Share

Kedai Juni & Juli
Kedai Juni & Juli
Author: Gideon Budiyanto

Bab 1. Si Kembar

Menentukan apa yang akan dikerjakan untuk masa depan memang tidak mudah.

Banyak sekali pilihan yang harus dipikirkan. Awalnya memang cuma terdapat dua pilihan yaitu bekerja atau usaha sendiri. Ada juga sih yang cukup beruntung bisa langsung meneruskan usaha orang tuanya tapi ini kan termasuk jarang jadi tidak usah masuk hitunganlah. Dari dua pilihan itu barulah muncul cabang yang banyak dan membingungkan.

Kalau mau bekerja , bekerja di mana? Perusahaan seperti apa? Mau jam kerja yang office hour atau pergi sangat pagi pulang malam buta. Tapi jika sang pelamar statusnya masih fresh graduated tentunya tidak bisa terlalu banyak memilih ketika mencari pekerjaan, wong bisa diterima bekerja saja sudah syukur alhamdulilah, kan katanya hari gini cari kerja susah.

Masalah tidak berhenti sampai disitu. Mau melamar pekerjaan tanpa terlalu banyak memilih pun sulit. Memang sih sekarang kalau mau melamar pekerjaan bisa secara online. Buat CV yang rapih dan semenarik mungkin tapi bukan norak ya, kasih foto dengan senyum manis dan tanpa minyak berlebih di wajah kemudian kirimkan melalui surel, selesai ,cuma sekejap mata, tapi menunggu kepastian kapan bisa dipanggil untuk bisa diwawancara itu sama seperti menunggu kapan manusia bisa kembali menginjakkan kaki di bulan, tidak ada yang tahu pasti. Hanya Tuhan dan pihak HRD lah yang mengetahui tentunya.

Belum lagi nama-nama posisi yang beraneka ragam. Bagi pemula tentunya akan memulai kariernya dari posisi staf atau asisten terlebih dulu. Staf administrasi, staf gudang, asisten kasir, staf pemasaran, staf accounting finance dan staf-staf lain. Ada juga lowongan pekerjaan yang di iklannya sangat menjanjikan dengan iming-iming jabatan tinggi dan terkesan misterius sehingga harus di telpon atau whatsappan hanya untuk menanyakan alamatnya saja. Sang pelamar pun harus datang ke alamat yang telah diberikan dengan pakaian rapih serta membawa surat lamaran lengkap. Sesampainya di sana ternyata diharuskan menjual produk tertentu dan membayar untuk bisa menjadi anggotanya. Kalau begitu dari awal saja seharusnya dibilang jadi sales. Iya gak?

Pilihan kedua adalah memulai usaha sendiri. Pada awalnya sih terdengar keren dan gagah, selain itu sepertinya ideal sekali bagi orang-orang yang memang malas berurusan dengan bos-bos yang bisanya sok ngatur sana sini tanpa peduli dengan kesulitan yang dialami anak buahnya. Aturan pekerjaan pun bisa dibuat sesuai dengan kehendak hati , demikian juga dengan jenis pekerjaannya. Intinya, dengan memulai usaha sendiri, seseorang bisa jadi bos tanpa harus bersusah payah meniti karier yang kadang cuma dipandang sebelah mata. Namun, sebelum memulai usaha sendiri, ada banyak sekali hal yang harus dipikirkan. Modalnya dari mana, usahanya mau seperti apa, bagaimana cara memilih pegawai yang baik , bagaimana mengelola cash flow, dan seribu satu keribetan lainnya. Pusing juga sih.

Meski memusingkan, opsi kedua lah yang akhirnya dipilih oleh Juni Prasetyo dan Juli Prasetyo, dua orang saudara kembar yang berbeda jenis kelamin. Juni seorang laki-laki berpostur tubuh tinggi kurus sedangkan Juli seorang perempuan yang juga bertubuh tinggi kurus, sekilas kalau mereka jalan berdua secara berdampingan, akan mengingatkan orang akan angka dua romawi. Untung saja rambut mereka bisa dijadikan pembeda satu dengan yang lain. Juni memotong rambutnya secara spike sedangkan Juli membiarkan rambutnya tergerai sampai ke bahu. Wajah mereka pun meski terlihat sama identik tapi aura kecantikan dan keanggunan tetap memancar dari wajah Juli, berbeda dengan wajah Juni yang mulai ditumbuhi kumis tipis, terkesan lebih cuek dan sedikit urakan.

