Hujan deras menyambut kedatangan Juni dan Juli di kota Bandung siang itu.
Sebelum mereka berangkat dari stasiun Gambir, Zalma sudah memberikan pesan singkat melalui w******p bahwa nanti Badi, sopir pribadi Zalma, akan menjemput mereka di stasiun Bandung.
Ketika mereka hendak turun dari kereta, Juli sudah menelpon Zalma mengabarkan bahwa mereka sudah tiba. Zalma meminta mereka menunggu sebentar karena Badi sedang dalam perjalanan mengantarkan barang ke rumah seorang teman Zalma baru setelah itu ia menjemput Juni dan Juli di stasiun kereta api Bandung.
“Jun, kita mau langung ke rumah nenek atau mau jalan dulu kemana gitu?” tanya Juli sambil menyesap kopi yang barusan dibelinya dari tempat ngopi yang ada di stasiun. Juni duduk di seberangnya. Mereka menunggu kedatangan Badi di tempat ngopi itu.
“Kita ke mal dulu aja yuk, gue mau ke toko buku,” jawab Juni.
Seorang pelayan datang membawa satu cangkir espresso hangat pesanan Juni. Juni mengangguk kepada pelayan itu sebagai ucapan terima kasih setelah ia menaruh cangkir itu di meja tempat Juni dan Juli duduk.
“Ngapain lu ke toko buku? Lu kan gak suka baca buku.”
“Gue mau beli buku resep masakan Jul, biar bisa ditanya ke nenek juga, kira-kira bisa jual makanan apa aja yang cocok sama bakmi.”
Juli mengangguk.
“Betul juga sih, kayak tempat makan bakmi yang lain ya Jun, mereka bisa jual makanan yang lain selain bakmi meski yang jadi favorit tetep bakminya.”
“Iya”
Juni meneguk espresso hangatnya. Matanya memandang ke arah kerumunan orang yang berjalan hilir mudik di stasiun ini. Hari ini adalah hari Sabtu, banyak sekali orang yang datang berkunjung ke Bandung terutama warga Bandung yang menjadi pendatang di Jakarta. Mereka mengambil kesempatan libur yang sebentar ini untuk menyegarkan pikiran di kota mereka setelah selama seminggu mereka disibukkan dengan rutinitas pekerjaan di Jakarta.
Mata Juni tiba-tiba tertumbuk pada seorang perempuan yang sedang berdiri menunggu di seberangnya. Wajah perempuan itu terlihat menunduk memandangi ponsel yang ada di tangannya.
Juli melihat dengan heran wajah Juni yang sedang bengong menatap ke seberangnya.
“Jun, woy, kenapa lu? Liat setan?”
“Itu kayak temen gue, si Sandra,” kata Juni sambil mengedikkan dagunya ke depan.
“Yang mana?” Juli matanya mencari-cari.
“Itu yang lagi berdiri di samping tukang majalah. Yang lagi megang handphone, baju warna coklat.”
“Oh yang itu, lu samperin aja sana.”
“Gue samperin dulu ya bentar.”
Juni bergegas melangkah menuju ke tempat perempuan itu berdiri.
“Sandra?”
Perempuan yang sedang memandangi ponselnya itu terlihat kaget dan segera mencari sumber suara yang memanggilnya barusan.
“Juni?”
Sandra adalah seorang perempuan yang berwajah cantik. Dengan rambut hitam panjang sepunggung yang terikat di belakang serta tubuh tinggi langsing membuat dia tidak kalah dengan para pemain sinetron yang sering muncul di televisi. Beberapa orang yang lewat nampak menatap sekilas wajah cantiknya, entah sengaja atau tidak.
Juni tersenyum lebar, “Untung gue gak salah orang. Tadi gue cuma main tebak aja kalo lu emang Sandra.”
Sandra juga tersenyum, “Setelah sekian lama gak ketemu, akhirnya ketemu juga kita di Bandung, dunia emang cuma selebar daun kelor ya.”
