Share

Bab 3. Nyiur Melambai

Zalma adalah seorang wanita yang berusia pertengahan enam puluh namun wajahnya terlihat lebih muda beberapa tahun meski kerutan sudah tampak di sana sini, postur tubuhnya pun masih bisa dibilang sangat proporsional karena kegemarannya akan senam yang telah dilakoninya semenjak usia muda. Selain itu, Zalma sangat menjaga makanan dan minuman yang di konsumsinya. Dia hanya mau menyantap hidangan yang dia yakin sudah diolah dengan baik, bahan berkualitas dan terjaga kebersihannya. Maka dari itu, jarang sekali Zalma makan di luar rumah, kalaupun ia mau makan di luar, ia harus yakin restaurant yang dikunjunginya memiliki semua standard kualitas hidangan yang dia pakai.

Namun malam ini ada sedikit perbedaan. Zalma mengajak kedua cucunya makan malam di restaurant Nyiur Melambai milik temannya. Zalma sudah mengenal betul chef yang bertanggung jawab terhadap semua hidangan yang di buatnya sehingga ia merasa yakin bahwa semua hidangan sesuai dengan standard Zalma, selain itu, temannya si pemilik restaurant yang sopirnya tadi menjemputnya ke tempat arisan ingin berkunjung ke sana untuk memeriksa beberapa hal, jadi Zalma berfikir ia sekalian ke sana sehingga bisa pulang ke rumah bersama Juni dan Juli serta Badi. Selain itu, ada hal yang ingin dia utarakan kepada Juni dan Juli dan rasanya sebuah restaurant dalam keramaian mal cocok sebagai tempat ia menyampaikan apa yang ingin ia sampaikan, suasana santai dan tidak kaku memang dibutuhkan untuk saat ini. Bukan buat Juni dan Juli tapi untuk dirinya.

Juni nampak tergesa memasuki restaurant sementara Juli sedang sibuk melihat-lihat daftar menu di tangannya. Setelah sampai di tempat mereka duduk, Juni segera memeluk dan mencium Zalma dan mengambil posisi duduk di hadapannya.

“Tumben Nek, makan di luar.”

Zalma tersenyum mendengar pertanyaan Juni.

“Iya, Nenek bosan makan di rumah terus.”

Juli berkata bahwa ia sudah siap memesan, Juni pun demikian, Zalma segera memanggil pelayan untuk memesan. Dengan sigap pelayan mencatat semua pesanan mereka. Setelah mengulang pesanan dan dibenarkan oleh Zalma, pelayan pun pergi meninggalkan mereka.

“Tadi gimana arisannya, Nek?”

“Seru banget Jul karena tadi Nenek ketemu teman lama yang sudah pindah ke Belanda. Hari ini dia ke Bandung karena ada urusan keluarga, jadi sekalian kita ketemuan deh,” Zalma berkata riang, wajah nya yang masih terlihat cantik nampak berbinar-binar.

“Cucu Nenek gimana nih kabarnya?” Zalma bertanya sambil mencubit pipi Juli yang duduk di sebelahnya,” Baru dua bulan gak ketemu kamu sudah lebih cantikkan Jul, Juni juga gantengan, kumis nya bikin lebih gagah.”

Juli cemberut. ”Jadi selama ini aku jelek dong Nek kalau dibilang cantikkan.”

Juni tertawa demikian juga Zalma.

“Kan Nenek bilang cantikkan, berarti dulu sudah cantik sekarang lebih cantik lagi.”

 Mereka tertawa bersama-sama.

“Kita baik-baik aja Nek, rencana nanti kita mau buka kedai makanan, biar bisa jadi pengusaha, gak usah capek-capek kerja sama orang, yah siapa tahu kita bisa sukses sebelum umur 30 tahun,” Juni tersenyum sambil membayangkan jikalau impian dia sukses sebelum umur 30 tahun bisa benar-benar tercapai.

Zalma mengangguk. “Mama kamu sudah cerita sama Nenek, bagus kalau kalian sudah punya pemikiran seperti itu sejak muda, tapi usaha sendiri itu gak gampang loh.”

“Iya Nek, maka dari itu kita ke sini tuh mau diskusi sama Nenek soal makanan, kan Nenek jago tuh dan juga mau minta diajari resep bakmi, kan kata mama…,” kalimat Juli terhenti ketika pelayan membawakan makanan dan minuman pesanan mereka.

“Ayo kita makan dulu setelah itu baru cerita-cerita lagi ya.”

Juni dan Juli mengangguk. Mereka pun menikmati hidangan yang ada di hadapan mereka tanpa banyak bicara, hanya sedikit mengomentari apa yang mereka makan. Memang sudah menjadi tradisi dalam keluarga mereka kalau makan tidak diperbolehkan banyak bercerita apalagi berdiskusi karena biar bisa lebih menikmati tesktur dan rasa makanan yang disantap.

