Share

Bab 5. Romansa

“Rendy!”

Pria berkaos coklat muda, celana pendek hitam serta bersendal jepit yang dipanggil Randy itu hanya tersenyum memandang Juli yang seperti baru melihat hantu di pagi hari.

“Kenapa Jul? Kok lu kayak kaget lihat gue.”

Juli merasa wajahnya memerah menahan malu.

“Ng-ngak apa-apa kok Ren.”

“Sorry, tadi gue main nyelonong masuk aja, soalnya pintu pager gak dikunci.”

“I-iya gak apa-apa kok.” Juli masih menahan rasa malu.

“Juni ada?”

“Juni lagi ke pasar sama Nenek, Ren.”

Rendy mengangguk.

“Kemarin malam dia telpon gue, ngabarin kalau udah sampai Bandung. Jadi gue pagi-pagi ke sini mau ajak dia ke ngopi bareng di coffee shop gue. Baru buka minggu lalu.”

“Wah, congratz Ren.” Juli tersenyum simpul. Meski dia berusaha terlihat tenang di depan Rendy tapi hatinya masih bergejolak tidak karuan.

Tiba-tiba Juli seperti teringat sesuatu.

“Eh, masuk yuk, ngapain kita ngobrol di luar kayak gini.”

“Tar aja gue balik lagi Jul. Nanti kalau Juni dateng suruh telpon gue aja ya.”

“Bentar lagi dia juga pulang. Mana betah si Juni lama-lama di pasar.” Juli tertawa terbahak sampai dia merasa heran sendiri padahal apa yang dia ungkapkan tidak ada yang lucu rasanya.

“Nenek juga baru bikin pisang goreng, enak banget. Lu musti coba.”

Rendy terdiam sejenak, kemudian mengangguk.

“Ya udah, gue masuk deh, pengen makan pisang goreng Nek Zalma.”

Hati Juli bersorak kegirangan.

Memang sudah sejak lama Juli menaruh hati kepada Rendy, tetangga sebelah rumah Zalma. Wajahnya yang menurut Juli seperti Nicholas Saputra membuatnya terkadang tidak bisa mengendalikan diri kalau bertemu dengannya. Salah tingkah. Apalagi, umur mereka bertiga sepantaran.

Tapi Rendy jarang sekali berbicara dengan Juli. Biasanya setiap kali mereka ke Bandung, yang dicari Rendy pasti Juni. Mereka bersahabat memang sudah cukup lama, kira-kira sekitar lima tahun yang lalu ketika Rendy dan keluarganya pindah ke rumah sebelah dan menjadi tetangga Zalma.

Saat ini, ketika Juni tidak ada di rumah, kesempatan Juli untuk berbincang dengan Rendy terbuka luas.

Ada untungnya juga gue gak ikut ke pasar, gumam Juli dalam hati sambil menuju ke arah meja makan untuk mengambil pisang goreng sementara Rendy duduk di ruang tamu.

Jangan gugup lagi Jul, inhale-exhale-inhale-exhale, hatinya mengingatkan.

Juli meletakkan piring yang berisi pisang goreng beserta dengan dua buah piring dan garpu kecil di meja ruang tamu. Tidak lupa juga ia mengambil segelas air dingin untuk Rendy.

“Dimakan Ren.”

Rendy mengangguk.

Tidak lama kemudian mereka berdua sudah tenggelam dalam pembicaraan ringan mengenai kehidupan sehari-hari. Sesekali tawa renyah mewarnai pembicaraan itu dan pujian dari Rendy untuk pisang goreng buatan Zalma yang dinilainya sangat enak.

Dalam hati Juli berdoa semoga momen ini tidak cepat berlalu.

Tapi ternyata, doanya tidak dikabulkan.

Tidak lama kemudian, suara deru mobil terdengar masuk ke halaman rumah. Terdengar suara berisik orang-orang yang mengeluarkan barang-barang dari dalam mobil.

