“Aku khilaf, Dik ….”
“Gimana bisa khilaf sampai sejauh itu, Mas …?”“Maaf ….”Hanya itu yang terus suamiku ucap. Maaf, maaf, dan khilaf, seolah tak ada kata lain yang sanggup keluar dari mulutnya. Ia tertunduk, pun matanya basah. Lelakiku ikut terisak. Aku tak bisa memahami apa yang ia rasakan sebenarnya.Mas ... sadarkah kau sudah torehkan luka teramat dalam, yang sekarang menganga di hati ini. Lupakah kau, saat anak kampung itu kita jemput, dengan janji akan menyekolahkannya, menolong mengangkat derajat keluarganya?Apa yang sampai membawamu terjerumus begitu dalam ...?Dosa apa yang kami buat sampai menanggung ujian ini, ya Rabb ….Aib suamiku ini, kami berdua bicarakan sambil berbisik di kamar, duduk berhadap-hadapan.Seberapa pun berat, aku tak ingin anak-anak yang begitu menghargai ayahnya turut terpukul atas kejadian ini...Tiga tahun lalu ....“April akan kami jaga, Bu. Tidak usah Ibu khawatir. Kebetulan waktu saya juga banyak di rumah, jadi insyaallah masih bisa mengawasi pergaulannya.”“Saya cuma khawatir, Mbak Aya. April ini biasa di kampung, takutnya kaget trus kebablasan gaul di kota," cemas wanita yang terlihat lebih tua dari usianya itu.Aku paham karena memang anak gadisnya itu berparas cantik alami.Untuk meyakinkan niat kami membantu masa depan April, suamiku ikut bicara, “Kalau bersama kami, nanti setelah lulus SMA April boleh lanjutkan kuliah, Bu. Nanti akan saya biayai, biar setelah itu dia bisa bekerja."Aku mengangguk, menyetujui perkataan suami, karena ini memang keputusan kami berdua. Sudah niat lama kami ingin membagi rezeki, mencari orang dari keluarga tidak mampu dan akan membantunya meraih cita-cita, sampai ia sukses.“Syukurlah kalau begitu, saya memang berharap dari lima anak, ada satu saja yang bisa sekolah tinggi. Bagaimana kamu, Pril, mau?” tanya wanita itu pada putrinya.Gadis berlesung pipit itu banyak menunduk. “Terserah Mamak ja, kalau Mamak setuju April mau.”Aku dan suami lega saat kami bisa membawa gadis itu pulang bersama. Tubuhnya mungil, berkulit kuning langsat, rambut gelombang sebahu berwarna kecoklatan, ia gadis cantik alami, sayang sekali kalau sampai putus sekolah karena ketiadaan biaya. Kami tahu keadaan keluarganya ini dari seorang saudara, gadis itu terpaksa membantu ibunya menyadap karet dan akan putus sekolah di kelas dua SMA.Berjalannya waktu bersama kami, April lulus dengan prestasi cukup baik. Meski sempat kaget dengan pelajaran di sekolah kota tak membuatnya ketinggalan jauh. Kegigihannya belajar dan membantuku dalam pekerjaan rumah membuatku jatuh hati. Aku menyayanginya seperti anak sendiri, sebab ia seumuran dengan Almira, si sulung. Empat anakku semuanya perempuan, dan hubunganku dengan mereka seperti teman.Saat membeli pakaian untuk yang lain aku juga pasti membelikan untuk April, begitu pun makanan apa yang kami makan ia bebas makan juga.Sesuai janji kami menguliahkannya, meski bersamaan dengan Almira juga kuliah, dan adiknya Syifa masuk SMP, kami tak kesulitan biaya.Usaha jual aneka kayu, dan pabrik bata masih lancar. Almira ke ibu kota, pilih jurusan kedokteran di kampus ternama, ia tinggal di kos dan akan jauh dari kami. Sedangkan April masuk akademi diploma tiga komputer Kota Cantik ini.Seminggu lebih aku ke Jakarta, mengantar dan menemani Almira di awal masa perkuliahannya. Lalu kembali pulang setelah melihat anak itu begitu mandiri, dan rasanya siap hatiku lepas ia sendiri.Hariku kemudian kembali menjalani rutinitas seperti semula. Sesekali ke pabrik bata yang berjarak tempuh satu jam naik mobil dari sini. Aku dan Mas Danang memang membagi waktu dan diri untuk usaha yang kami rintis bersama dari nol itu.Selama ini kami berdua terkenal kompak dan sama-sama gigih. Namun, kesibukan membuatku ternyata lalai memerhatikan April.