Menentukan apa yang akan dikerjakan untuk masa depan memang tidak mudah.
Banyak sekali pilihan yang harus dipikirkan. Awalnya memang cuma terdapat dua pilihan yaitu bekerja atau usaha sendiri. Ada juga sih yang cukup beruntung bisa langsung meneruskan usaha orang tuanya tapi ini kan termasuk jarang jadi tidak usah masuk hitunganlah. Dari dua pilihan itu barulah muncul cabang yang banyak dan membingungkan.
Kalau mau bekerja , bekerja di mana? Perusahaan seperti apa? Mau jam kerja yang office hour atau pergi sangat pagi pulang malam buta. Tapi jika sang pelamar statusnya masih fresh graduated tentunya tidak bisa terlalu banyak memilih ketika mencari pekerjaan, wong bisa diterima bekerja saja sudah syukur alhamdulilah, kan katanya hari gini cari kerja susah.
Masalah tidak berhenti sampai disitu. Mau melamar pekerjaan tanpa terlalu banyak memilih pun sulit. Memang sih sekarang kalau mau melamar pekerjaan bisa secara online. Buat CV yang rapih dan semenarik mungkin tapi bukan norak ya, kasih foto dengan senyum manis dan tanpa minyak berlebih di wajah kemudian kirimkan melalui surel, selesai ,cuma sekejap mata, tapi menunggu kepastian kapan bisa dipanggil untuk bisa diwawancara itu sama seperti menunggu kapan manusia bisa kembali menginjakkan kaki di bulan, tidak ada yang tahu pasti. Hanya Tuhan dan pihak HRD lah yang mengetahui tentunya.
Belum lagi nama-nama posisi yang beraneka ragam. Bagi pemula tentunya akan memulai kariernya dari posisi staf atau asisten terlebih dulu. Staf administrasi, staf gudang, asisten kasir, staf pemasaran, staf accounting finance dan staf-staf lain. Ada juga lowongan pekerjaan yang di iklannya sangat menjanjikan dengan iming-iming jabatan tinggi dan terkesan misterius sehingga harus di telpon atau whatsappan hanya untuk menanyakan alamatnya saja. Sang pelamar pun harus datang ke alamat yang telah diberikan dengan pakaian rapih serta membawa surat lamaran lengkap. Sesampainya di sana ternyata diharuskan menjual produk tertentu dan membayar untuk bisa menjadi anggotanya. Kalau begitu dari awal saja seharusnya dibilang jadi sales. Iya gak?
Pilihan kedua adalah memulai usaha sendiri. Pada awalnya sih terdengar keren dan gagah, selain itu sepertinya ideal sekali bagi orang-orang yang memang malas berurusan dengan bos-bos yang bisanya sok ngatur sana sini tanpa peduli dengan kesulitan yang dialami anak buahnya. Aturan pekerjaan pun bisa dibuat sesuai dengan kehendak hati , demikian juga dengan jenis pekerjaannya. Intinya, dengan memulai usaha sendiri, seseorang bisa jadi bos tanpa harus bersusah payah meniti karier yang kadang cuma dipandang sebelah mata. Namun, sebelum memulai usaha sendiri, ada banyak sekali hal yang harus dipikirkan. Modalnya dari mana, usahanya mau seperti apa, bagaimana cara memilih pegawai yang baik , bagaimana mengelola cash flow, dan seribu satu keribetan lainnya. Pusing juga sih.
Meski memusingkan, opsi kedua lah yang akhirnya dipilih oleh Juni Prasetyo dan Juli Prasetyo, dua orang saudara kembar yang berbeda jenis kelamin. Juni seorang laki-laki berpostur tubuh tinggi kurus sedangkan Juli seorang perempuan yang juga bertubuh tinggi kurus, sekilas kalau mereka jalan berdua secara berdampingan, akan mengingatkan orang akan angka dua romawi. Untung saja rambut mereka bisa dijadikan pembeda satu dengan yang lain. Juni memotong rambutnya secara spike sedangkan Juli membiarkan rambutnya tergerai sampai ke bahu. Wajah mereka pun meski terlihat sama identik tapi aura kecantikan dan keanggunan tetap memancar dari wajah Juli, berbeda dengan wajah Juni yang mulai ditumbuhi kumis tipis, terkesan lebih cuek dan sedikit urakan.
