Zalma adalah seorang wanita yang berusia pertengahan enam puluh namun wajahnya terlihat lebih muda beberapa tahun meski kerutan sudah tampak di sana sini, postur tubuhnya pun masih bisa dibilang sangat proporsional karena kegemarannya akan senam yang telah dilakoninya semenjak usia muda. Selain itu, Zalma sangat menjaga makanan dan minuman yang di konsumsinya. Dia hanya mau menyantap hidangan yang dia yakin sudah diolah dengan baik, bahan berkualitas dan terjaga kebersihannya. Maka dari itu, jarang sekali Zalma makan di luar rumah, kalaupun ia mau makan di luar, ia harus yakin restaurant yang dikunjunginya memiliki semua standard kualitas hidangan yang dia pakai.
Namun malam ini ada sedikit perbedaan. Zalma mengajak kedua cucunya makan malam di restaurant Nyiur Melambai milik temannya. Zalma sudah mengenal betul chef yang bertanggung jawab terhadap semua hidangan yang di buatnya sehingga ia merasa yakin bahwa semua hidangan sesuai dengan standard Zalma, selain itu, temannya si pemilik restaurant yang sopirnya tadi menjemputnya ke tempat arisan ingin berkunjung ke sana untuk memeriksa beberapa hal, jadi Zalma berfikir ia sekalian ke sana sehingga bisa pulang ke rumah bersama Juni dan Juli serta Badi. Selain itu, ada hal yang ingin dia utarakan kepada Juni dan Juli dan rasanya sebuah restaurant dalam keramaian mal cocok sebagai tempat ia menyampaikan apa yang ingin ia sampaikan, suasana santai dan tidak kaku memang dibutuhkan untuk saat ini. Bukan buat Juni dan Juli tapi untuk dirinya.
Juni nampak tergesa memasuki restaurant sementara Juli sedang sibuk melihat-lihat daftar menu di tangannya. Setelah sampai di tempat mereka duduk, Juni segera memeluk dan mencium Zalma dan mengambil posisi duduk di hadapannya.
“Tumben Nek, makan di luar.”
Zalma tersenyum mendengar pertanyaan Juni.
“Iya, Nenek bosan makan di rumah terus.”
Juli berkata bahwa ia sudah siap memesan, Juni pun demikian, Zalma segera memanggil pelayan untuk memesan. Dengan sigap pelayan mencatat semua pesanan mereka. Setelah mengulang pesanan dan dibenarkan oleh Zalma, pelayan pun pergi meninggalkan mereka.
“Tadi gimana arisannya, Nek?”
“Seru banget Jul karena tadi Nenek ketemu teman lama yang sudah pindah ke Belanda. Hari ini dia ke Bandung karena ada urusan keluarga, jadi sekalian kita ketemuan deh,” Zalma berkata riang, wajah nya yang masih terlihat cantik nampak berbinar-binar.
“Cucu Nenek gimana nih kabarnya?” Zalma bertanya sambil mencubit pipi Juli yang duduk di sebelahnya,” Baru dua bulan gak ketemu kamu sudah lebih cantikkan Jul, Juni juga gantengan, kumis nya bikin lebih gagah.”
Juli cemberut. ”Jadi selama ini aku jelek dong Nek kalau dibilang cantikkan.”
Juni tertawa demikian juga Zalma.
“Kan Nenek bilang cantikkan, berarti dulu sudah cantik sekarang lebih cantik lagi.”
Mereka tertawa bersama-sama.
“Kita baik-baik aja Nek, rencana nanti kita mau buka kedai makanan, biar bisa jadi pengusaha, gak usah capek-capek kerja sama orang, yah siapa tahu kita bisa sukses sebelum umur 30 tahun,” Juni tersenyum sambil membayangkan jikalau impian dia sukses sebelum umur 30 tahun bisa benar-benar tercapai.
Zalma mengangguk. “Mama kamu sudah cerita sama Nenek, bagus kalau kalian sudah punya pemikiran seperti itu sejak muda, tapi usaha sendiri itu gak gampang loh.”
“Iya Nek, maka dari itu kita ke sini tuh mau diskusi sama Nenek soal makanan, kan Nenek jago tuh dan juga mau minta diajari resep bakmi, kan kata mama…,” kalimat Juli terhenti ketika pelayan membawakan makanan dan minuman pesanan mereka.
“Ayo kita makan dulu setelah itu baru cerita-cerita lagi ya.”
Juni dan Juli mengangguk. Mereka pun menikmati hidangan yang ada di hadapan mereka tanpa banyak bicara, hanya sedikit mengomentari apa yang mereka makan. Memang sudah menjadi tradisi dalam keluarga mereka kalau makan tidak diperbolehkan banyak bercerita apalagi berdiskusi karena biar bisa lebih menikmati tesktur dan rasa makanan yang disantap.