Juni dan Juli sepakat untuk memulai usaha bersama dengan membuka kedai makanan. Kesepakatan itu terjadi setelah mengalami proses perdebatan yang cukup alot dan panjang. Awalnya Juli berniat membuka toko online yang menjual berbagai macam produk jepit rambut wanita, Juni didapuk menjadi orang yang bertugas mencari produk jepit rambut itu di seantero Jakarta, tentunya dengan harga reseller sehingga mereka bisa menjualnya kembali sedangkan Juli bertugas memasarkannya secara online. Tentu saja ide ini ditolak mentah-mentah oleh Juni yang tidak sudi berpetualang di panas terik dan kemacetan Jakarta hanya untuk mencari jepit rambut. Ide kedua, ketiga , sampai kesepuluh pun tidak kunjung mendapat kesepakatan dari kedua belah pihak. Sampai akhirnya, kesepakatan pun muncul ketika mereka sedang makan bakmi ayam di tempat langganan mereka.

“Jun.”

Juni mendongak setelah menyeruput habis kuah bakmi dari mangkoknya sementara Juli menatapnya dengan pandangan berbinar.

“Kenapa kita gak jualan makanan aja.”

Juni meneguk segelas es teh tawar yang ada di depannya. Keringat terlihat mengalir deras dari keningnya. Buru-buru diusapnya dengan tissue yang terletak di meja tempat mereka duduk makan.

“Jualan makanan apa Jul? Kateringan kayak tante Aida yang di sebelah rumah kita? Tar malah dianggap saingan lagi.”

“Ya jangan katering dong, emang jualan makanan itu doang. Seinget gue, dulu nenek pernah jualan bakmi kan?”

“Nenek siapa? Nenek kita?”

“Ya iyalah nenek kita, nenek Zalma, masak nenek lampir. Kebiasaan nih kalo abis makan jadi lemot,” kata Juli cemberut.

Juni hanya terkekeh.

“Boleh juga sih ide lu itu. Kenapa selama ini gak kepikiran ya.”

“Jadi lu oke Jun?”

Juni mengangguk.

“Gue setuju kalo itu, jualan makanan kan emang gak ada matinya, pasti laku lah, apalagi pakai resep bakmi nenek, dijamin enak deh, eh tapi lu tahu dari mana nenek pernah jualan bakmi? Kok gue gak tahu?”

“Lu inget gak, dua bulan lalu pas kita ke Bandung, mama bilang kalo nenek pernah jualan bakmi di salah satu rumah deket stasiun kereta api, searah sama tempat jualan pisang molen kesukaan lu, kan kita lewatin.”

“Gue gak inget,” kata Juni sambil menggeleng.

“Ya udah lah kalo lu gak inget. Tapi aneh juga, mama kok gak pernah cerita ya sama kita, papa juga. Kita tiap kali ke rumah nenek di Bandung juga gak pernah dibikinin bakmi sama nenek, waktu itu aja kayaknya mama keceplosan deh cerita soal tempat jualan bakmi si nenek sama gue.”

“Elu kenapa gak nanya sama mama waktu itu.”

“Gue lupa lah Jun, waktu itu kan gue lagi laper-lapernya jadi gak konsen, sekarang baru inget lagi gara-gara makan bakmi.”

“Tar lu tanya aja sama mama pas di rumah, sekalian minta izin ke rumah nenek di Bandung.”

Juli tersenyum sambil mengangkat jempolnya tinggi-tinggi ke arah wajah Juni.

****

Anita menatap Juni dan Juli dengan pandangan sayu, ia tidak menyangka akan di tanya mengenai usaha bakmi ibunya, Zalma. Memang waktu di Bandung, ia secara tidak sengaja menceritakan soal usaha bakmi ibunya kepada Juli, rahasia yang seharusnya ia tutup rapat-rapat. Ia berfikir bahwa Juli sudah melupakan hal itu karena tanggapan acuh tak acuhnya ketika ia sedang bercerita. Sekarang ia merasa sangat menyesal namun semua sudah terlambat.

“Mama tidak bisa menceritakan hal itu sama kalian, karena ini ranah pribadinya nenek kamu.”

Juli memonyongkan bibirnya.

“Ya ampun maa, masak urusan bakmi aja sampai pakai ranah pribadi segala sih.”

Anita tersenyum sambil mengusap rambut Juli yang sedang duduk selonjoran di bawah kakinya.

“Betul Juli, mama gak bisa cerita karena ini hal yang sangat pribadi dari kehidupan nenek kamu, tar kalau mama cerita bisa-bisa nenek kamu gak mau bicara lagi sama mama seumur hidup.”

“Memang kenapa sih kok kalian tiba-tiba menanyakan soal bakmi ini?”

Juni yang sedang duduk di sebelah Anita sambil menonton televisi menyahut. ”Kita mau buka usaha makanan ma.”

“Terus, hubungannya sama cerita mama soal jualan bakmi nenek kamu apa?” Anita mengernyitkan alisnya tanda kebingungan.

“Kalau memang nenek pernah jualan bakmi pasti kan nenek punya resepnya, kita mau minta diajarin ma,” Juli berkata sambil tersenyum lebar ke arah Anita.