Juni dan Juli sepakat untuk memulai usaha bersama dengan membuka kedai makanan. Kesepakatan itu terjadi setelah mengalami proses perdebatan yang cukup alot dan panjang. Awalnya Juli berniat membuka toko online yang menjual berbagai macam produk jepit rambut wanita, Juni didapuk menjadi orang yang bertugas mencari produk jepit rambut itu di seantero Jakarta, tentunya dengan harga reseller sehingga mereka bisa menjualnya kembali sedangkan Juli bertugas memasarkannya secara online. Tentu saja ide ini ditolak mentah-mentah oleh Juni yang tidak sudi berpetualang di panas terik dan kemacetan Jakarta hanya untuk mencari jepit rambut. Ide kedua, ketiga , sampai kesepuluh pun tidak kunjung mendapat kesepakatan dari kedua belah pihak. Sampai akhirnya, kesepakatan pun muncul ketika mereka sedang makan bakmi ayam di tempat langganan mereka.
“Jun.”
Juni mendongak setelah menyeruput habis kuah bakmi dari mangkoknya sementara Juli menatapnya dengan pandangan berbinar.
“Kenapa kita gak jualan makanan aja.”
Juni meneguk segelas es teh tawar yang ada di depannya. Keringat terlihat mengalir deras dari keningnya. Buru-buru diusapnya dengan tissue yang terletak di meja tempat mereka duduk makan.
“Jualan makanan apa Jul? Kateringan kayak tante Aida yang di sebelah rumah kita? Tar malah dianggap saingan lagi.”
“Ya jangan katering dong, emang jualan makanan itu doang. Seinget gue, dulu nenek pernah jualan bakmi kan?”
“Nenek siapa? Nenek kita?”
“Ya iyalah nenek kita, nenek Zalma, masak nenek lampir. Kebiasaan nih kalo abis makan jadi lemot,” kata Juli cemberut.
Juni hanya terkekeh.
“Boleh juga sih ide lu itu. Kenapa selama ini gak kepikiran ya.”
“Jadi lu oke Jun?”
Juni mengangguk.
“Gue setuju kalo itu, jualan makanan kan emang gak ada matinya, pasti laku lah, apalagi pakai resep bakmi nenek, dijamin enak deh, eh tapi lu tahu dari mana nenek pernah jualan bakmi? Kok gue gak tahu?”
“Lu inget gak, dua bulan lalu pas kita ke Bandung, mama bilang kalo nenek pernah jualan bakmi di salah satu rumah deket stasiun kereta api, searah sama tempat jualan pisang molen kesukaan lu, kan kita lewatin.”
“Gue gak inget,” kata Juni sambil menggeleng.
“Ya udah lah kalo lu gak inget. Tapi aneh juga, mama kok gak pernah cerita ya sama kita, papa juga. Kita tiap kali ke rumah nenek di Bandung juga gak pernah dibikinin bakmi sama nenek, waktu itu aja kayaknya mama keceplosan deh cerita soal tempat jualan bakmi si nenek sama gue.”
“Elu kenapa gak nanya sama mama waktu itu.”
“Gue lupa lah Jun, waktu itu kan gue lagi laper-lapernya jadi gak konsen, sekarang baru inget lagi gara-gara makan bakmi.”
“Tar lu tanya aja sama mama pas di rumah, sekalian minta izin ke rumah nenek di Bandung.”
Juli tersenyum sambil mengangkat jempolnya tinggi-tinggi ke arah wajah Juni.