Setelah selesai mereka menyantap makanan, Juni dan Juli tampak menikmati minuman juice buah segar dingin yang mereka pesan. Juni memesan juice alpukat sementara Juli memesan juice buah mangga. Zalma juga tampak menikmati segelas ramuan rempah rempah dan teh hangat.
Setelah hening beberapa saat, Zalma berbicara pelan.
“Nenek sudah tahu bahwa kalian ingin belajar resep bakmi Nenek.”
Juni dan Juli saling berpandangan kemudian mengangguk.
“Sayangnya, Nenek tidak bisa mengajari kalian resep itu.”
Juni dan Juli tampak sedikit terkejut.
“Kenapa Nek?” tanya mereka hampir bersamaan.
Zalma terdiam cukup lama, keningnya berkerut seakan memikirkan suatu hal yang sangat berat.
“Nenek bisa mengajari kalian resep yang lain, asal bukan resep bakmi itu.”
“Jadi betul dulu Nenek pernah punyai kedai bakmi di Bandung?” tanya Juni
Zalma mengangguk.
“Kok Nenek gak pernah cerita sama kita sih?” Juli menatap Zalma dengan penuh tanda tanya.
“Terus, saban kali kita ke Bandung, kok Nenek gak pernah bikinin bakmi buatan Nenek, kita penasaran Nek, masakan yang Nenek bikin kan enak-enak, bakmi Nenek pun pasti enak, kalo gak, mana mungkin Nenek sampai buat kedai bakmi?Iya gak Jul,” Juni menatap Juli meminta persetujuan, Juli mengangguk setuju.
Zalma tersenyum sambil menatap Juni dan Juli.
“Nenek tahu mama kamu keceplosan cerita soal hal ini sama kalian, Nenek gak nyalahin mama kamu karena Nenek yakin satu saat ini akan terjadi, rahasia ini tidak mungkin Nenek sembunyikan terus menerus.”
Zalma menghela nafas.
“Alasan Nenek tidak bisa mengajari kalian resep itu karena akan membahayakan hidup kalian juga hidup Nenek dan mama papa kamu.”
Juni dan Juli tampak terkejut mendengar perkataan Zalma. Rahasia apa yang ada di resep itu sehingga bisa membahayakan hidup seseorang. Bukankah itu hanya resep membuat bakmi bukan resep membuat bom nuklir.
“Kok bisa membahayakan Nek? Memang resepnya bisa juga buat manggil kuntilanak ya Nek?” tanya Juli polos.
Zalma tertawa terbahak-bahak.
“Bukan itu Jul, kok kamu bisa punya ide seperti itu sih? Pasti gara-gara kebanyakan nonton film horror ya.”
“Nonton Youtube horror Nek yang pasti,” Juni menimpali.
Juli kembali cemberut.
Zalma meminum teh rempah-rempahnya dan menikmati sensasi hangat yang melewati tenggorokannya, badannya terasa lebih segar setelah meminum ramuan itu.
“Meskipun Nenek tahu bahwa rahasia ini pasti akan kalian ketahui nantinya tapi Nenek masih cukup berat untuk menceritakannya.”
“Kalau emang Nenek masih berat, kita gak apa apa kok Nek, gak usah cerita dulu sekarang,” Juli menatap Zalma dengan penuh pengertian.
Zalma menggeleng.
“Nenek memang harus cerita Jul, kalian juga sudah dewasa sekarang, pasti kalian bisa memahami dengan baik.”
Juni dan Juli bisa merasakan ketegangan di suara Zalma. Mereka merasakan beban batin yang berat ditanggung Zalma selama ini dan untuk melepaskannya memang butuh waktu dan keberanian. Juni dan Juli diam-diam sudah mempersiapkan diri untuk mendengar kisah rahasia yang mungkin menyimpan kejutan buat mereka.
“Kisah yang nanti akan Nenek ceritakan akan mengubah hidup kalian,” kata Zalma seakan bisa membaca pikiran Juni dan Juli.
Zalma melirik jam yang ada di pergelangan tangan kirinya.
“Sudah jam setengah sembilan, sebentar lagi restaurant akan tutup, sebaiknya Nenek akan ceritakan soal ini di rumah saja, biar lebih bebas. Juli, kamu tolong hubungi Badi, suruh dia jemput di lobby utama.”
Juli mengangguk, segera ia meraih ponsel dan memencet sebuah nomor.
Juni juga melihat ponsel yang dia letakkan di meja, tidak ada pesan dari siapapun. Ia kemudian meletakkan nya kembali.