“Lagi liburan di Bandung, San?” tanya Juni lagi.
“Gue kan emang orang Bandung, lu sendiri ngapain disini? Sendirian aja?”
“Gue sama saudara kembar gue, si Juli, tuh yang lagi duduk di sana,” Juni berkata sambil menunjuk ke arah Juli yang sedang sibuk memakan singkong goreng.
“Kita mau ke rumah nenek, San.”
“Baru kali ini gue lihat saudara kembar lu Jun. Mirip banget ya emang mukanya. Kalo bukan karena rambut bisa bingung gue, yang mana Juni sama Juli.”
“Gabung sama kita yuk San di tempat ngopi itu, daripada lu berdiri disini sendirian.”
“Gue udah dijemput bokap gue di depan Jun, next time deh kita ketemuan ya, lu lama kan di Bandung?”
“Kayaknya sih iya San, lu sendiri gimana? Kapan balik ke Jakarta?”
“Belum tau Jun, gue mau refreshing dulu di sini, kebetulan skripsi gue juga baru selesai kemarin ini, jadi mau santai santai dulu aja lah.”
“Oke deh San, tar kita kontek kontekan aja ya, nomor hp masih sama kan?”
“Masih dong, gue cabut dulu ya Jun, bye.”
“Bye San, take care ya.”
Mereka pun berpisah. Sandra berjalan cepat menuju ke arah pintu keluar sedangkan Juni kembali ke tempat ngopi tadi. Juli tampak sudah selesai menghabiskan makanan dan minumannya.
“Ciee, ketemu mantan pacar nih?” kata Juli menggoda.
“Bukan, dia cuma teman kok. Satu angkatan di bawah gue. Udah cukup lama kita gak ketemuan, terakhir ketemu pas ada acara natal gabungan di kampus tahun lalu,” Juni mencoba menjelaskan sambil menghabiskan sisa espresso nya.
Ponsel Juli yang tergeletak di depannya berbunyi, ada satu pesan singkat yang masuk.
“Pak Badi udah di parkiran Jun, yuk cabut.”
Juni mengangguk.
Setelah menyelesaikan pembayaran di kasir, mereka berdua segera meninggalkan tempat itu dan menuju ke tempat parkir.
Badi segera turun dari mobil ketika melihat Juni dan Juli sedang berjalan menghampiri mobil sedan berwarna biru metalik yang sudah biasa mengantarkan mereka kalau sedang berlibur di Bandung. Tadinya Badi hendak menjemput Juni dan Juli di pintu masuk tapi Juli memberikan pesan singkat kepadanya bahwa ia disuruh menunggu di parkiran saja karena Juni sedang bertemu temannya, takut lama, begitu isi pesan singkatnya.
“Apa kabar Pak Badi?”, tanya Juni ramah ketika mereka berdua sudah berada di samping mobil.
Badi segera membuka pintu bagasi bagian belakang untuk menaruh barang-barang Juni dan Juli, dua buah koper berukuran sedang dan satu kardus berwarna coklat.
“Baik mas Jun, kabar mas gimana sama mbak?” tanya Badi sambil memasukkan barang.
“Kita baik aja pak,” sahut Juli.
Setelah beres memasukkan semua barang yang ada, Badi segera mempersilahkan Juni dan Juli masuk ke dalam mobil. Mereka mengambil posisi duduk di bagian belakang.
Mobil sedan biru metalik itu segera meninggalkan tempat parkir stasiun kereta api Bandung. Jalanan cukup ramai dengan kendaraan yang datang dan meninggalkan stasiun itu.
“Nenek gimana kabarnya, Pak?” tanya Juni sesaat setelah mereka meninggalkan stasiun.
“Ibu Zalma baik mas, tadi ibu titip pesan untuk mengantarkan mas Juni dan mbak Juli jalan-jalan dulu sebelum ke rumah karena ibu masih ada acara arisan di rumah temannya di daerah Dago mas.”