****
Anita menatap Juni dan Juli dengan pandangan sayu, ia tidak menyangka akan di tanya mengenai usaha bakmi ibunya, Zalma. Memang waktu di Bandung, ia secara tidak sengaja menceritakan soal usaha bakmi ibunya kepada Juli, rahasia yang seharusnya ia tutup rapat-rapat. Ia berfikir bahwa Juli sudah melupakan hal itu karena tanggapan acuh tak acuhnya ketika ia sedang bercerita. Sekarang ia merasa sangat menyesal namun semua sudah terlambat.
“Mama tidak bisa menceritakan hal itu sama kalian, karena ini ranah pribadinya nenek kamu.”
Juli memonyongkan bibirnya.
“Ya ampun maa, masak urusan bakmi aja sampai pakai ranah pribadi segala sih.”
Anita tersenyum sambil mengusap rambut Juli yang sedang duduk selonjoran di bawah kakinya.
“Betul Juli, mama gak bisa cerita karena ini hal yang sangat pribadi dari kehidupan nenek kamu, tar kalau mama cerita bisa-bisa nenek kamu gak mau bicara lagi sama mama seumur hidup.”
“Memang kenapa sih kok kalian tiba-tiba menanyakan soal bakmi ini?”
Juni yang sedang duduk di sebelah Anita sambil menonton televisi menyahut. ”Kita mau buka usaha makanan ma.”
“Terus, hubungannya sama cerita mama soal jualan bakmi nenek kamu apa?” Anita mengernyitkan alisnya tanda kebingungan.
“Kalau memang nenek pernah jualan bakmi pasti kan nenek punya resepnya, kita mau minta diajarin ma,” Juli berkata sambil tersenyum lebar ke arah Anita.
“Masakan nenek kan enak-enak, bakmi nya pun pasti enak juga, cuma kenapa sih kalau kita ke sana nenek gak pernah masak bakmi buat kita?” Juni menimpali.
Anita menghela nafas berat. Pikirannya menerawang entah kemana.
Sejurus terdengar deru mobil memasuki halaman rumah. Anita terkesiap sedikit. “Itu papa pulang, tolong buka pintunya Jul.”
Anita merasa lega sedikit. Kepulangan Yudi, suaminya, membuat dia bisa mengalihkan sejenak perhatian Juni dan Juli dari perkara bakmi ibunya, walaupun hanya sebentar.
“Pa, aku punya kabar gembira,” kata Juli sambil menggandeng tangan Yudi memasuki ruang tamu.
“Wah, kabar gembira apa nih.” Yudi tersenyum sambil menatap Juli.
“Papa kamu disuruh duduk dulu dong Jul.” Anita tersenyum kecil melihat tingkah Juli yang masih terlihat kekanak-kanakannya.
Yudi kembali tersenyum sambil segera duduk di kursi yang terletak di ujung sofa yang memanjang di ruang tengah. Juli pun menempatkan dirinya duduk di sebelah Juni dan Anita.
Sebelum Juli sempat melakukan pembicaraan, Juni sudah berbicara terlebih dahulu.
“Kita sudah tahu mau usaha apa Pa. Jualan makanan.”
Yudi mengangguk kecil. ”Bagus Jun, usaha makanan kan juga memang lagi booming akhir-akhir ini. Makanannya apa Jun? Katering kayak tante Aida yang di sebelah rumah itu. Terus, tempat jualannya udah ada?”
“Bukan Pa, kita rencana mau jualan bakmi. Tempat nya belum tahu sih dimana, tapi itu gampanglah, bisa dicari,” kali ini Juli yang menjawab.
“Yang penting kita mau belajar bikin bakmi dulu dari nenek, Pa.”
Perkataan Juni membuat Yudi sedikit terlompat karena terkejut, ia pun memandang Anita yang juga sedang memandang ke arah dirinya.
“Aku gak sengaja sempat cerita sama Juli, Pap, waktu kita ke Bandung tempo hari.”