“Tuh mereka sampai. Bener kan, si Juni mah gak bakal betah lama-lama di pasar.”

Nampak Asih pertama-tama masuk sambil membawa beberapa kantong plastik besar berwarna merah yang berisi berbagai macam sayur. Disusul di belakangnya Zalma yang langsung disapa oleh Rendy dan Juli. Zalma pun membalas sapaan mereka dengan ramah, tidak terlihat sisa sakit asma semalam. Wajahnya terlihat berseri dan kemerahan akibat sinar matahari.

Juni yang terakhir masuk sambil membawa dua kantong plastik hitam berukuran sedang. Ketika ia melihat Rendy, senyum lebar nampak di wajahnya.

“Gilee bro, pagi-pagi udah pacaran aja,” ledek Juni yang membuat muka Juli kembali memerah.

Ia lalu melotot ke arah Juni yang segera menuju ke ruang belakang untuk menaruh barang yang dibawanya sambil tertawa-tawa.

Tidak lama kemudian, Juni bergabung dengan Juli dan Rendy di ruang tamu.

“Gimana bro? Jadi lu buka coffee shop di Braga?”

“Jadi dong. Makanya gue pagi-pagi ke sini mau ngajak lu ke sana. Masih soft opening sih, kali-kali aja lu ada ide apaan gitu.”

“Gue mah gak ngerti soal kopi, tahunya minumnya doang.” Juni terkekeh.

“Nah, itu bagus, penikmat kopi pasti tahu dong rasa kopi yang enak gimana. Makanya, lu musti cobain semua menu kopi gue.”

“Tar yang ada gue gak bisa tidur semaleman gara-gara semua menu kopi gue coba.”

Juni dan Rendy tertawa bersama.

“Selain kopi, jual apa lagi sih?” Juli bertanya serius.

“Macem-macem Jul. Ada sandwich, croissant, snack-snack gitu lah. Ada juga minuman non coffee nya juga kok.”

Perut Juli seketika berbunyi kembali.

“Ya udah yuk kita pergi sekarang. Gue ganti baju dulu.”

“Lah, emang si Rendy ngajakin lu Jul.”

Juli cemberut memandang Juni yang tersenyum meledek.

“Tadi gue udah ngajak Juli juga kok.” Rendi menimpali.

“Ya oke lah kalau si Boss udah ngajak. Pamit dulu sama Nenek.”

Juni, Juli dan Rendy bersama-sama menuju ke dapur. Zalma sedang membereskan barang-barang yang tadi dibelinya di pasar. Asih terlihat sedang mencuci daging di ruangan belakang.

“Nek, kita mau pergi sebentar ke tempat ngopi si Rendy ya, baru buka, jadi disuruh nyobain,” kata Juni.

Zalma mengangguk sambil tersenyum.

“Selamat ya Ren.”

“Terima kasih Nek.”

“Ya sudah, hati-hati perginya. Nanti siang kalian makan disini semua ya, Nenek mau masak makanan Manado hari ini.”

“Siap Nek. Oh iya, pisang gorengnya enak banget loh Nek.” Rendy berkata sambil mengangkat jempolnya.

“Bisa aja Nak Rendy ini.” Zalma tersenyum.

Mereka bertiga segera meninggalkan dapur diikuti oleh pandangan Zalma.

Ketika pandangan Zalma tertuju kepada piano, ia melihat posisi foto hitam putih itu berbeda dari sebelumnya. Seseorang telah mengambil foto itu dan menaruhnya kembali.

Pasti Juli.

Ia memang sengaja memajang foto itu kembali setelah sekian lama disimpan di dalam gudang. Foto itu sangat berarti baginya dan membawa kenangan indah yang tidak terlupakan.

Tapi siapkah ia seandainya nanti Juli menanyakan foto siapa saja itu?

Mau tidak mau, ia harus siap.

Zalma menghela nafas panjang dan kembali menyibukkan diri di dapur.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status