“Sebelum berangkat usahakan sempatin nyuci, Pril.” Gadis itu lama-lama terlihat malas melakukan apapun di rumah.“Maaf, Tante berapa hari ini April sibuk, banyak tugas.” Ia memang memanggilku tante, dan om untuk Mas Danang.“Iya tante tahu, tapi paling tidak bangun lebih pagi, habis subuh itu sempatkan rendam pakaian trus giling. Pasti sempat, kok,” tegurku mengingatkan. Selain terlihat malas-malasan, ia juga sering pulang telat dari kampus, dan juga sering mengurung diri di kamar.“Iya, Tan. April kerjakan sekarang.” Mukanya terlihat kurang suka ditegur.Aku tidak bermaksud memaksanya bekerja, tapi berharap pengertiannya kalau kami di rumah ini memang harus saling membantu.Tugas April sejak awal nyuci dan gosok. Dua anakku bersih-bersih rumah sampai halaman. Aku bagian bersih kamar sampai empat kamar mandi, masak juga, cuma kadang bagian terakhir itu kami lakukan bersama, sambil menyesuaikan dengan selera masing-masing. Para gadisku memang kulatih mandiri tanpa pembantu.Begitu pun April, harusnya ia paham kami membantunya meraih ilmu, dan kehadiran juga diharap bisa meringankan pekerjaan rumah.Berjalannya waktu, setelah ditegur April tampak melakukan dengan baik, tapi beberapa hari berikut ia akan terlihat enggan lagi mengerjakan tugas rumah. Pakaiannya sendiri pun ditumpuk di keranjang cuci, belum lagi gosokan sampai menggunung tiga hari tak dikerjakan.Aku sengaja membiarkan ia mengerjakan sendiri tanpa terus-menerus menegur, terlihat dikerjakan juga meski wajahnya tanpa senyum.Sejak dipercayakan bawa motor ke kampus di semester berikutnya, ia makin sering terlambat pulang, pernah sampai malam dan sulit dihubungi. Aku menegurnya cukup keras saat itu.Kepercayaan awal yang begitu kuat sekejap menguap, saat aku menemukan bekas cairan kental di seprei April yang tergulung bersama pakaian dalam laki-laki, ada di keranjang cucian. Celana dalam itu milik Mas Danang!Apa yang kutemukan bagai membuka mata ini, membuat jantung terasa diremas-remas. April habis apa ...? Dan pikiranku menduga-duga hal yang tidak baik telah terjadi.Kusimpan curiga itu, menunggunya pulang.“Assalamuallaikum,” salamnya lembut seperti biasa. Kuperhatikan tak ada yang aneh dengan jalan atau raut wajahnya.Kujawab salam lalu membiarkannya membersihkan diri dulu.Setelah mencuci kaki, tangan, dan minum, ia akan ke kamar dan aku mengikutinya.“April, tante mau bicara.” Aku menahan pintu kamarnya. Ia terlihat terkejut, terlebih melihat sepreinya juga kubawa masuk.Ia takut-takut melihatku, lalu duduk di sisi tempat tidur.Langsung kubuka apa yang mengundang tanya di kepala. “Ini apa, Pril?”Ia yang sudah gugup sedikit ternganga lalu meremas tangan, belum juga menjawab pertanyaanku. Pandangan ia jatuhkan pada lantai di depannya.