Hujan deras menyambut kedatangan Juni dan Juli di kota Bandung siang itu.
Sebelum mereka berangkat dari stasiun Gambir, Zalma sudah memberikan pesan singkat melalui w******p bahwa nanti Badi, sopir pribadi Zalma, akan menjemput mereka di stasiun Bandung.
Ketika mereka hendak turun dari kereta, Juli sudah menelpon Zalma mengabarkan bahwa mereka sudah tiba. Zalma meminta mereka menunggu sebentar karena Badi sedang dalam perjalanan mengantarkan barang ke rumah seorang teman Zalma baru setelah itu ia menjemput Juni dan Juli di stasiun kereta api Bandung.
“Jun, kita mau langung ke rumah nenek atau mau jalan dulu kemana gitu?” tanya Juli sambil menyesap kopi yang barusan dibelinya dari tempat ngopi yang ada di stasiun. Juni duduk di seberangnya. Mereka menunggu kedatangan Badi di tempat ngopi itu.
“Kita ke mal dulu aja yuk, gue mau ke toko buku,” jawab Juni.
Seorang pelayan datang membawa satu cangkir espresso hangat pesanan Juni. Juni mengangguk kepada pelayan itu sebagai ucapan terima kasih setelah ia menaruh cangkir itu di meja tempat Juni dan Juli duduk.
“Ngapain lu ke toko buku? Lu kan gak suka baca buku.”
“Gue mau beli buku resep masakan Jul, biar bisa ditanya ke nenek juga, kira-kira bisa jual makanan apa aja yang cocok sama bakmi.”
Juli mengangguk.
“Betul juga sih, kayak tempat makan bakmi yang lain ya Jun, mereka bisa jual makanan yang lain selain bakmi meski yang jadi favorit tetep bakminya.”
“Iya”
Juni meneguk espresso hangatnya. Matanya memandang ke arah kerumunan orang yang berjalan hilir mudik di stasiun ini. Hari ini adalah hari Sabtu, banyak sekali orang yang datang berkunjung ke Bandung terutama warga Bandung yang menjadi pendatang di Jakarta. Mereka mengambil kesempatan libur yang sebentar ini untuk menyegarkan pikiran di kota mereka setelah selama seminggu mereka disibukkan dengan rutinitas pekerjaan di Jakarta.
Mata Juni tiba-tiba tertumbuk pada seorang perempuan yang sedang berdiri menunggu di seberangnya. Wajah perempuan itu terlihat menunduk memandangi ponsel yang ada di tangannya.
Juli melihat dengan heran wajah Juni yang sedang bengong menatap ke seberangnya.
“Jun, woy, kenapa lu? Liat setan?”
“Itu kayak temen gue, si Sandra,” kata Juni sambil mengedikkan dagunya ke depan.
“Yang mana?” Juli matanya mencari-cari.
“Itu yang lagi berdiri di samping tukang majalah. Yang lagi megang handphone, baju warna coklat.”
“Oh yang itu, lu samperin aja sana.”
“Gue samperin dulu ya bentar.”
Juni bergegas melangkah menuju ke tempat perempuan itu berdiri.
“Sandra?”
Perempuan yang sedang memandangi ponselnya itu terlihat kaget dan segera mencari sumber suara yang memanggilnya barusan.
“Juni?”
Sandra adalah seorang perempuan yang berwajah cantik. Dengan rambut hitam panjang sepunggung yang terikat di belakang serta tubuh tinggi langsing membuat dia tidak kalah dengan para pemain sinetron yang sering muncul di televisi. Beberapa orang yang lewat nampak menatap sekilas wajah cantiknya, entah sengaja atau tidak.
Juni tersenyum lebar, “Untung gue gak salah orang. Tadi gue cuma main tebak aja kalo lu emang Sandra.”
Sandra juga tersenyum, “Setelah sekian lama gak ketemu, akhirnya ketemu juga kita di Bandung, dunia emang cuma selebar daun kelor ya.”