“Nenek pergi sendiri ke Dago, Pak?”, Juli bertanya dengan was-was. Ia tahu bahwa mata neneknya sudah tidak begitu jelas lagi kalau melihat sesuatu.
“Enggak mbak, tadi dijemput sama sopir temannya.”
Juli tersenyum lega. Meskipun neneknya sudah berumur 60 tahunan lebih tapi fisik dan pikirannnya masih sehat sehingga ia suka sekali ke sana ke mari berkumpul dengan teman-temannya bahkan mereka punya perkumpulan senam sendiri yang rutin diadakan di rumah salah satu anggotanya seminggu dua kali. Nenek sosialita, begitu julukan Juli untuk Zalma.
“Jadi kita mau jalan kemana dulu nih mbak, mas?” tanya Badi sambil melirik ke kaca spion tengah.
“Paris Van Java aja pak,” sahut Juni.
Badi mengangguk pelan. Mobil pun segera meluncur ke sana.
Juni menatap ponselnya dengan pandangan bimbang. Sebenarnya sudah sejak pertama kali duduk di mobil, dia ingin mengirimkan pesan singkat ke Sandra, mengatakan bahwa ia sudah dijemput, basa basi sedikit karena memang sudah lama ia ingin mengenal Sandra lebih dalam lagi, namun kesempatan belum pernah datang menghampiri. Hari ini, tiba-tiba saja kesempatan itu terbuka lebar.
Akhirnya Juni mengambil keputusan bahwa ia harus mengambil kesempatan ini, karena belum tentu kesempatan yang sama datang untuk kedua kalinya. Tangannya pun segera mengetik pesan di ponselnya.
Udh sampai di rumah, San? Gw baru dijemput nih.
Pesan dikirim.
Juni menatap dua tanda centang yang belum berubah warna di isi pesan singkatnya yang menandakan belum dibaca oleh si penerima pesan. Sabar Jun, bisiknya dalam hati.
Mobil pun memasuki Paris Van Java. Pak Badi menurunkan Juni dan Juli di pintu masuk sementara ia berkeliling untuk mencari parkir. Mereka sudah janjian bahwa kalau semua sudah selesai, Pak Badi akan dihubungi kembali untuk datang menjemput.
Juni mengambil ponsel yang ia letakkan di saku belakang celananya. Belum ada jawaban dari Sandra, dibaca pun belum pesan yang tadi ia kirim. Sibuk atau memang Sandra malas membaca pesannya? Juni merasa kesempatan memang tidak ada sama sekali untuk mengenal Sandra lebih dalam.
Juli berkata bahwa ia ingin melihat-lihat sepatu dan pakaian di mal itu, Juni memutuskan memisahkan diri dari Juli dan pergi ke toko buku. Malas rasanya menemani Juli yang lebih banyak melihat-lihatnya daripada membeli.
Juni segera menghampiri rak buku yang memajang buku resep masakan beraneka ragam. Saat itulah ponselnya berbunyi.
Bokap ngajak gw ke PVJ dulu Jun, mau nyari makan, laper katanya hahaha…
Ternyata pesannya dibalas oleh Sandra. Juni tersenyum sendiri lalu dengan segera membalasnya.
Kok sama? Gw juga lagi di PVJ nih.
Masa? Kok kita jadi suka samaan gini ya Jun pas di Bandung, hahaha. Ketemuan yuk Jun, td kan belum puas ngobrolnya.
Gak enak ah, kan ada bokap lu.
Gpp, bokap gw tar lg mau ke toko kacamata, ktnya kacamatanya udh gk enak dipake, mau ganti. Td gw udh blg ada temen mau ke sini, dia gk masalah kok. Gw tggu di sini ya, di resto bakso.
Ya udah, gw meluncur ke sana ya.