“Jawab, Pril! Kamu itu sudah dewasa, kamu pasti tahu apa maksud tante menanyakan ini!”Seprei dan celana dalam bernoda di tanganku tampak membuatnya pucat pasi. Air mata April langsung luruh, bersamaan kalimat yang keluar dari bibirnya.Dalam sekejap kurasakan dunia di sekitar langsung runtuh. April mengakui ada hubungan terlarang antara ia dan suamiku!...“Maafkan aku, Dik ….”Isakku belum jua reda, mendengar kalimat Mas Danang masih memuntahkan kata maaf. Kejadian hari ini memukulku telak. Menghancurkan semua yang kami bangun dalam sekejap mata.Diri bagai gelas kaca yang dilemparkan ke tembok, hingga hancur berkeping-keping.“Kenapa Mas tidak terus terang kalau memang mau nikah lagi …? Mungkin Aya akan lebih ikhlas, persiapkan diri, dan … tidak akan sesakit ini.”“….” Ia terdiam.“Aya butuh waktu untuk memikirkan bagaimana ini ke depannya ....” Kuusap sisa air mata, menarik napas panjang, embuskan pelan. Berusaha kuasai diri agar tetap tenang.Anak-anak begitu menghormati Mas Danang, ia panutan mereka. Apalagi di lingkungan ini suamiku dipercaya memimpin warganya sebagai ketua RW, dan ia belum lama ini disanjung sukses memimpin pembangunan rumah ibadah besar di daerah ini. Kepandaian Mas Danang melobi dan punya banyak relasi memudahkan segala urusannya.Aku tak habis pikir, kenapa sebelum berbuat khilaf terbesar ini ia tak berpikir jauh. Nama baiknya kini menjadi pertaruhan.Ya Rabb, kuatkan hamba mengambil keputusan terbaik ....POV Soraya Setelah tertegun sejenak, suami meletakkan ponselku di atas kasur, tepat di sisinya. Aku menatap semua pergerakannya dalam diam. Sepertinya memang ada yang tak kutahu. “Dek … maaf sebelumnya kalau mas belum cerita ini.” “Ceritakan saja, Mas. Saya siap dengar,” balasku tenang. Sesakit apa yang akan ia katakan, mungkin aku kuat karena pernah mengalaminya dulu. “Sebenarnya ini sudah lama. Mas mengenalnya sudah dua tahun belakangan. Hanya dia baru bilang suka beberapa bulan lalu.” Aku coba mengatur napas, untuk melonggarkan dada yang terasa nyeri dan sesak. Akankah ini terulang seperti Mas Danang dulu lakukan …? Tidak. Jangan ya, Rabb …! “Dia usia 40 tahun, belum menikah. Dan … bilang jatuh cinta pada mas.” Mas Mahesa mengambil tanganku, menggenggamnya erat. “Maafkan mas …” kalimatnya yang menggantung membuatku terpukul. Bayangan pengakuan Mas Danang dan April saat itu mengitari pikiran, menghantuiku. “Mas pernah
“Tante, apa kabar?”Aku yang mendapat sapaan itu langsung menoleh, seseorang perempuan berhijab panjang, dengan masker putih hingga yang terlihat hanya matanya.“Alhamdulillah, baik. Apa kabar juga,” balasku, tersenyum sambil mengingat-ngingat dia siapa.Seperti paham, ia menurunkan maskernya. Perempuan berwajah tirus dengan hidung lancip dan sedikit parut luka kecil di dekat hidung. Meski begitu dia tampak cantik.“Alhamdulillah baik juga, Tan. Saya … April,” ucapnya sambil meraih dan menyalim tanganku.“April?” Segera kubuka tangan memeluk tubuhnya. Sudah lumayan lama kami tak bertemu. “Senang bertemu kamu lagi.”Aku memang pernah dengar dia sakit, dan setelah sehat aku kemudian tak tahu lagi bagaimana hidupnya, hingga bisa bertemu di sini sekarang.April tampak jauh lebih baik.“Saya juga senang ketemu Tante.” Suaranya yang masih khas, tetapi kini