Yudi terdiam sejenak, sekilas Juli melihat kekhawatiran nampak di wajah Papanya, Juli kembali heran. Apa sih yang mereka sembunyikan.
“Jadi, kamu rencana pergi ke rumah nenek, Jun?”
“Iya Pa, aku sama Juli mau ke sana, rencana sih minggu depan, naik kereta.”
Yudi tampak sudah bisa mengendalikan diri, tidak terlihat lagi kekhawatiran di wajahnya.
“Ya sudah, kalian berdua harus bisa membujuk nenek supaya bisa diajari resep bakminya ya.”
Juni dan Juli saling memandang sambil tersenyum.
“Pastilah Pa, si Juli kan negosiator ulung, luluh pasti hati nenek sama rayuan gombalnya.”
Juli tertawa terbahak mendengar perkataan Juni.
“Elu kali Jun, raja gombal sejagat raya.” Juli menjulurkan lidahnya ke arah Juni sambil berlari ke arah dapur.
“Aku ke dapur dulu ya Pa, Ma. Kita mau masak spesial buat Papa dan Mama,” kata Juni sambil berdiri dari tempat duduknya.
“Ini pasti ada maunya nih,” Yudi menatap Anita yang masih agak terdiam di tempat duduknya.
“Bukan maunya sih Pa tapi pengen nanya aja.”
“Tanya apa Jun?”
“Nanti boleh kan pinjam uang Papa dulu buat modal usaha kita?”
Yudi tertawa sambil menepuk pundak Juni.
“Boleh dong tapi balikinnya pakai bunga ya.”
“Asikkk….bunganya pakai yang plastik aja ya Pa.”
Yudi menggeleng melihat Juni yang segera berlari menyusul Juli ke dapur. Wajahnya tiba-tiba menjadi serius ketika menghampiri Anita yang masih saja duduk terpekur.
“Kamu harus segera telpon Ibu, Mam.”
“Iya, aku rencana mau telpon sekarang juga, biar hatiku juga tenang dan tidak kepikiran lagi, semua salahku Pap.”
“Tenang saja Mam, Ibu pasti mengerti lah, namanya juga tidak sengaja berbicara.” Yudi memeluk Anita, berusaha menenangkannya.
Anita mengangguk kemudian ia meraih telepon genggam yang tergeletak di meja di hadapannya, memencet sebuah nomor dan menunggu untuk diangkat.
Tidak lama kemudian, terdengar suaranya lirih menjawab panggilan yang terdengar di ujung telepon genggamnya.
“Halo Bu, ini Anita … .”
Hujan deras menyambut kedatangan Juni dan Juli di kota Bandung siang itu.Sebelum mereka berangkat dari stasiun Gambir, Zalma sudah memberikan pesan singkat melalui whatsapp bahwa nanti Badi, sopir pribadi Zalma, akan menjemput mereka di stasiun Bandung.Ketika mereka hendak turun dari kereta, Juli sudah menelpon Zalma mengabarkan bahwa mereka sudah tiba. Zalma meminta mereka menunggu sebentar karena Badi sedang dalam perjalanan mengantarkan barang ke rumah seorang teman Zalma baru setelah itu ia menjemput Juni dan Juli di stasiun kereta api Bandung.“Jun, kita mau langung ke rumah nenek atau mau jalan dulu kemana gitu?” tanya Juli sambil menyesap kopi yang barusan dibelinya dari tempat ngopi yang ada di stasiun. Juni duduk di seberangnya. Mereka menunggu kedatangan Badi di tempat ngopi itu.“Kita ke mal dulu aja yuk, gue mau ke toko buku,” jawab Juni.Seorang pelayan datang membawa satu cangkir espresso hangat pesanan Juni.