Ternyata pintu kesempatan masih sangat terbuka lebar buat Juni. Ia kembali tersenyum-senyum sendiri. Seingat dia, belum pernah satu kalipun ia berbicara berdua saja dengan Sandra. Selama di kampus kalau dia berbicara dengan Sandra pasti bersama teman-temannya atau teman-teman Sandra. Semoga pertemuan kali pertama yang hanya berdua ini pertanda baik, gumamnya dalam hati.
Baru saja Juni memasuki restaurant bakso tersebut, Sandra sudah terlihat melambai-lambaikan tangannya. Juni segera berjalan menuju ke arah mejanya yang terletak di ujung ruangan.
“Pesan makanan Jun,” Sandra menyodorkan menu ke hadapan Juni.
“Gue masih kenyang San, tadi di kereta udah makan, gue pesen minum aja deh.”
Juni memanggil pelayan restaurant dan memesan segelas es jeruk.
Mereka kemudian berbincang dengan akrab sambil mengenang masa-masa perkuliahan dulu dan kejadian-kejadian konyol yang mewarnainya. Juni sudah lulus dari fakultas ekonomi tahun lalu sementara Sandra baru mau sidang skripsi dari fakultas yang sama tahun ini. Sambil menunggu jadwal sidang diumumkan, Sandra ingin bersantai sejenak di kampung halamannya.
Juni pun menceritakan rencananya untuk membuka kedai makanan bersama Juli, tidak lupa ia menceritakan bahwa neneknya dahulu adalah pemilik kedai bakmi di Bandung yang cukup terkenal, kata mamanya, meski ia tidak tahu apa nama kedai bakminya itu.
“Wah berarti lu keturunan pengusaha makanan terkenal disini dong Jun, sayang ya, lu gak tahu apa nama kedai bakminya, kalau tahu gue bisa tanya ke bokap, kan dia lahir disini.”
“Nanti kalau gue ketemu nenek gue pasti gue tanyain deh, gue juga penasaran soalnya, lagian nenek gue itu terkesan menyembunyikan keahliannya membuat bakmi.”
Sandra tampak tertarik dengan kalimat akhir dari perkataan Juni.
“Maksudnya nenek lu itu menyembunyikan sesuatu gitu ya soal kedainya?”
“Semuanya lah San, makanya kita kemari ini tujuannya untuk tanya sama nenek soal keahliannya membuat bakmi dan resep rahasianya, kita mau minta diajari buat kedai kita nantinya.”
“Resep rahasia,” Sandra tampak bergumam sendiri.
“Kenapa San?” Juni bertanya karena ia mendengar Sandra bergumam tidak jelas.
“Gak apa apa Jun. Oh iya, lu pernah denger kabar soal si Benny gak? Katanya dia udah merit ya?” Sandra nampak berusaha mengalihkan pembicaraan. Juni dalam hati agak heran dengan reaksi Sandra tapi ia pikir itu hanya perasaannya saja. Toh Sandra juga tidak mengenal keluarganya.
Ponsel Juni tiba-tiba berbunyi, terpampang nama Juli sebagai penelepon.
“Jun, lu dimana sih? Gue di toko buku nih, dari tadi nyari elu gak ada,” suara cempreng Juli membuat gendang telinga Juni serasa mau pecah.
“Gue di tempat bakso Jul, sama Sandra, lagi ngobrol-ngobrol.”
“Kok bisa sama Sandra? Emang lu janjian mau ketemu disini?”
“Mau tahu banget sih urusan orang, tar lagi gue ke toko buku, lu nunggu aja di sana.”
“Gak usah ke toko buku lagi, tar lu langsung aja ke restaurant Nyiur Melambai di lantai dua, nenek sebentar lagi sampai di sana, kita diajak makan malam bareng.”
“Ya udah, tar lagi gue ke sana.”
“Awas jangan lama lu!”
Percakapan pun terputus.