“Lagi liburan di Bandung, San?” tanya Juni lagi.
“Gue kan emang orang Bandung, lu sendiri ngapain disini? Sendirian aja?”
“Gue sama saudara kembar gue, si Juli, tuh yang lagi duduk di sana,” Juni berkata sambil menunjuk ke arah Juli yang sedang sibuk memakan singkong goreng.
“Kita mau ke rumah nenek, San.”
“Baru kali ini gue lihat saudara kembar lu Jun. Mirip banget ya emang mukanya. Kalo bukan karena rambut bisa bingung gue, yang mana Juni sama Juli.”
“Gabung sama kita yuk San di tempat ngopi itu, daripada lu berdiri disini sendirian.”
“Gue udah dijemput bokap gue di depan Jun, next time deh kita ketemuan ya, lu lama kan di Bandung?”
“Kayaknya sih iya San, lu sendiri gimana? Kapan balik ke Jakarta?”
“Belum tau Jun, gue mau refreshing dulu di sini, kebetulan skripsi gue juga baru selesai kemarin ini, jadi mau santai santai dulu aja lah.”
“Oke deh San, tar kita kontek kontekan aja ya, nomor hp masih sama kan?”
“Masih dong, gue cabut dulu ya Jun, bye.”
“Bye San, take care ya.”
Mereka pun berpisah. Sandra berjalan cepat menuju ke arah pintu keluar sedangkan Juni kembali ke tempat ngopi tadi. Juli tampak sudah selesai menghabiskan makanan dan minumannya.
“Ciee, ketemu mantan pacar nih?” kata Juli menggoda.
“Bukan, dia cuma teman kok. Satu angkatan di bawah gue. Udah cukup lama kita gak ketemuan, terakhir ketemu pas ada acara natal gabungan di kampus tahun lalu,” Juni mencoba menjelaskan sambil menghabiskan sisa espresso nya.
Ponsel Juli yang tergeletak di depannya berbunyi, ada satu pesan singkat yang masuk.
“Pak Badi udah di parkiran Jun, yuk cabut.”
Juni mengangguk.
Setelah menyelesaikan pembayaran di kasir, mereka berdua segera meninggalkan tempat itu dan menuju ke tempat parkir.
Badi segera turun dari mobil ketika melihat Juni dan Juli sedang berjalan menghampiri mobil sedan berwarna biru metalik yang sudah biasa mengantarkan mereka kalau sedang berlibur di Bandung. Tadinya Badi hendak menjemput Juni dan Juli di pintu masuk tapi Juli memberikan pesan singkat kepadanya bahwa ia disuruh menunggu di parkiran saja karena Juni sedang bertemu temannya, takut lama, begitu isi pesan singkatnya.
“Apa kabar Pak Badi?”, tanya Juni ramah ketika mereka berdua sudah berada di samping mobil.
Badi segera membuka pintu bagasi bagian belakang untuk menaruh barang-barang Juni dan Juli, dua buah koper berukuran sedang dan satu kardus berwarna coklat.
“Baik mas Jun, kabar mas gimana sama mbak?” tanya Badi sambil memasukkan barang.
“Kita baik aja pak,” sahut Juli.
Setelah beres memasukkan semua barang yang ada, Badi segera mempersilahkan Juni dan Juli masuk ke dalam mobil. Mereka mengambil posisi duduk di bagian belakang.
Mobil sedan biru metalik itu segera meninggalkan tempat parkir stasiun kereta api Bandung. Jalanan cukup ramai dengan kendaraan yang datang dan meninggalkan stasiun itu.
“Nenek gimana kabarnya, Pak?” tanya Juni sesaat setelah mereka meninggalkan stasiun.
“Ibu Zalma baik mas, tadi ibu titip pesan untuk mengantarkan mas Juni dan mbak Juli jalan-jalan dulu sebelum ke rumah karena ibu masih ada acara arisan di rumah temannya di daerah Dago mas.”