Zalma memanggil pelayan untuk menyelesaikan pembayaran. Dalam hati, ia masih tidak yakin akan menceritakan kembali kisah yang telah dirahasiakan selama bertahun-tahun, sebuah kisah yang mengorek luka lama yang kalau bisa akan ia kubur dalam-dalam dan tidak akan diingat lagi. Tapi ia tahu bahwa hal ini tidak mungkin dia lakukan.
Juni dan Juli berhak tahu siapa mereka sebenarnya, gumamnya dalam hati.
Juli mengerjapkan matanya ketika seberkas sinar matahari pagi masuk dari atas jendela kamar. Tirai berwarna coklat tua di jendela kamar itu masih tertutup rapat. Udara dingin dari AC membuat Juli masih enggan untuk beranjak dari posisi tidurnya. Sejurus ia nampak bingung dengan kondisi kamar yang ditempatinya, berbeda dengan kamar yang biasa ia tempati. Tapi kemudian ia baru sadar kalau saat ini ia sedang berada di rumah Nenek Zalma.Dengan mata setengah terpejam ia menatap jam dinding di bagian atas tembok kamar. Jam delapan, gumamnya dalam hati. Tumben suasana rumah masih terasa sepi. Juli sudah hafal kebiasaan sang Nenek kalau mereka berlibur ke sini, biasanya sekitar jam tujuh pagi, Nenek sudah sibuk memasak bersama dengan Asih, asisten rumah tangganya untuk kemudian membangunkan ia dan Juni agar segera bersiap sarapan. Kalau sarapan tidak boleh terlalu siang, nanti bisa sakit maag, wanti-wanti Nenek Zalma mengingatkan kalau mereka masih bermalas-malasan bangun pagi untuk
“Rendy!” Pria berkaos coklat muda, celana pendek hitam serta bersendal jepit yang dipanggil Randy itu hanya tersenyum memandang Juli yang seperti baru melihat hantu di pagi hari. “Kenapa Jul? Kok lu kayak kaget lihat gue.” Juli merasa wajahnya memerah menahan malu. “Ng-ngak apa-apa kok Ren.” “Sorry, tadi gue main nyelonong masuk aja, soalnya pintu pager gak dikunci.” “I-iya gak apa-apa kok.” Juli masih menahan rasa malu. “Juni ada?” “Juni lagi ke pasar sama Nenek, Ren.” Rendy mengangguk. “Kemarin malam dia telpon gue, ngabarin kalau udah sampai Bandung. Jadi gue pagi-pagi ke sini mau ajak dia ke ngopi bareng di coffee shop gue. Baru buka minggu lalu.” “Wah, congratz Ren.” Juli tersenyum simpul. Meski dia berusaha terlihat tenang di depan Rendy tapi hatinya masih bergejolak tidak karuan. Tiba-tiba Juli seperti teringat sesuatu. “Eh, masuk yuk, ngapain kita ngobrol
Jelita Maharani menatap tumpukan kertas yang berserakan di hadapannya dengan pandangan kesal. Sesekali jari tangannya memijat dahi dan keningnya. Kacamatanya tampak sesekali dinaikkan, bukan karena tidak sesuai dengan ukuran wajah tapi karena perasaan gelisah yang tanpa sadar membuatnya melakukan gerakan itu.Jelita adalah seorang wanita berusia sekitar enam puluh tahunan namun wajahnya nampak lebih muda dari usia sebenarnya. Masih terlihat cantik dan menawan. Ia juga memiliki aura kelembutan dan ketegasan yang terpancar seperti dua medan magnet yang sebenarnya saling bertolak belakang tapi bisa disatukan dalam diri wanita itu.Sebagai seorang pemimpin sebuah perusahaan yang bergerak di bidang bahan pangan bernama PT. Pangan Cakrawala yang memiliki berbagai macam jenis usaha yang meliputi restaurant, penjualan daging mentah sampai wine mahal, Jelita harus mampu berpikir kreatif dan bertindak tepat dan tegas karena kalau tidak, perusahaannya tidak akan mampu bertahan sa
“Lu jadi ikut gak?”Sherly menatap jam dinding di tembok ruangan. Waktu menunjukkan pukul 03.30 sore.“Ya udah, gue ikut deh, tapi nanti gak apa-apa sama si Adrian kan?”Amel menggeleng.“Gak lah, kita cuma mau party bentar kayak biasa, gak lama juga, laki gue bisa curiga kalo gue pulang terlalu malem.”“Barusan laki lu telpon kan?”“Iya, ngabarin kalo dia ada meeting. Adrian juga baru kirim pesen, party nya mulai jam 6 di hotel biasa.”Sherly mengangguk.“Ya udah, gue mandi dulu deh.”Sementara Sherly menghilang di pintu kamar mandi, Amel membereskan pakaian senamnya dan memasukkannya ke dalam tas olahraga berwarna biru cerah. Beberapa perempuan menyapanya sebelum pergi beranjak dari ruangan itu.Amel dan Sherly adalah teman sejak masa SMA dulu. Mereka memiliki kegemaran yang sama yaitu olahraga. Berbagai macam olah
