“Rendy!”
Pria berkaos coklat muda, celana pendek hitam serta bersendal jepit yang dipanggil Randy itu hanya tersenyum memandang Juli yang seperti baru melihat hantu di pagi hari.
“Kenapa Jul? Kok lu kayak kaget lihat gue.”
Juli merasa wajahnya memerah menahan malu.
“Ng-ngak apa-apa kok Ren.”
“Sorry, tadi gue main nyelonong masuk aja, soalnya pintu pager gak dikunci.”
“I-iya gak apa-apa kok.” Juli masih menahan rasa malu.
“Juni ada?”
“Juni lagi ke pasar sama Nenek, Ren.”
Rendy mengangguk.
“Kemarin malam dia telpon gue, ngabarin kalau udah sampai Bandung. Jadi gue pagi-pagi ke sini mau ajak dia ke ngopi bareng di coffee shop gue. Baru buka minggu lalu.”
“Wah, congratz Ren.” Juli tersenyum simpul. Meski dia berusaha terlihat tenang di depan Rendy tapi hatinya masih bergejolak tidak karuan.
Tiba-tiba Juli seperti teringat sesuatu.
“Eh, masuk yuk, ngapain kita ngobrol di luar kayak gini.”
“Tar aja gue balik lagi Jul. Nanti kalau Juni dateng suruh telpon gue aja ya.”
“Bentar lagi dia juga pulang. Mana betah si Juni lama-lama di pasar.” Juli tertawa terbahak sampai dia merasa heran sendiri padahal apa yang dia ungkapkan tidak ada yang lucu rasanya.
“Nenek juga baru bikin pisang goreng, enak banget. Lu musti coba.”
Rendy terdiam sejenak, kemudian mengangguk.
“Ya udah, gue masuk deh, pengen makan pisang goreng Nek Zalma.”
Hati Juli bersorak kegirangan.
Memang sudah sejak lama Juli menaruh hati kepada Rendy, tetangga sebelah rumah Zalma. Wajahnya yang menurut Juli seperti Nicholas Saputra membuatnya terkadang tidak bisa mengendalikan diri kalau bertemu dengannya. Salah tingkah. Apalagi, umur mereka bertiga sepantaran.
Tapi Rendy jarang sekali berbicara dengan Juli. Biasanya setiap kali mereka ke Bandung, yang dicari Rendy pasti Juni. Mereka bersahabat memang sudah cukup lama, kira-kira sekitar lima tahun yang lalu ketika Rendy dan keluarganya pindah ke rumah sebelah dan menjadi tetangga Zalma.
Saat ini, ketika Juni tidak ada di rumah, kesempatan Juli untuk berbincang dengan Rendy terbuka luas.
Ada untungnya juga gue gak ikut ke pasar, gumam Juli dalam hati sambil menuju ke arah meja makan untuk mengambil pisang goreng sementara Rendy duduk di ruang tamu.
Jangan gugup lagi Jul, inhale-exhale-inhale-exhale, hatinya mengingatkan.
Juli meletakkan piring yang berisi pisang goreng beserta dengan dua buah piring dan garpu kecil di meja ruang tamu. Tidak lupa juga ia mengambil segelas air dingin untuk Rendy.
“Dimakan Ren.”
Rendy mengangguk.
Tidak lama kemudian mereka berdua sudah tenggelam dalam pembicaraan ringan mengenai kehidupan sehari-hari. Sesekali tawa renyah mewarnai pembicaraan itu dan pujian dari Rendy untuk pisang goreng buatan Zalma yang dinilainya sangat enak.
Dalam hati Juli berdoa semoga momen ini tidak cepat berlalu.
Tapi ternyata, doanya tidak dikabulkan.
Tidak lama kemudian, suara deru mobil terdengar masuk ke halaman rumah. Terdengar suara berisik orang-orang yang mengeluarkan barang-barang dari dalam mobil.
“Tuh mereka sampai. Bener kan, si Juni mah gak bakal betah lama-lama di pasar.”
Nampak Asih pertama-tama masuk sambil membawa beberapa kantong plastik besar berwarna merah yang berisi berbagai macam sayur. Disusul di belakangnya Zalma yang langsung disapa oleh Rendy dan Juli. Zalma pun membalas sapaan mereka dengan ramah, tidak terlihat sisa sakit asma semalam. Wajahnya terlihat berseri dan kemerahan akibat sinar matahari.