“Nenek pergi sendiri ke Dago, Pak?”, Juli bertanya dengan was-was. Ia tahu bahwa mata neneknya sudah tidak begitu jelas lagi kalau melihat sesuatu.
“Enggak mbak, tadi dijemput sama sopir temannya.”
Juli tersenyum lega. Meskipun neneknya sudah berumur 60 tahunan lebih tapi fisik dan pikirannnya masih sehat sehingga ia suka sekali ke sana ke mari berkumpul dengan teman-temannya bahkan mereka punya perkumpulan senam sendiri yang rutin diadakan di rumah salah satu anggotanya seminggu dua kali. Nenek sosialita, begitu julukan Juli untuk Zalma.
“Jadi kita mau jalan kemana dulu nih mbak, mas?” tanya Badi sambil melirik ke kaca spion tengah.
“Paris Van Java aja pak,” sahut Juni.
Badi mengangguk pelan. Mobil pun segera meluncur ke sana.
Juni menatap ponselnya dengan pandangan bimbang. Sebenarnya sudah sejak pertama kali duduk di mobil, dia ingin mengirimkan pesan singkat ke Sandra, mengatakan bahwa ia sudah dijemput, basa basi sedikit karena memang sudah lama ia ingin mengenal Sandra lebih dalam lagi, namun kesempatan belum pernah datang menghampiri. Hari ini, tiba-tiba saja kesempatan itu terbuka lebar.
Akhirnya Juni mengambil keputusan bahwa ia harus mengambil kesempatan ini, karena belum tentu kesempatan yang sama datang untuk kedua kalinya. Tangannya pun segera mengetik pesan di ponselnya.
Udh sampai di rumah, San? Gw baru dijemput nih.
Pesan dikirim.
Juni menatap dua tanda centang yang belum berubah warna di isi pesan singkatnya yang menandakan belum dibaca oleh si penerima pesan. Sabar Jun, bisiknya dalam hati.
Mobil pun memasuki Paris Van Java. Pak Badi menurunkan Juni dan Juli di pintu masuk sementara ia berkeliling untuk mencari parkir. Mereka sudah janjian bahwa kalau semua sudah selesai, Pak Badi akan dihubungi kembali untuk datang menjemput.
Juni mengambil ponsel yang ia letakkan di saku belakang celananya. Belum ada jawaban dari Sandra, dibaca pun belum pesan yang tadi ia kirim. Sibuk atau memang Sandra malas membaca pesannya? Juni merasa kesempatan memang tidak ada sama sekali untuk mengenal Sandra lebih dalam.
Juli berkata bahwa ia ingin melihat-lihat sepatu dan pakaian di mal itu, Juni memutuskan memisahkan diri dari Juli dan pergi ke toko buku. Malas rasanya menemani Juli yang lebih banyak melihat-lihatnya daripada membeli.
Juni segera menghampiri rak buku yang memajang buku resep masakan beraneka ragam. Saat itulah ponselnya berbunyi.
Bokap ngajak gw ke PVJ dulu Jun, mau nyari makan, laper katanya hahaha…
Ternyata pesannya dibalas oleh Sandra. Juni tersenyum sendiri lalu dengan segera membalasnya.
Kok sama? Gw juga lagi di PVJ nih.
Masa? Kok kita jadi suka samaan gini ya Jun pas di Bandung, hahaha. Ketemuan yuk Jun, td kan belum puas ngobrolnya.
Gak enak ah, kan ada bokap lu.
Gpp, bokap gw tar lg mau ke toko kacamata, ktnya kacamatanya udh gk enak dipake, mau ganti. Td gw udh blg ada temen mau ke sini, dia gk masalah kok. Gw tggu di sini ya, di resto bakso.
Ya udah, gw meluncur ke sana ya.
Ternyata pintu kesempatan masih sangat terbuka lebar buat Juni. Ia kembali tersenyum-senyum sendiri. Seingat dia, belum pernah satu kalipun ia berbicara berdua saja dengan Sandra. Selama di kampus kalau dia berbicara dengan Sandra pasti bersama teman-temannya atau teman-teman Sandra. Semoga pertemuan kali pertama yang hanya berdua ini pertanda baik, gumamnya dalam hati.