Setelah selesai mereka menyantap makanan, Juni dan Juli tampak menikmati minuman juice buah segar dingin yang mereka pesan. Juni memesan juice alpukat sementara Juli memesan juice buah mangga. Zalma juga tampak menikmati segelas ramuan rempah rempah dan teh hangat.

Setelah hening beberapa saat, Zalma berbicara pelan.

“Nenek sudah tahu bahwa kalian ingin belajar resep bakmi Nenek.”

Juni dan Juli saling berpandangan kemudian mengangguk.

“Sayangnya, Nenek tidak bisa mengajari kalian resep itu.”

Juni dan Juli tampak sedikit terkejut.

“Kenapa Nek?” tanya mereka hampir bersamaan. 

Zalma terdiam cukup lama, keningnya berkerut seakan memikirkan suatu hal yang sangat berat.

“Nenek bisa mengajari kalian resep yang lain, asal bukan resep bakmi itu.”

“Jadi betul dulu Nenek pernah punyai kedai bakmi di Bandung?” tanya Juni

Zalma mengangguk.

“Kok Nenek gak pernah cerita sama kita sih?” Juli menatap Zalma dengan penuh tanda tanya.

“Terus, saban kali kita ke Bandung, kok Nenek gak pernah bikinin bakmi buatan Nenek, kita penasaran Nek, masakan yang Nenek bikin kan enak-enak, bakmi Nenek pun pasti enak, kalo gak, mana mungkin Nenek sampai buat kedai bakmi?Iya gak Jul,” Juni menatap Juli meminta persetujuan, Juli mengangguk setuju.

Zalma tersenyum sambil menatap Juni dan Juli.

“Nenek tahu mama kamu keceplosan cerita soal hal ini sama kalian, Nenek gak nyalahin mama kamu karena Nenek yakin satu saat ini akan terjadi, rahasia ini tidak mungkin Nenek sembunyikan terus menerus.”

Zalma menghela nafas.

“Alasan Nenek tidak bisa mengajari kalian resep itu karena akan membahayakan hidup kalian juga hidup Nenek dan mama papa kamu.”

Juni dan Juli tampak terkejut mendengar perkataan Zalma. Rahasia apa yang ada di resep itu sehingga bisa membahayakan hidup seseorang. Bukankah itu hanya resep membuat bakmi bukan resep membuat bom nuklir.

“Kok bisa membahayakan Nek? Memang resepnya bisa juga buat manggil kuntilanak ya Nek?” tanya Juli polos.

Zalma tertawa terbahak-bahak.

“Bukan itu Jul, kok kamu bisa punya ide seperti itu sih? Pasti gara-gara kebanyakan nonton film horror ya.”

“Nonton Youtube horror Nek yang pasti,” Juni menimpali.

Juli kembali cemberut.

Zalma meminum teh rempah-rempahnya dan menikmati sensasi hangat yang melewati tenggorokannya, badannya terasa lebih segar setelah meminum ramuan itu.

“Meskipun Nenek tahu bahwa rahasia ini pasti akan kalian ketahui nantinya tapi Nenek masih cukup berat untuk menceritakannya.”

“Kalau emang Nenek masih berat, kita gak apa apa kok Nek, gak usah cerita dulu sekarang,” Juli menatap Zalma dengan penuh pengertian.

Zalma menggeleng.

“Nenek memang harus cerita Jul, kalian juga sudah dewasa sekarang, pasti kalian bisa memahami dengan baik.”

Juni dan Juli bisa merasakan ketegangan di suara Zalma. Mereka merasakan beban batin yang berat ditanggung Zalma selama ini dan untuk melepaskannya memang butuh waktu dan keberanian. Juni dan Juli diam-diam sudah mempersiapkan diri untuk mendengar kisah rahasia yang mungkin menyimpan kejutan buat mereka.

“Kisah yang nanti akan Nenek ceritakan akan mengubah hidup kalian,” kata Zalma seakan bisa membaca pikiran Juni dan Juli.

Zalma melirik jam yang ada di pergelangan tangan kirinya.

“Sudah jam setengah sembilan, sebentar lagi restaurant akan tutup, sebaiknya Nenek akan ceritakan soal ini di rumah saja, biar lebih bebas. Juli, kamu tolong hubungi Badi, suruh dia jemput di lobby utama.”

Juli mengangguk, segera ia meraih ponsel dan memencet sebuah nomor.

Juni juga melihat ponsel yang dia letakkan di meja, tidak ada pesan dari siapapun. Ia kemudian meletakkan nya kembali.

Zalma memanggil pelayan untuk menyelesaikan pembayaran. Dalam hati, ia masih tidak yakin akan menceritakan kembali kisah yang telah dirahasiakan selama bertahun-tahun, sebuah kisah yang mengorek luka lama yang kalau bisa akan ia kubur dalam-dalam dan tidak akan diingat lagi. Tapi ia tahu bahwa hal ini tidak mungkin dia lakukan.

Juni dan Juli berhak tahu siapa mereka sebenarnya, gumamnya dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status