Juni yang terakhir masuk sambil membawa dua kantong plastik hitam berukuran sedang. Ketika ia melihat Rendy, senyum lebar nampak di wajahnya.
“Gilee bro, pagi-pagi udah pacaran aja,” ledek Juni yang membuat muka Juli kembali memerah.
Ia lalu melotot ke arah Juni yang segera menuju ke ruang belakang untuk menaruh barang yang dibawanya sambil tertawa-tawa.
Tidak lama kemudian, Juni bergabung dengan Juli dan Rendy di ruang tamu.
“Gimana bro? Jadi lu buka coffee shop di Braga?”
“Jadi dong. Makanya gue pagi-pagi ke sini mau ngajak lu ke sana. Masih soft opening sih, kali-kali aja lu ada ide apaan gitu.”
“Gue mah gak ngerti soal kopi, tahunya minumnya doang.” Juni terkekeh.
“Nah, itu bagus, penikmat kopi pasti tahu dong rasa kopi yang enak gimana. Makanya, lu musti cobain semua menu kopi gue.”
“Tar yang ada gue gak bisa tidur semaleman gara-gara semua menu kopi gue coba.”
Juni dan Rendy tertawa bersama.
“Selain kopi, jual apa lagi sih?” Juli bertanya serius.
“Macem-macem Jul. Ada sandwich, croissant, snack-snack gitu lah. Ada juga minuman non coffee nya juga kok.”
Perut Juli seketika berbunyi kembali.
“Ya udah yuk kita pergi sekarang. Gue ganti baju dulu.”
“Lah, emang si Rendy ngajakin lu Jul.”
Juli cemberut memandang Juni yang tersenyum meledek.
“Tadi gue udah ngajak Juli juga kok.” Rendi menimpali.
“Ya oke lah kalau si Boss udah ngajak. Pamit dulu sama Nenek.”
Juni, Juli dan Rendy bersama-sama menuju ke dapur. Zalma sedang membereskan barang-barang yang tadi dibelinya di pasar. Asih terlihat sedang mencuci daging di ruangan belakang.
“Nek, kita mau pergi sebentar ke tempat ngopi si Rendy ya, baru buka, jadi disuruh nyobain,” kata Juni.
Zalma mengangguk sambil tersenyum.
“Selamat ya Ren.”
“Terima kasih Nek.”
“Ya sudah, hati-hati perginya. Nanti siang kalian makan disini semua ya, Nenek mau masak makanan Manado hari ini.”
“Siap Nek. Oh iya, pisang gorengnya enak banget loh Nek.” Rendy berkata sambil mengangkat jempolnya.
“Bisa aja Nak Rendy ini.” Zalma tersenyum.
Mereka bertiga segera meninggalkan dapur diikuti oleh pandangan Zalma.
Ketika pandangan Zalma tertuju kepada piano, ia melihat posisi foto hitam putih itu berbeda dari sebelumnya. Seseorang telah mengambil foto itu dan menaruhnya kembali.
Pasti Juli.
Ia memang sengaja memajang foto itu kembali setelah sekian lama disimpan di dalam gudang. Foto itu sangat berarti baginya dan membawa kenangan indah yang tidak terlupakan.
Tapi siapkah ia seandainya nanti Juli menanyakan foto siapa saja itu?
Mau tidak mau, ia harus siap.
Zalma menghela nafas panjang dan kembali menyibukkan diri di dapur.