Baru saja Juni memasuki restaurant bakso tersebut, Sandra sudah terlihat melambai-lambaikan tangannya. Juni segera berjalan menuju ke arah mejanya yang terletak di ujung ruangan.
“Pesan makanan Jun,” Sandra menyodorkan menu ke hadapan Juni.
“Gue masih kenyang San, tadi di kereta udah makan, gue pesen minum aja deh.”
Juni memanggil pelayan restaurant dan memesan segelas es jeruk.
Mereka kemudian berbincang dengan akrab sambil mengenang masa-masa perkuliahan dulu dan kejadian-kejadian konyol yang mewarnainya. Juni sudah lulus dari fakultas ekonomi tahun lalu sementara Sandra baru mau sidang skripsi dari fakultas yang sama tahun ini. Sambil menunggu jadwal sidang diumumkan, Sandra ingin bersantai sejenak di kampung halamannya.
Juni pun menceritakan rencananya untuk membuka kedai makanan bersama Juli, tidak lupa ia menceritakan bahwa neneknya dahulu adalah pemilik kedai bakmi di Bandung yang cukup terkenal, kata mamanya, meski ia tidak tahu apa nama kedai bakminya itu.
“Wah berarti lu keturunan pengusaha makanan terkenal disini dong Jun, sayang ya, lu gak tahu apa nama kedai bakminya, kalau tahu gue bisa tanya ke bokap, kan dia lahir disini.”
“Nanti kalau gue ketemu nenek gue pasti gue tanyain deh, gue juga penasaran soalnya, lagian nenek gue itu terkesan menyembunyikan keahliannya membuat bakmi.”
Sandra tampak tertarik dengan kalimat akhir dari perkataan Juni.
“Maksudnya nenek lu itu menyembunyikan sesuatu gitu ya soal kedainya?”
“Semuanya lah San, makanya kita kemari ini tujuannya untuk tanya sama nenek soal keahliannya membuat bakmi dan resep rahasianya, kita mau minta diajari buat kedai kita nantinya.”
“Resep rahasia,” Sandra tampak bergumam sendiri.
“Kenapa San?” Juni bertanya karena ia mendengar Sandra bergumam tidak jelas.
“Gak apa apa Jun. Oh iya, lu pernah denger kabar soal si Benny gak? Katanya dia udah merit ya?” Sandra nampak berusaha mengalihkan pembicaraan. Juni dalam hati agak heran dengan reaksi Sandra tapi ia pikir itu hanya perasaannya saja. Toh Sandra juga tidak mengenal keluarganya.
Ponsel Juni tiba-tiba berbunyi, terpampang nama Juli sebagai penelepon.
“Jun, lu dimana sih? Gue di toko buku nih, dari tadi nyari elu gak ada,” suara cempreng Juli membuat gendang telinga Juni serasa mau pecah.
“Gue di tempat bakso Jul, sama Sandra, lagi ngobrol-ngobrol.”
“Kok bisa sama Sandra? Emang lu janjian mau ketemu disini?”
“Mau tahu banget sih urusan orang, tar lagi gue ke toko buku, lu nunggu aja di sana.”
“Gak usah ke toko buku lagi, tar lu langsung aja ke restaurant Nyiur Melambai di lantai dua, nenek sebentar lagi sampai di sana, kita diajak makan malam bareng.”
“Ya udah, tar lagi gue ke sana.”
“Awas jangan lama lu!”
Percakapan pun terputus.
Sandra terlihat tersenyum mendengar percakapan kedua saudara kembar itu di telepon. Dibilang kembar tapi kok ya kalau bicara seperti mau berantem, tidak mencerminkan kesehatian saudara kembar, pikirnya geli.
“Sorry San, gue cabut dulu ya, nenek gue mau dateng ke sini.”