Zalma adalah seorang wanita yang berusia pertengahan enam puluh namun wajahnya terlihat lebih muda beberapa tahun meski kerutan sudah tampak di sana sini, postur tubuhnya pun masih bisa dibilang sangat proporsional karena kegemarannya akan senam yang telah dilakoninya semenjak usia muda. Selain itu, Zalma sangat menjaga makanan dan minuman yang di konsumsinya. Dia hanya mau menyantap hidangan yang dia yakin sudah diolah dengan baik, bahan berkualitas dan terjaga kebersihannya. Maka dari itu, jarang sekali Zalma makan di luar rumah, kalaupun ia mau makan di luar, ia harus yakin restaurant yang dikunjunginya memiliki semua standard kualitas hidangan yang dia pakai.Namun malam ini ada sedikit perbedaan. Zalma mengajak kedua cucunya makan malam di restaurant Nyiur Melambai milik temannya. Zalma sudah mengenal betul chef yang bertanggung jawab terhadap semua hidangan yang di buatnya sehingga ia merasa yakin bahwa semua hidangan sesuai dengan standard Zalma, selain itu, temannya s
Juli mengerjapkan matanya ketika seberkas sinar matahari pagi masuk dari atas jendela kamar. Tirai berwarna coklat tua di jendela kamar itu masih tertutup rapat. Udara dingin dari AC membuat Juli masih enggan untuk beranjak dari posisi tidurnya. Sejurus ia nampak bingung dengan kondisi kamar yang ditempatinya, berbeda dengan kamar yang biasa ia tempati. Tapi kemudian ia baru sadar kalau saat ini ia sedang berada di rumah Nenek Zalma.Dengan mata setengah terpejam ia menatap jam dinding di bagian atas tembok kamar. Jam delapan, gumamnya dalam hati. Tumben suasana rumah masih terasa sepi. Juli sudah hafal kebiasaan sang Nenek kalau mereka berlibur ke sini, biasanya sekitar jam tujuh pagi, Nenek sudah sibuk memasak bersama dengan Asih, asisten rumah tangganya untuk kemudian membangunkan ia dan Juni agar segera bersiap sarapan. Kalau sarapan tidak boleh terlalu siang, nanti bisa sakit maag, wanti-wanti Nenek Zalma mengingatkan kalau mereka masih bermalas-malasan bangun pagi untuk
“Rendy!” Pria berkaos coklat muda, celana pendek hitam serta bersendal jepit yang dipanggil Randy itu hanya tersenyum memandang Juli yang seperti baru melihat hantu di pagi hari. “Kenapa Jul? Kok lu kayak kaget lihat gue.” Juli merasa wajahnya memerah menahan malu. “Ng-ngak apa-apa kok Ren.” “Sorry, tadi gue main nyelonong masuk aja, soalnya pintu pager gak dikunci.” “I-iya gak apa-apa kok.” Juli masih menahan rasa malu. “Juni ada?” “Juni lagi ke pasar sama Nenek, Ren.” Rendy mengangguk. “Kemarin malam dia telpon gue, ngabarin kalau udah sampai Bandung. Jadi gue pagi-pagi ke sini mau ajak dia ke ngopi bareng di coffee shop gue. Baru buka minggu lalu.” “Wah, congratz Ren.” Juli tersenyum simpul. Meski dia berusaha terlihat tenang di depan Rendy tapi hatinya masih bergejolak tidak karuan. Tiba-tiba Juli seperti teringat sesuatu. “Eh, masuk yuk, ngapain kita ngobrol