Sandra terlihat tersenyum mendengar percakapan kedua saudara kembar itu di telepon. Dibilang kembar tapi kok ya kalau bicara seperti mau berantem, tidak mencerminkan kesehatian saudara kembar, pikirnya geli.
“Sorry San, gue cabut dulu ya, nenek gue mau dateng ke sini.”
“Iya Jun, gue juga mau nyusul bokap gue di toko kacamata, tar minuman lu gue yang bayar aja sekalian sama makanan gue dan bokap tadi.”
Juni berfikir sebentar.
“Oke San, tapi nanti gantian gue yang traktir lu ya. Itu artinya lu harus mau kalau gue ajak pergi nanti.”
Sandra tertawa.
“Beres Jun, gue juga masih penasaran sama cerita lu soal kedai nenek lu nih.”
Mereka pun berpisah. Juni segera ke lantai dua sementara Sandra menuju ke kasir untuk menyelesaikan pembayaran. Tanpa Juni ketahui, tatapan tajam Sandra mengiringi langkah kakinya menuju ke eskalator.
Di tangga eskalator, Juni nampak termenung sendiri. Tidak biasanya nenek Zalma mengajak mereka makan di mal, biasanya nenek pasti masak di rumah karena nenek tidak menyukai keramaian mal apalagi hari Sabtu begini atau bisa jadi nenek bosan di rumah dan ingin merasakan kebersamaan di mal.
Juni teringat kembali kepada gumaman tidak jelas Sandra di restaurant barusan. Sayup-sayup ia mendengar Sandra bergumam soal resep rahasia meski ia tidak yakin akan pendengarannya. Dalam hati kecilnya ia merasa Sandra juga tertarik dengan resep rahasia itu, entah tertarik dengan apanya karena dari pembicaraan tadi tidak terdapat sekalipun kalimat dari Sandra bahwa ia juga akan membuka kedai makanan seperti yang akan dia lakukan. Jadi apa yang membuat Sandra tertarik dengan resep itu dan juga kedai bakmi neneknya. Perlukah ia nanti memberitahu Sandra jika ia sudah mendapatkan nama kedai itu dari neneknya? Semakin dipikirkan semakin terasa tidak jelas, kepala Juni terasa panas.
Langkah Juni terhenti, di depannya terlihat sebuah restaurant megah dengan tulisan Nyiur Melambai dengan cat emas di atasnya. Hatinya berdegup kencang seakan bersiap untuk menerima kejutan yang akan terjadi nanti di dalamnya.
Ia pun melangkah masuk.
Zalma adalah seorang wanita yang berusia pertengahan enam puluh namun wajahnya terlihat lebih muda beberapa tahun meski kerutan sudah tampak di sana sini, postur tubuhnya pun masih bisa dibilang sangat proporsional karena kegemarannya akan senam yang telah dilakoninya semenjak usia muda. Selain itu, Zalma sangat menjaga makanan dan minuman yang di konsumsinya. Dia hanya mau menyantap hidangan yang dia yakin sudah diolah dengan baik, bahan berkualitas dan terjaga kebersihannya. Maka dari itu, jarang sekali Zalma makan di luar rumah, kalaupun ia mau makan di luar, ia harus yakin restaurant yang dikunjunginya memiliki semua standard kualitas hidangan yang dia pakai.Namun malam ini ada sedikit perbedaan. Zalma mengajak kedua cucunya makan malam di restaurant Nyiur Melambai milik temannya. Zalma sudah mengenal betul chef yang bertanggung jawab terhadap semua hidangan yang di buatnya sehingga ia merasa yakin bahwa semua hidangan sesuai dengan standard Zalma, selain itu, temannya s