Dimas menghabiskan seporsi nasi goreng kambing kesukaannya dengan lahap. Setelah meeting dengan beberapa direktur anak perusahaan PT.Pangan Cakrawala, membuat tenaga dan pikirannya seperti tercurah habis. Ada beberapa masalah yang akhirnya bisa diselesaikan di dalam meeting itu. Dimas bersyukur.Hotel Ribza yang terletak di kawasan Jakarta Selatan ini memang kerap digunakannya untuk mengadakan meeting. Ia merasa nyaman dengan suasana dan pelayanannya. Terlebih lagi, salah satu pemilik hotel bintang lima ini adalah temannya semasa SMA dulu sehingga ia bisa mendapatkan harga khusus pada saat mengadakan kegiatan di sana.Setelah meeting selesai, biasanya dilanjutkan dengan acara makan malam bersama di restaurant dalam hotel ini. Makanan yang disajikan sungguh luar biasa enak, menurut Dimas. Terkadang, ia juga sering makan di sana, bersama keluarganya atau sendiri. Ia lalu melihat ke jam di tangannya. Waktu menunjukkan puku
Kedai kopi milik Rendy terletak tidak jauh dari pusat perbelanjaan yang ada di jalan Braga. Tempat yang dipakai untuk membuka kedai itu dulunya juga merupakan sebuah kedai kopi. Karena pemilik sebelumnya hendak pindah ke luar Bandung, maka ia menyewakan tempat itu dan menjual seluruh isinya. Suatu hari, Rendy melihat kertas yang ditempel di jendela kedai itu dengan tulisan DISEWA beserta nomor yang bisa dihubungi di bawahnya. Kebetulan, Rendy juga sedang mencari tempat untuk membuka kedai kopi. Tanpa berlama-lama, ia pun menghubungi si pemilik tempat. Setelah beberapa kali pertemuan, akhirnya kesepakatan tercapai dan secara resmi Rendy menjadi penyewa tempat itu serta membeli seluruh isi nya yang kebetulan juga sesuai dengan keinginan Rendy. Jadi ia tidak perlu repot mencari ke sana ke mari barang-barang yang dibutuhkan karena semua sudah tersedia lengkap di tempat itu. JaRe adalah nama yang dipilih Rendy untuk kedai kopinya. Singkatan dari Janji Rendy, sebuah komitm
“Saudara Rama, saya Briptu Sularso.”Rama menyambut uluran tangan Briptu Sularso, seorang pria yang terlihat masih muda, berambut cepak dan berbadan tegap. Sedari tadi Rama melihat Briptu Sularso dan satu orang temannya terus berada di kamar tempat Amel dirawat, meminta keterangan dari Dimas sehingga membuatnya menyingkir sejenak ke ruang tunggu.“Bisa saya meminta keterangan saudara? Mengenai Ibu Amel.”“Bisa, bisa pak.” Jantung Rama masih berdetak kencang. Ia belum pernah berurusan dengan aparat kepolisian. Ini adalah yang pertama kali dan sudah cukup membuat Rama seperti hendak dipenjara.“Apakah saudara pernah melihat Ibu Amel minum minuman keras?”Rama terdiam sejenak. Ia nampak berpikir.“Sepertinya tidak Pak. Apakah mama saya mabuk?”“Ibu Amel tidak dalam kondisi mabuk kok, ini hanya pertanyaan umum saja.”Rama mengangguk.“Kami sedang c
Tepat jam lima sore, Dino menjemput Rama di lobby Rumah Sakit Flamboyan tempat Amel di rawat. Mobil berjenis minibus itu kemudian langsung tancap gas masuk ke dalam jalan tol menuju ke kota Bandung.Rama memang bersahabat erat dengan Dino. Selain karena satu jurusan di bangku kuliah, ada banyak persamaan di antara mereka, salah satunya adalah mereka berdua sangat menyukai musik. Bagi Rama dan Dino, hidup tanpa musik itu ibarat makan sayur tanpa garam, hambar rasanya.Dino bukan asli Jakarta, keluarganya lama bermukim di Bandung sebelum memutuskan pindah ke Jakarta karena ayahnya mendapat promosi dari tempatnya bekerja untuk menjadi kepala cabang perusahaannya yang berada di Jakarta.Awalnya Dino menolak pindah ke Jakarta, ia lebih memilih tinggal bersama kakek dan neneknya di Bandung, lagipula ia juga sudah dua tahun menjalani perkuliahannya di sebuah universitas ternama di kota ini. Tapi, karena bujuk rayu ayah dan ibunya juga Rio, adiknya, akhirn