“Iya Jun, gue juga mau nyusul bokap gue di toko kacamata, tar minuman lu gue yang bayar aja sekalian sama makanan gue dan bokap tadi.”
Juni berfikir sebentar.
“Oke San, tapi nanti gantian gue yang traktir lu ya. Itu artinya lu harus mau kalau gue ajak pergi nanti.”
Sandra tertawa.
“Beres Jun, gue juga masih penasaran sama cerita lu soal kedai nenek lu nih.”
Mereka pun berpisah. Juni segera ke lantai dua sementara Sandra menuju ke kasir untuk menyelesaikan pembayaran. Tanpa Juni ketahui, tatapan tajam Sandra mengiringi langkah kakinya menuju ke eskalator.
Di tangga eskalator, Juni nampak termenung sendiri. Tidak biasanya nenek Zalma mengajak mereka makan di mal, biasanya nenek pasti masak di rumah karena nenek tidak menyukai keramaian mal apalagi hari Sabtu begini atau bisa jadi nenek bosan di rumah dan ingin merasakan kebersamaan di mal.
Juni teringat kembali kepada gumaman tidak jelas Sandra di restaurant barusan. Sayup-sayup ia mendengar Sandra bergumam soal resep rahasia meski ia tidak yakin akan pendengarannya. Dalam hati kecilnya ia merasa Sandra juga tertarik dengan resep rahasia itu, entah tertarik dengan apanya karena dari pembicaraan tadi tidak terdapat sekalipun kalimat dari Sandra bahwa ia juga akan membuka kedai makanan seperti yang akan dia lakukan. Jadi apa yang membuat Sandra tertarik dengan resep itu dan juga kedai bakmi neneknya. Perlukah ia nanti memberitahu Sandra jika ia sudah mendapatkan nama kedai itu dari neneknya? Semakin dipikirkan semakin terasa tidak jelas, kepala Juni terasa panas.
Langkah Juni terhenti, di depannya terlihat sebuah restaurant megah dengan tulisan Nyiur Melambai dengan cat emas di atasnya. Hatinya berdegup kencang seakan bersiap untuk menerima kejutan yang akan terjadi nanti di dalamnya.
Ia pun melangkah masuk.
Dimas tengah serius membaca laporan rugi laba PT. Pangan Cakrawala ketika mendadak telepon genggamnya yang tergeletak di atas meja berbunyi.Ternyata Briptu Sularso.“Ya, halo Larso.”“Selamat siang Pak, Ibu Jelita bersama Bapak?”“Tadi kayaknya keluar Larso, ada apa?”“Saya coba telpon Ibu tapi gak diangkat-angkat.”“Memang ada apa Larso?”“Saya tahu siapa pembunuh Putri….”Dimas yang saat itu sedang minum hampir saja tersedak.“Siapa Larso?”“Pak Dimas tolong tanyakan ke sekretaris Ibu kemana beliau pergi, kita susul.”“Maksudnya?”“Saya jemput Pak Dimas, sekarang!”**************Telepon genggam di dalam tas Jelita kembali bergetar namun karena diletakkan di bangku yang kosong di sebelahnya, ia menjadi tidak tahu.“Jad
Wanita muda itu menatap selembar foto yang ada di tangannya sambil tersenyum. Sesekali ia mengelus wajah seorang wanita separuh baya yang ada di foto itu.“Sebentar lagi semuanya akan selesai Bu….,” kata wanita itu pelan.Ia lalu mengambil sebuah botol kecil berisi cairan bening yang ada di atas meja. Bibirnya kembali tersenyum.“Mereka akan rasakan akibatnya.”Wanita itu lalu tertawa terbahak sambil meletakkan kembali botol itu di atas meja. Terlihat sebuah tulisan di depan botol itu yang ditempel dengan menggunakan kertas berwarna putih. Sianida.***************Kedai Juni & Juli siang hari ini terlihat ramai. Beberapa pengunjung yang berasal dari perkantoran sekitar ruko nampak makan siang di sana. Belum lagi pengunjung lainnya yang memang sengaja datang untuk bersantap dan menikmati hidangan di kedai ini.“Jun, untuk bookingan nanti sore yang acara ulang tahun it