Juli mengerjapkan matanya ketika seberkas sinar matahari pagi masuk dari atas jendela kamar. Tirai berwarna coklat tua di jendela kamar itu masih tertutup rapat. Udara dingin dari AC membuat Juli masih enggan untuk beranjak dari posisi tidurnya. Sejurus ia nampak bingung dengan kondisi kamar yang ditempatinya, berbeda dengan kamar yang biasa ia tempati. Tapi kemudian ia baru sadar kalau saat ini ia sedang berada di rumah Nenek Zalma.Dengan mata setengah terpejam ia menatap jam dinding di bagian atas tembok kamar. Jam delapan, gumamnya dalam hati. Tumben suasana rumah masih terasa sepi. Juli sudah hafal kebiasaan sang Nenek kalau mereka berlibur ke sini, biasanya sekitar jam tujuh pagi, Nenek sudah sibuk memasak bersama dengan Asih, asisten rumah tangganya untuk kemudian membangunkan ia dan Juni agar segera bersiap sarapan. Kalau sarapan tidak boleh terlalu siang, nanti bisa sakit maag, wanti-wanti Nenek Zalma mengingatkan kalau mereka masih bermalas-malasan bangun pagi untuk
“Rendy!” Pria berkaos coklat muda, celana pendek hitam serta bersendal jepit yang dipanggil Randy itu hanya tersenyum memandang Juli yang seperti baru melihat hantu di pagi hari. “Kenapa Jul? Kok lu kayak kaget lihat gue.” Juli merasa wajahnya memerah menahan malu. “Ng-ngak apa-apa kok Ren.” “Sorry, tadi gue main nyelonong masuk aja, soalnya pintu pager gak dikunci.” “I-iya gak apa-apa kok.” Juli masih menahan rasa malu. “Juni ada?” “Juni lagi ke pasar sama Nenek, Ren.” Rendy mengangguk. “Kemarin malam dia telpon gue, ngabarin kalau udah sampai Bandung. Jadi gue pagi-pagi ke sini mau ajak dia ke ngopi bareng di coffee shop gue. Baru buka minggu lalu.” “Wah, congratz Ren.” Juli tersenyum simpul. Meski dia berusaha terlihat tenang di depan Rendy tapi hatinya masih bergejolak tidak karuan. Tiba-tiba Juli seperti teringat sesuatu. “Eh, masuk yuk, ngapain kita ngobrol
Jelita Maharani menatap tumpukan kertas yang berserakan di hadapannya dengan pandangan kesal. Sesekali jari tangannya memijat dahi dan keningnya. Kacamatanya tampak sesekali dinaikkan, bukan karena tidak sesuai dengan ukuran wajah tapi karena perasaan gelisah yang tanpa sadar membuatnya melakukan gerakan itu.Jelita adalah seorang wanita berusia sekitar enam puluh tahunan namun wajahnya nampak lebih muda dari usia sebenarnya. Masih terlihat cantik dan menawan. Ia juga memiliki aura kelembutan dan ketegasan yang terpancar seperti dua medan magnet yang sebenarnya saling bertolak belakang tapi bisa disatukan dalam diri wanita itu.Sebagai seorang pemimpin sebuah perusahaan yang bergerak di bidang bahan pangan bernama PT. Pangan Cakrawala yang memiliki berbagai macam jenis usaha yang meliputi restaurant, penjualan daging mentah sampai wine mahal, Jelita harus mampu berpikir kreatif dan bertindak tepat dan tegas karena kalau tidak, perusahaannya tidak akan mampu bertahan sa
“Lu jadi ikut gak?”Sherly menatap jam dinding di tembok ruangan. Waktu menunjukkan pukul 03.30 sore.“Ya udah, gue ikut deh, tapi nanti gak apa-apa sama si Adrian kan?”Amel menggeleng.“Gak lah, kita cuma mau party bentar kayak biasa, gak lama juga, laki gue bisa curiga kalo gue pulang terlalu malem.”“Barusan laki lu telpon kan?”“Iya, ngabarin kalo dia ada meeting. Adrian juga baru kirim pesen, party nya mulai jam 6 di hotel biasa.”Sherly mengangguk.“Ya udah, gue mandi dulu deh.”Sementara Sherly menghilang di pintu kamar mandi, Amel membereskan pakaian senamnya dan memasukkannya ke dalam tas olahraga berwarna biru cerah. Beberapa perempuan menyapanya sebelum pergi beranjak dari ruangan itu.Amel dan Sherly adalah teman sejak masa SMA dulu. Mereka memiliki kegemaran yang sama yaitu olahraga. Berbagai macam olah