POV Danang“Saya minta maaf ... sangat mohon dimaafkan Al ... keluarga Mama, Papi, dan keluarga Ayah. Saya sudah terlalu jauh melangkah ... ini kesalahan besar yang sudah saya lakukan. Saya ... sudah menyakiti semua orang, terutama Almira.”Angger bicara begitu di malam harinya, saat kami sudah pulang dan berkumpul di rumah, kecuali Naya yang tetap tinggal di rumah besan.Semua kompak tinggal di rumah yang dulu Soraya beli saat anak-anak kuliah, dan sudah direnovasi berlantai tiga ini. Kami tidak ada yang menyewa hotel. Tempat ini lebih dari cukup untuk menikmati kebersamaan luar biasa, yang amat langka terjadi. Meski kami sudah bukan suami istri, Soraya tampak tak canggung menganggapku sebagai bagian dari keluarga.“Kami mendukungmu, Nak Angger. Keputusan apa pun memang hanya kalian berdua yang menjalani. Jika berdua sama-sama ingin bertahan, berjuanglah. Kami akan mendukung selama itu ke arah yang baik. Kami salut kamu be
Malam ini aku, Mas Mahesa juga Rama ngumpul di ruang tengah, kita baru selesai videocall dengan putri Mas Mahesa yang tinggal di Belanda. Rama dengan Bahasa Inggrisnya tadi amat fasih bicara dengan ponakan dan saudara lain di sana. Kontak kami memang sebatas video call, setelah tiga kali pertemuan secara langsung dengan gadis berwajah khas India itusangat ramah dan baik padaku, yang dipanggil Mami olehnya. “Kapan kita liburan ke Belanda?” Mas Mahesa bertanya. “Kalau liburan panjang bisa, Mas, sebelum Rama masuk SD, gimana?” “Bisa. Gimana, Dek Rama mau kita ketemu sama Mark dan Loui?” “Mau, Pi. Mau banget. Biar naik sepeda bareng.” Aku pun setujui kami akan liburan tiga bulan lagi. Selama fisik masih kuat ke manapun diajak suami oke aja. Beberapa tempat wisata di Indonesia sudah Mas Mahesa ajak. Ia termasuk laki-laki yang suka travelling, dan aku pun merasa ketularan. Masa tua kami isi sosial juga menjalin silaturahmi dengan ana
PoV Soraya“Pakabar Mama?” Pelukan dan cium pipi kiri kanan saat aku bertemu Almira di restoran.“Alhamdulillah, mama sehat. Kamu gimana, Sayang?”“Alhamdulillah, Ma.” Almira membuka tangan mengisyaratkan aku melihat kalau ia baik-baik saja.Aku tersenyum lega. “Kita ke ruang sana, yuk.” Tangan Al kemudian kugamit, kami mengikuti seorang waiters yang mengantarkan ke ruang pesananku.“Mama sempet nunggu, kah tadi?”“Enggak, kok, Al, papimu barusan aja pergi.”“Jadi beneran kita berdua aja nih?” Wajahnya sedikit heran melihat kami menyusuri lorong yang diapit susunan batu alam.“Skali-kali mama ngedate sama kamu, ya ‘kan?” godaku.“Aih, Mama. Tapi kok bikin deg-deg’an ya. Kita kemana? Kok, berasa kayak mau dikasih surprise. Masa aku lupa ini ulang tahunku?” katanya
POV DanangAh, harusnya ketenangan sudah kugenggam ... tapi kenapa terasa masih jauh. Setelah semua yang kuminta pada anak-anak terpenuhi, juga hubungan Adam yang membaik dengan April pun dikabulkan. Aku tetap merasa ada yang berlubang dalam dasar hati.Ada apa denganku ...?Pagi-pagi, seperti biasa keluar kamar aku langsung ke dapur, berpapasan dan berbagi senyum dengan Almira. Wajah pucatnya cepat mengurai senyum lebar setelah menyadari tatapanku, kurasa senyum itu sangat dipaksakan.“Ayah mau sarapan apa, nanti tinggal bilang simbok, ya, Al buru-buru piket pagi. Kalau bahan kurang atau butuh apa bisa wa aja, pulangnya Al belikan.”Di atas rasa sedih atas rumahtangganya ia masih memikirkan keperluanku. Dia pikir aku tak tahu apa-apa. Betapa aku merasa tak berguna sebagai ayah. Kalimatnya terasa menegurku yang selama ini terlalu banyak permintaan dan kecerewetan, termasuk tentang makanan.“Ah, ayah a