Jelita Maharani menatap tumpukan kertas yang berserakan di hadapannya dengan pandangan kesal. Sesekali jari tangannya memijat dahi dan keningnya. Kacamatanya tampak sesekali dinaikkan, bukan karena tidak sesuai dengan ukuran wajah tapi karena perasaan gelisah yang tanpa sadar membuatnya melakukan gerakan itu.Jelita adalah seorang wanita berusia sekitar enam puluh tahunan namun wajahnya nampak lebih muda dari usia sebenarnya. Masih terlihat cantik dan menawan. Ia juga memiliki aura kelembutan dan ketegasan yang terpancar seperti dua medan magnet yang sebenarnya saling bertolak belakang tapi bisa disatukan dalam diri wanita itu.Sebagai seorang pemimpin sebuah perusahaan yang bergerak di bidang bahan pangan bernama PT. Pangan Cakrawala yang memiliki berbagai macam jenis usaha yang meliputi restaurant, penjualan daging mentah sampai wine mahal, Jelita harus mampu berpikir kreatif dan bertindak tepat dan tegas karena kalau tidak, perusahaannya tidak akan mampu bertahan sa
“Lu jadi ikut gak?”Sherly menatap jam dinding di tembok ruangan. Waktu menunjukkan pukul 03.30 sore.“Ya udah, gue ikut deh, tapi nanti gak apa-apa sama si Adrian kan?”Amel menggeleng.“Gak lah, kita cuma mau party bentar kayak biasa, gak lama juga, laki gue bisa curiga kalo gue pulang terlalu malem.”“Barusan laki lu telpon kan?”“Iya, ngabarin kalo dia ada meeting. Adrian juga baru kirim pesen, party nya mulai jam 6 di hotel biasa.”Sherly mengangguk.“Ya udah, gue mandi dulu deh.”Sementara Sherly menghilang di pintu kamar mandi, Amel membereskan pakaian senamnya dan memasukkannya ke dalam tas olahraga berwarna biru cerah. Beberapa perempuan menyapanya sebelum pergi beranjak dari ruangan itu.Amel dan Sherly adalah teman sejak masa SMA dulu. Mereka memiliki kegemaran yang sama yaitu olahraga. Berbagai macam olah
Dimas menghabiskan seporsi nasi goreng kambing kesukaannya dengan lahap. Setelah meeting dengan beberapa direktur anak perusahaan PT.Pangan Cakrawala, membuat tenaga dan pikirannya seperti tercurah habis. Ada beberapa masalah yang akhirnya bisa diselesaikan di dalam meeting itu. Dimas bersyukur.Hotel Ribza yang terletak di kawasan Jakarta Selatan ini memang kerap digunakannya untuk mengadakan meeting. Ia merasa nyaman dengan suasana dan pelayanannya. Terlebih lagi, salah satu pemilik hotel bintang lima ini adalah temannya semasa SMA dulu sehingga ia bisa mendapatkan harga khusus pada saat mengadakan kegiatan di sana.Setelah meeting selesai, biasanya dilanjutkan dengan acara makan malam bersama di restaurant dalam hotel ini. Makanan yang disajikan sungguh luar biasa enak, menurut Dimas. Terkadang, ia juga sering makan di sana, bersama keluarganya atau sendiri. Ia lalu melihat ke jam di tangannya. Waktu menunjukkan puku
Kedai kopi milik Rendy terletak tidak jauh dari pusat perbelanjaan yang ada di jalan Braga. Tempat yang dipakai untuk membuka kedai itu dulunya juga merupakan sebuah kedai kopi. Karena pemilik sebelumnya hendak pindah ke luar Bandung, maka ia menyewakan tempat itu dan menjual seluruh isinya. Suatu hari, Rendy melihat kertas yang ditempel di jendela kedai itu dengan tulisan DISEWA beserta nomor yang bisa dihubungi di bawahnya. Kebetulan, Rendy juga sedang mencari tempat untuk membuka kedai kopi. Tanpa berlama-lama, ia pun menghubungi si pemilik tempat. Setelah beberapa kali pertemuan, akhirnya kesepakatan tercapai dan secara resmi Rendy menjadi penyewa tempat itu serta membeli seluruh isi nya yang kebetulan juga sesuai dengan keinginan Rendy. Jadi ia tidak perlu repot mencari ke sana ke mari barang-barang yang dibutuhkan karena semua sudah tersedia lengkap di tempat itu. JaRe adalah nama yang dipilih Rendy untuk kedai kopinya. Singkatan dari Janji Rendy, sebuah komitm