Dimas menghabiskan seporsi nasi goreng kambing kesukaannya dengan lahap. Setelah meeting dengan beberapa direktur anak perusahaan PT.Pangan Cakrawala, membuat tenaga dan pikirannya seperti tercurah habis. Ada beberapa masalah yang akhirnya bisa diselesaikan di dalam meeting itu. Dimas bersyukur.Hotel Ribza yang terletak di kawasan Jakarta Selatan ini memang kerap digunakannya untuk mengadakan meeting. Ia merasa nyaman dengan suasana dan pelayanannya. Terlebih lagi, salah satu pemilik hotel bintang lima ini adalah temannya semasa SMA dulu sehingga ia bisa mendapatkan harga khusus pada saat mengadakan kegiatan di sana.Setelah meeting selesai, biasanya dilanjutkan dengan acara makan malam bersama di restaurant dalam hotel ini. Makanan yang disajikan sungguh luar biasa enak, menurut Dimas. Terkadang, ia juga sering makan di sana, bersama keluarganya atau sendiri. Ia lalu melihat ke jam di tangannya. Waktu menunjukkan puku
Kedai kopi milik Rendy terletak tidak jauh dari pusat perbelanjaan yang ada di jalan Braga. Tempat yang dipakai untuk membuka kedai itu dulunya juga merupakan sebuah kedai kopi. Karena pemilik sebelumnya hendak pindah ke luar Bandung, maka ia menyewakan tempat itu dan menjual seluruh isinya. Suatu hari, Rendy melihat kertas yang ditempel di jendela kedai itu dengan tulisan DISEWA beserta nomor yang bisa dihubungi di bawahnya. Kebetulan, Rendy juga sedang mencari tempat untuk membuka kedai kopi. Tanpa berlama-lama, ia pun menghubungi si pemilik tempat. Setelah beberapa kali pertemuan, akhirnya kesepakatan tercapai dan secara resmi Rendy menjadi penyewa tempat itu serta membeli seluruh isi nya yang kebetulan juga sesuai dengan keinginan Rendy. Jadi ia tidak perlu repot mencari ke sana ke mari barang-barang yang dibutuhkan karena semua sudah tersedia lengkap di tempat itu. JaRe adalah nama yang dipilih Rendy untuk kedai kopinya. Singkatan dari Janji Rendy, sebuah komitm
“Saudara Rama, saya Briptu Sularso.”Rama menyambut uluran tangan Briptu Sularso, seorang pria yang terlihat masih muda, berambut cepak dan berbadan tegap. Sedari tadi Rama melihat Briptu Sularso dan satu orang temannya terus berada di kamar tempat Amel dirawat, meminta keterangan dari Dimas sehingga membuatnya menyingkir sejenak ke ruang tunggu.“Bisa saya meminta keterangan saudara? Mengenai Ibu Amel.”“Bisa, bisa pak.” Jantung Rama masih berdetak kencang. Ia belum pernah berurusan dengan aparat kepolisian. Ini adalah yang pertama kali dan sudah cukup membuat Rama seperti hendak dipenjara.“Apakah saudara pernah melihat Ibu Amel minum minuman keras?”Rama terdiam sejenak. Ia nampak berpikir.“Sepertinya tidak Pak. Apakah mama saya mabuk?”“Ibu Amel tidak dalam kondisi mabuk kok, ini hanya pertanyaan umum saja.”Rama mengangguk.“Kami sedang c