Jelita Maharani menatap tumpukan kertas yang berserakan di hadapannya dengan pandangan kesal. Sesekali jari tangannya memijat dahi dan keningnya. Kacamatanya tampak sesekali dinaikkan, bukan karena tidak sesuai dengan ukuran wajah tapi karena perasaan gelisah yang tanpa sadar membuatnya melakukan gerakan itu.Jelita adalah seorang wanita berusia sekitar enam puluh tahunan namun wajahnya nampak lebih muda dari usia sebenarnya. Masih terlihat cantik dan menawan. Ia juga memiliki aura kelembutan dan ketegasan yang terpancar seperti dua medan magnet yang sebenarnya saling bertolak belakang tapi bisa disatukan dalam diri wanita itu.Sebagai seorang pemimpin sebuah perusahaan yang bergerak di bidang bahan pangan bernama PT. Pangan Cakrawala yang memiliki berbagai macam jenis usaha yang meliputi restaurant, penjualan daging mentah sampai wine mahal, Jelita harus mampu berpikir kreatif dan bertindak tepat dan tegas karena kalau tidak, perusahaannya tidak akan mampu bertahan sa
“Lu jadi ikut gak?”Sherly menatap jam dinding di tembok ruangan. Waktu menunjukkan pukul 03.30 sore.“Ya udah, gue ikut deh, tapi nanti gak apa-apa sama si Adrian kan?”Amel menggeleng.“Gak lah, kita cuma mau party bentar kayak biasa, gak lama juga, laki gue bisa curiga kalo gue pulang terlalu malem.”“Barusan laki lu telpon kan?”“Iya, ngabarin kalo dia ada meeting. Adrian juga baru kirim pesen, party nya mulai jam 6 di hotel biasa.”Sherly mengangguk.“Ya udah, gue mandi dulu deh.”Sementara Sherly menghilang di pintu kamar mandi, Amel membereskan pakaian senamnya dan memasukkannya ke dalam tas olahraga berwarna biru cerah. Beberapa perempuan menyapanya sebelum pergi beranjak dari ruangan itu.Amel dan Sherly adalah teman sejak masa SMA dulu. Mereka memiliki kegemaran yang sama yaitu olahraga. Berbagai macam olah
Dimas menghabiskan seporsi nasi goreng kambing kesukaannya dengan lahap. Setelah meeting dengan beberapa direktur anak perusahaan PT.Pangan Cakrawala, membuat tenaga dan pikirannya seperti tercurah habis. Ada beberapa masalah yang akhirnya bisa diselesaikan di dalam meeting itu. Dimas bersyukur.Hotel Ribza yang terletak di kawasan Jakarta Selatan ini memang kerap digunakannya untuk mengadakan meeting. Ia merasa nyaman dengan suasana dan pelayanannya. Terlebih lagi, salah satu pemilik hotel bintang lima ini adalah temannya semasa SMA dulu sehingga ia bisa mendapatkan harga khusus pada saat mengadakan kegiatan di sana.Setelah meeting selesai, biasanya dilanjutkan dengan acara makan malam bersama di restaurant dalam hotel ini. Makanan yang disajikan sungguh luar biasa enak, menurut Dimas. Terkadang, ia juga sering makan di sana, bersama keluarganya atau sendiri. Ia lalu melihat ke jam di tangannya. Waktu menunjukkan puku
Kedai kopi milik Rendy terletak tidak jauh dari pusat perbelanjaan yang ada di jalan Braga. Tempat yang dipakai untuk membuka kedai itu dulunya juga merupakan sebuah kedai kopi. Karena pemilik sebelumnya hendak pindah ke luar Bandung, maka ia menyewakan tempat itu dan menjual seluruh isinya. Suatu hari, Rendy melihat kertas yang ditempel di jendela kedai itu dengan tulisan DISEWA beserta nomor yang bisa dihubungi di bawahnya. Kebetulan, Rendy juga sedang mencari tempat untuk membuka kedai kopi. Tanpa berlama-lama, ia pun menghubungi si pemilik tempat. Setelah beberapa kali pertemuan, akhirnya kesepakatan tercapai dan secara resmi Rendy menjadi penyewa tempat itu serta membeli seluruh isi nya yang kebetulan juga sesuai dengan keinginan Rendy. Jadi ia tidak perlu repot mencari ke sana ke mari barang-barang yang dibutuhkan karena semua sudah tersedia lengkap di tempat itu. JaRe adalah nama yang dipilih Rendy untuk kedai kopinya. Singkatan dari Janji Rendy, sebuah komitm