Pesta ulang tahun Abah Rudi berlangsung sangat meriah. Meski hanya dihadiri oleh keluarga dekat tapi tidak membuat suasana menjadi kaku dan membosankan. Suara gelak tawa dan canda terus menerus mewarnai pesta itu yang berlangsung dari sore sampai malam hari.Lastri menyewa sebuah villa di kawasan Lembang yang letaknya cukup jauh dari keramaian. Ini merupakan permintaan Abah dengan alasan biar bisa lebih dekat dengan keluarga. Lastri menyanggupi tanpa banyak bertanya.Briptu Sularso hadir di pesta itu tepat waktu. Sambutan yang diberikan keluarganya ketika ia menyapa di depan pintu sungguh luar biasa. Semua berebut memeluk dan menciumnya. Entah karena memang ini pertama kalinya ia bisa datang tepat waktu di acara keluarga atau karena rasa kangen yang sekian lama ditahan.Lastri melongokkan kepalanya di depan pintu sambil melihat ke kanan kiri, seperti mencari-cari. Tidak lama kemudian, senyum merekah di wajahnya.“Masuk Mas, disini kan dingin.”
Kamar kos itu tertata dengan rapi. Meski tidak cukup luas tapi tetap nyaman. Tidak banyak barang yang terdapat di sana, hanya ada sebuah ranjang, lemari baju, meja dan kursi kerja serta sebuah televisi ukuran 19 inch yang terletak di atas rak.Di dinding kamar itu hanya terpasang dua buah foto. Satu foto keluarga dan satu foto si penghuni kamar.Hari hampir menjelang tengah malam tapi si penghuni kamar masih tekun mendengarkan isi rekaman yang telah di dengarnya berulang kali. Sesekali ia mencatat beberapa hal yang dianggapnya penting di sebuah buku kecil.Setelah selesai mencatat, ia merenung sejenak. Mengingat kembali pertemuannya di kedai kopi apartemen Paradise Land bersama dengan Dimas dan Jelita beberapa hari yang lalu.“Siapa Zalma itu Bu?”Jelita memandang Briptu Sularso, berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaannya.“Nama lengkapnya Zalma Duni, mantan istri Cahyo, suami saya.”“Apa yang terjad
Rani menatap layar di telepon genggamnya dengan serius, matanya mengikuti gerakan seseorang yang sedang menari dengan diiringi lagu menghentak. Sesekali tangan dan bahunya mengikuti gerakan orang tersebut. Setelah dirasa sudah bisa mengingat seluruh gerakan itu, Rani kemudian menutup telepon genggamnya sambil tersenyum. “Kur…!” Seorang laki-laki kurus dengan memakai seragam kemeja berwarna coklat muda dan celana panjang berwarna senada dengan sedikit terburu-buru menghampiri Rani. “Iya Mbak Rani.” “Meja Ibu udah diberesin belum?” “Sudah Bu.” “Meja Bapak?” “Sudah juga Bu.” “Ya udah kalo gitu. Kamu tolong beliin nasi uduk di depan kayak biasa buat saya ya,” kata Rani sambil menyerahkan uang kepada laki-laki itu. “Baik Bu.” Laki-laki yang bernama Okur itu kemudian bergegas pergi. Setelah Okur menghilang dari pandangan matanya, Rani menatap jam di dinding. Baru jam 8 pagi, masih belum ada yang datang