“Masakan nenek kan enak-enak, bakmi nya pun pasti enak juga, cuma kenapa sih kalau kita ke sana nenek gak pernah masak bakmi buat kita?” Juni menimpali.

Anita menghela nafas berat. Pikirannya menerawang entah kemana.

Sejurus terdengar deru mobil memasuki halaman rumah. Anita terkesiap sedikit. “Itu papa pulang, tolong buka pintunya Jul.”

Anita merasa lega sedikit. Kepulangan Yudi, suaminya, membuat dia bisa mengalihkan sejenak perhatian Juni dan Juli dari perkara bakmi ibunya, walaupun hanya sebentar.

“Pa, aku punya kabar gembira,” kata Juli sambil menggandeng tangan Yudi memasuki ruang tamu.

“Wah, kabar gembira apa nih.” Yudi tersenyum sambil menatap Juli.

“Papa kamu disuruh duduk dulu dong Jul.” Anita tersenyum kecil melihat tingkah Juli yang masih terlihat kekanak-kanakannya.

Yudi kembali tersenyum sambil segera duduk di kursi yang terletak di ujung sofa yang memanjang di ruang tengah. Juli pun menempatkan dirinya duduk di sebelah Juni dan Anita.

Sebelum Juli sempat melakukan pembicaraan, Juni sudah berbicara terlebih dahulu.

“Kita sudah tahu mau usaha apa Pa. Jualan makanan.”

Yudi mengangguk kecil. ”Bagus Jun, usaha makanan kan juga memang lagi booming akhir-akhir ini. Makanannya apa Jun? Katering kayak tante Aida yang di sebelah rumah itu. Terus, tempat jualannya udah ada?”

“Bukan Pa, kita rencana mau jualan bakmi. Tempat nya belum tahu sih dimana, tapi itu gampanglah, bisa dicari,” kali ini Juli yang menjawab.

“Yang penting kita mau belajar bikin bakmi dulu dari nenek, Pa.”

Perkataan Juni membuat Yudi sedikit terlompat karena terkejut, ia pun memandang Anita yang juga sedang memandang ke arah dirinya.

“Aku gak sengaja sempat cerita sama Juli, Pap, waktu kita ke Bandung tempo hari.”

Yudi terdiam sejenak, sekilas Juli melihat kekhawatiran nampak di wajah Papanya, Juli kembali heran. Apa sih yang mereka sembunyikan.

“Jadi, kamu rencana pergi ke rumah nenek, Jun?”

“Iya Pa, aku sama Juli mau ke sana, rencana sih minggu depan, naik kereta.”

Yudi tampak sudah bisa mengendalikan diri, tidak terlihat lagi kekhawatiran di wajahnya.

“Ya sudah, kalian berdua harus bisa membujuk nenek supaya bisa diajari resep bakminya ya.”

Juni dan Juli saling memandang sambil tersenyum.

“Pastilah Pa, si Juli kan negosiator ulung, luluh pasti hati nenek sama rayuan gombalnya.”

Juli tertawa terbahak mendengar perkataan Juni.

“Elu kali Jun, raja gombal sejagat raya.” Juli menjulurkan lidahnya ke arah Juni sambil berlari ke arah dapur.

“Aku ke dapur dulu ya Pa, Ma. Kita mau masak spesial buat Papa dan Mama,” kata Juni sambil berdiri dari tempat duduknya.

“Ini pasti ada maunya nih,” Yudi menatap Anita yang masih agak terdiam di tempat duduknya.

“Bukan maunya sih Pa tapi pengen nanya aja.”

“Tanya apa Jun?”

“Nanti boleh kan pinjam uang Papa dulu buat modal usaha kita?”

Yudi tertawa sambil menepuk pundak Juni.

“Boleh dong tapi balikinnya pakai bunga ya.”

“Asikkk….bunganya pakai yang plastik aja ya Pa.”

Yudi menggeleng melihat Juni yang segera berlari menyusul Juli ke dapur. Wajahnya tiba-tiba menjadi serius ketika menghampiri Anita yang masih saja duduk terpekur.

“Kamu harus segera telpon Ibu, Mam.”

“Iya, aku rencana mau telpon sekarang juga, biar hatiku juga tenang dan tidak kepikiran lagi, semua salahku Pap.”

“Tenang saja Mam, Ibu pasti mengerti lah, namanya juga tidak sengaja berbicara.” Yudi memeluk Anita, berusaha menenangkannya.

Anita mengangguk kemudian ia meraih telepon genggam yang tergeletak di meja di hadapannya, memencet sebuah nomor dan menunggu untuk diangkat.

Tidak lama kemudian, terdengar suaranya lirih menjawab panggilan yang terdengar di ujung telepon genggamnya.

“Halo Bu, ini Anita … .”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status