajahnya terlihat lebih serius dari sebelumnya. “Terima kasih ya, sudah mampir. Maaf, jadi nggak bisa ngobrol lebih lama,” ujarnya datar, tapi masih sopan. Kiwi tersenyum kecil. “Nggak apa-apa. Urusan warisan memang nggak bisa disambi dengan lelucon gombal.” Jeruk mendekati Kiwi, lalu memeluk pinggang pria itu dengan satu tangan mungilnya. “Om Kiwi nanti main lagi, ya. Tapi jangan malam-malam, biar Ibu nggak deg-degan.” Kiwi terkekeh. “Siap, Komandan Jeruk. Lain kali saya datang bawa perisai, siapa tahu Milo lagi bad mood.” Milo mendongak se

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status