Juni menatap papan nama yang tergantung di atas ruko nomor 17A itu dengan rasa haru. Tidak disangka akhirnya ia dan Juli berhasil juga membuka usaha yang selama ini mereka inginkan. Sekilas ia teringat semua yang telah mereka alami selama berada di Bandung. Juni lalu tersenyum kecil. “Woy, bengong aja!” Juni tersentak kaget mendengar sebuah suara yang berteriak nyaring di dekat kupingnya. Ternyata suara Juli yang saat ini sedang berdiri di sebelahnya. “Nama kita bagus juga ya Jul kalau dipasang jadi merek gitu.” Juli menatap papan nama yang bertuliskan Kedai Juni & Juli itu sambil mengangguk. “Kayak berirama gitu ya Jun.” “Irama apaan sih maksudnya?” “Puitis gitu, kan di belakangnya huruf i semua.” “Iya juga….”, ujar Juni, “Nek Zalma, Papa sama Mama udah sampai mana Jul?” “Barusan gue telpon sih masih di jalan katanya.” Mereka berdua kemudian masuk ke dalam ruko yang telah berubah bentuk menjadi sebu
Jelita memandang wajah Dimas yang sedang menunduk di hadapannya dengan pandangan tajam. Mereka berdua sedang duduk di luar kedai dengan ditemani dua gelas kopi yang asapnya masih terlihat mengepul.“Mama minta kamu segera tinggalkan Rahadi!” Jelita berkata tegas.Pelan-pelan Dimas mengangkat wajahnya.“Kenapa Ma?” Dimas berkata lirih.“Hubungan kalian itu aib bagi keluarga Kusuma!”“Jadi Mama udah tahu?”“Mama sudah tahu dari dulu.”“Maksud Mama? Dari dulu kapan?”“Pokoknya Mama sudah lama tahu kamu begitu sama Rahadi.”Dimas kembali menundukkan kepalanya. Rasanya ia ingin berteriak dan segera berlari meninggalkan tempat ini.“Mama sengaja diamkan dulu, karena Mama waktu itu pikir ini semua hanya sementara, hanya karena sedang ada masalah sama Amel kamu jadi begitu, tapi ternyata Mama salah…”Dimas menelan
Briptu Sularso memandangi foto-foto yang diambil di tempat kejadian perkara di kamar hotel tempat Putri ditusuk dengan seksama. Ia lalu memandang juga foto-foto di kamar kos tempat ditemukannya tubuh Hadi yang bermandikan darah, seperti membandingkan. Keningnya berkerut.“Dua kejadian ini sepertinya saling berhubungan,” gumam Briptu Sularso pelan.Ia teringat kecelakaan yang menimpa Amel. Kecelakaan yang sepertinya disengaja.“Pertama Amel, kemudian Hadi dan sekarang Putri.” Briptu Sularso bergumam kembali sambil tangannya mengambil spidol berwarna biru dan menuliskan beberapa hal di papan tulis putih di belakangnya.Ia menulis kata Amel lalu dilingkari, di bawahnya kata Hadi juga dilingkari, di bawahnya kata Putri juga di beri lingkaran. Setelah menulis tiga kata itu, ia lalu menatap papan tulis itu sebentar kemudian menghela nafas.“Dan sekarang, Amel ditahan karena kepemilikan obat terlarang,” kata Briptu Sula
“Lu tahu dari siapa sih San?” Juni kembali mengulang pertanyaannya.“Emang udah pasti itu alamat Panti Bunda Bernyanyi San?” Juli menyambung pertanyaan Juni dengan rasa penasaran.Lagi-lagi Sandra hanya tersenyum.“Kok senyum-senyum terus sih, kita penasaran nih,” kata Juli sambil memajukan tubuhnya ke depan.“Iya...gue jelasin deh. Waktu Juni cerita soal panti ini, gue inget punya tante yang tinggal di daerah Senen, namanya tante Wenny, jadi, gue tanya aja dan ternyata tante gue itu tahu.”“Wah, gak nyangka ya, untung aja gue cerita ke elu ya San,” ucap Juni dengan wajah sumringah.“Menurut tante lu itu, pantinya masih ada San?”“Dia gak yakin sih kalau pantinya masih ada Jul, soalnya udah lama pindah dari Senen, tapi dia inget alamatnya dimana, itu juga kalau nama jalannya sekarang gak berubah ya.”“Dimana alamatnya?”&ldquo