“Saudara Rama, saya Briptu Sularso.”Rama menyambut uluran tangan Briptu Sularso, seorang pria yang terlihat masih muda, berambut cepak dan berbadan tegap. Sedari tadi Rama melihat Briptu Sularso dan satu orang temannya terus berada di kamar tempat Amel dirawat, meminta keterangan dari Dimas sehingga membuatnya menyingkir sejenak ke ruang tunggu.“Bisa saya meminta keterangan saudara? Mengenai Ibu Amel.”“Bisa, bisa pak.” Jantung Rama masih berdetak kencang. Ia belum pernah berurusan dengan aparat kepolisian. Ini adalah yang pertama kali dan sudah cukup membuat Rama seperti hendak dipenjara.“Apakah saudara pernah melihat Ibu Amel minum minuman keras?”Rama terdiam sejenak. Ia nampak berpikir.“Sepertinya tidak Pak. Apakah mama saya mabuk?”“Ibu Amel tidak dalam kondisi mabuk kok, ini hanya pertanyaan umum saja.”Rama mengangguk.“Kami sedang c
Tepat jam lima sore, Dino menjemput Rama di lobby Rumah Sakit Flamboyan tempat Amel di rawat. Mobil berjenis minibus itu kemudian langsung tancap gas masuk ke dalam jalan tol menuju ke kota Bandung.Rama memang bersahabat erat dengan Dino. Selain karena satu jurusan di bangku kuliah, ada banyak persamaan di antara mereka, salah satunya adalah mereka berdua sangat menyukai musik. Bagi Rama dan Dino, hidup tanpa musik itu ibarat makan sayur tanpa garam, hambar rasanya.Dino bukan asli Jakarta, keluarganya lama bermukim di Bandung sebelum memutuskan pindah ke Jakarta karena ayahnya mendapat promosi dari tempatnya bekerja untuk menjadi kepala cabang perusahaannya yang berada di Jakarta.Awalnya Dino menolak pindah ke Jakarta, ia lebih memilih tinggal bersama kakek dan neneknya di Bandung, lagipula ia juga sudah dua tahun menjalani perkuliahannya di sebuah universitas ternama di kota ini. Tapi, karena bujuk rayu ayah dan ibunya juga Rio, adiknya, akhirn
Zalma mengompres lebam di wajah Juni dengan perlahan, sesekali tangannya membersihkan sisa-sisa darah yang masih terlihat mengalir di ujung bibirnya dengan selembar tissue untuk kemudian diberikan obat luka. Sandra sedang membuatkan teh manis hangat di dapur sementara Juli sibuk menginterogasi Juni.“Gimana ceritanya sih Jun sampai lu bisa babak belur kayak gini?”Juni nampak meringis, lukanya terasa perih setelah diberikan obat oleh Zalma.“Tar aja deh gue baru cerita, masih sakit ini.”“Tapi lu tahu kan siapa yang mukulin lu? Maksud gue, lu kenal kan sama orangnya?”“Gue sih gak terlalu kenal sama orangnya.”“Loh kok bisa gak kenal terus dipukul? Lu nyenggol mobil dia? Apa lu nyalip dia?” Juli masih pantang menyerah.Sandra yang baru keluar dari dapur segera menyahut. “Dipukul sama Rama, Jul.”“Rama? Rama siapa?” Juli terlihat bingung, setahun
“Sebenarnya waktu itu kamu lagi di The Body atau di rumah Sherly sih?” tanya Dimas, tidak sabar. Rasanya ingin sekali ia membelah kepala Amel dan melihat isinya. Ia ingin tahu apa yang terjadi saat kecelakaan waktu itu. Ia tidak sabar melihat Amel yang sepertinya agak malas bercerita, apalagi saat ini Briptu Sularso kembali datang ke rumah sakit ingin bertanya kepadanya. Dimas hanya tidak mau kecelakaan ini membawa pengaruh buruk terhadap keluarga dan bisnisnya. Maka dari itu, ia ingin mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.“Sabar Pak, mungkin Ibu Amel masih belum pulih ingatannya,” kata Briptu Sularso, mencoba menenangkan Dimas.Amel merengut melihat Dimas yang terus bertanya kepadanya tanpa henti. Seharusnya kan polisi yang lebih pantas menanyai aku, kenapa dia yang ngotot sih, polisinya aja biasa-biasa aja tuh, sungut Amel di dalam hati.“Iya Pak.” Dimas memilih menuruti kemauan Briptu Sularso. Ia tidak mau terlihat terlal